.
.
Diary 26 Kesatria yang Tidak Sendirian
Nofap hari ke-81
.
.
Aku menunduk dalam. Ini tidak seperti yang kubayangkan. Aku dipukul dua kali oleh keterkejutan. Siapa menyangka jika orang yang selama ini dekat denganku ternyata bisa berdiri sebagai seorang saksi. Aku bukannya merasa terkhianati, tetapi hanya tidak percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar.
Bagaimana bisa seorang yang tahu jika aku telah melakukan tindak kejahatan tetap berteman denganku? Aku ingat bagaimana Kak Afkar menyambutku dengan hangat, memberikan semangat dan nasihat yang selalu membangkitkanku.
Dia adalah teman yang memiliki telinga yang selalu terbuka dan bahu sebagai tempat bersandar. Dan sekarang aku yakin jika dia mempunyai hati yang besar. Mungkin ini sebabnya mengapa akhir-akhir Kak Afkar sering tidak bisa hadir bersama.
Persidangan berjalan kembali. Pak Hakim membacakan dakwaan lalu menanyakan apakah yang ia bacakan itu benar, dan gadis bernama Sofia itu mengiyakan. Aku juga mendengarkan kesaksian Kak Afkar. Dia berkata jika TKP tidak jauh dari kampusnya. Saat itu ia hendak pulang dari kampus setelah kuliah malam, lalu dari kejauhan melihatku.
Sebelumnya, mereka juga bertanya apakah mereka sudah mengenalku sebelumnya. Dan mereka menjawab tidak, dan Kak Afkar menambahkan jika dia mengenalku beberapa hari setelah kejadian itu.
"Baik. Bagaimana, apakah pihak korban dan terdakwa telah melakukan diversi?"
Penasihat hukum menjawab, "Belum, Pak. Kami belum mengupayakan diversi."
"Kalau begitu saya beri waktu diversi selama tiga hari. Sidang Perkara Anak ditutup."
Tak!
Setelah semua aura formal yang menyesakkan selesai dan tergantikan oleh suara obrolan basa-basi. Aku berdiri, berjalan cepat keluar dari ruangan sembari memegang perut dan menutup mulutku, mengabaikan seruan orang tuaku dan tatapan khawatir dari seluruh pasang mata yang ada di ruangan itu. Sial, kepalaku rasanya berputar, badai memporak-porandakan perutku dan membuatku ingin sekali mengeluarkan semua isinya.
Pak Har bilang jika aku hanya gugup saja karena ini sidang pertamaku. Katanya ini hal yang wajar. Beberapa orang di posisi yang sama denganku malah mengalami hal yang lebih buruk. Suara mereka bergetar dan otak mereka kosong, dan hal-hal lain yang untungnya tidak menimpaku.
Padahal suasana persidangan itu berbeda jauh dengan persidangan aslinya. Kudengar mereka sengaja membuat ruangan khusus untuk persidangan anak. Pegawai yang ada di dalamnya pun dilarang untuk memakai seragam agar tidak mengintimidasi anak dan memberikan kenyamanan. Rahasiaku akan terjamin, katanya. Oleh sebab itu tidak ada media yang merekam atau mengambil gambar, juga bertanya-tanya ini-itu demi mengulik informasi. Hal itu demi mengurangi tingkat kecemasan anak. Dan itu semua sudah tertulis dalam KUHAP mengenai Sistem Peradilan Anak.
Namun persidangan tetap persidangan. Rasa takut, cemas, gugup, dan semuanya bergabung menjadi satu, menciptakan badai yang luar biasa.
Iya, aku takut. Meski aku berkata jika aku siap dengan segala konsekuensi, meyakinkan orang-orang jika aku baik-baik saja, tetapi nyatanya jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa gemetaran.
Beruntungnya mereka mengizinkanku istirahat dan akan melakukan diversi besok. Ibu menangis melihat kondisiku dan meminta mereka untuk memulangkanku. Aku tidak menolak maupun mengiyakan. Aku ingin berada di sisi Ibu, tetapi aku tahu jika aku tidak boleh melakukan hal itu. Jadi aku tidak berbuat apa-apa dan hanya menatap Ibu dengan pandangan kosong.
