Ibuku memberikanku julukan ‘Tenggorokan Sombong’.
Aku lahir di keluarga Bugis sederhana dan besar di daerah bagian tengah dari Indonesia. Ayah dan Ibuku adalah orang Bugis sejati, dan bahasa Bugis adalah bahasa pertalian cinta mereka. Walaupun jika ditelisik sekali lagi, keluarga kami yang masih tinggal di kampung tersisa 5 persen saja dan sebagian besar telah lama bermukim di Makassar, mereka selalu bangga mengatakan kalau kita ini orang Bugis asli. Dan bukan orang Bugis namanya kalau tidak suka ikan.
Aku tidak terlalu suka Ikan dan itulah asal muasal mengapa Ibuku memberikanku julukan bugis yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘Tenggorokan Sombong’. Rupanya, aku adalah satu fenomena aneh di keluarga Bugis - Makassar. Baiklah, aku mungkin harus menjelaskannya sedikit disini. Aku bukannya tidak menyukai ikan. Maksudku, kita semua tahu bagaimana segar dan berbedanya ikan – ikan yang ada di timur Indonesia (aku sudah mencoba ikan di daerah Jawa, dan maaf maaf saja levelnya memang sangat jauh berbeda #NoFishShaming). Hanya saja aku sedikit pemilih dalam urusan ikan – ikan ini, itu tidak sama dengan tidak menyukai bukan?
Aku hanya makan ikan yang digoreng. Terutama yang digoreng tepung dengan sambal yang nikmat. Ikan masak kuah kuning adalah panganan ikan yang paling kuhindari. Rasanya paling tidak cocok dengan seleraku. Namun Ibuku hampir selalu memasak menu ini karena Ayah dan adik – adikku adalah penggemar beratnya. Aku sampai bisa menobatkan Ikan Masak Kuah Kuning adalah signature menu dari keluargaku. Jika ada perlombaan ‘memasak ikan kuah kuning paling sering’ maka sudah bisa kupastikan Ibuku adalah pemenangnya. Dia bahkan menambahkan,
“Ayahmu dulu juga tidak terlalu suka ikan masak. Nanti setelah menikah sama Ibu, anehnya dia lansung suka itu ikan hahaha..” Ujarnya dengan raut bangga. Cukup mengesankan, aku bisa bilang.
Masalahku tidak hanya pada ikan masak kuah kuning saja. Aku merasa Ikan Bakar sangat polos dan tidak mempunyai banyak rasa. Kami jarang menemukan ikan asap, karena orang – orang disini tidak mengawetkan ikan selain ikan asin. Pallu mara, pallu kaloa, serta semua panganan ikan khas Makassar tidak ada yang benar – benar membuatku jatuh cinta. Belum lagi mengingat betapa merepotkannya makan ikan. Memisahkan duri – durinya, duri yang tertelan.. ah, aku mungkin terdengar sangat arogan dan menyebalkan. Tapi percayalah, ini hanyalah tentang selera dan aku juga sangat ingin menyukai ikan seperti keluargaku.
Virus Corona kemudian menyerang dunia. Apa yang aku kira hanyalah fenomena sesaat, seperti kasus flu burung dan flu babi yang akan selesai setelah 3-4 bulan ternyata menghantam selama dua tahun lebih. Masa pandemi yang membuat kita sangat ringkih dan ketakutan. Banyak nama – nama orang terdekat yang direnggut, ditambah lagi ekonomi negara hancur, serta kegiatan sosial dibatasi maksimal. Tidak ada yang benar – benar tahu apa yang terjadi pada saat itu. Bagaimanapun, terakhir kali dunia menghadapi pandemi global berkepanjangan adalah pada saat perang dunia I baru saja usai.
Bumi yang ramai dan berisik seketika hening, seakan – akan Tuhan sedang menekan tombol reset. Roda perekonomian berhenti, kehidupan sosial serba dibatasi. Mall ditutup, konser dibubarkan, kantor menjadi kosong. Semua harus tinggal di rumah, kata Pak Presiden. Tidak pernah kusaksikan jalanan sesepi ini bahkan pada saat hari raya sekalipun. Semua orang harap – harap cemas, tidak hentinya mengucap doa. Aku rasa pada saat itu, semua orang memanjatkan dua jenis doa yang sama. Mendoakan agar pandemi cepat berlalu, serta mendoakan keluarga, sahabat dan kerabat yang pergi akibat ganasnya virus ini.
Bukan manusia jika mereka tidak bisa mencari penghiburan di masa serba sulit sekalipun. Ada hikmahnya juga, pandemi virus Corona menghantam dimana manusia telah mengenal teknologi. Mempunyai terlalu banyak waktu luang membuat kita semakin kreatif. Fenomena Tik-Tok, Dalgona Coffee sampai saling mengirim hampers sangat marak dan saling bermunculan. Semua orang mempunyai caranya sendiri untuk bertahan, untuk tidak menjadi gila. Dan dari situlah, aku melihat banyak hikmah, pelajaran dan pengalaman yang sangat berkesan untuk orang terisolasi di rumah sepanjang waktu.
***
Hari – hari di awal pandemi adalah saat – saat yang paling sulit, bagi semua orang dan khususnya bagi keluargaku. Ayahku sedang tidak di rumah untuk waktu yang sangat lama, sehingga perekonomian kami bertumpu pada usaha makanan yang terpaksa harus tutup sementara. Aku dan dua adik perempuanku sedang mengenyam bangku kuliah, aku telah hampir selesai dan sedang mengerjakan skripsi. Adik sepupuku bernama Sul yang ikut tinggal bersama kami sejak dia kecil, adalah yang paling termuda. Dia sebentar lagi akan mengenyam bangku SMP dan tentunya akan membutuhkan banyak biaya. Kondisi yang tidak terlalu ideal, tapi kata ibu “we must survive..”
Kembali lagi pada inti cerita ini, ibuku sangat sering mengeluhkan kebiasaanku memilih – milih makanan didepan keluarga besar. Ibu orang yang cerdas, tentu saja dengan ‘melaporkanku’ kepada para dewan Tante dan Om akan membuatku merasa terpojokkan. Namun sayang sekali, kepalaku sama kerasnya dengan Ibu. Walaupun aku akui, hidup bisa sangat mudah jika kita tidak mempunyai selera makan yang susah. Dan biar kuberi tahu, aku bukannya orang yang tidak bersyukur (walaupun kelihatannya di tulisan ini aku orang paling tidak bersyukur di seluruh dunia.) Ibu menarik kesimpulan aku hanya tidak suka makan makanan desa dan murah yang tentu saja aku bantah habis – habisan.
“Itu Amina tante, susahnya disuruh makan sayur sama ikan. Kalo sayur labu dia tidak mau makan, maunya bayam sama kangkung to’. Susahnya deh kalau selera orang kaya diikuti..” kata ibu sekali waktu di sebuah arisan keluarga.
“Ih Ibu! Banyak kok makanan – makanan sederhana yang kusuka” Jawabku membela diri. Tidak ingin memberikan banyak ruang untuk para om dan tante untuk mencemohku.
“Iya tapi rata – rata tidak ada yang sehat. Ikan aja harus ditepungin dulu kayak yang di resto resto.. hahaha..” jurus pamungkas ibu keluar sudah. Diiringi oleh gelak tawa tante dan omku. Aku sedikit kecele, lalu memutuskan untuk untuk memperhatikan adik sepupuku sedang bermain game boy yang tiba – tiba jauh lebih seru dari pembicaraan ini.