Read More >>"> HUMAN (HUMAN) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - HUMAN
MENU
About Us  

Hallo, Ken. Kamu apa kabar? Gak apa kalau gak selalu baik, kamu berhak untuk menjadi manusia seutuhnya. Aku gak akan bisa maksa kamu untuk selalu bahagia.

Ken, today aku kembali temenin ibu ke RS. Kali ini ibu enggak mau naik grabcar dan memilih naik angkot. Pagi tadi, tepat saat semua aktifitas berjalan normal setelah libur panjang, jalanan macet dimana mana. Aku kembali bertemu berbagai wajah baru serta watak supir angkot yang sangat aku benci.

Kamu tau Ken? Tadi pagi aku dibuat pusing dengan tingkah supir angkot ugal ugalan. Ibuku baru saja selesai penyembuhan pasca oprasi, sungguh aku mengutuk bapak bapak berkacamata itu Ken. Ingin ku tenggelamkan ke dalam palung mariana.

Jakarta tadi pagi benar benar menampilkan wajah aslinya. Wajah yang mungkin saja selama ini ia simpan dalam saku. Riuh sirine ambulance, knalpot bising, juga suara klakson yang kian bersahutan seolah menjadi pelengkap dalam memulai hari.

Jika mengingat kembali kebelakang, kurang lebih sudah hampir depalan bulan Ibu berobat di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta, setelah sebelumnya sudah bergonta ganti rujukan rumah sakit di kota ku, namun tidak ada perubahan.

Pelayanan disini sangat baik, Ken. Para perawat dan staff melayani kami dengan baik. Meskipun begitu aku juga sangat bersyukur karena jarak rumah ku tidak terlalu jauh jika dibandingkan kebanyakan orang lain yang berasal dari luar kota. Perjalanan dan perjuangan mereka untuk sebuah kesembuhan pasti jauh lebih sulit.

Ken Tahun lalu, di 2021 tepat tahun kedua setelah pandemi. Tahun itu bisa jadi tahun paling berat dalam hidupku. Ibu menjalani dua kali operasi di tahun yang sama. Oprasi pertama dilaksanakan awal masehi, tepatnya di bulan Februari. Disini aku merasa Deja vu, pasalnya pada bulan Februari empat tahun lalu Ibu juga dirawat pada tanggal yang sama karena sakit Demam Berdarah. Waktu itu aku baru menginjak kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan, dan bertepatan dengan hari pertama aku melaksanakan praktik kerja industri. Ken kamu tau seberapa kagetnya aku saat diperjalanan pulang Ayah baru memberitahuku? Aku kesal pada Ayah waktu itu, bisa bisanya aku tidak diberitahu dengan beralasan tidak ingin membuat ku khawatir?

Jiwaku runtuh, hatiku bergetar tidak karuan saat melihat ibu yang terbaring dengan selang infus di tangannya. Senyum hangatnya masih mampu menyambutku yang masih membeku diambang pintu. Mataku kian memanas hingga detik berikutnya aku tidak mampu lagi menahan air mata yang menggenangi pelupuk mata. Ken aku menangis sejadinya di pelukan ibu saat itu. Aku yang berusia enam belas tahun baru menyadari bahwa ibu hanya manusia biasa yang juga bisa sakit. Selama ini ibu gak pernah istirahat, selama itu juga mataku terlalu buta untuk dapat melihat keadaan ibu.

Sejak saat itu aku belajar untuk meringankan beban ibu, paling tidak aku menyetrika pakaian ku sendiri di hari libur, mencuci sepatuku sendiri, atau mengepel rumah. Aku tidak ingin melihat ibu seperti itu lagi.

Kembali ke topik awal, Ibu diharuskan oprasi setelah dua bulan tidak buang air besar dan malah mengeluarkan darah yang begitu banyak. Sakit yang di derita selama kurang lebih sepuluh tahun itu tampaknya semakin parah, hingga dokter memajukan jadwal oprasi karena khawatir ibu kehilangan banyak darah.

Ibu membutuhkan banyak donor darah ditengah gelombang pandemi dahsyat yang melanda ibu pertiwi saat itu. PMI kekurangan stok darah hingga mengharuskan Ibu untuk menggantinya dikemudian hari.

Malam itu, tepat sehari sebelum ibu oprasi, aku dan adiku menangis setelah mendapati kabar dari ayah bahwa ibu akan dioprasi besok. Ini memang bukan kali pertama ibu di oprasi, tapi tetap saja mendengar kata itu sungguh mampu membuat jantungku berdetak tidak karuan, isi kepala yang terus berteriak riuh membuat kedua mataku tidak mampu terpejam malam itu, Ken.

Singkat cerita oprasi berjalan lancar setelah kurang lebih empat jam ibu berada di ruang oprasi. Meski begitu tetap saja melihat ibu tergeletak tidak berdaya sungguh membuat hati ini berdenyut perih.

seiring berjalannya waktu ibu melewati masa penyembuhan dan dapat kembali menjalani pengobatan untuk tulang belakangnya. Ibu dirujuk untuk terapi di Rumah Sakit lain dengan alat yang lebih lengkap. Disini aku tidak terlalu sering menemani karena ibu lebih memilih diantar oleh Ayah sepulang kerja. Udara malam yang sangat Ibu benci, mau tidak mau harus menjadi teman untuknya sementara waktu.

