.
.
Adiksi © Fukuyama12
Diary 24 Sudah Dimulai
Nofap hari ke-75
.
.
Apa yang dikatakan oleh Ayah dan Ibu memang benar adanya. Seorang pria berbadan besar dengan pakaian kasual datang ke rumah—beberapa hari setelah mereka mengatakan kegagalan mereka, memberikan surat penyelidikan padaku. Aku yang sudah siap dengan semua hal buruk yang akan terjadi tetap saja tidak tahan melihat raut wajah sedih dari Ayah dan Ibu.
“Tapi tenang saja, Nak Elzar tidak akan ditahan sementara sesuai dengan KUHP mengenai hak perlindungan anak karena ancaman pidananya tidak sampai tujuh tahun. Nak Elzar juga akan tetap diawasi. Jadi tetap bersikap baik, ya,” jelas polisi yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Gilang.
“Iya, Pak.” Aku cukup lega saat mendengarnya. Kupikir aku akan langsung masuk ke dalam penjara saat surat itu diberikan, tetapi sepertinya tidak begitu.
“Nak Elzar juga akan tetap mendapatkan bimbingan, pembinaan, dan pendampingan selama proses ini dilaksanakan. Kalau kamu bersikap baik dan sopan, mungkin akan ada pengurangan masa tahanan, meski kalau bisa jangan sampai ditahan, sih.” Pak Gilang tertawa di akhir perkataannya.
Aku bersinar saat mendengarnya. Itu berita yang sangat baik, meski aku sudah berpikir akan ditahan, ternyata masih ada kesempatan lain. Kesempatan kedua tidak akan datang dua kali, jadi aku harus benar-benar menunjukkan sikap baik.
“Harap menemui surat panggilannya, ya. Nanti akan ada bimbingan dari kami. Elzar bisa datang dengan orang tua atau wali.”
Aku mengangguk paham. Tiga hari dari hari ini, aku harus datang dan menemui seseorang yang tertulis di surat itu. Tidak boleh terlambat dan harus bersikap baik, aku mengukir hal itu di otakku. Pokoknya tidak boleh lupa.
Pak Gilang berbincang sebentar dengan orang tuaku, lalu pamit pergi setelah aku menandatangani surat yang ditujukan kepadaku. Beliau pasti sangat sibuk melihatnya terburu-buru seperti itu.
“Elzar.”
Aku mengalihkan pandanganku dari jalan di mana Pak Gilang baru saja melewatinya. Dari tatapan Ayah dan Ibu, aku tahu jika mereka ingin mengajakku untuk berbicara. Kami kembali masuk dan duduk di sofa.
Pembahasan serius akan kembali dimulai, rasanya seperti sedang simulasi sidang. Mungkin saat aku diberi pertanyaan oleh polisi nanti aku jadi tidak gugup lagi karena sudah terbiasa. Diam-diam aku tersenyum miris saat menyadari kenyataan yang menimpaku.
"Kamu benar-benar sudah siap, kan?" Ayah menatapku khawatir.
Aku mengangguk, entah berapa kali beliau bertanya mengenai hal ini. Sepertinya setiap kali beliau ingat tentang apa yang akan terjadi padaku, Ayah akan bertanya untuk memastikan.
"Ayah tidak percaya padaku?"
"Bukan begitu."
"Tidak apa-apa. Aku punya orangtua dan teman-teman yang mendukungku. Aku juga tidak ingin lari seperti yang Ayah katakan. Ayah, Ibu, aku siap menerima semuanya. Meski aku nanti dipenjara, tidak masalah, kok. Lagipula ini juga kesalahanku." Aku tersenyum, berusaha melepaskan rantai kekhawatiran di mata mereka.
Ibu merentangkan tangannya dengan mata yang basah mendengarku. Aku kalah jika sudah begini. Aku bangkit dan berjalan mendekati Ibu, membalas pelukan yang diminta oleh beliau. Rasa hangat tak hanya terasa di badanku, tetapi juga hatiku. Pelukan ibu terasa sangat nyaman tak peduli seberapa sering aku mendapatkannya.
"Anggap saja aku sedang pergi ke pondok. Ayah dan Ibu juga bisa mengunjungiku, kan?"
Aku merasa tangan besar Ayah mengacak rambutku dan Ibu yang terus memelukku erat dan bahuku yang basah. Aku akan menikmati hal ini sedikit lagi, saat aku ditahan nanti, mungkin aku akan merindukan mereka melebihi apa yang aku pikirkan saat ini.
Ah, aku ingat. Aku juga harus memberi kabar ini pada teman-teman setiaku.
