Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bulan dan Bintang
MENU
About Us  

            “Cari siapa ya, Mas?” tanyaku sambil melihat laki-laki yang berdiri didepanku dengan canggung. Laki-laki itu seumuran denganku, tinggi, bertubuh sedang, dan berkulit putih.

            “Ini benar rumah Ibu Nia?” Laki-laki itu menatap mataku. Ah, warna matanya sama dengan warna mataku. Keabu-abuan. Dalam sekejap saja, mata itu sudah menghipnotisku. “Mbak? Ini rumah Bu Nia?” tanyanya, lagi sambil mengibaskan tangannya didepan wajahku.

            Aku tersentak. “Oh Iya benar. Saya panggilkan dulu ya,” kataku seraya membuka pintu dan memanggil Mama. “Mama, ada yang nyari tuh.”

            “Siapa?”

            Aku mengangkat bahu sambil meletakkan tasku di sofa.

            Namaku Adinda Bulan. Nama yang unik, menurutku. Aku tidak tau kenapa Mama memberikan nama itu padaku karena setiap kali aku bertanya, Mama hanya memasang wajah sendu yang kusimpulkan sebagai penolakan. Mungkinkah itu nama yang diberikan Papa?

            Sejak aku lahir hingga sudah beranjak dewasa seperti sekarang, Mama tidak pernah ingin membahas tentang Papa. Setiap kali aku menanyakannya, Mama selalu marah dan mendiamkanku hingga akhirnya aku lelah bertanya. Toh, tanpa Papa kami tetap bahagia.

            Aku masuk kekamar sambil mengingat lagi wajah laki-laki itu. Cukup tampan, gumamku. Sepertinya aku sudah gila. Baru saja bertemu aku sudah terpesona dibuatnya. Namun, hal yang paling menarik adalah matanya. Jarang sekali orang memiliki mata sepertiku. Sepertinya mata ini menurun dari Papa karena Mama memiliki mata kecoklatan.

            Beberapa saat kemudian terdengan ketukan pintu. “Bulan? Tidur ya?” Mama berbisik.       “Nggak, Ma. Masuk aja. Gak Bulan kunci kok,” balasku.

            Mama membuka pintu dan duduk di kasurku. “Bulan, Laki-laki tadi anak kenalan Mama. Dia ingin tinggal di sini. Orangtuanya sudah meninggal dan hanya Mama kerabatnya. Tapi kalo kamu keberatan, biar Mama bantu dia cari kos-kosan saja,” tanya Mama.

            “Bulan sih terserah Mama. Kalo Mama setuju Bulan juga oke-oke aja kok asal dianya sopan. Ngomong-ngomong umurnya berapa, Ma?”

            “Seumuran kamu kok. Dia sekolah di SMAN21. Sebrang sekolah kamu.”

            “Kebetulan banget ya. Jangan-jangan memang sudah takdir, Ma,” aku tertawa tanpa menyadari bahwa Mama terlihat murung.

            “Iya, Nak. Yaudah Mama bilang sama dia dulu ya kalo kamu udah setuju. Nanti kamu bisa kenalan sama dia setelah dia pindahan.” Aku mengangguk.

            Jadilah seminggu ini laki-laki yang ternyata kuketahui bernama Ananda Bintang itu sibuk membereskan barang-barang dari rumah lamanya ke rumahku. Untunglah barangnya tidak banyak sehingga mempercepat proses pemindahannya.

            “Bulan, kamu sekolah di sebrang sekolahku ya?” Aku mengangguk. “Mulai sekarang kamu aku antar jemput aja ya? Mama kamu yang minta, supaya kamu lebih aman.”

            “Tapi nanti ngerepotin kamu gak?” Ananda menggeleng sambil tertawa. Lesung pipi tercetak jelas di wajahnya. Hatiku berdesir. Aku tidak tau mengapa kami begitu cepat akrab seolah-olah sudah ada chemistry diantara kami. Rasanya ini terlalu cepat.

            Dalam beberapa bulan itu pula aku menyadari betapa sosok Ananda menjadi sangat berarti bagiku. Ketika Ananda tidak berada di dekatku, aku akan selalu mencarinya. Ketika aku membutuhkan seseorang, Anandalah orang pertama yang ada dipikiranku. Ketika aku bahagia, pada Anandalah aku berbagi. Kini, Ananda menempati tempat pertama dipikiranku.

            Kurasa, Mama menyadari hal itu.

            “Bulan, boleh Mama masuk?” kata Mama seraya membuka pintu kamarku.

            Aku yang saat itu sedang belajar segera menutup buku. “Boleh. Kenapa, Ma?”

            Mama duduk di pinggir tempat tidurku, gelisah. Keheningan menyelimuti kami. Hanya suara hujan yang masih menandakan bahwa waktu terus berjalan. “Kamu sangat dekat dengan Ananda? Kamu menyukainya?” tanya Mama akhirnya.

            Aku tersipu. Wajahku memerah. “Kok Mama bisa bilang gitu sih? Bulan deket gitu aja kok sama dia. Tapi Bulan memang nyaman sama dia, Ma. Gak tau kenapa.”

