“Elzar sudah pernah pergi ke LPKA sebelumnya?” Pak Gilang bertanya sambil melirik melalui kaca mobil.
Aku mengalihkan pandangan dari jendela dan menjawab, “Belum, Pak. Tapi saya pernah lihat beberapa foto LPKA.” Yah, berkat Kak Afkar yang berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak demi diriku ini, aku—dan Kak Fayruz juga Kak Fayra—jadi mengetahui gambaran kasar dari tempat itu.
“Di sana banyak teman, lho! Mirip-mirip seperti sekolah berasrama,” cerita Pak. “Mungkin kamu juga bisa mendapatkan apa yang tidak sekolah ajarkan.”
Itu terdengar menarik, dan aku memang mencari hal itu. “Iya, Pak! Semoga saya betah di sana”
Suara tawa keras yang memenuhi mobil membuatku terlompat. Tiba-tiba saja Pak tertawa seperti itu, siapa yang tidak terkejut?
“Elzar, Elzar, baru kali ini ada yang tidak sabar pergi ke sana.”
Aku menarik senyum canggung. Itu terdengar seperti pujian, tetapi sepertinya juga bukan. Jadi, aku hanya tertawa kecil meski ketara sekali jika itu terdengar sangat dipaksakan. Sayangnya aku tidak tahu harus menjawab apa.
Kami sampai dalam waktu lima belas menit saja. Aku keluar dan melihat sekeliling pada tempat yang lapang itu. Benar-benar seperti sekolah, hanya saja ada pembatas menjulang sangat tinggi, dibangun seperti dinding yang kokoh dengan kawat melingkar di bagian atasnya. Aku bisa melihat dua menara yang masing-masing ada di pojok sana.
Aku mengerjap beberapa kali saat merasakan tatapan mata yang tertuju padaku. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat beberapa anak seusiaku dengan seragam olahraga—iya, seragam yang seperti seragam sekolah—sedang sibuk membersihkan taman. Aku meneguk saliva, lalu menundukkan pandangan.
“Elzar, ayo!”
Aku tersentak dan mendongak menatap Pak Gilang yang melangkah di depanku. “Iya, maaf, Pak!”
Aku berjalan mengikuti Pak Gilang dan Pak Har, tetapi mataku tidak bisa lepas dari sekitarku. Aku tidak peduli jika nanti aku tersandung, rasanya itu lebih baik daripada melewatkan kegiatan yang sedang terjadi di sini. Aku bisa melihat orang-orang yang menggunakan seragam sekolah, mulai dari SD, SMP, bahkan SMA.
“Pak, di sini ada sekolah?” Aku tidak bisa menahan diriku untuk bertanya.
“Tentu saja! Nanti kamu juga sekolah di sana. Di sini juga kamu boleh memilih kegiatan, ada bela diri, memasak, ternak lele, berkebun, menjahit, melukis, atau mau buat kaligrafi besi untuk dijual juga boleh. terserah kamu, deh!”
Aku menganga lebar saat mendengarnya. Langkah kami terhenti, lalu Pak menunjuk sebuah ruangan. “Rambutmu, kan pajang, nanti potong rambut di sini juga, ya?”
Aku menoleh pada sebuah ruangan yang ditunjuk oleh Pak Gilang. Di sana ada beberapa anak yang mencukur rambut anak lainnya. Aku memegang rambutku yang memang mulai memanjang.
“Oh, Andi itu pintar kalau potong rambut, lho. Nanti minta potong dia!”
“Eh, Pak, aku juga ahli, lho!”
Seseorang memprotes, Pak Gilang tertawa mendengarnya, lalu berjalan melewati ruangan itu. Aku berlari kecil untuk mengikutinya, meski mataku tidak lepas dari ruangan itu karena penasaran.
Setelah berjalan beberapa menit dengan aku yang tidak bisa fokus dengan langkahku—aku hampir saja kehilangan jejak Pak Gilang dan Pak Har karenanya. Hingga kami akhirnya sampai di sebuah ruangan besar. Aku bisa melihat lemari dan kasur yang berjajar. Jelas sekali jika ini adalah tempat untuk beristirahat.