Rasanya melelahkan. Baik otak dan tubuhku, semuanya seperti memberontak untuk istirahat. Rasanya aku ingin tidur dan melupakan semuanya. Dan aku memang melakukannya. Setelah naik mobil, aku langsung jatuh terlelap sepanjang perjalanan pulang.
***
“Elzar, ada yang berkunjung, tuh!”
Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel. Jam sedang menunjukkan pukul tiga sore. Aku mengernyit saat menyadarinya. Seingatku, aku tidak punya janji dengan Penasihat Hukum karena sedang mengistirahatkan tubuh setelah persidangan itu.
Aku menuruni tangga perlahan, sembari menerka-nerka siapa yang akan datang. Beruntungnya, badanku sudah mulai lebih baik dari sebelumnya.
“Halo!”
Aku berdiri kaku saat melihat seseorang sedang menungguku di meja di ruang kunjungan. Dia adalah seorang yang kemarin memperkenalkan diri sebagai saksi. Aku menghela dan tersenyum menyambutnya. Di ruang tamu, Kak Afkar menyapaku dengan tangannya yang sibuk membuka kotak berisi makanan khas Palembang, pempek yang terbuat dari ikan.
“Bagaimana kabarmu?”
Aku menarik senyum. “Y–yah, begitulah.” Aku ingin sekali berkata ‘aku baik-baik saja’, tetapi aku tidak bisa berbohong dengan tatapan mata Kak Afkar yang seperti telah menghancurkan semua dinding yang kubuat untuk bersembunyi. ”Kenapa tidak langsung naik saja, Kak?”
Kak Afkar tertawa. “Tidak apa-apa. Aku khawatir kamu sedang tidak enak badan. Saat sidang selesai tadi, kamu terlihat sakit. Aku jadi khawatir.”
“Ah, Kak Afkar kelihatan aku, ya?” Aku bertanya tak percaya. “Sekarang sudah tidak apa-apa, kok.”
"Bagus, deh. Ayo, makan banyak agar tidak sakit." Kak Afkar menyodorkan sendok plastik yang dibawanya.
Aku tertawa dan menerimanya dengan senang hati. Sudah kuduga, aku tidak bisa marah dengan orang di depanku ini. Aku menyuap sepotongan pempek kapal selam, menu pempek yang paling kusukai karena terlur di dalamnya.
"Maaf karena tidak pernah bercerita padamu." Kak Afkar memulai ceritanya. Sudah kuduga jika dia pasti akan datang dan menjelaskan semuanya tanpa diminta.
"Tidak apa-apa, Kak. Semua orang punya rahasianya sendiri. Aku juga baru bercerita saat kasusnya naik ke permukaan, kan? Kak Afkar juga tidak perlu menutup-nutupinya, jelaskan saja semuanya pada pada mereka."
“Akan kulakukan. Oh, Fayra dan Fayruz akan datang sebentar lagi.”
“Selamat sore!”
Seruan dari seseorang yang tiba-tiba muncul di depan pintu rumah membuatku tersentak. Itu adalah Kak Fayruz dengan segala keramaiannya, juga Kak Fayra yang diam sembari mengangkat tangan untuk menyapaku. Mereka masuk dan duduk tanpa dipersilakan. Biarlah, mereka sudah menganggap rumahku sebagai rumah mereka sendiri. Aku menelan ludahku saat melihat burger piza favorit kami yang mereka bawa dan dibuka di tengah meja.
Kak Fayruz yang duduk disebelahku tidak melepaskan rangkulannya. "Sehat, Zar? Ngomong-ngomong, tadi persidangan pertamamu, kan?"
Aku melirik canggung pada Kak Afkar yang tersenyum padaku. "Iya. Banyak hal yang mengejutkan dan besok akan mulai dilakukan diversi."
"Diversi?" Kak Fayruz membeo dengan alis yang mengernyit.
