Selesai membacanya, walau hanya separo karena buku tersebut tebal, beranjak mengembalikan buku tersebut ke rak buku sebelum dirinya mengambilnya. Setelah mengembalikkannya, ia berjalan keluar menuju pintu dan keluar. Saat akan berbelok ke jalan yang dilewati
banyaknya mahasiswa dan mahasiswi. Tanpa tidak sengaja, ada seseorang pria dengan mengenakan masker hitam dan topi hitam serta baju dan celana hitam panjang, terpogoh-pogoh mencangklong tas keluar dari toilet wanita. Menabraknya hingga jatuh.
Bruk!
"Aduh!"
"Eh, ma-maaf..." ucapnya, membantu Ayu bangun."Kamu enggak apa-apa, kan?" Dia terkejut saat bertatapan dengan Ayu.
"Sa-saya baik-baik saja," jawab Ayu. Melihat pria tinggi itu. Berpikir, apakah pria ini juga termasuk salah satu dosen di kampus. Di wajahnya yang separo tidak tertutupi oleh masker, tampak pria ini mengisyaratkan kekhawatiran. Dan, menurutnya agak mencurigakan. "Maaf, Pak, Anda terburu-buru, ya?"
"I-iya... Maafkan, saya sekali lagi," ucapnya.
"Enggak apa-apa, kok."
Pria tersebut beranjak. Masih terpogoh-pogoh. Ayu melihatnya masih agak curiga."Siapa dia? Kayaknya aku belum pernah ketemu?" Ia melanjutkan melangkah kembali menuju lorong. Tepat di salah satu kantor, akan memasukinya, dicegat oleh Virgo.
"Ayu!"
Ayu menoleh. Melihat pemuda gagah itu menghampirinya.
"Iya, Bang?" Mencoba menahan bicaranya agar tidak canggung.
"Bagaimana soal Rektor Rangga?"
"Apa? Soal apa?"
"Lengannya."
Kok orang ini tahu saja, pikirnya agak sebal.
"Abang baik-baik saja."
"Lengannya itu kenapa?"
"Bukan apa-apa, Bang. Cuma luka goresan saja."
"Apa kamu sengaja melukai, ya?"
Hah? Melukai? Ayu sebenarnya malas mengatakannya. Jika pemuda ini tahu, bahwa Ayu tidak sengaja melukai abangnya karena dirinya mati-matian latihan sihir senjata.
"Abang enggak mau melihat usahaku?" kata Ayu pelan.
"Usaha? Apa maksudmu?"
"Usahaku untuk bisa menggunakan sihir senjata," ada tekanan nada saat ia melontarkan.
"Kamu bukannya belum bisa? Maksudku, sama sekali belum menguasainya? Lihat, kamu yang sama sekali enggak mengusainya. Buat apa jadi penyihir?" Virgo setengah menyindir
Ayu tersentak. Pemuda ini ternyata bicara dengan sarkatis ternyata. Seperti yang abangnya pernah bilang.
"Untuk apa kamu jadi penyihir dan kalah dengan penyihir lainnya? Rangga, dengan sebulan saja bisa menguasai senjata sihir bahkan bisa memilikinya sendiri. Kamu, kamu punya enggak?"
"A-aku..."
"DIA PUNYA!!" sahut Gino di dalam tas, muncul tiba-tiba di hadapannya. Saking marahnya, kotak ajaib itu membesar hingga sebesar raksasa. Di sekeliling mereka tampak terkejut sekaligus tidak percaya apa yang dilihat.
"Itu..."
"Bukannya itu kotak sihir punyanya salah penyihir agung?"
"Masa?"
"Wah, ternyata kotak itu serem juga, ya!"
"Ih, dia kayaknya mau melahap... Pak Virgo!"
"Dengar, ya, Anak Muda! Ayu enggak sekira apa yang kamu pikirkan! Dia bisa menggunakan senjata sihir!" katanya lantang."Kamu jangan sok ya, mentang-mentang sudah menjadi penyihir di sini, hebat dan sudah berpengalaman!"
"Sa-saya..."
"Kalau kamu menghina master saya lagi, kamu bakal saya MAKAN!!"
Virgo mulai ketakutan saat Gino mengancamnya. Dia terjatuh bersimpuh.
