Loading...
Logo TinLit
Read Story - Adiksi
MENU
About Us  

.
.
.

Adiksi © Fukuyama12
Diary 19 Ketakutan yang Menghampiri
Nofap hari ke-68

.
.
.

Ruangan bercat putih itu terasa sangat dingin dan menusuk tulang. Aku yakin meski pendingin ruangan tidak dinyalakan, aku akan tetap merasa kedinginan. Namun, entah mengapa keringat terus menetes di kulitku. Aku duduk pada kursi yang ada di depan pembimbing BK dengan kegugupan yang memenuhi leherku.

Wanita berumur hampir lima puluh tahun itu menaikkan kacamatanya, matanya menyipit saat menatap wajahku, lalu beralih pada kertas berisi daftar absensi.

“Mas Ghazi, ya?” tanya Bu Laili.

Aku mengangguk kaku. Aku pastinys sudah terlihat seperti robot sekarang. “I–iya, Bu.”

“Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”
Suaranya yang tegas itu terdengar lebih menyeramkan daripada musik latar di film-film horor.

“Tidak tahu, Bu.”

Tatapan sinis yang diterima olehku sejak pagi tadi itu berpindah pada abu Laili yang hanya berjarak sekitar lima puluh senti di depanku. Aku jadi menciut dibuatnya, belum lagi pertanyaan yang memusingkan itu.

Helaan napas terdengar kasar. “Ibu dapat laporan dari salah satu murid di sini.” Tangannya yang keriput itu mengulurkan ponsel yang menyala dan menaruhnya di depanku. Lalu memutar sebuah rekaman.

Aku sudah merasa jika sesuatu yang buruk akan terjadi, terlebih saat melihat rekaman itu. Video yang ditampilkan sangat tidak jelas, bahkan tidak berfokus pada satu objek, lebih seperti rekaman buram. Hanya saja, suara yang keluar dari video itu sudah cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi.

‘Apa? Oh, kamu takut? Iya, aku di sini untuk menemanimu, kok! Bagaimana jika ikut dengan ke suatu tempat? Mau tidak ikut denganku? Nanti aku kasih bayaran, deh. Bagaimana? Kau mau berapa? Biru atau merah?’

Pupilku mengecil saat mendengarnya. Meski agak berubah, aku—dan pastinya wanita di depanku ini—tahu jika suara itu seperti milikku. Mungkin itu hanya kebetulan saja, tetapi kalimat yang mengalir masuk ke dalam telingaku berhasil memutar kembali kejadian yang terjadi beberapa bulan yang lalu, ingatan itu berputar dengan sangat jelas, lebih jelas dari video yang sedang kulihat.

‘Berhenti mengganggu! Jika kau melangkah lagi, akan ku laporkan ke polisi!’

Napasku tertahan. Aku kembali teringat dengan suara gadis yang kuganggu malam itu. Gambar video itu berganti, menunjukkan seorang pemuda yang menutup wajahnya saat sinar kamera menyenternya.

Postur tubuh itu, pakaian hitam dengan corak tribal berwarna biru neon, dan topi bisbol yang hanya dijual di toko tertentu saja. Semua itu seperti milikku yang saat ini sedang tersimpan rapi di dalam lemari. Itu jelas bukan kebetulan.
"Apa ini kamu?"

Kerongkonganku tercekat. Mulutku terbuka tetapi aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, seakan ada batu besar yang menghalangi. Aku menunduk dan menatap jari-jari yang terasa dingin dan bergetar. Aku ingin mengelak, ingin rasanya berkata 'bukan' dan 'itu pasti orang lain'. Namun, Aku tidak bisa, aku bahkan lupa rasanya untuk bernapas, yang keluar dari tubuhku hanya tetesan-tetesan keringat dari kulitnya.

Guru Pembimbing itu mengeluarkan secarik kertas bergambarkan sebuah foto yang diambil dengan kamera ponsel. Ada tanggal yang tertera di sana, dan itu terjadi dua hari yang lalu. Hanya saja, aku lebih fokus pada objek yang menjadi fokusnya, yaitu tas jingga bermotif mapel yang menggantung digantungan yang berada di belakang pintu. Sekali lagi, itu mirip dengan pintu kamarku.

Gambar di bawahnya adalah foto buku yang dikeluarkan dari tas yang bahkan belum pernah kubuka sekali pun. Di sana, tertulis sebuah nama, 'Sofia Andhira Ambarningsih', nama asing yang belum pernah kudengar dan kubaca sebelumnya.

"Dia bilang ini diambil di kamarmu. Apa benar kamu menyimpan tasnya?"

