Anggap saja aku seorang petualang yang akan menceritakan sekelumit kisahnya...
Namaku Kevin, Kevin Arjuna, aku berumur 18 tahun dan aku telah menapakkan kakiku di 4 benua dan 12 negara. Ayahku adalah seorang pengusaha multinasional yang selalu bepergian, dan tentu saja aku tak menyiakan kesempatan itu untuk ikut turut serta. Saat dia sibuk dengan urusan perusahannya, aku akan bersenang-senang di negara yang ia kunjungi. Sekarang aku tinggal di Manhattan, bisa dibilang kota inilah pusat perusahaan ayahku.
Aku sudah mengunjungi banyak tempat, aku sudah mencicipi berbagai makanan lokal, dan aku sudah bertemu dengan berbagai macam ras dan suku di dunia. Tapi, aku tidak akan pernah menyangka bahwa petualangan yang aku lakukan di 4 benua dan 12 negara tadi tidak ada tandingannya dengan petualangan yang akan aku alami saat ini, petualangan terhebat yang aku dapatkan di tanah airku sendiri, Indonesia.
*
Aku berjalan menuju tempat parkir dengan lesu, udara di negeri ini sungguh memuakkan. Panas bercampur asap knalpot membuat jat lagku semakin parah saja. Ayah memasukkan barang-barang ke bagasi, aku membantunya tanpa niat.
“Ayolah Kevin, semangatlah! Sebentar lagi kau akan bertemu nenek” ucap ayah sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi, aku hanya meliriknya sekilas.
“Aku capek yah”
“Setelah kau sampai di rumah nenek, kau boleh tidur sepuasnya, waktu malam hari di sini cukup lama, tidak seperti di Manhattan”
“Ya, aku tahu”
Ayah selesai memasukkan semua barang kami, “Ayo naik, jarak bandara adi sucipto dengan rumah nenekmu hanya 2 km”
Ya, aku lahir di Indonesia, tepatnya di sini, di Jogjakarta. Tapi aku dibesarkan di banyak tempat, banyak negara lebih tepatnya. Aku tak mengenal apa itu kampung halaman, setahuku kampung halaman adalah tempat orang menghabiskan masa kecilnya, dan lihatlah aku, aku sampai lupa negara mana yang kusinggahi sewaktu kecil.
Aku pernah ke Indonesia beberapa kali, emm... 3 kali mungkin seumur hidupku? Aku tak terlalu mengenal negara asalku ini, tapi ayah dan ibu selalu memakai bahasa indonesia sebagai bahasa pengantarku. Dulu saat aku lebih muda, aku selalu senang jika ayah mengajakku ke Indonesia, alasan utamanya adalah nenek, beliaulah orang selain orang tuaku yang sangat aku sayangi.
Aku sampai di rumah nenek sekitar 15 menit kemudian. Nenek dan om Dion sudah menunggu di beranda rumah. Saat aku turun dari mobil nenek langsung merangkulku, “Kevin putuku, tambah duwur aja kamu, melebihi bapakmu ini” ujar nenek sambil mengelus2 rambutku, aku hanya bisa meringis kecil.
Nenek membawaku ke tempat tidur yang selalu kupakai ketika berkunjung ke sini. Belum semenit tubuhku merasakan empuknya kasur, mataku sudah terpejam dan aku pun pergi ke pulau mimpi.
*
Esoknya aku bangun dengan tubuh yang lebih segar. Aku segera mandi dan kemudian menemui nenek yang sedang menyesap tehnya di ruang tamu.
“Sudah bangun to le?”
“Iya nek, udah seger sekarang” jawabku sambil mengambil teh yang telah disediakan untukku. Teh setiap pagi, itulah kebiasaan yang selalu sama ketika berkunjung ke rumah nenek.
“Baguslah, kamu tidur 15 jam le, pasti capek sekali” Nenek menyesap tehnya lagi. “Sekarang coba ceritakan petualanganmu le, ayahmu bilang kau sering bepergian, nenek ingin mendengarnya”
Kemudian kuceritakan semua pengalamanku yang mengesankan, dari ditabrak banteng di Spanyol hingga bertemu para artis Hollywood. Aku bercerita dengan menggebu-gebu, nenek menganggukkan kepalanya sambil tersenyum simpul.
“Wah, kamu sudah pergi ke banyak tempat le, bagaimana jika sekarang kamu nenek ajak berpetualang di sini”
Aku mengerutkan kening. Di sini? Apa yang bisa aku tamukan di sini? “Emm... baiklah nek” jawabku sangsi.
Nenek tiba-tiba bangkit dari duduknya, “Ayo siapkan dirimu le, kita berangkat sekarang”
“Sekarang?!”
*
Nenek bilang tempat ini dinamakan Pasar Tradisional. Aku belum pernah ke sini sebelumnya, dan aku berharap tak pernah. Tempat ini kumuh, bau, dan kotor. Setiap sudut pasar sudah dipenuhi lapak-lapak pedagang yang menggelar dagangannya seenak jidat mereka. Semua barang tumpah ruah di situ, baik sayuran, buah, daging, hingga baju. Jalannya yang sempit membuat berjalan saja susah, ditambah orang-orang yang lalu lalang membawa karung beras.
“Mbak, terigunya 3 kg ya” ucap nenekku kepada seorang pedagang.
Pedagang itu dengan cekatan melayani nenek “Ini bu. Oh ini cucunya to bu, bagus pisan to bu” ucap pedagang itu sambil menunjuk ke arahku.
