Diary 9:
Wadah Bagi Pecandu
(Nofap Hari ke-23)
.
.
“Hey, aku punya ide! Apa kalian mau mendengarku?” Aku mengalihkan tatapan dari layar komputer pada teman-temanku saat sebuah ide terlintas dalam benakku.
Entah siapa yang mengusulkan, tetapi Kak Fayruz dan Kak Afkar sering sekali datang ke rumahku, meski tidak setiap hari, setidaknya seminggu dua sampai tiga kali, tetapi untuk kak Fayruz, hampir setiap hari dia kemari, setelah pulang sekolah dan berganti baju.
Aku sendiri juga tidak pernah menolak, setidaknya rumah yang biasanya sepi dan hanya diisi olehku dan Bu Imas terasa ramai. Lalu, setiap kali aku bercerita pada wanita empat puluh tahun itu, Bu Imas selalu terlihat senang dan memasak banyak makanan serta camilan.
“Ide apa itu?” sahut Kak Afkar yang sebelumnya sibuk dengan laptop dan kertas-kertas tugasnya.
Keraguan muncul dalam benakku saat ingin mengungkapkan ide. Aku menghela napas dan mencoba untuk menenangkan jantung yang berdegup kencang. “Itu, aku ada keinginan untuk membantu orang-orang yang sedang kecanduan seperti kita, atau menyadarkan para pecandu kalau yang mereka lakukan itu salah. Seperti membuat tempat curhatan bagi mereka dan tips-tips, atau yang lainnya.”
“Wow.” Satu kata keluar dari mulut Kak Fayruz, membuat wajahku memerah seketika dan merasa jika usulannya memalukan dan terlalu mengada-ada.
“Itu ide yang bagus, kok. Jadi apa yang harus dilakukan?” pujian yang menghangatkan keluar dari Kak Afkar yang peka, membuatku kembali bersemangat.
“Seperti membuat situs web atau akun sosial media, mungkin? Aku ingin tahu seberapa banyak orang yang berusaha sembuh, mungkin kita juga bisa saling berbagi pengalaman atau membantu orang yang sedang kesulitan. bukankah itu terdengar keren?” Mataku bersinar saat menceritakan ideku.
Bayangan mengenai akun-akun dengan banyak pengikut dan berhasil membuat orang lain termotivasi ada dalam benakku. Aku sendiri, semenjak melakukan pembersihan akun yang kuikuti dan mengubahnya menjadi akun-akun positif jadi ingin melakukan hal yang sama.
Kak Fayruz bangkit dari duduk dan menghadap sepenuhnya padaku, lalu berkata, “Tidak buruk untuk mengisi waktu luang. Aku juga ingin mendengar pengalaman orang-orang dan mempromosikan gerakan ini. Setidaknya ini bisa menjadi motivasiku dan self-reminder juga, sekaligus menyebarkan pendidikan seksual yang belum banyak diketahui, seperti yang dikatakan kak Afkar beberapa waktu lalu.”
“Apa cukup hanya dengan bertiga? Kalian tahu bagaimana cara membuat situs dan postingan seperti itu?” tanya Kak Afkar. Ku pikir dia bukannya ragu dengan apa yang diusulkan olehku, tetapi ia hanya ingin memperkuat ide tersebut.
“Tenang saja, aku tahu orang yang tepat!” Kak Fayruz mengambil ponsel, mengutak-atik, lalu meletakkan di telinganya. Saat suara panggilan terjawab dia berkata, “Halo, Kak! Bisa datang ke rumah depan? Langsung naik ke atas, ada kamar bertuliskan ‘Elzar’. Masuk saja ke sana. Kutunggu, ya!”
Sambungan terputus dengan cepat, secepat Kak Fayruz menghubungi seseorang yang ada di rumahnya. Aku mengernyit, semakin menyadari jika rumahku sudah menjadi milik bersama, terutama kamar yang bisa menjadi tempat pribadi menjadi sebuah tempat kumpul langganan. Sudahlah, lagipula aku tidak seharusnya mempermasalahkan hal itu. Aku hanya belum terbiasa saja.
“Siapa yang kau telepon?” Kak Afkar mengernyit.
Kak Fayruz tersenyum misterius. "Lihat saja nanti!"
Tak lama kemudian, sebuah ketukan terdengar dan membuat kami menoleh serempak. Hanya dalam waktu singkat, seseorang sudah berdiri di balik pintu itu.
