Diary 11:
Ini Bisa Membuatku Frustasi
(Nofap hari Ke-41)
.
Masa di mana seseorang kehilangan gairah hidup dan nafsunya, semua menghilang seperti kotoran di atas lantai yang terisap penyedot debu. Mungkin rasa semangat di awal akan tergantikan oleh rasa malas yang semakin lama semakin membesar, hingga mengganggu kegiatan sehari-hari. Kurang lebih itulah yang dinamakan dengan masa flatline.
Nafsu yang biasanya terasa menggebu-gebu lalu menghilang tiba-tiba itu membuat para pecandu bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengan dirinya. Lalu, mereka melakukan PMO untuk menguji dan kembali relapse, padahal seharusnya mereka hanya perlu menahan diri sampai masa flatline selesai dan semua akan kembali berjalan normal.
—itulah yang disimpulkan dari tulisan Kak Fayra.
“Jadi … sebenarnya apa penyebab dari masa ini?” Aku memiringkan kepala setelah membaca konten yang akan diunggah oleh Kak Fayra di akun sosial media kami.
“Otak kalian hanya sedang berusaha keluar dari kebosanan. Karena sudah lama tidak diberi makan dopamin dalam skala besar, mereka jadi menagih agar kalian memberikannya. Kalian tahu, kan? PMO itu bisa menghasilkan dopamin jauh lebih banyak dari aktivitas biasa, saat kalian berusaha berhenti, tidak ada lagi kegiatan yang bisa memberikan Dopamin sebanyak PMO. Istilah lainnya, otak kalian sedang jenuh,” jelas Kak Fayra.
“Apa ini normal?” Kak Fayra mengangguk atas pertanyaan Kak Fayruz, sementara pemuda itu semakin merasa bingung. “Bagaimana denganku? Kupikir aku tidak merasakan seperti yang dirasakan Elzar.”
Kak Fayra memijat keningnya. “Sudah kubilang, tidak semua orang mengalami fase yang sama, tapi fase ini juga termasuk normal.”
Kak Fayruz beralih padaku dan merangkul pundakku, lalu berbalik membelakangi Kak Fayra. Ia menatap was-was pada perempuan itu sebelum membisikkan sesuatu di telingaku, “Apa yang kamu rasakan selain bosan dan kehilangan?”
Aku melirik Kak Fayra yang duduk di belakang kami, terlihat tidak peduli dengan apa yang kami bicarakan. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini. “Aku belum pernah mimpi basah atau morning wood sampai sekarang.”
“Wow, itu terdengar menyeramkan,” komentar Kak Fayruz. Aku setuju, aku sendiri sempat khawatir dengan tubuhku dan sedikit iri dengan Kak Fayruz yang tidak ikut merasakan penderitaan ini. “Kau yakin itu normal?”
“Normal, kok!”
Kami menoleh dengan mata terbelalak saat menyadari suara perempuan yang tiba-tiba saja ada di dekat kami. Memang benar, Kak Fayra sudah duduk tepat di belakang kami, meninggalkan laptop birunya yang menyala.
“Hey! Ini pembicaraan antara pria!” Kak Fayruz berseru tak terima, menarikku mundur menjauh dari kakaknya. “Tunggu, kau bahkan tahu istilah yang seharusnya tidak kau ketahui!”
“Kan kalian sendiri yang mengajakku kemari!” Kak Fayra balas membentak. Meski terlihat seperti bertengkar, kupikir inilah cara akur mereka. “Lagipula aku sudah membaca banyak curahan mereka yang seperti kalian di grup. Mengenai istilah itu, mungkin memang sedikit memalukan, tetapi bukankah itu hal normal mengenai kondisi tubuh? Ini namanya ilmu pengetahuan!”
“I-iya juga, sih.” Kak Fayruz mengusap belakang lehernya dengan canggung, ada sedikit semburat merah di pipinya.