“Iya mbak, ini cucuku, baru pulang kemarin”
“Oh begitu, saya kira cucunya masih kecil, ternyata udah gede bu, bagus pisan”
Nenek tertawa pelan. Begitulah, hampir seluruh pedagang mengenal nenek, entah hanya sekedar menyapa atau mengobrol panjang lebar. Dan mereka semua terlihat tetap gembira walau dikelilingi bau-bau tak sedap, aku heran.
“Setelah ini kita pulang nek?” tanyaku saat nenek selesai berbelanja.
“Tidak le, ada 1 tempat lagi yang harus kita kunjungi”
Aku seperti terhimpit batu besar,sesak. Jangan tempat seperti pasar tradisional tadi, doaku.
*
Nenek membawaku ke sebuah panti asuhan. Panti asuhan ini cukup kecil dibanding penghuninya yang hampir berisi 2 lusin orang. Satu kamar bisa di isi 5 orang lebih, bagaimana pengapnya, pikirku. Semua penghuninya rata-rata masih usia SD, dan beberapa masih balita. Pakaian mereka banyak yang kebesaran, mungkin sumbangan dari para dermawan yang tak tahu ukuran baju para yatim piatu ini. Halaman panti asuhan ‘Budi Kasih’ ini cukup luas, beberapa anak laki-laki sedang bermain sepak bola ketika aku dan nenek datang, mereka langsung menghambur seketika melihat nenek.
“Yeaay, mbah Narti dateng! Mbah bawa apa hari ini?” ucap seorang anak laki-laki berbaju Real Madrid
Nenek mengelus kepala anak tadi, “Mbah bawa bahan makanan buat mbak-mbak pengurus panti le”
“Yahh, aku kira mbah bawa mainan lagi”
“Besok besok ya le” ucap mbah kemudian, “Mbak rosa dimana to le?”
“Di dalem mbah, lagi beresin baju” ujar anak lain berbaju timnas.
Aku dan nenek langsung masuk ke panti asuhan itu. Sepertinya nenek sering ke sini, karena beliau langsung tau dimana tempat ‘membereskan baju’ itu. Mbak rosa terlihat gembira saat melihat nenek. Bahan-bahan makanan yang tadi nenek beli langsung ia berika kepada mbak rosa, mbak rosa menerima dengan mata berbinar-binar.
“Mbah Narti jangan repot-repot lagi mbah” Mbak rosa terlihat tidak enak dengan pemberian nenek.
“Nduk rosa, aku gak repot kok, malah seneng bisa bikin anak-anak seneng” jawab nenek.
Nenek dan mbak rosa kemudian berbincang panjang lebar, mulai dari makanan apa yang akan dimasak untuk anak panti hingga bagaimana perkembangan panti. Nenek menyimak dengan sangat tertarik. Mbak rosa bercerita sudah beberapa anak yang diadopsi, tapi tak sedikit juga orang tua yang menitipkan anaknya untuk diasuh di panti asuhan ini. Bagaimana bisa orang tua sendiri menitipkan anaknya di panti asuhan? Dasar tidak bertanggung jawab. Nenek juga memberitahukan rencanya terhadapa panti asuhan ini, nenek berencana membangun gedung tambahan di lahan kosong di belakang panti, gedung itu bisa digunakan untuk kamar tambahan atau tempat ngaji para anak yatim. Mbak rosa menerima rencana nenek dengan mata berkaca-kaca.
Tak berapa lama, nenek berpamitan kepada mbak rosa. Dan petualanganku dengan nenek berakhir hari itu...
*
Sesampainya di rumah nenek langsung mengajakku duduk berdua di beranda, dan beliau langsung mengutarakan pertanyaannya, “Jadi bagaimana petualangan kita tadi le?”
Aku mengernyitkan kening, “em.. cukup.. mm..”
“Membosankan?” potong nenek.
Aku hanya bisa meringis. Ya, aku merasa bosan. Hanya ke pasar dan panti asuhan? Mana tantangannya?
Nenek tersenyum kecil, dan menatapku penuh arti, “Coba sebutkan apa yang kamu dapat dari perjalanan singkat tadi”
Aku berpikir sebentar, “Di pasar tempatnya kotor, aku dapat bau, keringat, gak ada yang asik nek. Tapi.. orang-orang di sana ramah sih, mereka selalu menyapa nenek. Nenek juga tadi dikasih bonus gula pasir” kemudian aku berhenti, berpikir lagi, “Di panti sama aja membosankannya, tapi bisa liat anak-anak panti seneng, terharu juga nek. Padahal mereka udah gak punya orang tua. Mbak Rosa juga kelihatan seneng banget padahal nenek Cuma ngasih sembako, kayaknya hal-hal kecil buat kita berarti banget buat mereka nek”
Nenek tiba tiba bertepuk tangan, aku menambah kernyitan di keningku, “Bagus le. Itulah hidup, hidup adalah sebuah petualangan. Petualangan bukan hanya berarti mengunjungi banyak tempat dan menantang adrenalin, tapi petualangan juga berati memperkaya hati dan pikiran dengan hal-hal positif dari setiap hal yang kita lakukan. Karena setiap manusia adalah seorang petualang, petualang di kehidupan mereka masing-masing. Dan ketika kamu bisa mengambil makna dari setiap petualanganmu, maka kamu adalah seorang petualang sejati”.
Aku terperangah mendengar kata-kata nenek. Aku belum masuk sedikitpun dalam kriteria petualang sejati tadi. Aku melihat dunia dari luar tidak melihat arti dari padanya. Sungguh rasa hormatku kepada nenek semakin tinggi. Sekarang beliau bukan hanya nenekku, tapi sang bijak yang mendorongku untuk menjadi seorang petualang sejati.