Prolog
Gelombang air laut pasang semakin meninggi. Langit yang semula cerah mulai terlihat redup dan memunculkan warna jingga di langit-langitnya.
Gelombang laut yang tingginya berkisar satu meter dengan kecepatan kapal sepuluh knot, sesekali membuat air laut tumpah ke seluruh geladak kapal.
Biasanya hal itu membuat para penumpang merasa kesal. Pakaian mereka jadi sedikit basah, belum lagi barang bawaan mereka yang jadi bau air laut.
Namun hal itu tidak terjadi pada Ramdani. Anak lelaki berusia tiga belas tahun itu malah tertawa girang ketika air laut membasahi separuh badannya.
“Kalau sudah tau begitu sedikit menyingkir dari sana. Nanti kau masuk angin!” Seorang pria paruh baya yang sering di panggil dengan sebutan ‘Pak Mantri’ menegur Ramdani yang masih asik duduk di tepi geladak dan membiarkan tubuhnya tersiram air laut.
Ramdani hanya tertawa tanpa menuruti kata-kata Pak Mantri. Malahan, ia mengjulurkan tangan kanannya dengan sengaja untuk menyentuh air laut.
“Bukannya besok kamu masih sekolah? Kalau bajumu bau air laut bagaimana?” Pak Mantri melanjutkan omelannya.
Sesaat Ramdani terdiam. Matanya langsung melihat ke arah seragam sekolahnya. Kemudian ia menepuk keningnya.
Bodohnya! Seharusnya tadi aku bawa baju ganti saja! Batin Ramdani menggerutu pada dirinya sendiri.
Akhirnya Ramdani mulai menepi, mengikuti kata-kata Pak Mantri yang duduk di belakangnya.
“Dasar bocah ini. Kalau masih bodoh seperti itu, mulai besok jangan ikuti aku.” Kata Pak Mantri dengan nada mengejek Ramdani.
“Meski dilarang saya tetap akan ikut Pak Mantri.” Jawab Ramdani dengan nada bercanda.
Pak Mantri tertawa sambil mengacak rambut Ramdani dari belakang.
Sepuluh menit kemudian mereka sampi di daratan. Pak Mantri memberikan beberapa lembar rupiah ke juru mudi kapal. Kemudian sambil berjalan memberikan selembar lima puluh ribu ke Ramdani.
“Pak Mantri ini-”
“Terima saja. Itu bukan dari saya, tapi dari para pasien yang dari kemarin kau bantu.” Pak Mantri tersenyum.
“Terimakasih Pak Mantri.” Ramdani sedikit menundukkan kepalanya. Tanda ia sangat berterimakasih.
Ramdani sudah sejak kecil tertarik untuk belajar ilmu medis. Mulai setahun yang lalu ia baru bisa benar-benar belajar dari mengikuti Pak Mantri yang di kenal sebagai dokter desa.
Saat ini tugas Ramdani masih hanya menulis keluhan-keluhan para pasien lalu di serahkan pada Pak Mantri. Namun sedikit-sedikit ia sudah mulai diajarkan caranya untuk membaca denyut nadi dan detak jantung oleh Pak Mantri.
“Ya sudah, pulanglah. Ibumu pasti sudah menunggu.” Pak Mantri menepuk-nepuk bahu Ramdani yang kurus.
Pak Mantri awalnya tidak ingin mengajari Ramdani. Sebab ini berkaitan dengan keselamatan seseorang. Namun melihat tekad dan ketulusan hati Ramdani, akhirnya Pak Mantri mengizinkannya untuk ikut.
“Ram! Ram! Kamu harus pulang! Ibumu!” Djoko datang sambil berlari. Ia merupakan tetangga Ramdani.
“Ibu kenapa Mas?!” Wajah Ramdani langsung berubah cemas.
“Ada lelaki yang menghampiri Ibumu! Banyak orang dari balai desa juga! Cepat Ram!”
Ramdani yang mendengar berita itu langsung berlari tanpa pikir panjang. Meninggalkan Pak Mantri dan Djoko jauh di belakangnya.