“Jadi, apa memang normal? Bukannya itu malah sebaliknya?” Membuang rasa malu, aku bertanya pada Kak Fayra yang terlihat mengetahui masalah candu dan PMO lebih banyak daripada Kak Fayruz. Ia sendiri juga khawatir terjadi sesuatu yang buruk karena terlalu banyak melakukan PMO dulu, sebelum ia memutuskan untuk berhenti.
“Ke-kenapa jadi bertanya kepadaku?” Kak Fayra menatap aneh pada dua orang di depannya. Ia kembali ke tempatnya, menyibukkan diri dengan laptop yang sudah ia abaikan selama beberapa menit. Ia menoleh padaku dan Kak Fayruz yang terlihat sibuk dengan pikiran kami masing-masing, terlihat jelas jika perasaan kecewa menyelimuti kami. “Coba tanya saja pada Kak Afkar saat dia datang nanti.”
“Apa ada yang mencariku?”
Kami bertiga menoleh serempak pada seorang pemuda yang selalu membawa tas hijaunya. Namun, kali ini yang menjadi perhatian kami adalah dua kotak kardus berukuran sedang dan minuman yang ada di tangannya.
“Selamat datang, Kak!” seruku yang dengan cepat mengambil alih makanan yang dibawa oleh Kak Afkar.
Nama pemesan yang tidak lain adalah diriku tertulis di sana. Aku memberikan matcha dingin pada Kak Afkar yang duduk dan meluruskan kakinya, memberikan red velvet dengan boba dan krim keju untuk Kak Fayra, lalu kopi dalgona untuk Kak Fayruz, sementara aku sendiri memesan minuman berwarna ungu dengan rasa krim yang kuat.
Aku meletakkan kardus cokelat itu di tengah dan membukanya. Bahkan sebelum aku benar-benar menyajikannya, aroma piza yang khas dengan campuran sosis panggang serta keju yang meleleh dan menggugah selera sudah tercium kuat.
Akhir-akhir ini aku sering memesan piza--entah untuk diriku sendiri atau saat berkumpul--terutama untuk Kak Fayruz yang sering datang bermain hingga lupa waktu seolah-olah ia tidak tahu jika rumahnya berada tepat di depan rumahku, atau mungkin karena rumahnya berada di seberang rumahku, jadi Fayruz jadi bisa pulang kapan saja.
“Jadi, apa yang sedang kalian bahas?” tanya Kak Afkar sembari mengocok minumannya, mencampur warna hijau pekat dari matcha dan warna putih dan krim keju.
“Tentang flatline!” jawab Kak Fayra cepat, tangannya menunjuk padaku dan Kak Fayruz yang duduk berdekatan. Ia sudah seperti anak kecil yang mengadukan perbuatan nakal teman kepada ibunya. “Bisa-bisanya mereka bertanya padaku yang tidak tahu apa-apa!”
“Oh, yang sedang dialami Elzar, kan?” tebak Kak Afkar. Aku mengangguk pelan. Aku sendiri sudah menduga jika Kak Afkar akan mengetahui apa yang sedang kualami.
“Iya, morning wood dan sebagainya. Lalu, sebenarnya aku harus bagaimana, sih, Kak? Kadang ada keinginan untuk menonton dan relapse, tapi juga tidak. Entahlah, aku juga tidak tahu.”
Aku mengacak-acak rambut frustasi saat mengingat apa yang terjadi pada diriku. Aku merebahkan badan di atas karpet empuk biru dan menutup muka dengan bantal kecil berwarna cokelat yang memang tersedia di sana.
“Flatline, ya?” gumam Kak Afkar, lalu meminum matcha-nya. Ia menatap langit-langit dan membuka kembali memorinya. “Sepertinya Fayruz sebaiknya menginap di sini deh untuk mengawasi Elzar, jaga-jaga jika suatu saat Elzar kambuh dan tidak bisa menahan diri. Sebenarnya flatline bisa dibilang masa otak mencari pengganti dari kesenangan atas candumu. Yah, pokoknya selamat karena kamu sudah mulai memasuki tahap baru. Kamu bisa mencari hal lain untuk mengganti dopaminnya, seperti mendengarkan musik, berolahraga, atau makan-makanan tertentu. Jika tiba-tiba kambuh kamu bisa mandi air dingin.”
