Hari itu di awal masa pandemi, aku bangun tepat sebelum jam makan siang. Ibuku sedang sibuk di dapur, terlihat bersemangat memasak sesuatu. Tercium seperti tumis kangkung dengan banyak saos tiram, kesukaanku. Melihatku berjalan setengah tidur menuju dispenser, dia berdecak sambil melontarkan kalimat “Selamat pagi, tuan puteri..” dengan nada sarkas. Aku diam saja sambil tersenyum kecut. Maksudku, orang normal mana yang bangun di bawah jam 8 pagi di masa pandemi begini?
Pandanganku sampai pada jendela dapur yang berhadapan lansung dengan pagar, sedikit melamunkan hal – hal random yang ada di kepala. Tiba- tiba datang adikku mengambil minyak goreng yang berada didekatku, lantas keluar keluar melalui pintu dapur. Penasaran, aku kemudian mengikutinya.
“Apa kau bikin?” tanyaku berdiri di daun pintu. Tampaknya dia sedang mengambil batok dan serabut kelapa dari dalam plastik.
“Mau bakar ikan” jawabnya pendek tanpa menoleh ke belakang.
“Kau? Bakar Ikan?” tanyaku sekali lagi, sekedar memastikan dan sedikit meremehkan. Dia hanya tertawa kecil dan memilih tidak menjawab apa – apa. Kali ini sangat sibuk mengatur batok dan sabut kelapa ke dalam tempat pembakaran ikan berbentuk segi empat.
Tidak puas, aku beralih kepada ibuku yang masih bergumul dengan kangkung, yang omong – omong makin harum saja. “Mau apa Dela bakar ikan, Bu?” Dela nama adikku yang ketiga. Dia baru saja menjadi seorang mahasiswa sesaat sebelum virus datang.
“Yaa.. buat dimakanlah. Apalagi?” Ibuku menjawab seolah – olah itu hal yang normal. Aku bergerinyit.
Jika Ikan Masak Kuning adalah makanan khas keluarga kami, maka Ikan Bakar adalah panganan spesial yang hanya ada di hari Minggu. Kita tidak membakar ikan di hari Sabtu ataupun hari biasa lainnya, hanya di hari Minggu. Sewaktu ayah masih tinggal bersama kami, dia adalah person in charge untuk urusan bakar – membakar ikan. Dia satu – satunya laki – laki di rumah kami, walaupun Dela dengan senang hati selalu menemaninya. Setelah dia tidak lagi tinggal disini, otomatis tradisi itu ikut menghilang. Itulah mengapa, aku sedikit terkejut dengan agenda tiba – tiba ini.
Bosan melihat, aku kemudian mendekat di samping Dela untuk membantu mengipasi. Kuberitahu, bagian membakar ikan diatas bara api lansung adalah bagian yang paling mudah. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana menjaga api agar bisa mengubah batok tersebut menjadi bara. Dela memulai dengan membakar secarik kertas lalu diletakkan di dalam serabut. Namun, entah karena angin terlalu kencang atau batok kelapa yang basah, sangat susah untuk membuatnya tetap menyala.
“Pake minyak tanah saja deh”usulku yang disambut delikan mata Dela.
“Bisa ji nyala ini. Sabar saja, jangan lansung di kipas..” jawabnya dengan mata yang tertuju hanya pada tempat pembakaran. Aku semakin tidak sabar, belum lagi mata yang sangat perih akibat terkenal asap. Apa serunya kegiatan ini sampai – sampai dia tidak pernah absen menemani ayah dulu?
Sayang sekali aku tidak sesabar Dela. Berulang kali aku meninggalkannya untuk masuk ke dalam rumah untuk sekedar mengganggu Ibuku ataupun menonton kartun. Sambil memakan tempe gorengan Ibu, aku kembali ke luar dan tiba – tiba saja para batok kelapa itu telah menjadi bara. Dengan semangat lantas kembali aku mengambil posisi disampingnya dan membantu mengipasi ikan yang dibakar. Kali ini, wanginya sangat sangat harum. Dan terlihat... sangat enak.
Ikan selesai dibakar 30 menit kemudian. Dela memintaku untuk membawanya masuk selagi dia memadamkan api bekas pembakaran. Kulihat diatas meja telah ada tumis kangkung, tempe goreng dan sambal dabu – dabu ( yang lagi - lagi) khas keluarga kami. Konon, hanya ada 4 orang yang tahu resep sambal dabu – dabu tersebut, yakni Nenek, Ayah, Ibu dan Aisyah adik keduaku. Jika dilihat dari banyak cabe yang digunakan, aku rasa sambal dabu – dabu ini dibikin oleh Adikku, Aisyah. Selalu lebih pedas dan sangat menggoda.