"Apa kau sudah lupa? Semacam musyawarah untuk mencapai kedamaian. Sebisa mungkin agar tersangka tidak sampai ditahan," jelas Kak Fayra.
"Ah, yang itu." Kak Fayruz mengangguk-angguk seolah-olah mengerti dan mengingat kembali apa yang sudah kami cari tahu sebelumnya.
Diversi memang ditujukan untuk tersangka di bawah umur dengan dakwaan penjara di bawah tujuh tahun, serta bukan tindak pidana berulang. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan, mendorong masyarakat agar lebih berpartisipasi, dan juga memberikan tanggung jawab kepada terdakwa di bawah umur.
Jadi, jika diversi ini berhasil, aku akan bebas sepenuhnya dari hukuman dan Ayah serta Ibu yang akan mendidikku sendiri. Bukan sepenuhnya juga, sih, tetap akan ada pengawasan setelahnya atau bisa juga dengan pelatihan kerja. Jika ditanya apa yang lebih kupilih, tentu saja aku berharap agar diversi ini berhasil, tetapi jika tidak, kuharap hukumanku tidak terlalu berat.
Namun ternyata, diversi yang kami lakukan esoknya tidak berjalan dengan baik seperti yang kuharapkan.
***
Nofap hari ke-84
"Persidangan anak dengan tersangka Anak Ghazi Dayyan Elzarrar dibuka dan ditutup untuk umum."
Tak!
Aku menarik napas panjang. Sidang kedua akhirnya dilaksanakan setelah diversi selama tiga hari. Pak Hakim berbincang singkat, menanyakan bagaimana kabarku dan basa-basi lainnya.
"Jadi bagaimana hasil diversinya?"
Penasihat hukum memperbaiki mik yang ada di depannya, lalu menjawab, "Diversi tidak memiliki jalan keluar, Pak."
Yap. Ayah dari korban yang saat itu juga hadir terlihat sekali jika dia sedang menahan amarahnya padaku. Aku bisa melihat dia ingin sekali menghajarku dari tatapan matanya. Jika saja saat itu aku sendirian dan tanpa ditemani oleh Pak Gilang serta Ayah dan Ibu, mungkin aku bisa berakhir di rumah sakit sekarang. Sedangkan ibu korban hanya diam saja dan pasrah dengan apa yang diinginkan oleh suaminya.
Ayah dan Ibu mengeluarkan semua tenaga mereka, memberikan janji-janji manis yang bisa digunakan untuk membujuk mereka agar memaafkan kesalahanku. Sayangnya tidak berhasil, dan aku juga tidak bisa memaksa.
"Baik, mari kita lanjutkan persidangannya."
***
Nofap hari ke-106
Akhirnya bacaan putusan hakim sudah dilakukan. Setelah hampir satu bulan menjalani persidangan, hari ini akhirnya datang juga. Puncak dari semua kegiatan akan berakhir setelah ini dan keputusan apakah aku akan dibebaskan atau tetap menjalani hukuman diketahui.
“Menimbang bahwa Anak mengakui dan menyesali perbuatannya. Mengadili bahwa Anak terbukti melakukan tindakan pemaksaan pencabulan. Dan menjatuhkan pidana kepada anak selama tujuh bulan masa penahanan dan masa pelatihan selama tiga bulan.”
Aku bisa mendengar suara tangisan Ibu yang tertahan, sudah sebulan ini beliau terus menangis. Aku selalu merasa berdosa saat melihat air mata yang turun. Aku hanya menggenggam tangannya, berusaha menenangkan beliau. Meski tahu jika aku dihukum jauh lebih ringan dari ancamannya, Ibu tetap saja menangis, berbeda sekali dengan aku yang merasa sangat lega saat mendengarnya.
“Sidang Peradilan Anak dinyatakan selesai dan ditutup.”
Tak-tak-tak!
Aku bangkit dan berbalik menatap Ayah dan Ibu, menarik otot bibirku untuk tersenyum. Namun, senyumku dengan cepat memudar bahkan sebelum benar-benar terbentuk. Pandanganku mengabur karena air mata bersamaan dengan tulang kaki yang tidak bisa menopang beban tubuhku.