Gino mengancam seraya membuka moncongnya. Ayu tidak melarangnya. Ia diam saja sampai Gino yang marah puas. Virgo bergidik ketakutan melihat moncong besar Gino—gigi besarnya bak monster. Namun diketakutannya sekarang, Ayu malah mengabaikannya dan melesat pergi tak acuh. Cukup, cukup sudah dirinya dihina maupun diperolok seperti itu! Jujur ia belum bisa menguasai apa yang sudah sangat dikuasai oleh para penyihir. Ia bukan Rangga Extreme yang terpandai dalam menggunakan senjata sihir. Bukan seorang Sukma Angela yang pandai dalam segala bidang. Bukan, bukan! Gino masih dalam mode mengancam. Dia sadar dirinya ditinggalkan oleh sang master.
"Huh? Gadis Kecil?" ucapnya saat moncongnya terkatup dan melesat melayang meninggalkan Virgo. Mengancamnya,"awas kamu!"
Virgo masih ketakutan, berusaha berdiri.
"Ternyata kotak itu seram juga, ya..." Mengelus dadanya yang berdebar.
Ayu melangkah menuju kantor. Ia sudah tidak tahan lagi. Biarkan dirinya dicap pengadu sekarang. Itu bukan masalah baginya. Ya, dirinya akan mengadu tentang perkataan Virgo barusan. Dengan langkah cepat, ia berbelok menuju salah satu kantor. Matanya berkaca-kaca, berusaha ditahannya agar air matanya tidak jatuh. Pintu dibuka menjeblak. Dilihatnya sang penghuni tidak ada.
"Ke mana Bang Rangga?" Melangkah ke arah kursi besarnya seraya menutup pintu. Gino melayang menyusulnya dan masuk ke kantor rektor.
"Gadis Kecil," panggilnya.
"Apa?"
"Apa bocah itu ya yang bikin kamu sakit hati kemarin?"
Deg.
Perkataan Gino sukses mengenai hati. Mau tidak mau dirinya harus mengakui bahwa pemuda itulah yang membuatnya sakit hati.
"Kenapa Tuan Gino bicara kayak begitu?" Kata Ayu enggan.
"Kalau beneran dia, biar saya ancam lagi!"
"Enggak usah. Itu tadi sudah bagus, kok."
Gino menyengir. "Tapi, kenapa kamu tidak melarang saya mengancam bocah tadi?"
"Malas saja," kata Ayu, meraih buku. Tampak seperti buku novel berjudul "Rosita The Begin Attack" membukanya asal, dan mulai membacanya.
Gino melayang turun ke meja.
Beberapa detik kemudian, Rangga yang selesai dengan menyantap makan siangnya di kantin atas. Menuju lorong dan berbelok ke arah kantor. Saat menuruni tangga di lantai atas, dia sempat mencari keberadaan adiknya di kantin yang biasa adiknya berkumpul dengan teman kembarnya. Namun, saat dicari tidak ada. Alih-alih tidak ada, dia melihat banyaknya mahasiswa dan mahasiswi berkumpul. Tampak mengerubungi sesuatu. Penasaran apa yang terjadi, dia melihat VITTO menenangkan sang abang. Pemuda itu tak lain adalah Virgo. Mendekati mereka. Dia mendengar VITTO menasehatinya.
"Dengar, ya, Bang. Sudah aku bilang, dan aku ini pernah ngomong ke Abang, jangan suka mengejek Kak Ayu," tutur VITTO.
"Aku tahu. Aku ingat perkataanmu waktu itu."
"Kalau sudah tahu, ngapain Abang mengejeknya lagi? Kasihan kan Kak Ayu, memang dia belum bisa menguasai sihir senjata. Tapi, kalau dia belum bisa, seenggaknya Abang semangatin, dong."
"Kamu kok membelanya, sih?"
VITTO terdiam. Dia teringat perkataan Rangga di taman waktu itu.
Tolong, jadi teman bagi Ayu, ya.
"Memangnya enggak boleh, ya, menjadi teman buat Kak Ayu?" kata VITTO sebal."Apa salahnya? Abang saja yang kebanyakan grupies! Coba pikir, Bang!"
Virgo tersenyum. Senyumnya bukan senyum ramah kepada siapa saja. Melainkan senyum mengejek.
"Terserah kamu mau berteman sama siapa saja. Tapi, pernah kan, papa dulu pernah bilang, jangan berteman dengan orang yang bodoh dan gagal."
VITTO tambah sebal mendengarnya. Bertepatan dengan itu, satu pukulan mengenai pipi Virgo dengan telak.
Buuk!
Virgo terjungkal. Melihat siapa yang barusan memukulnya. Bukan dia saja, yang lain seperti adiknya dan beberapa mahasiswa dan mahasiswi terkejut sama halnya. Mereka semua menatap Rangga. Rangga dengan ekspresi yang amat kesal bercampur emosi.