Hanya butuh waktu kurang lebih tiga menit untuk sampai di rumah Ramdani dengan berlari cepat.
Sampai di halaman depan rumahnya, Ramdani melihat beberapa orang dari balai desa sesuai kata Djoko.
“Ibu!!!” Ramdani berteriak ketika melihat Ibunya yang berdiri mematung di depan halaman rumahnya.
“Ibu!! Ibu, ada apa Ibu!” Tubuh kecil Ramdani langsung hinggap tepat di sebelah Ibunya.
Baru saat itulah Ramdani sadar, ada seorang pria tinggi berbadan kekar yang menghadang di di depannya.
“Siapa, Bu?” Ramdani menatap Ibunya. Ali-ali menjawab pertanyaan Ramdani, Ibunya justru meneteskan air matanya.
“Siapa Kamu! Apa Kamu mau menyakiti Ibuku?!” Ramdani yang melihat Ibunya meneteskan air mata langsung berteriak ke arah seorang pria dewasa di depannya.
“Ibu..mu?” Pria di depan Ramdani bergumam.
Suasana di sana seketika jadi mencekam. Terlebih ketika Ibu Ramdani tidak berhenti menangis.
“Ram.. jangan..” Suara Ibu Ramdani yang bercampur tangis.
“Dia siapa Bu? Ibu kenapa menangis?” Ramdani memeluk Ibunya. Berusaha menenangkan Ibunya yang terus menangis.
Kalau benar pria ini yang menyakiti Ibu, Aku harus memukulnya. Siapapun yang menyakiti Ibuku, berhak dipukul. Batin Ramdani geram melihat pria yang berdiri di depannya.
“Ram.. dia.. dia Ayahmu.” Suara Ibu Ramdani nyaris tidak terdengar.
“Hah?” Ramdani merasa ia salah mendengar gumaman Ibunya.
“Ayahmu.. dia Ayahmu Nak.” Selesai dengan kalimatnya, Ibu Ramdani semakin terisak. Tak lama setelah itu Ibu Ramdani terkulai tak sadarkan diri.
“Jangan sentuh Ibuku!!” Ramdani langsung menepis tangan pria yang di sebut Ayahnya ketika ia hendak membantu mengangkat Ibunya yang pingsan.
Tepat setelah Ibu Ramdani tak sadarkan diri, Pak Mantri dan Djoko sampai menyusul Ramdani ke rumahnya.
Melihat kejadian itu, beberapa orang dari balai desa beserta Pak Mantri ikut membantu membopong Ibu Ramdani beristirahat di dalam rumahnya.
¤¤¤
Chapter 1
Tahun 1989 di sebuah desa kecil di daerah pesisir pantai. Hari itu para penduduk desa sedang ramai untuk menghadiri acara pernikahan seorang anak guru.
Larasati Tunggal Dewi. Gadis yang dijuluki sebagai kembang desa karena kecantikannya. Di usianya yang kedelapan belas tahun, ia resmi menjadi seorang istri dari pemuda bernama Andrian.
Andrian, pemuda tampan, berkulit kuning langsat dengan tubuh yang tinggi kekar. Usianya tepat dua puluh dua tahun dan telah resmi menjadi kepala sebuah keluarga.
Tahun 1990. Satu tahun setelah menikah, pasangan muda itu di karuniai seorang putra. Namun sayang, Ayah Larasati tidak dapat melihat cucu pertamanya. Ia wafat enam bulan setelah pernikahan putri tunggalnya.
Soejito Laksono, Ayah Larasati yang berprofesi sebagai seorang pengajar sastra sebuah sekolah menengah pertama di desanya.
Pada masa itu terlebih lagi di pedesaan, masih sangat jarang warga pribumi yang menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Di desa itu, hanya ada beberapa orang yang berhasil menyandang gelar sarjana. Salah satunya termasuk Ayah Larasati.
Seakan-akan buah tak jatuh jauh dari pohonya, Larasati pun tumbuh jadi gadis yang pandai. Di usianya yang enam belas tahun, ia sudah banyak membantu anak-anak desa ketika mengerjakan tugas sekolah mereka.