Aku diam membisu, seperti patung anak kecil yang ada di kolam sekolah. Tenggorokan dan bibirku sama-sama terasa kering. Apa benar aku bisa berbohong di saat-saat seperti ini? Tetapi bayangan senyuman Ibu yang akan berubah menjadi tangisan membuat hatiku terguncang. Bagaimana marahnya ayah saat mendengar aku yang hampir saja memperkosa seorang gadis. Belum lagi ketiga temanku—Kak Afkar, Kak Fayruz, dan Kak Fayra—yang sudah susah payah kudapatkan. Juga, orang-orang yang ada di sekitarku, apakah mereka akan menatapku lebih sinis dari yang aku dapatkan hari ini?
Di mana aku harus memasang muka nanti setelah keluar dari ruangan dingin ini?

“Itu … itu …” Suaraku bergetar, sama seperti tubuhku. Pandanganku jadi tidak bisa fokus pada satu arah saja. Kebimbangan yang muncul di hati ini terasa menyakitkan.

Seperti kesal karena aku tidak kunjung menjawab, Bu Laili kembali menunjukkan sebuah lembaran lain. Mataku melebar saat melihatnya. Di sana, terpampang foto seorang gadis berambut panjang yang dikucir satu. Di punggungnya, terdapat tas yang sama dengan yang ditunjukkan oleh Bu Laili, dan tas yang sama dengan yang ada di kamarku. Namun, yang membuatku kembali terkejut adalah wajah gadis itu. Benar. Tidak salah lagi. Bayangan wajah samar yang ada dalam ingatanku menjadi jelas.

Gadis ini ….

“Kalau kamu jujur semua akan jadi lebih mudah.”

Nasihat yang kudapatkan tidak membuatku menjadi lebih baik. Lagi pula semua tatapan itu pasti tidak akan hilang meski aku berkata jujur, kan? Namun aku tahu jika dengan berbohong semua tidak akan berubah menjadi lebih baik.
Aku tahu itu.

Sudah bertahun-tahun aku berbohong kepada kedua orang tuaku, tentang kegiatan yang biasa kulakukan di malam hari hingga mengacaukan hidupku. Aku juga sudah berkali-kali berbohong pada diriku sendiri. Setelah melakukan hal itu, aku pasti akan berkata pada diriku sendiri jika 'ini yang terakhir, aku tidak akan mengulanginya lagi', tetapi nyatanya aku terus melakukannya sampai insiden malam itu terjadi. Aku berbohong dan berkata ‘Tidak apa-apa, toh ini hal yang biasa bagi laki-laki’, padahal apa yang ia lakukan bukaan hal biasa, masturbasi setiap malam bukan hal yang normal dan di luar batas.

Dan semua kebohongan itu berujung pada penyesalan seumur hidup, apalagi jika berkaitan dengan hal seperti yang satu ini. Mungkin aku bisa gila jika harus menanggung beban setelah berbohong dan mengatakan jika bahwa yang ada di sana itu bukan dirinya.

“Ghazi?” Panggilan yang biasa kudengar dari orang asing itu membuatku mengangkat kepala. “Tidak apa-apa, coba cerita saja dulu.”

Kata-kata yang lembut itu tidak sama dengan wajah kaku yang menatapku. Bagaimana bisa aku bercerita di saat-saat seperti ini? Otak dan mulutku pun sudah tidak bisa diajak kerja sama.

“Itu .…” Aku menahan napas.

Tiba-tiba saja pandanganku mengabur, lalu aku merasakan tetesan air menetes dari sudut mata, mengalir melewati pipi—yang sudah mulai tidak berjerawat, dan jatuh di atas celana abu-abu yang sedang kupakai. Semakin lama semakin deras, seakan aku sudah tidak bisa menahan bendungan itu. Beban yang bahkan belum aku angkat itu sudah terasa sangat berat.

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Rasa sakit dari bibir yang kugigit hingga berdarah tidak terasa menyakitkan.

“Itu … benar, itu saya. Maaf, saya tidak bermaksud untuk melakukan itu.” Aku mengangkat wajah yang basah dengan air mata dan menatap mata yang da di depanku. “Tapi saya bersumpah tidak melakukan hal yang lebih buruk dari itu. Saya … saya berhenti di situ saja! Lalu—”

“Ghazi.”

Panggilan yang menusuk itu membuat seluruh kata-kata yang sudah tersimpan rapi dalam otakku runtuh seketika dan aku kembali lupa bagaimana caranya bernapas.

“Simpan cerita itu untuk nanti.”

Wanita itu menoleh pada guru pembimbing konseling yang lain, yang ikut mendengarkan pembicaraan tertutup kami. “Tolong panggil orang tua Ghazi ke sini.”

Semua bayangan yang aku pikirkan tadi kembali masuk ke dalam benakku. Hancur sudah masa depanku, senyuman orang tuaku, dan harga diriku. Aku tidak bisa menghentikan jemari keriput yang mulai mencari nomor telepon orang tuaku dalam daftar siswa sekolah ini. Aku terlalu sibuk memikirkan nasib selanjutnya.