Ibu menjalani berbagai macam terapi, tidak jarang mentalnya runtuh, semangat yang berkali ia bangun berkali kali juga harus rubuh. Tangisnya menjadi isak ku juga. Aku ingin menjadi telinga sekaligus kaki untuk ibu. Tidak penting waktu memaksaku untuk mematung dipangkuan ibu. Yang jelas aku harus tetap disisinya. Membantunya bediri menjalani hari yang rasanya terus saja memukulnya untuk berhenti.

Yang aku yakini, semesta boleh jahat namun tidak pada tuhan. Tuhan akan terus bermasaku, bukankah begitu, Ken? Sampai mati aku tidak akan bisa menebus semua yang telah Ibu berikan, ini hanyalah bentuk bakti ku padanya, Ken. Pada malaikat yang tuhan berikan untuk menjagaku di bumi, sekarang biarkan aku untuk menjaganya.

Oprasi ibu kali ini terbilang cukup berat untuk kami. Serangkaian pemeriksaan membuat tubuhku remuk, isi kepalaku ikut hancur. Ken, siang itu tepat dihari ulang tahun ku yang ke dua puluh dua. Aku bergegas menuju toilet rumah sakit. Rasanya sesak, Ken. Sekuat apapun aku berdiri semesta terus saja memukul habis diriku.

Biarlah toilet rumah sakit kala itu menjadi saksi bisu isak yang sengaja aku suarakan dalam tangis. Tembok pertahanan ku runtuh saat itu, Ken. Aku bingung sebenarnya dosa apa yang telah ku perbuat hingga tuhan menguji ku dengan begitu bertubi tubi, tidak sejenak saja membiarkan aku menarik nafas.

Hari itu, menjadi hari paling memuakan sepanjang sejarah hidupku. Hari dimana air mata bercucuran hebat sepanjang hari. Biarlah, bukankah aku memang selalu merayakannya dengan caraku sendiri setiap tahunnya? Melaknat semesta juga bagian dari merayakan, iyakan Ken?

Hingga pada akhirnya tiba hari dimana ibu akan di oprasi. Aku sudah terbangun sejak jam empat subuh. Menyiapkan sarapan, perbekalan, hingga pakaian yang  akan dibawa ke rumah sakit. Kali ini aku cukup tau apa yang harus aku lakukan, dan lagi aku sudah cukup pandai dalam mengatur emosiku saat ini. Ken, aku yakin kali inipun semua akan berjalan lancar. Entahlah, kata hatiku berkata seperti itu.

Oprasi ibu kali ini memakan waktu yang cukup lama, sejak mata hari tepat berada diatas kepala hingga menjelang senja. Tidak hentinya aku dan adiku melantunkan ayat suci Al Qur'an dan berdoa kepada tuhan. Berharap tuhan memberikan keselamatan untuk Ibu.

Kamu tau ken? sepanjang ibu oprasi aku tidak setetespun mengeluarkan air mata hingga pada saat pemindaan tubuh ibu dari kasur oprasi ke kasur kamar rawat yang dimana hanya ada dua perawat dan membutuhkan bantuan tambahan dari keluarga pasien, aku dan ayah ikut membantu. Ibu yang masih setengah sadar meringis kesakitan saat tubuhnya ditarik paksa untuk dipindahkan, aku dapat melihat selang darah masih menempel di tubuh bagian belakangnya dan mengeluarkan banyak sekali darah. Air mataku ikut menetes melihat Ibu yang sudah tidak berdaya terpaksa pasrah dalam keadaan tersebut.

Ken mungkin kamu bertanya tanya bagaimana aku mengatur waktu disamping merawat ibu selama ini? yaa, kamu benar. Aku memutuskan untuk sejenak melupakan mimpi dan cita-citaku. Kedua hal tersebut dapat aku kejar kapan saja, Ken. Tapi tidak untuk kesehatan Ibu. Itu yang harus aku prioritaskan saat ini.

Pandemi mengajarkan aku banyak arti kehidupan. Bagaimana menjadi manusia penurut tanpa harus menuntut banyak hal. Mengalahkan kerasnya ego sendiri demi kebaikan bersama. Pandemi memang membawa duka bagi banyak orang tidak terkecuali aku. Tapi Ken, tidak sedikit juga hikmah yang dapat diambil dari rasa sakit yang menggegoti lebih dari dua tahu ini.

Dimana kesuksesan dan kebahagiaan bukan diukur dari seberapa cepat kamu lulus dari perguruan tinggi, pekerjaan impian yang bisa kamu raih karena koneksi, ponsel apa yang kamu miliki sekarang. Bukan Ken, menjadi dewasa tidak melulu mengharuskan kita mengikuti pandangan orang lain. Terus ikut bersaing yang sebenarnya kita sendiri tidak tahu akan memperebutkan apa diujung perjalanan sana.

Tetap menjadi manusia yang optimis meski gagal berulang kali menjatuhkan semangatmu. Aku yakin kita mampu, buktinya kita sudah berada di hari ini saja menandakan bahwa kita sudah lebih kuat dari sebelumnya. Kamu dan aku, kita semua layak untuk bahagia. Menjadi manusia dengan porsinya masing masing, karena jatah senang dan sedih setiap manusia itu pasti berbeda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Sylrnda

    @Diyah_ananda13 makasihh banyakkk buat suport yang sangat berhargaa inii, have a nice day bestie :))

    Comment on chapter HUMAN
  • Diyah_ananda13

    Semangat bestie, kudukung sampe kmu sukses jd penulis, cerita nya bagus aku sukaa🤍😘

    Comment on chapter HUMAN
Similar Tags