Dari awal, kehidupan Larasati tidak mudah. Sejak ia kecil, Ibunya telah meninggal dunia. Ia di besarkan seorang diri oleh Ayahnya.
Tidak berhenti sampai di sana, ketika Larasati berusia enam belas tahun, Ayahnya mulai sakit-sakitan. Tanggung jawab untuk mencari nafkah mulai berpindah ke tangan Larasati. Mulai dari menjadi guru privat atau berdagang di pasar sekali pun.
Sampailah ketika usianya tujuh belas tahun. Ia bertemu dengan Andrian. Seorang pemuda yang baru saja bergabung menjadi anggota kru kapal Mentari.
Mentari merupakan salah satu kapal milik warga desa yang fungsi utamanya untuk mencari ikan, tapi tidak jarang para warga menumpang kapal itu untuk pergi ke Kota atau Desa seberang.
Andrian merupakan pemuda yang cerdas. Ia langsung di terima begitu mendaftarkan dirinya menjadi juru mudi dua. Mungkin karena latar pendidikan Andrian yang saat itu merupakan lulusan pendidikan vokasi strata dua.
Namun, tidak ada yang tau dari mana tempat asal Andrian dan juga alasan seseorang dengan pendidikan tinggi sepertinya mau ikut berlayar dengan kapal non komersial. Dengan kemampuannya, seharusnya dia bisa masuk ke kapal ferri atau kapal komersil lainnya.
Di mulai dari pertemuan singkat di pelabuhan. Andrian dan Larasati semakin dekat hingga akhirnya Ayah Larasati menyadari kedekatan hubungan mereka berdua.
Meski awalnya Ayah Larasati ingin menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi, namun karena keadaanya akhirnya ia memutuskan untuk menikahkan putrinya begitu lulus sekolah menengah keatas.
Pernikahan dua muda-mudi itu berlangsung lancar dan harmonis. Terlebih ketika putra pertama mereka lahir. Hampir setiap sore mereka akan bermain di tepi pantai bersama-sama. Menikmati senja.
Tahun 1993, tiga tahun berlalu sejak hari pernikahan mereka. Siapa sangka bahwa hari itu juga merupakan hari perpisahan mereka.
Andrian dan seluruh awak kapal Mentari hilang di sapu badai pada saat mencari ikan.
Selama tiga bulan dalam masa berkabung, akhirnya Larasati memutuskan untuk merantau sambil membawa putranya yang masih berusia tiga tahun dengannya.
Ia berharap dengan pergi meninggalkan desa kelahirannya, semua kenangan buruk akan menghilang.
¤¤¤
Chapter 2
Larasati membuka kedua matanya dan mendapati dirinya terbaring di atas kasurnya. Begitu cahaya kuning menerangi matanya, ia teringat apa yang baru saja terjadi.
“Ini sudah seperti keajaiban.” Seorang perangkat desa bersuara.
“Bagimana ceritanya, Pak Andrian? Bagaimana ceritanya Bapak bisa kembali lagi?” Seorang dari pelabuhan ikut bersuara.
“Itu.. penantian dan usaha saya selama sepuluh tahun ini Pak.” Jawab Andrian sambil menundukkan kepalanya.
“Sudah sepuluh tahun lamanya. Siapa kira kamu masih hidup Andrian, bahkan istri dan anakmu sekarang-”
“Saya tidak ingat pernah punya Ayah.” Ramdani memotong kalimat Pak Mantri.
Suasana yang awalnya penuh haru tiba-tiba berubah jadi menegangkan.
“Ram.. Ayahmu ini-”
“Saya tau Pak Mantri. Saya tau ceritanya kalau Ayah saya meninggal akibat di terjang badai laut.” Ramdani bersuara sedikit keras, membuat semua orang terdiam menatapnya.
“Dan sekarang orang yang sudah mati itu hidup kembali. Setelah sekian lama.” Suara Ramdani sedikit bergetar.
Meski samar, Pak Mantri bisa melihat ada genangan air mata di mata Ramdani saat ini.