Aku diam saja di tempat dudukku, seolah ad
a lem yang melekat di sana. Aku hanya bernapas dengan pelan dan diam-diam terus meneteskan air mata, biar saja aku dianggap cengeng, aku sudah tidak peduli lagi jika wajah ini tercoreng. Berharap agar bisa menghilang seperti abu pun adalah hal yang bodoh dan tidak mungkin terjadi. Jadi, aku memutuskan untuk diam dan mempersiapkan hati untuk apa yang akan terjadi ke depannya.

Sampai kedua orang tuaku datang, tidak ada perbincangan yang terjadi di antara kami. Bahkan kedua guru itu tidak berkeinginan untuk menghentikan tangisanku. Mereka bahkan tidak memberiku minum demi menghilangkan rasa dahaga di tenggorokanku.

Suara ketukan itu terdengar sangat menyeramkan. Aku menebak-nebak siapa yang akan memasuki ruangan ini. Dan benar saja, dua orang yang berbagi kasih sayang denganku ada di sana, berdiri dengan wajah khawatir, terutama setelah melihat tangisan anak satu-satunya.

Namun, wajah Ayah yang mengeras cukup untuk membuatku gemetar ketakutan. Langkah kakinya yang tegas dan suara sepatu yang berbenturan dengan lantai putih itu membuatku berdiri panik. Mataku melebar, lalu menutup dengan cepat bersamaan dengan tangan yang terangkat tinggi-tinggi.

"Ayah!"

Sayangnya, panggilan keras Ibu tidak cukup untuk menghentikan tangan yang mengayun cepat dan mendarat di pipiku.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kuliah atau Kerja
508      294     1     
Inspirational
Mana yang akan kamu pilih? Kuliah atau kerja? Aku di hadapkan pada dua pilihan itu di satu sisi orang tuaku ingin agar aku dapat melanjutkab sekolah ke jenjang yang lebih tinggi Tapi, Di sisi lainnya aku sadar dan tau bawa keadaan ekonomi kami yang tak menentu pastilah akan sulit untuk dapat membayar uang kuliah di setiap semesternya Lantas aku harus apa dalam hal ini?
Mikroba VS Makrofag
185      171     0     
Humor
Muka default setelan pabrik, otak kacau bak orak-arik, kelakuan abstrak nyerempet prik ... dilihat dari ujung sedotan atau belahan bumi mana pun, nasib Sherin tuh definisi burik! Hubungan antara Sherin dengan hidupnya bagaikan mikroba dengan makrofag. Iya! Sebagai patogen asing, Sherin selalu melarikan diri dari hidupnya sendiri. Kecelakaan yang dialaminya suatu hari malah membuka kesempatan S...
Sepi Tak Ingin Pergi
664      402     3     
Short Story
Dunia hanya satu. Namun, aku hidup di dua dunia. Katanya surga dan neraka ada di alam baka. Namun, aku merasakan keduanya. Orang bilang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan. Namun, bagiku sakit adalah tentang merelakan.
Kisah Kemarin
7357      1749     2     
Romance
Ini kisah tentang Alfred dan Zoe. Kemarin Alfred baru putus dengan pacarnya, kemarin juga Zoe tidak tertarik dengan yang namanya pacaran. Tidak butuh waktu lama untuk Alfred dan Zoe bersama. Sampai suatu waktu, karena impian, jarak membentang di antara keduanya. Di sana, ada lelaki yang lebih perhatian kepada Zoe. Di sini, ada perempuan yang selalu hadir untuk Alfred. Zoe berpikir, kemarin wak...
Nightmare
448      308     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
BINTANG, Cahayamu Akan Selalu Ada.
72      64     3     
Short Story
Seorang pelukis bernama senja yang terkurung dalam duka setelah kehilangan tunangannya, Bintang. Dia selalu mengabadikan sosok bintang kedalam bentuk lukisan. Hingga ebuah kotak kenangan misterius dan seorang sahabat lama muncul, membawa harapan sekaligus membuka lembaran baru yang tak terduga. Akankah Senja menemukan kembali cahayanya, dan siapakah sebenarnya yang menantinya di ujung kesedihan? ...
Bintang, Jatuh
3856      1551     0     
Romance
"Jangan ke mana mana gue capek kejar kejar lo," - Zayan "Zay, lo beneran nggak sadar kalau gue udah meninggal" - Bintang *** Zayan cowok yang nggak suka dengan cewek bodoh justru malah harus masuk ke kehidupan Bintang cewek yang tidak naik kelas karena segala kekonyolannya Bintang bahkan selalu mengatakan suka pada Zayan. Namun Zayan malah meminta Bintang untuk melupakan perasaan itu dan me...
Langit Tak Selalu Biru
87      74     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Anderpati Tresna
2675      1047     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
Cinta Aja Nggak Cukup!
5063      1660     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...