"Apa yang kamu bilang?!" sergahnya.
Mereka semua terdiam. Apalagi Virgo. Tidak menyangka, teman akrabnya bisa-bisanya memukul pipinya secara tiba-tiba.
"Apa yang kamu bilang?!" sergahnya lagi."Kamu melarang adikmu berteman dengan Ayu?! Kamu bilang adikku bodoh dan gagal?!" Rangga sengaja tidak menggunakan panggilan saya bila bertemu kepada para dosen. Dia sudah sangat marah dan melupakan etikanya di depan Virgo.
"Rektor Rangga..."
"Kamu enggak sebegitu sukanya dengan adikku? Dengar, ya, andai kamu tahu sedikit saja, bila Ayu sangat menganggumimu! Bukan menganggumi, tetapi menyukaimu, tahu!" sentaknya marah.
Virgo terkejut untuk kedua kalinya.
"Ayu menyukaiku... kamu bilang?"
"Ya," tegas Rangga."Bahkan, kamu abaikan syal pemberiannya. Aku tahu jika syal yang kamu berikan kepada VITTO adalah syal pemberian Ayu!"
Virgo melotot.
VITTO juga sama melototnya. Dia kembali teringat saat Ayu bertanya soal syal yang pernah dipakainya itu.
"Jadi begitu, ya?"
Rangga dengan ekspresi marahnya namun dengan tenang beranjak melewati mereka semua. Mereka semua menatap kepergiannya.
"Pak Rektor marah..." kata salah satu mahasiswi.
Mereka pun akhirnya membubarkan diri masing-masing. Menyisakan VITTO bersama abangnya.
"Bang," panggilnya.
"Apa?"
"Abang harus minta maaf."
"Minta maaf?"
"Minta maaf ke Kak Ayu," kata VITTO."Abang enggak minta maaf sekarang, dia bakal menjauhi Abang kalau enggak begitu, malah membenci Abang."
Virgo menunduk.
"Soal ini, kita rahasiakan dari Bang Iyan."
"Kalau dia bakal tahu?"
"Biarin. Cepat, minta maaf ke Kak Ayu sege—" Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan di antara para mahasiswi. Tampaknya mereka habis dari toilet khusus wanita.
"Apa yang sedang terjadi?"
Para mahasiswi itu menghampiri mereka.
"Pak Virgo! Bahaya, Pak!"
"Bahaya? Ada bahaya apa?"
"Sewaktu kami di dalam toilet, salah satu dari kami, seperti melihat sebuah benda yang menempel di dinding toilet. Kami kira itu cuma tempelan belaka. Tetapi, saat coba kami periksa lebih teliti, ternyata itu adalah sebuah bom!"
"Apa?!"
"Kalian tenang dulu. VITTO, beritahu Rektor Rangga, para dosen dan pihak keamanansekarang! Biar akub"
VITTO mengangguk. Beranjak berlari menuju kantor rektor dan dosen. Sementara Virgo mengamankan seluruh mahasiswa dan mahasiswi untuk segera keluar dari kampus. VITTO berlari menuju lorong. Sampai di depan kantor rektor, tanpa permisi, membuka pintu dengan lebar.
Ayu, Rangga, dan Gino menoleh bersamaan.
"VITTO? Ada apa?"
Masih dengan napas tersengal, dia mencoba memberitahukan apa yang terjadi."Bang—dengarkan saya... Ada bom di toilet wanita!"
Mereka terkejut.
"Bom kamu bilang?"
"I-iya..."
Rangga tidak tinggal diam, menyuruh Ayu dan Gino untuk memberitahukan para dosen. Dia beranjak melewati VITTO keluar dari kantor. Menuju toilet wanita. Ayu yang mempunyai rasa curiga dengan pemuda yang ditemuinya beberapa menit yang lalu. Lantas, teringat. Bersama VITTO dan Gino ke arah kantor dosen.
"Kak Ayu mau ke mana?!"
"Aku pergi dulu! Beritahu para dosen!" Ia berlari bersama Gino melayang di belakangnya.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku mau mencarinya!"
"Mencari siapa?"
"Orang itu!"
"Daripada berlari mengejar," Gino berhenti melayang, turun. Badannya mulai membesar. Badannya raksasa."Ayo, naik! Kita terbang!"
Ayu berhenti berlari, menaikinya. Mereka terbang mencari pemuda itu.