            Sepertinya Mama terkejut dengan jawabanku sehingga menjatuhkan boneka beruang yang sejak tadi baru kusadari di remas kuat oleh Mama.

            “Ma? Kenapa? Mama gak suka ya kalo Bulan dekat sama Ananda?”

            Tanpa menjawab pertanyaanku, Mama berdiri dan keluar dari kamarku. Sebelum menutup pintu, beliau berbalik dan menatapku, sendu. “Bulan, Mama tidak melarang kamu menyukainya, tapi jangan mencintainya ya, Nak? Mama mohon.”

            Aku tertegun. Apa maksud Mama?   

            Keesokan harinya, Ananda mengajakku ke taman dekat rumah kami. Tidak biasanya dia mengajakku ke sini kecuali ketika kami ingin bercerita tentang hal-hal penting dan serius. Sesampainya di taman, kami hanya duduk terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

            Tiba-tiba Ananda memegang tanganku. “Bulan..... Aku mau jujur sama kamu. Aku sayang sama kamu. Aku gak tau gimana jelasinnya tapi sejak awal aku udah ngerasa nyaman sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?” tanya Ananda dengan suara terbata-bata.

            Aku yang tidak menyangka Ananda akan mengatakannya terdiam beberapa saat hingga akhirnya mengangguk dengan cepat. Ananda tersenyum dan memelukku. Maafkan Bulan, Ma. Bulan mencintainya, kataku sambil membalas pelukan Ananda.

                                                                                                          ***

            “BULAN! Foto apa ini!? Kalian pacaran!??!” Mama melemparkan fotoku bersama Ananda di meja makan. Wajahnya memerah menahan amarah.

            “Ma, gak usah histeris gitu kali. Iya kami pacaran terus kenapa? Toh kami bukan saudara,” balasku, ketus. Ananda keluar dari kamarnya dengan wajah bingung.

            Mama terduduk. Nafasnya memburu. “Kalian.....kalian harus putus! Kalian gak boleh pacaran! Kalian gak boleh bersama!” jerit Mama.

             “Salah kami apa, Ma?! Kenapa Mama gak ngijinin kami pacaran?! Toh kami gak melakukan hal-hal yang dilarang. Kami masih bisa jaga diri!”

            “Iya, Tante. Saya janji akan menjaga Bulan,” tambah Ananda, lembut.

            Mama menggeleng kuat-kuat. Tangisnya pecah. Kami yang tidak tau dimana letak masalahnya hanya terdiam. “Kalian....kalian saudara. Bahkan, kalian saudara kembar, Nak.” Mama mengucapkannya dengan pelan tapi mampu membuatku merasa di sambar petir.

            Lalu cerita itu mengalir tanpa henti dari bibir Mama. Papa dan Mama sudah lama bertengkar karena Papa berselingkuh. Mama yang sudah tidak tahan langsung menggugat cerai, dan Papa setuju dengan syarat anak laki-lakinya harus ikut dengan Papa yang baru saja kuketahui ternyata saudara kembarku. Mama tidak pernah bercerita bahwa aku punya saudara kembar karena tidak ingin membebani pikiranku. Sepertinya Papa juga tidak mengatakan bahwa Mama adalah Mama kandung Ananda untuk menjaga kenangan Ananda bersama istri baru Papa. Astaga. Tidakkah Papa memikirkan Mama? Sebegitu kejamkah beliau?

            “Ananda, kamu ingat surat yang kamu berikan ke Tante? Di dalam surat itu Papamu meminta Tante untuk merahasiakan bahwa kamu anak Tante. Tante kira kalian tidak akan terlibat perasaan karena Tante yakin kalian akan merasa seperti bertemu dengan saudara. Namun ternyata Tante salah. Maafkan Tante. Bulan, maafkan Mama, Nak.”

            Aku hanya menangis dalam diam. Bahkan untuk bersuarapun aku tidak sanggup. Airmataku mengalir deras namun bibirku terkatup.

            “Bukankah dari nama saja kalian begitu mirip? Adinda Bulan dan Ananda Bintang. Tidakkah kalian menyadarinya, anak-anakku?” tambah Mama dengan bibir bergetar.

            Seusai pembicaraan memilukan itu, aku duduk di ayunan depan rumahku. Airmataku kembali mengalir. Jadi ini yang dimaksud aku tidak boleh mencintainya, Ma? Aku terlanjur mencintainya, Ma. Sangat mencintainya. Bagaimana caraku melupakannya?

            “Bulan...,” Ananda menyentuh bahuku. Aku menoleh sejenak dan Ananda duduk di sebelahku. “Kamu tau gak? Bintang dan Bulan selalu berdampingan di langit,” kata Ananda sambil menunjuk langit. Aku mendongak dan kembali terisak.

            “Menangislah Bulan. Menangislah sepuasmu. Aku di sini. Ada Bintangmu di sini,” bisik Ananda sambil mengusap bahuku, lembut. Semakin membuatku terisak karena aku tau kini semua telah berbeda. Kami tidak bisa lagi bersama. Mengapa aku begitu bodoh? Bukankah warna mata yang sama ini sudah menjadi pertanda? Berapa banyak orang asia bermata keabu-abuan? Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?