Aku bangkit dari duduk, membuka pintu dan tertegun saat melihat sosok yang ada di sana. Itu bukan sosok laki-laki dewasa seumuran Kak Afkar—aku berpikir begitu karena Kak Fayruz memanggilnya dengan sebutan ‘kakak'—tetapi sosok mungil yang terlihat tidak terlalu tua dan hanya selisih beberapa bulan dengannya, memakai kaos bergambar aneh—entahlah, mungkin gabungan antara wortel dan ikan, Aku tidak mengerti— dan celana tidur bermotif siput yang panjangnya sampai ke mata kaki, di lehernya menggantung headphone yang terhubung dengan tabletnya.
Sosok itu menggeser tubuhnya, sedikit memiringkan kepala dan membuat rambut panjangnya yang diikat satu itu bergoyang, mata sipitnya mencari sosok yang ada di balik punggungku. “Yo, Fayruz! Apa sih tiba-tiba memanggilku?”
Aku dan Kak Afkar menoleh serempak pada Kak Fayruz, menatapnya dengan tatapan aneh dan tidak percaya. Kak Fayruz tersenyum dan tidak mempedulikan tatapan kami. Ia mengangkat tangannya, “Halo, Kak! Masuk saja, tidak perlu sungkan!”
“Hey!” Aku berseru tak terima. Aku menatap gadis yang masih menunggu di depan pintu yang terhalang oleh keberadaanku, lalu menangkup kedua pundaknya. Aku menarik napas untuk menenangkan perasaan gugupku. “Tunggu dulu, ya?” Aku berkata seperti itu, mendorong pelan gadis itu dan menutup pintu.
Aku menoleh dan berjalan cepat menuju Kak Fayruz. “Kak, apa kau baik-baik saja? Kau tidak salah, kan? Kita akan membahas hal itu, lho! Kau benar-benar mau mengundang perempuan ke sini?” Aku panik. Ia menoleh pada Kak Afkar yang diam di tempatnya. “Kak Afkar, katakan sesuatu, dong! Atau jangan-jangan Kak Afkar juga kenal dengannya?”
Kak Afkar berkedip beberapa kali, lalu menoleh pada pintu yang menyembunyikan sosok yang dipanggil oleh Kak Fayruz. “Sebenarnya memang memalukan, tapi di grup fapstrounout juga ada beberapa akun wanita asli meski mereka jarang keluar. Mungkin sebaiknya kita tawarkan saja dulu.”
Aku kembali menatap Kak Fayruz, tatapan tanpa berkedip itu seakan menyuruh Kak Fayruz untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Kak Afkar. Kak Fayruz menghela napas dan berusaha menyingkirkanku yang ada di hadapannya.
“Aku berani bertaruh kalau Kak Fayra pasti akan setuju. Tunggu di sini!” Kak Fayruz menunjuk lantai kamarku, lalu menghilang di balik pintu dan meninggalkan dua orang laki-laki di tengah keheningan. Kak Afkar yang sebelumnya sibuk dengan tugasnya kini menatap pintu dengan khawatir, sama seperti yang aku rasakan.
Pintu terbuka dengan lebar dan diikuti dengan suara gebrakan keras, membuat penghuni kamar itu tersentak. Wajah bahagia terpampang jelas dalam muka Kak Fayruz seakan semuanya sudah tertulis di sana. Jelas saja kabar baik akan keluar dari mulutnya.
“Kak Fayra setuju!”
“Serius?” Aku tak kalah meninggikan suara dan dengan cepat menutup mulutku saat melihat gadis yang dipanggil dengan nama Fayra itu berdiri di belakang Kak Fayruz. Wajah gadis itu tidak terlalu cantik, lebih mirip dengan sebutan imut karena pipinya yang bulat, sayangnya ia hanya menampilkan wajah datar.
“Ah, aku belum memperkenalkan Kak Fayra pada kalian, ya? Perkenalkan, ini kakak kembarku, Kak Fayra.” Kak Fayruz menarik lengan Kak Fayra, menyeretnya masuk, dan mendudukkannya di atas kasur bermotif bintang. Ia mengenalkan saudaranya seakan-akan sedang memamerkan barang pribadinya. “Kalian tidak perlu khawatir seperti itu. Sebenarnya Kak Fayra juga banyak membantuku untuk sembuh.”
Nada suara Kak Fayruz berubah. Matanya terlihat jika dia seakan sedang membawa beban yang berat. “Bahkan Kak Fayra yang membuatku masuk ke beberapa grup fapstronout, bahkan bisa membuatku kenal dengan Kak Afkar sebenarnya juga karena Kak Fayra. Jadi kupikir tidak masalah untuk mengajaknya.”