“Tunggu sebentar. Dari tadi kita membahas tentang dopamin. Sebenarnya apa itu?” Aku membeo tidak paham. Sepertinya aku pernah mendengar kata itu sebelumnya.
"Kau anak IPS, ya?" tanya Kak Fayra tiba-tiba.
Aku mengangguk dan tertawa kecil. "Iya. Tapi yang kusimpulkan dopamin itu penting sekali."
“Tentu saja sangat penting. Dopamin itu hormon yang aktif saat sedang melakukan hal yang menyenangkan atau hal-hal yang membuatmu bersemangat, termasuk juga dengan nafsu. Salah satu akibat dari terlalu banyak PMO adalah hormon dopamin yang terproduksi secara berlebihan. Saat kamu berhenti dari candumu, dopamin tidak lagi membanjiri otak atau tidak ada kegiatan yang bisa memberikan dopamin sebanyak PMO.”
Punggungku menegak saat mulai memahami pembicaraan. Kak Afkar mengatakan hal yang serupa dengan Kak Fayra. “Apa itu salah satu penyebab mengapa aku akhir-akhir ini suka cari makanan enak?”
Kak Afkar mengangguk. “Bisa jadi seperti itu. Otakmu perlu mencari sesuatu yang menyenangkan. Mungkin memang susah, tapi paksa saja tidak masalah. Ajak Fayruz main bersama, menonton film, atau membantu Fayra untuk mengerjakan proyekmu.”
Aku meringis mendengar sindiran itu. Berkat terlalu menuruti rasa malas, aku jadi mengabaikan Kak Fayra yang sudah berjuang keras seorang diri. Aku sendiri juga tidak yakin jika Kak Fayruz akan membantu kakaknya.
“Jadi, ini memang normal, ya?” Aku mencoba meyakinkan kembali dan jawaban Kak Afkar pun tetap sama. “Kak Afkar apa pernah mengalaminya?”
“Iya, jadi jangan terlalu kepikiran seperti itu. Biasanya akan selesai dalam beberapa minggu. Untuk tetap berada di jalur nofap, aku sarankan banyak baca hal-hal yang bisa memotivasimu untuk terus bertahan dan sebenarnya punya banyak teman seperti ini pun juga akan membantu.”
“Ngomong-ngomong, mau membaca curhatan yang masuk di website baru kita?” Kak Fayra menunjukkan layar latopnya, memperlihatkan barisan-barisan kalimat dari seorang anonim yang mengirimkan sesuatu pada kami.
"Ngomong-ngomong, ada hal yang harus aku sampaikan pada kalian. Kita kedatangan pengunjung baru!" Kak Fayruz berseru girang. Akhirnya setelah melakukan promosi di sana-sini, menawarkannya ke teman-teman, dan yang lainnya, ada juga yang berani untuk bercerita pada kami. "Pertanyaannya masih berkaitan dengan apa yang sedang kita bahas."
---------
Halo, Min! Sebelumnya, terima kasih karena telah menyediakan wadah untuk para pecandu dan selalu mengingatkan kami tentang bahayanya mengakses film biru. Tapi sebenarnya apa saja asih dampak dari menonton film itu selain dari kerusakan otak bagian PFC?
Terima kasih.
--------
“Jadi, bagaimana pendapat kalian?” Kak Fayra melemparkan pertanyaan yang ada di sana, tidak sedikit pun berminat untuk menjawabnya.
Aku dan Kak Fayruz segera mengambil alih laptop Kak Fayra. Dia menyerahkannya dengan suka rela. Aku tahu ia diam-diam ikut penasaran dengan apa yang akan kami tulis, terbukti dari dia yang menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan kami.
“Mari kita jawab!”
.
.
.
Bersambung
Bagi kalian yang sedang dalam fase flatline ini, semangat berjuang ya!