Apa ini akan jadi kamarku?
“Hey, hey sini!” Pak Gilang memanggil anak-anak yang ada di kamar berisi lima orang itu. Mereka berkumpul di depanku. Aku bisa merasakan tangan pak Gilang yang menyentuh bahuku. Beliau menatapku dan berkata, “Ayo kenalkan dirimu.”
Oke, rasa gugup mulai merasuki diriku. Aku lupa jika aku harus bertemu dan menyapa mereka. Pertama, mari pasang senyum dan mencoba terlihat tulus.
“Aku Ghazi Dayyan Elzarrar, panggil Elzar saja. Umurku enam belas tahun, kelas satu SMA. Salam kenal semuanya”
***
Selama enam bulan penjara, hari-hari berlalu dengan menyenangkan meski ada waktu di mana aku merasa kesepian dan merindukan hari-hariku di rumah. Ayah dan Ibu selalu mengunjungiku di setiap waktu senggang mereka, sedangkan teman-temanku datang setiap Sabtu.
Banyak hal yang bisa kudapat dari LPKA, sangat banyak. Aku mengenal banyak orang dan cerita-cerita mereka, baik dari penghuni anak maupun pekerja yang ada di sini. Dan aku mengumpulkannya dalam satu buku khusus untuk cerita pengalaman mereka. Aku juga sering berbagi informasi pada Kak Fayruz, Kak Fayra, dan Kak Afkar. Tentu saja untuk bahan konten kami nantinya. Aku juga pernah mengajak mereka bertiga berkeliling LPKA khusus putra ini.
Kehidupan penjara tidak seburuk bayanganku. Aku benar-benar di didik di sini. Aku juga jadi lebih sering beribadah sekarang. Hobi bermain gameku berubah menjadi hobi membaca buku. Aku sering sekali meminta rekomendasi buku dari Kak Afkar dan meminta orang tuaku untuk membelikannya. Di sini ada perpustakaan, tetapi aku sudah hampir membaca buku-buku yang kusuka di sini.
Ah, aku juga berteman baik dengan Sofia. Dia seringkali datang bersama teman-temanku. Kak Fayra bercerita jika Sofia dan dirinya menjadi sangat akrab. Sofia sendiri juga langsung menjadi bagian dari geng kami untuk membantu orang-orang yang berusaha lepas dari candu.
Terkadang aku juga mendapatkan pelatihan dan seminar yang diadakan. Aku juga pernah pulang ke rumah selama sehari untuk berkunjung.
Salah satu kegiatan yang menyenangkan adalah konseling WBP atau Warga Binaan Pemasyarakatan di mana akan ada kelompok masyarakat yang datang (biasanya sekelompok mahasiswa) untuk mengetes kondisi mentalku. Tak sampai di situ, mereka juga membantu memberikan arahan dalam penyelesaian masalah yang biasa kami hadapi. Mereka bilang aku punya kondisi mental yang stabil dan tidak mengkhawatirkan. Konseling WBP jauh lebih menyenangkan daripada pelajaran BK yang kuterima di sekolah dulu.
Belum lagi kegiatan yang rekreasional yang sangat-sangat menyenangkan. Kami pergi ke berbagai tempat di luar LPKA. Yah, tidak jauh berbeda dengan studytour yang pernah kulakukan saat SMP kelas 3 dulu.
Mungkin pernyataan LPKA tidak seburuk yang kupikir hanya untuk diriku sendiri. Pasalnya ada saja kasus menggemparkan, salah satunya adalah beberapa anak yang kabur, tetapi mereka berhasil ditangkap dua hari setelahnya. Namun, ada juga beberapa anak yang sudah selesai menjalani masa tahanannya tetap kembali bersekolah di sekolah yang ada di LPKA.
Saat kutanya, mereka menjawab jika di sini memang menyenangkan, tetapi mereka tidak nyaman dengan tanggapan orang-orang yang berkata buruk pada mereka karena pernah menjalani tahanan di LPKA. Itu pasti sangat berat. Lidah manusia memang lebih tajam dari pisau.