“Tapi jangan kira saya akan senang karena kamu kembali. Saya tidak ingat pernah punya Ayah. Selamanya pun saya tidak akan pernah ingat.” Ramdani menatap Ayahnya dengan tatapan kebencian.
“Ram!” Suara Larasati yang berteriak dari depan kamarnya. Dengan tertatih-tatih ia berjalan mendekat ke ruang tengah di mana semua orang sedang berkumpul.
“Ram.. kamu nggak boleh bicara seperti itu ke Ayahmu.” Larasati menatap putranya dengan tatapan kemarahan.
Bagi Ramdani itu adalah tatapan yang sangat jarang ia dapati dari Ibunya. Karena selama ini ia tidak pernah membuat Ibunya marah.
Ramdani yang tidak berani menatap mata Ibunya yang marah, memalingkan mukanya dan kembali menatap Ayahnya yang duduk tepat di hadapannya.
“Sekali saja kamu buat Ibuku menangis, sebaiknya kamu keluar dari rumah ini!” Setelah mengancam Ayahnya, Ramdani langsung keluar dari rumahnya. Pergi tanpa menghiraukan panggilan dari Ibunya.
¤¤¤
Beberapa minggu setelah kepulangan Ayah kandung Ramdani, para warga desa sering berkunjung dan menanyakan pertanyaan yang hampir sama.
Mulai dari bagaiman kabarmu, selama ini kamu tinggal di mana, bagaimana kejadian pada hari itu dan lain-lainnya.
Semua orang di penjuru desa sangat tertarik pada kisah heroik Andrian, kisah seorang lelaki yang berjuang untuk kembali lagi ke keluarganya.
Namun hal itu tidak menarik minat Ramdani sama sekali. Hanya dialah orang yang tidak tertarik dengan kisah kembali Ayahnya. Baginya itu tidak penting sama sekali.
“Ram, apa Ayahmu ada di dalam?” Tanya Pak Tarno. Seorang nelayan desa yang berpapasan dengan Ramdani di depan halaman rumahnya.
“Kurang tau Pak. Bapak masuk saja.” Ramdani menjawab dengan nada cuek.
Dari kejauhan Ramdani melihat Pak Mantri yang sedang melintas.
“Pak Mantri! Pak! Saya ikut!” Suara Ramdani berubah menjadi bersemangat begitu melihat Pak Mantri. Ia langsung berlari mengikuti langkah kaki Pak Mantri. Layaknya anak bebek yang mengikuti induknya. Meninggalkan Pak Tarno yang masih berdiri di halaman rumahnya.
“Bagaimana dengan Ayahmu?” Pak Mantri yang baru saja selesai mengobati salah seorang pasien, bertanya pada Ramdani yang masih sibuk menulis resep-resep obat.
“Ya begitu saja Pak.” Ramdani menjawab dengan nada datar.
“Kamu masih belum menerimanya?” Pak Mantri menatap Ramdani. Tatapan mata yang serius.
Hening. Ramdani tidak menjawab.
“Saya kenal Andrian sudah dari lama. Dan saya tau kalau dia orang yang baik.”
“Siapa orang baik? Suami Ibu saya?” Ramdani berhenti menulis obat. Balik menatap Pak Mantri.
“Kamu masih belum mau memanggilnya Ayah ya?” Pak Mantri menghela nafas panjang.
Sebelumnya, lebih tepatnya tiga hari setelah Ayah Ramdani tinggal serumah dengannya.
“Ram.. kalau sudah ganti baju tolong bantu Ibu ya.” Ibu Ramdani yang sedang sibuk memasak di dapur memanggilnya.
“Ya Bu?” Ramdani langsung menghampiri Ibunya selesai berganti baju.
“Tolong antarkan bekal ini ke Ayahmu. Tadi dia berangkat pagi-pagi sekali ke sawah sampai belum sempat sarapan. Mumpung kamu sudah pulang sekolah, tolong antarkan ya.” Larasati memberikan rantang makanan ke putranya.
“Memangnya Ibu harus membuatkan bekal ya. Suami Ibu pasti pulang kalau lapar, biarin aja.” Ramdani untuk pertama kalinya menggerutu di hadapan Ibunya.