Aku jatuh terduduk dengan air mata yang berderai. Bahuku bergetar dan aku berusaha untuk menutup wajahku. Aku tidak bisa menahan semuanya. Saat Ayah dan Ibu tiba-tiba memelukku dengan sangat-sangat erat, air mataku semakin deras. Aku bisa merasakan elusan kasar di punggung dan pundakku yang diberikan oleh Ayah, Ibu terus memelukku dan air matanya membasahi kausku.
Rasanya aku bisa bernapas lega sekarang. Aku mengambil napas panjang dan mengembuskanya. Akhirnya selesai. Selesai sudah semuanya. Tidak akan ada lagi persidangan yang menyesakkan dan insomnia karena terlalu banyak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Ayah, Ibu, terima kasih banyak atas segalanya.”
“Elzar, Elzar!” raung Ibu di dadaku.
Aku mengelus punggung Ibu, berusaha saling menenangkan diri. Aku bisa merasakan perasaan kasih sayang yang tercurahkan dari kehangatan yang mereka berikan. Selama tujuh bulan nanti, aku akan jarang menemui mereka, kehangatan ini tidak akan kurasakan lagi.
“Ayah, Ibu, terima kasih sudah membesarkan aku selama ini. Maaf untuk semua, maaf untuk semua kekecewaan yang sudah aku perbuat, aku tahu jika aku bukan akan yang baik dan penurut,” gumamku. Ibu yang mengeratkan pelukannya padaku. meski sesak dan membuatku sedikit kesulitan bernapas, aku diam saja.
“Ibu, Ibu selalu sayang, Elzar,” ucapnya dengan suara yang bergetar.
“Kita pasti akan sering datang menjengukmu.”
“Iya, aku akan menunggu.”
Pelukan kami akhirnya terlepas, tetapi aku tetap sesenggukan dan berusaha mengembalikan napasku. Aku berjalan keluar ruangan sidang dan bisa melihat tiga orang yang sudah menungguku. Ah, sahabat-sahabatku, maaf sudah membuat kalian menunggu dan khawatir.
Aku berlari dan merentangkan tangan dan Kak Fayruz juga melakukan hal yang sama. Kami berpelukan dan berbagi tangisan bersama. Kak Afkar yang juga telah keluar dari ruang teleconference memelukku dan Kak Fayruz. Kak Fayra tidak memelukku secara langsung, tetapi aku bisa melihatnya menangis di punggung Kak Fayruz.
“Maaf, maaf sudah merepotkan kalian. Lalu, terima kasih karena sudah selalu berada di sisiku. Kalian teman baikku.”
“Kami akan selalu bersama denganmu,” ucap Kak Fayruz yang sedang mengusap air matanya kasar.
“Baik-baik saja di sana, ya!” Kak Fayra memukul pundakku pelan. Salah satu tangannya menutup mulut dengan sapu tangannya yang basah.
Kak Afkar tidak berbicara apa pun, tetapi dia terus saja mengelus pundakku. Aku tersenyum bahagia. Senang sekali bisa memiliki mereka.
Tanpa disengaja, mataku bertemu dengan seorang gadis berambut yang berdiri tak jauh dariku. Ia terlihat seperti sedang memperhatikan kami sedari tadi. Meski tidak keren dengan sisa-sisa air mata yang membuat mata merah dan membengkak, aku mengukir senyum pada Sofia.
Gadis itu yang menatap kami berkaca-kaca balas tersenyum. Wajah yang sebelumnya menunjukkan raut khawatir itu berubah menjadi lega. Ia membungkuk, lalu berbalik dan berjalan menuju kakak yang sedang menunggunya.
Aku menarik napas panjang. Meski persidangan sudah usai, tetapi bukan berarti semuanya selesai sampai di situ. Perjalananku akan dimulai kembali setelah ini. Seperti kata Ayah, kesatria tidak boleh berhenti dan lepas dari tanggung jawab. Kesatria harus terus melangkah maju dan percaya jika dirinya tidak sendiri.