Saat itu mungkin bisa jadi makan siang paling nikmat di seluruh hidupku. Rasanya sedap tiada dua. Aku tidak tahu lagi, apa Ikan Bakar selalu terasa seenak ini atau hanya sugesti saja. Ikan yang lembut dan tebal, dengan rasa manis dan sedikit smoky. Lalu sambal dabu – dabu yang pedas dan gurih, ditambah kangkung dengan banyak saos tiram dan tempe krispi. Aku terkesima, lalu kehilangan kendali sampai tambah nasi tiga kali. Ikan Bakar ini enak sekali!
“Ih katanya tidak suka Ikan Bakar? Sampai tambah tiga kali?” Ibuku bertanya dengan nada yang menggoda. Disusul oleh komentar – komentar adikku yang pada intinya mengatakan ‘kamu – darimana – saja – ikan – bakar – memang – selalu – enak - begini.’
“Mungkin karena ikannya yang beda?” Aku berusaha membela diri. Sebelumnya, aku memang selalu merasa Ikan Bakar terasa sangat polos. Tapi hari ini semuanya berubah.
“Sama ji, sebelum – sebelumnya juga selalu bakar ikan jenis ini..” Aisyah angkat suara, diiringi gelak tawa ibu dan Dela. Aku kalah telak, tapi tidak mengapa. Karena Ikan Bakar hari ini sedap sekali.
Aku menghabiskan hari – hari selanjutnya menjadi penggemar no 1 Ikan Bakar. Apa selera manusia bisa berubah – ubah seperti ini? Entahlah, aku tidak terlalu mengerti. Setelah makan siang itu, aku mengira aku akan kembali menjadi manusia pemilih makanan yang menyebalkan. Namun, aku mendapati diriku berani untuk kembali mencoba beberapa makanan yang selalu kuhindari. Beberapa menu masih tidak cocok dengan seleraku, namun sebagian besar aku ternyata menyukainya dan tidak seburuk pikiranku selama ini. Kau bisa tebak, siapa orang yang paling senang akan perubahan selera makanku ini.
***
Pandemi memberikan pelajaran dan pengalaman berbeda tiap orang. Untukku, pandemi mengingatkanku untuk kembali melihat diri. Seperti Film Ferris Bueller’s Day Off katakan, life moves pretty fast. If you dont stop and look around once in a while, you could miss it. Aku rasa aku melewatkan banyak hal. Hidup memang terasa sangat cepat akhir – akhir ini, semua orang berlomba – lomba untuk meraup, mengambil, menggapai dan meraih. Terpaku hanya pada yang terlihat di depan, hanyut dalam kerumunan tanpa melihat sekeliling. Setidaknya pandemi memberiku waktu untuk menyadari banyak hal.
Ikan Bakar mungkin saja adalah hal yang kecil. Namun, ia adalah momentum. Sebuah pengingat untuk kembali mengingat diri, kembali memperhatikan hal – hal tidak dilihat oleh manusia – manusia hustle cultures. Hal – hal yang kita sukai dan tidak sukai, mengingat hobi yang telah lama terlupakan serta membiarkan diri untuk mencoba banyak hal – hal baru. Karena sementara kita sibuk mengejar dunia, ternyata ada banyak bagian dari diri yang ikut berubah. Setidaknya, tombol reset yang ditekan Tuhan memberikan kita waktu untuk berkenalan lagi dengan diri sendiri.
Kita telah sampai pada bagian akhir dari tulisan yang kukira awalnya hanya tentang Ikan Bakar. Ide ini muncul di suatu siang, dua tahun lebih setelah pandemi berlalu, dan aku sedang makan (lagi – lagi) Ikan Bakar. Aku tergelak kecil, Amina di umur 17 tahun tentu saja tidak akan menyangka bagaimana fanatiknya ia dengan menu ini kelak. Aku jadi ingin menulisnya, ingin mengenang hal sederhana itu. Mungkin sama seperti ibu, yang ingin mengenang ayah di hari ia menyuruh Adikku Dela untuk membakar ikan.
Kita semua rindu Ikan Bakar yang disantap bersama – sama pada setiap hari Minggu.
Makassar, 28 Mei 2022.