***
Nofap hari ke-79
Hari yang ditunggu—sebenarnya aku tidak menunggunya dan berharap hari ini tidak pernah datang—akhirnya datang juga. Aku memakai kemeja kotak-kotak yang sebelumnya tidak pernah kupakai, awalnya aku ingin memakai hoodie hitamku, tetapi Ibu mengernyit tajam dan menceramahiku saat melihatnya. Aku hampir saja melupakan baju ini karena terlalu sering memakai kaus, untungnya Ibu yang ingat tentang baju ini segera mencarinya dan menemukannya tertumpuk di bagian paling bawah dari bajuku.
Tring!
Aku menyalakan ponsel saat mendengar notifikasi pesan masuk. Di grup yang berisi empat orang itu, ada beberapa pesan masuk yang belum terbaca.
Kak Afkar: Semangat, Elzar! Kalau ada apa-apa langsung telepon, ya?
Kak Fayra: Jangan lupa terus beri kabar pada kami, ya! Semoga sukses!
Kak Fayruz: Wow, Kak Fayra main hp di tengah kelas!
Kak Fayra: Hey, kau juga, kan?
Kak Fayruz: (~???)~ 'Btw, semangat, Elzar! Nanti aku mampir bawa roti coklat khas kantinku, deh!'
Aku tertawa saat melihat percakapan singkat itu. Kudengar Kak Fayra dan Kak Fayruz memang berbeda kelas. Kuharap ponsel mereka tidak disita karena diam-diam mengetik pesan ini. Yah, bukannya aku tidak pernah melakukan hal itu.
Aku sangat berterima kasih pada mereka karena sedikit memberikan bocoran pertanyaan apa saja yang mungkin akan ditanyakan padaku nanti. Bahkan kak Afkar juga rela menanyakan pada teman di fakultas hukum.
Aku benar-benar tidak tahu harus membalas kebaikan mereka dengan cara apa. Jadi aku hanya memberikan berita-berita terbaru tentang kasus seperti yang mereka inginkan.
Setelah menjawab pesan singkat itu, aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang ada di luar sana, begitu bebas dan bising. Mungkin aku tidak akan merasakan suasana ini lagi selama beberapa saat nanti.
Aku beralih pada Ayah dan Ibu yang duduk di depan. Ibu terdengar sedang membaca surat-surat dalam al-qur'an dengan suara kecil. Ayah terlihat sangat fokus dengan kemudinya, tetapi aku tahu jika beliau bangun sebelum subuh dan berdoa untukku. Mereka sudah melakukan banyak hal, bahkan saat ini mereka juga mengambil cuti untuk menemaniku.
Jika mengingat-ingat betapa banyak orang yang peduli padaku, rasanya mataku memanas dan ingin menangis.
***
"Dengan Anak Ghazi Dayyan Elzarrar?"
"Iya, Pak." Aku mengangguk. "Saya biasa dipanggil Elzar."
Ruangan tempatku berada bersama pria di depanku ini terlihat seperti ruang tamu kecil dengan cat berwarna kuning cerah. Benar-benar seperti ruang tamu yang ada di rumah-rumah pada umumnya. Jika aku kehilangan ingatan dan terbangun di sini secara tiba-tiba, mungkin aku tidak akan menyadari jika ini bagian dari kantor polisi.
Vas bunga yang berada di tengah meja di depanku sepertinya adalah swakarya. Ayah dan Ibu duduk pada sofa yang tak jauh dari diriku. Pak Gilang bahkan tidak menggunakan pakaian dinas polisi berwarna abu-abu hitam yang biasa kulihat itu. Aku sedikit kebingungan, tetapi mencoba fokus dengan perbincangan yang akan segera dimulai.
"Lahir pada tanggal 6 Maret. Umur enam belas tahun …." Pak Gilang terus membacakan identitasku. Rasanya aku ingin menyanggah di bagian 'Pekerjaan: Pelajar', karena aku tidak bersekolah, tetapi aku tetap diam saja. Ingat. Bersikap baik dan sopan.
Pria itu menanyakan banyak hal, tetapi aku juga menjawabnya dengan lancar. Rasanya tidak jauh berbeda dengan ujian lisan di Pelajaran PPKn. Hanya saja sepertinya aku tidak bisa mengingat semua pertanyaannya saat keluar dari tempat ini nanti.
Pak Gilang tidak memiliki mata yang menatap tajam, beliau juga tidak terlihat sangat membenciku seperti yang kupikirkan semalam. Kupikir aku akan terus gemetar ketakutan dan menciut tak berdaya di depan kedua orang tuaku sembari mendengarkan teriakan-teriakan dan gebrakan meja yang memaksaku untuk menjawab mereka, atau alat aneh yang bisa mendeteksi kebohongan. Beruntungnya itu semua hanya pikiranku yang terlalu berlebihan.
Semuanya berjalan lancar, sangat lancar, membuatku sedikit bertanya-tanya kenapa bisa selancar ini.
Aku tidak salah bicara saat menjawab pertanyaan tadi, kan?