“Jadi begitu, tetapi kau tidak pernah berkata jika kau punya kakak kembar.” Kak Fayruz tertawa kecil saat mendengar ucapan Kak Afkar. “Kalau begitu tidak masalah, lagipula aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Meski mungkin nanti akan sedikit canggung.” Ia beralih pada Kak Fayra. “Salam kenal, aku Afkar, mahasiswa PG-PAUD semester tiga.”
Aku menatap Kak Afkar diam-diam. Aku baru mengetahui fakta jika Kak Afkar memilih jurusan kuliah pendidikan seperti itu. Meski mengejutkan, tetapi aku pikir itu sangat cocok dengan kepribadian Kak Afkar yang tenang dan rajin, meski sekali lagi itu tetap membuatku tidak percaya. Suasana berubah hening, aku menegakkan punggung saat merasakan tatapan mata yang mengarah ke arahku.
Aku menunduk cepat saat merasakan tatapan dari lawan jenis. Aku sangat buruk saat berhadapan dengan perempuan, terlebih saat kejadian yang lalu—kejadian buruk yang aku amat sesali. “Aku Elzar, kelas 1 SMA.”
“Kau tidak pandai berinteraksi pada perempuan, ya?”
Kalimat yang diucapkan oleh Kak Fayra itu membuatku mengangkat kepala, jika sebelumnya aku tidak bisa menatap mata itu, kini seluruh pandanganku beralih pada Kak Fayra. Kata-kata yang menohok itu terasa sama dengan yang diungkapkan oleh Kak Afkar saat pertama kali bertemu denganku, saat kami membahas tentang mengapa diriku tidak memiliki teman.
Senyum kaku kutampakkan, sekaku kertas yang ada di pegangan Kak Afkar yang sedang menahan tawa. Jelas saja jika Kak Afkar tahu tentang aku yang tidak bisa berinteraksi dengan perempuan, tetapi memilih untuk tidak mengatakannya.
“Fayruz bilang jika kalian ingin membuat sesuatu dengan media sosial atau sejenisnya mengenai candu kalian,” ucap Kak Fayra yang ikut duduk di atas karpet.
Kak Afkar menutup mulutnya, meski ia ingin membantah jika ia berhasil lepas dari candunya yang baru hampir setahun lebih. Sayangnya, Kak Afkar adalah tipe orang yang tidak suka berdebat. Ia terlihat memilih untuk menelan kata-katanya.
Kak Fayra melanjutkan, “Itu terdengar menarik, jadi aku ikut. Meski mungkin agak menyusahkan karena aku harus mengajari kalian sedikit-sedikit.”
“Terima kasih karena sudah mau bergabung." Aku mengatakan itu dengan ragu-ragu.
“Kalian jangan meremehkan Kak Fayra!” Kak Fayruz berseru keras.”Kalian seharusnya senang dengan keberadaan seorang profesional seperti dia!” Entah ini hanya perasaanku saja, tetapi Fayruz terlihat sangat membanggakan kakaknya.
“Mohon bantuannya, ya.” Seperti yang diharapkan dari Kak Afkar, pemuda itu tentu saja akan menerima orang lain yang ingin bergabung dengan mudah. Bahkan meski Kak Fayra tidak terlalu ahli pun ia pasti tetap akan menerimanya.
“Tenang saja! Sudah kubilang kalau kalian tidak perlu malu, kan? Aku sudah membaca banyak hal tentang PMO dan nofap, bahkan membaca semua curhatan yang ada di grup dan mencatatnya demi Fayruz! Ayo, kita sadarkan orang-orang berpikiran mesum dan menganggap wanita hanya sebagai pemuas nafsu saja!” Kak Fayra terlihat bersemangat, sekilas ia tampak mirip dengan Kak Fayruz.
Aku meneguk saliva perlahan. Menatap sosok Kak Fayra yang kukira sebagai anak pendiam ternyata adalah sosok yang energik dan bersahabat, hanya saja dia perempuan dan aku buruk dengan perempuan. Satu lagi orang yang akan sering mampir ke kamarku bertambah. Aku juga tidak menyangka dan tidak pernah membayangkan ada sosok perempuan lain selain ibuku dan Bu Imas yang akan masuk ke dalam ruangan pribadi ini.
Aku tersenyum. Sudahlah, lagi pula ini bukan hal yang buruk.