Senin pagi.
Para pengais rezeki telah bergegas. Ada yang naik sepeda moto. Mobil. Angkotan umum. Klason sahut-menyahut menggema jalanan ibu kota. Saling serobot. Tak ingin mengalah.
Ais sengaja berangkat lebih pagi. Rencananya ia hanya setengah hari. Ingin mengurus visa dan lainnya.
Ia mampir kantin kantor membeli kopi.
“Bu Ais" Teriak pegawai marketing Roni. Si empu nama mengernyitkan dahi.
“Bu sebenarnya saya sudah lama menaruh hati dengan anda" tutur Roni sambil menyimpan bunga mawar di punggungnya.
Pemandangan itu di saksikan sang bos dan sekertarisnya. Kebetulan mereka ingin berangkat lebih awal dari biasanya
“Terus?” lempeng Ais.
“Maukah Bu Ais menjadi tulang rusuk saya? Gak usah buru-buru menjawabnya. Minimal sebelum berhenti" sambil mengulurkan bunganya.
“Ck. jadi Pak Ron doain saya cepet mati?” celetuk AIS.
“Hah? Bukan begitu” Roni kelabakan.
“Terus ini apa maksudnya ngasih bunga? Buat ditaburin di kuburan saya?”
Emak kantin cekikikan melihat adegan beda jenis di depannya. Tak hanya emak kantin sang bos dan sekertarisnya pun sudah terbahak-bahak. Mendengar jawaban ajaib si pegawai teladannya. Ia berlalu menuju ruangannya sambil geleng-geleng.
“Jadi ini bunga mawar sebagi lambang cinta bu" jelas Roni garuk-garuk kepala yang tak gatal.
“Lah kok bisa? Apa korelasinya? Lalu kalo kuburan di taburin bunga tanda cinta juga?”
Astaga. Gadis aneh ini. Jawab saja Iya atau tidak. Kasihan sekali wajah Roni. Pias. Untung keadaan kantor masih sepi. Ia hanya nunduk malu.
“Saya salah ngomong ya pak? Yah, maaf pak kan saya cuman nanya" Ais garuk-garuk kepala.
“Iya udah bu. Saya gak jadi. Maaf"
“Lah? Gak jadi minta tulang rusuk saya pak?”
Roni mengeleng.
“Bu Ais gak suka saya”
“Saya suka kok. Bapakkan pekerja keras"
“Tapi kenapa Bu Ais bilang begitu?”
“Begini deh pak. Tadi bapak bilang bunga ini sebagai tanda cinta?”
Roni mengangguk.
“Nah. Kalo tanda cinta. Kenapa gak Aset berupa rumah, mobil. Uang. Saham. Alqura dan lainnya. Bukankah bunga cepet layu besok ato lusa? Kan sayang uangnya"
Dangkal. Pikiranya kebanyakan berkutat dengan nominal. Entah hidup di belahan dunia mana orang aneh ini.
Pak Roni hanya geleng-geleng meminta maaf dan berlalu. Pun bunganya di bawa kembali.
Ais mengeleng tak mengerti.
“Emang aku salah yak?” gumamnya garuk-garuk kepala.
Di ruang Jafis
“Kira-kira diterima gak Jo?” Jafis penasaran
‘kenapa gak liat sampe selesai kalo penasaran’ batin Joni.
“Gak mungkin di terima kalo gak dijelasin lebih detail" yakin Joni.
“Hmm aku juga gitu. Otaknya beda dari yang lain. Wajar sih 21 tahun dah lulus sarjana. 22 tahun Lulus magister” puji Jafis.
Joni mengernyitkan dahi mendengar ucapan Jafis. Ia menimbang apakah suka atau kagum.
Joni pamit ke ruangannya. Kerjaannya sudah menumpuk. Ia mengendorkan dasi. Namun, pikirannya masih berputar di lobby dekat kantin. Saat Ais mengeluarkan pertanyaan aneh.
Mungkin jika gadis lain. Akan tersenyum bahagia saat lawan jenis tertarik padanya. Ais si gadis aneh. Justru mengernyit. Menganalisa arti sebuah bunga. Menyangkal jika tak masuk ke logikanya.
“Selama ini dia hidup dimana sih? Dasar gadis aneh” guman Joni sambil mengulum senyum. Muncul gelenjar aneh di dadanya saat memikirkan Ais si gadis aneh.
***
Jam makan siang. Kabar pegawai bagian marketing menyatakan cinta tersebar. Siapa lagi dalangnya kalau bukan emak kantin tercinta.
Bisik-bisik ria saat Roni ke kantin. Saling sikut. Ada yang ingin bertanya. Namun niat mereka diurungkan takut tersinggung.
“Mak. Pesanan seperti biasa" lesu Roni.
“Siap bos" Emak kantin semangat.
“Mak. Makanan pak Roni saya yang bayar” Ais menyembulkan kepala di samping Roni.
Bagaimana perasaan kalian saat orang yang di sukai menampakkan wajahnya di dekat anda. Jantungan. Tremor. Pingsan. Koma seharian?
“E..enggak usah bu" gugup Roni.
“Gak pa-pa pak Ron saya memang baik hati suka berbagi" cengir Ais.
“Terima kasih bu.
Ais mangut-mangut.
“Untuk yang tadi pagi. Anggap saja saya gak pernah bilang ya bu" lirih Roni.
“Tenang pak Ron saya amnesia. Duluan ya pak" pungkas Ais sambil membenarkan tas ransel yang bertengger di pundaknya.
“Mau kemana dia? Desis Roni.
Ais melangkahkan kakinya dengan ria. Seolah tak ada beban di pundaknya. Sejauh ini rencananya mengalir.
Ia menekan ponselnya. Pesan ojol. Nanti pulangnya naik busway. Supaya bisa muter-muter.
“Mau kemana?”
“Oh. Siang pak Jafis. Saya tadi sudah izin ke Bu Mir”
“Iya mau ke mana?”
“Ke kantor imigran pak. Maaf duluan pak. Ojol saya sudah datang"
Jafis mengernyitkan dahi mendengar tempat tujuan Ais.
“Buat paspor? Memperpanjang paspor?ck. Entahlah. Itu bukan urusanku"
Ia menoleh saat Joni menekan klason. Lalu ia masuk ke mobil. Pikiranyan masih tertuju ke Ais. Hatinya semakin gelisah. Semakin ia ingin mengabaikan. Semakin tinggi rasa penasaran di hati. Hingga membuatnya gelisah.
“Jo. Cari tahu informasi tentang Aisy Malaika lebih dalam. Latar belakangnya dan setelah berhenti kerja mau pergi kemana" Jafis memberi titah.
Deg
Untuk pertama kalinya seorang Jafis Leonando yang di eluh-eluhkan kaum hawa merasa penasaran dengan pegawainya yang ingin berhenti.
Joni langsung lesu. Saingan berat. Hatinya nyeri. Ia baru menyadari akan arti dari rasa aneh yang menjalar dihati saat bertemu Ais. Ia punya niat ingin menyatakan saat Ais benar-benar sudah berhenti. Namun, niat itu ia urungkan.
“Terima kasih Aisy Malaika. Lewat obrolan tak penting saat kau kesal dengan bos. Diskusi terkait pekerjaan. Tanpa permisi rasa itu bersemayam dihati. Apakah kau juga merasakan hal yang sama? Ku pikir kau tidak. Baiklah akan kusimpal rasa ini dalam sanubari. Memang terkadang cinta tak harus memiliki" Batin Joni