“Ram..” Larasati menatap putranya. Yang di tatap memalingkan wajahnya.
“Ayah, Ram. Bukan Suami Ibu.” Larasati menegaskan.
“Aku akan panggil dia Ayah, kalau dia memang pantas dipanggil Ayah.”
“Dia sangat pantas untuk dipanggil Ayah, Ram!”
“Dia itu nggak tau apa-apa! Dia nggak tau apa-apa tentang kita. Juga tentang penderitaan Ibu.”
“Setelah akhirnya kita bisa hidup dengan benar, tiba-tiba dia datang. Tiba-tiba pergi, tiba-tiba datang. Memangnya bisa begitu?”
“Aku pulang.” Andrian datang dari pintu belakang. Ia bisa langsung melihat istri dan putranya yang sedang berseteru.
Suasana hening sejenak.
“Tuh, benarkan. Orang ini pasti pulang kalau lapar, buat apa Ibu khawatir.”
“Nih. Makan siangmu. Jangan buat Ibu repot dan ambil sendiri mulai besok.” Ramdani langsung menghempaskan rantang makanan ke dada Ayahnya dan bergegas keluar rumah.
Lagi-lagi ia pergi tanpa mau mendengarkan panggilan dari Ibunya. Pergi begitu saja tanpa berpamitan.
¤¤¤
Tiga bulan berlalu. Hari itu Andrian pulang terlambat. Langit sudah gelap dan waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Tidak hanya pulang terlambat, badanya juga basah kuyup dan telapak kakinya berdarah.
Larasati yang melihat suaminya bersimbah darah langsung berlari mengambil kain dan air hangat.
“Kamu kenapa sih Mas? Kenapa kamu kerja segiat ini?” Larasati mengobati luka suaminya sambil mengomel.
Andrian yang masih belum berani untuk kembali berlayar lagi memutuskan untuk bekerja serabutan di mana saja. Entah itu ikut bertani, berjualan di pasar atau mencari ikan dengan nelayan. Semuanya dia lakukan demi mencari nafkah.
“Hari ini Pak Tarno membuat jaring yang lumayan besar. Setelah jadi langsung di coba tapi ternyata ada kait yang belum terpasang kuat, jadi- aduh.” Andrian menjelaskan bagaimana luka di telapak kakinya itu ia dapat kepada istrinya, sampai akhirnya ia mengaduh kesakitan. Merasakan perih ketika lukanya di basuh air hangat.
“Iya, tapi kenapa? Kenapa kamu bekerja terlalu keras begini?”
“Aku nggak mau kamu susah. Kamu dan Ramdani.” Andrian menatap istrinya. Tatapan yang mengatakan tekad bajanya itu serius.
Hening.
“Setiap sore aku terus menunggumu pulang, di tepi laut.”
“Aku tidak mau percaya kalau kamu-” Suara Larasati menjadi parau.
“Selama tiga bulan aku seperti orang gila. Aku bahkan lupa kalau aku punya Ramdani.”
Larasati akhirnya mencurahkan seluruh isi hatinya yang selama ini ia pendam. Ia menceritakan bagaimana beratnya ia selama di perantauan. Bagaimana beratnya melupakan suaminya.
Selain dirinya, ia juga menceritakan beratnya kehidupan Ramdani, putranya. Semasa sekolah di kota anaknya itu tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika sepatu dan tas sekolahnya robek sekali pun.
“Meski pun diejek teman-temannya, dia tidak pernah marah padaku.” Tangis Larasati pun pecah. Melihat istrinya yang menangis tersedu-sedu, Andrian langsung memeluknya. Menenangkannya.
“Dia anak yang baik. Sangat baik. Kamu juga, kamu Ibu yang kuat.” Andrian menahan tangisnya. Saat ini ia harus jadi sosok terkuat untuk istrinya, untuk keluarganya.
“Kali ini aku yang akan berjuang. Untuk kamu, untuk Ramdani.”
Malam itu Andrian dan Larasati saling berpelukan, mengisi kekosongan yang selama ini terasa memilukan.