Aku juga sempat berpikir untuk melanjutkan sekolah di sini saja. Namun aku mengurungkan niat. Bukannya tidak suka, tetapi aku ingin masuk ke sekolah yang lebih bagus lagi, karena aku ingin mencapai cita-citaku dengan masuk universitas yang terkenal, belajar banyak hal, dan menyelamatkan anak-anak yang terkena kasus pidana.
Aku tersentuh dengan mereka yang sudah membantuku, baik dari teman-teman, keluarga, maupun pejabat-pejabat yang sudah membimbingku dengan sabar. Aku ingin menjadi seperti mereka yang membantu tanpa pamrih demi masa depan orang lain, juga bangsa ini. Lagipula karakteristik setiap bangsa dapat dilihat dari sikap anak mudanya, kan?
"Elzar, ini hari terakhirmu, kan?"
Aku menoleh dan mengangguk. "Iya, aku sudah tidak sabar tidur di kasurku!"
Aku mengambil tasku dan mengedarkan pandangan pada kamar yang sudah kutempati selama tujuh bulan terakhir ini, memeriksa apakah ada barang yang tertinggal. Barang-barangku juga sudah dibawa pulang agar tidak menyusahkanku hari ini. Beberapa benda juga kuberikan pada orang lain, seperti baju dan buku yang kusumbangkan ke perpustakaan.
Aku melangkah dan menyapa orang-orang yang kulewati. Dadaku berdebar dan senyumku melebar saat melihat Ayah dan Ibu yang sudah menungguku. Tak hanya itu, ada Kak Fayruz dan Kak Fayra yang ikut bersama mereka. Aku memeluk Ibu dengan erat, lalu beralih pada Ayah, dan berjabatan dengan Kak Fayruz.
"Sebelum pulang makan-makan dulu, yuk! Karena bintangnya hari ini Elzar, jadi Elzar yang putuskan," ucap Ayah.
Mataku berbinar. "Aku mau ke Rumah Makan Cak Joko!" seruku bersemangat. Aku tidak sabar ingin memakan mi ayam spesial ceker buatan mereka.
"Kami juga boleh ikut, Om?" Kak Fayruz bertanya tanpa malu. Ia bahkan terlihat sangat bersemangat.
"Tentu saja boleh. Kalian kan satu mobil dengan kita," jawab Ibu. Kak Fayruz melompat kegirangan di sampingku.
Aku menoleh ke belakang, menatap LPKA yang sudah memberikan banyak pelajaran bagiku. Beberapa orang yang kukenal melambai ke arahku, dan aku membalas mereka. Mungkin aku akan kembali ke sini nanti, bukan sebagai terpidana, tetapi orang yang bisa membantu mereka.
***
Yap, inilah kisahku yang berusaha lepas dari candu. Berawal dari sebuah kelakuan bejat yang akhirnya menyadarkanku untuk segera bertobat. Jika kalian bertanya apakah aku menyesal menjadi pecandu? Tentu saja aku sangat menyesal, hingga candu ini membuatku berurusan dengan polisi. Dan itu juga membuat orang tuaku kecewa berat.
Aku bersyukur orang-orang tidak meninggalkanku. Ayah, Ibu, Kak Afkar, Kak Fayruz, dan Kak Fayra, mereka sangat berarti dalam hidupku. Jika kalian menemukan orang seperti mereka, jangan sampai melepaskannya. Mereka adalah orang yang langka dan harus dipertahankan.
Intinya, segera berhenti dari candumu, apa pun itu. Karena yang berlebihan tidak baik. Jangan sampai penyesalan datang terlebih dahulu dan mengambil apa yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Sayangi tubuhmu, sayangi jiwamu.
Jika kalian berpikir kalian sendirian. Maka kalian salah! Banyak orang di luar sana yang juga berjuang sendirian seperti kalian. Atau kalian bisa mengingat jika ada Tuhan yang selalu bersama dengan kalian, hamba-hambanya yang memohon ampunan dan sedang berusaha istikamah di jalan yang lurus—dan jalan lurus itu tidak mulus dan butuh perjuangan ekstra, aku tahu!
Semangat untuk kamu!
*** TAMAT ***