            “Kita ....harus....apa,” isakku dalam pelukannya.

            “Kita juga harus menjaga jarak untuk menenangkan hati kita masing-masing, Bulan. Makanya, aku memutuskan untuk kuliah di luar negeri,” sahut Ananda.

            Aku terkejut dan mendongak. “Bagaimana bisa kamu meninggalkan aku? Mengapa kamu begitu tenang? Tidakkah kamu terluka mengetahui bahwa kita tidak akan bisa bersama?” isakanku semakin kencang. Bahuku bergetar menahan tangis.

            “Aku tidak meninggalkanmu. Kamu saudara kembarku. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu? Tentu aku terluka dengan berita ini, aku sangat mencintaimu tapi ternyata takdir tidak mengizinkan kita bersama dalam ikatan yang kita inginkan, Bulan,” kalimat itu menghujam tepat di jantungku. Ya. Aku saudaranya. Betapa menyakitkan kalimat itu.

            “Lusa aku sudah akan berangkat ke tempat temanku. Aku tidak ingin kita semakin jatuh, Bulan. Aku harap kamu mengerti ya,” seusai mengucapkannya Ananda mengecup pelan puncak kepalaku dan masuk ke dalam rumah.

                                                                                                       ***

            Ananda melambaikan tangannya padaku, Mama, dan seluruh teman-teman terdekatnya. Ananda akan pergi. Saudara kembarku. Kekasihku. Aku tidak tau mengapa, hanya saja aku merasakan firasat buruk. Aku merasa tidak akan pernah lagi melihat Ananda.

            Ternyata, firasat seorang kembaran tidak pernah salah.

            Tiga jam kemudian, kami mendapat kabar bahwa pesawat yang ditumpangi Ananda menghilang di laut lepas.

            Aku hanya bisa menatap kosong pada televisi dan mendadak semua menjadi gelap.

 

Tags: Romance

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Past or The Future
482      385     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Mengejar Cinta Amanda
2452      1299     0     
Romance
Amanda, gadis yang masih bersekolah di SMA Garuda yang merupakan anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai ibu yang merupakan seorang penjual asinan buah. Semasa bersekolah memang kerap dibully oleh teman-teman yang tidak menyukai dirinya. Namun, Amanda mempunyai sahabat yang selalu membela dirinya yang bernama Lina. Selang beberapa lama, lalu kedatangan seora...
Chloe & Chelsea
8908      1969     1     
Mystery
30 cerita pendek berbentuk dribble (50 kata) atau drabble (100 kata) atau trabble (300 kata) dengan urutan acak, menceritakan kisah hidup tokoh Chloe dan tokoh Chelsea beserta orang-orang tercinta di sekitar mereka. Menjadi spin off Duo Future Detective Series karena bersinggungan dengan dwilogi Cherlones Mysteries, dan juga sekaligus sebagai prekuel cerita A Perfect Clues.
Ojek
869      602     1     
Short Story
Hanya cerita klise antara dua orang yang telah lama kenal. Terikat benang merah tak kasat mata, Gilang dihadapkan lagi pada dua pilihan sulit, tetap seperti dulu (terus mengikuti si gadis) atau memulai langkah baru (berdiri pada pilihannya).
14 Days
1028      714     1     
Romance
disaat Han Ni sudah menemukan tempat yang tepat untuk mengakhiri hidupnya setelah sekian kali gagal dalam percobaan bunuh dirinya, seorang pemuda bernama Kim Ji Woon datang merusak mood-nya untuk mati. sejak saat pertemuannya dengan Ji Woon hidup Han Ni berubah secara perlahan. cara pandangannya tentang arti kehidupan juga berubah. Tak ada lagi Han Han Ni yang selalu tertindas oleh kejamnya d...
Desire Of The Star
1598      1002     4     
Romance
Seorang pria bernama Mahesa Bintang yang hidup dalam keluarga supportif dan harmonis, pendidikan yang baik serta hubungan pertemanan yang baik. Kehidupan Mahesa sibuk dengan perkuliahannya di bidang seni dimana menjadi seniman adalah cita-citanya sejak kecil. Keinginannya cukup sederhana, dari dulu ia ingin sekali mempunyai galeri seni sendiri dan mengadakan pameran seni. Kehidupan Mahesa yang si...
Putaran Waktu
1099      678     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
Si Mungil I Love You
642      391     2     
Humor
Decha gadis mungil yang terlahir sebagai anak tunggal. Ia selalu bermain dengan kakak beradik, tetangganya-Kak Chaka dan Choki-yang memiliki dua perbedaan, pertama, usia Kak Chaka terpaut tujuh tahun dengan Decha, sementara Choki sebayanya; kedua, dari cara memperlakukan Decha, Kak Chaka sangat baik, sementara Choki, entah kenapa lelaki itu selalu menyebalkan. "Impianku sangat sederhana, ...
Secret Elegi
4511      1360     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
Redup.
791      465     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.