¤¤¤
Chapter 3
Kemudi kapal terus berputar tak menentu. Gelombang laut setinggi dua setengah meter menghempaskan air ke dalam geladak kapal tiada henti.
Petir terus menyambar dan hujan tak kunjung berhenti. Cuaca buruk yang tidak diperkirakan datang dengan membawa badai laut yang memporak-porandakan seisi kapal.
Semua terjadi begitu cepat sebelum semua awak kapal sempat membuat jalur penyelamatan. Begitu saja, semuanya tenggelam tanpa sisa.
“Selamat siang Pak.”
Terkejut, Andrian terbangun dari tidur siangnya. Ia sengaja beristirahat di depan teras rumahnya setelah selesai menanam padi. Ia tidak menyangka tidur di siang hari sambil selonjoran malah membuatnya memimpikan kejadian pada hari kecelakaan itu.
Setelah bangun dari mimpi buruknya, ia berusaha menyadari situasi dengan cepat meski nafasnya yang masih tersengal.
Ternyata yang menyapanya adalah dua anak lelaki yang merupakan teman sekolah Ramdani.
“Saya mau cari Ramdani Pak. Nama saya Tomo dan ini Totok Pak.” Tomo memperkenalkan dirinya dan temannya dengan sopan.
“Ohh yaudah masuk-masuk. Ramdaninya di dalam kok. Ram.. temenmu datang.” Andrian dengan ramah mempersilahkan dua bocah itu masuk.
“Tomo, Totok! Ayo langsung aja.” Ramdani tiba-tiba keluar dari rumahnya dan menarik kedua temannya. Bergegas keluar dari halaman rumah.
“Mau kemana?” Andrian bertanya namun Ramdani tidak menjawab.
“Mau main ke laut dulu Pak. Sekalian cari ikan.” Tomo menjawab menggantikan Ramdani.
“Permisi Pak.” Totok berpamitan sambil membungkukkan kepalanya sedikit. Ramdani sama sekali tidak bersuara. Ia langsung bergegas pergi tanpa sepatah kata pun pada Ayahnya.
“Nanti aku akan menegurnya.” Larasati bersuara. Ia melihat perlakuan Ramdani pada Ayahnya.
“Eh? Kenapa?” Andrian tertawa.
“Kamu itu Ayahnya. Dia harus lebih menghormatimu.” Larasati menyiapkan makan siang di halaman rumah. Ikut menemani suaminya.
“Tidak usah. Aku nggak papa. Sudahlah nanti dia juga terbiasa.”
“Tapi ini sudah enam bulan Mas.”
Hening.
Senyum Andrian tergantikan dengan helaan nafas panjangnya.
“Sekarang aku paham perasaan Ibu.” Andrian menatap nanar ke arah lauk pauk di depannya.
“Sepertinya ini hukuman untukku karena sudah membenci Ibuku.”
“Aku yang dulu berpikiran kalau Ibuku itu orang yang egois. Setelah bercerai dengan Ayah, dia pergi begitu saja. Meninggalkan aku.”
“Bertahun-tahun kemudian, dia kembali lagi sambil meminta maaf. Tentu, aku nggak mau memaafkannya. Aku bilang kalau aku membencinya.” Andrian meneguk segelas air. Berusaha menghalangi jatuhnya genangan air di matanya.
“Aku bahkan biasanya saja setelah tau dia meninggal karena sakit.”
“Tapi sekarang aku tau, kalau akulah yang egois. Ibuku berhak bahagia dengan siapapun.”
“Begitu juga dengan Ramdani. Sekarang aku hanya bisa bersyukur karena Ramdani tumbuh jadi anak yang ceria, tidak menyalahkan dirinya sendiri, tidak meyakiti orang lain, apalagi menyakiti kamu.”
“Aku nggak papa. Jadi jangan tegur dia.”
Andrian mengusap punggung tangan istrinya dengan lembut. Berusaha menenangkannya.
¤¤¤
Chapter 4
Setelah menyapa hampir seluruh orang di desanya, Ramdani melompat-lompat masuk ke dalam halaman rumahnya. Perasaanya sedang sangat bagus. Itu karena ia berhasil diterima di sebuah SMA terbaik di desanya.
Ramdani berencana untuk mengagetkan Ibunya, jadi ia masuk rumah tanpa bersuara.
Namun niatnya itu ia urungkan dalam sekejap ketika melihat Ibunya sedang asik memasak sambil bermesraan dengan Ayahnya.
Mereka terlihat asik di dunia mereka sendiri. Terutama Ibunya. Selama ini, ia sangat jarang melihat Ibunya bisa tersenyum seceria itu.
Setelah kedatangan Ayahnya, banyak hal yang berubah. Hal yang paling terlihat adalah Ibunya yang tidak lagi bekerja terlalu keras seperti sebelumnya. Ibunya juga jadi lebih ceria.
Hal-hal kecil lainnya, yang selama ini tidak dihiraukan oleh Ramdani adalah keadaan rumah. Semenjak Ayahnya datang, genteng rumahnya sudah jarang bocor, kran air tidak ada yang rusak, kipas angin yang mati kembali bisa di pakai dan banyak lagi.
Selama kurang lebih tiga tahun ini, ternyata kehidupannya sudah jauh lebih baik.
“Loh Ram, kamu sudah pulang?” Ibu Ramdani menegurnya.
“Bu, aku keterima di SMA Purna Wangsa.”
Hening.
“Purna Wangsa? SMA satu?” Purna Wangsa adalah SMA terbaik di desa itu. Hanya anak-anak cerdas yang dapat masuk sekolah itu.
Mendengar anaknya yang berhasil masuk SMA terbaik, Larasati langsung memeluk putranya. Menangis tersedu-sedu.
“Duh, jangan nangis dulu Bu. Acara kelulusannya masih bulan depan.”
“Iya. Ibu pasti datang.”
“Datanglah, berdua.” Ramdani melirik Ayahnya yang bediri di belakang Ibunya.
Hening. Mereka saling tatap-tatapan.
“Undangannya kan untuk orang tua. Datang saja berdua.”
“Ayah juga di undang?” Andrian menunjuk dirinya sendiri.
“Aku mau ganti baju.” Ali-alih menjawab, Ramdani menghindar dan bersembunyi di dalam kamarnya.
Larasati dan Andrian saling tatap, kemudian tersenyum bersama.
“Sepertinya dia memberiku kesempatan. Iya kan?” Andrian nyaris menangis. Larasati mengangguk sambil memeluk suaminya hangat.
Besoknya, Andrian menanyakan alasanya kenapa ia diundang ke acara perpisahkan sekolah putranya itu.
“Aku nggak mau Ibu sendirian di belakang. Aku akan lama di depan soalnya aku berprestasi.” Jawab Ramdani dengan nada sedikit sombong. Andrian hanya tertawa mendengar alasan putranya.
¤¤¤
Chapter 5
“Ramdani, duduk di sini.” Wali kelas Ramdani mempersilahkannya duduk di kursi kosong di sebelahnya.
Lima menit lalu Ramdani di minta untuk datang ke ruangan guru oleh Wali kelasnya.
“Bagaimana persiapan ujianmu? Sementar lagi kamu naik kelas dua belas.” Wali kelas Ramdani tersenyum ramah.
“La- Lancar Bu.” Meski Wali kelasnya sangat ramah entah kenapa Ramdani merasa gugup.
“Ramdani, saya boleh tau cita-cita atau rencana kamu setelah lulus SMA apa?” Ramdani terdiam mendengar pertanyaan Waki kelasnya.
“Em.. itu..” Sebenarnya Ramdani sudah mempunyai rencana. Yaitu terus bekerja dengan Pak Mantri namun, ia tidak bisa mengatakannya karena takut.
“Kalau kamu belum punya rencana, saya punya tawaran bagus buat kamu.” Wali kelas Ramdani memberinya sebuah dokumen.
Dokumen itu berisi formulir beasiswa kedokteran ke beberapa universitas ternama di Kota.
Selama bersekolah, Ramdani merupakan siswa yang berprestasi. Ia bahkan beberapa kali memenangkan lomba MIPA sampai kancah provinsi.
Di nilai sebagai anak yang cerdas dan teladan, sekolah Ramdani berusaha membantunya untuk mendapatkan beasiswa di universitas.
“Di pertimbangkan lagi ya Ramdani.” Wali kelasnya tersenyum hangat.
¤¤¤
Sepulang sekolah, di sebuah geledek kapal milik warga desa. Ramdani termenung seorang diri. Ia sedang memikirkan masa depannya.
Jika di pikir-pikir lagi, banyak hal yang berubah sejak dua tahun yang lalu.
Yang pertama. Ayah Ramdani sudah dua tahun ini tidak bekerja serabutan lagi. Dua tahun yang lalu ia mendapatkan kesempatan untuk bekerja sebagai pegawai administrasi di Kantor Desa.
Semenjak itu, kehidupan mereka banyak berubah menjadi jauh lebih baik. Tak jarang Ramdani melihat Ayahnya yang membelikan perhiasan atau baju baru untuk Ibunya.
Ramdani juga menyadari kalau kedua orangtuanya itu saling mencintai. Terutama Ayahnya.
Entah kenapa Ramdani merasa aman kalau Ibunya sedang bersama dengan Ayahnya. Seolah-olah Suami Ibunya itu benar-benar bisa menjadi perisai untuk keluarganya.
Rupanya selama ini, pria itu bisa diandalkan juga. Batin Ramdani bergumam.
Apa Ibu bakal baik-baik aja ya? Ramdani menatap langit biru yang terbentang luas di atasnya.
¤¤¤
Epilog
Andrian dari tadi sibuk melihat pantulan dirinya di cermin. Kedua tangannya sibuk memilih baju mana yang paling bagus ia kenakan.
Ramdani yang tidak sengaja melihatnya terdiam sejenak.
“Aduh, nggak ada baju yang lebih keren dari itu?”
“Jangan begitu. Ini baju terkeren yang Ayah punya. Bagus mana?” Andrian kini meminta saran putranya. Tanpa menjawab Ramdani pergi meninggalkan Ayahnya yang masih sibuk memilih baju.
“Nih. Pakai ini.” Ramdani kembali dan memberikan sebuah kemeja pada Ayahnya.
“Masak datang ke wisudaan dokter pakainya kaos sih. Pakai ini aja.” Ramdani menggerutu.
“Wah, kamu yang beliin nih?” Andrian bersemangat dan langsung mencoba kemeja barunya.
“Nggak tuh. Ibu yang beli.”
“Ramdani yang beli Mas. Belinya di Kota loh.”
“Ibu!!” Ramdani yang malu langsung bersembunyi di dalam kamarnya. Kedua orang tuanya tertawa.
Ramdani memutuskan untuk mengambil tawaran beasiswa dari Wali kelasnya. Ia belajar giat sampai memenuhi target nilai beasiswa itu dan akhirnya di terima.
Pada hari keberangkatannya, untuk pertama kalinya Ramdani memanggil suami Ibunya dengan sebutan Ayah. Di mulai dari sanalah hubungan mereka berdua membaik.
Lima tahun berlalu, Ramdani kembali pulang dengan membawa undangan kelulusan. Di kelulusannya ini, ia akan mengikrarkan Sumpah Dokter dan menyangdang gelar Doktor (dr) di dalam namanya.
“Ayah dan Ibu bangga sama kamu.” Larasati memeluk putranya.
“Selamat atas kelulusannya.” Andrian menepuk pundak putranya.
Ramdani meneteskan air matanya. Ia benar-benar merasa bahagia, seluruh perjuangannya membuahkan hasil. Harapan dan mimpinya tercapai.
“Terimakasih Ibu.. Terimakasih Ayah. Terimakasih sudah percaya dan terus mendukungku.” Ramdani memeluk kedua orang tuanya.
Pelukan itu terasa hangat. Kehangatan yang selama ini diinginkan masing-masing dari mereka.
Kehangatan yang terus ada meski matahari terbenam sekali pun..
TAMAT
¤¤¤