Cuaca pada senin pagi ini sangat berbeda dari biasanya, para siswa sibuk berlari dengan tergesa-gesa menuju kelas masing-masing karna tiba-tiba hujan turun.
“Dimohon para siswa masuk ke dalam kelas masing-masing karna upacara pagi ini dibatalkan, pelajaran akan dimulai 30 menit lagi.”
Terdengar pengumuman dari pengeras suara, yang samar-samar karna suara hujan yang semakin keras. Para siswa pun masuk ke dalam kelas, sedangkan Rini yang seharusnya bertugas pada pagi ini sibuk mengembalikan peralatan upacara ke tempat semula. Lelah pastinya karna harus bolak-balik sedangkan teman-teman sekelasnya sibuk berlari meninggalkan sang ketua kelas, Sella sang ketua kelas yang melihat teman-temannya lari berteriak nyaring dengan wajah kesalnya.
“Woy, dasar kalian. Bantuin.”
“Semangat bu ketua.” Sahut salah satu teman sekelas Sella.
“Yang sabar bu ketua, nanti cepet tua loh.” Ucap Rini seraya mengambil mikrofon di tangan Sella.
“Kalo emang tua kenapa, hah? Masalah? Muka-muka aku juga!”
“Syukur deh sadar.”
“Apa kata kamu tadi? Coba ulang?”
“Muka kamu tua bangettt...” Ledek Rini dengan berjalan pergi meninggalkan Sella.
“Muka kamu tuh kayak ne...nek...” Teriak Sella lalu tiba-tiba suaranya menciut karna guru BK yang terkenal akan kegarangan lewat disampingnya sambil menatap tajam Sella, Sella yang melihat hanya tersenyum canggung dan dengan cepat menjauh dari guru BK tersebut.
Rini yang sekarang berjalan santai menuju kelas tanpa menghiraukan teriakan-teriakan dari arah belakangnya, teriakan yang membuat Rini malu. Jujur walaupun Sella teman Rini tapi kadang ada saja perlakuannya yang membuat malu, apa ia tak punya urat malu? Ditengah koridor teriak-teriak tak jelas, suka banget cari perhatian.
“Hei, anaknya om Bolot.” Panggil Sella sembari merangkul bahu Rini yang wajahnya sekarang terlihat datar bahkan terkesan cuek. “Tungguin teman kamu yang cantik ini dong.”
Sesampainya di dalam kelas Rini berjalan menuju tempat duduknya dan langsung menenggelamkan wajahnya diantara kedua tangannya di atas meja. Salah satu kebiasaan Rini dalam kelas yaitu gampang ngantuk dan terkadang ketiduran di dalam kelas, bahkan para guru kerap menangkap basah Rini yang tertidur dengan nyenyak seperti ia dibacakan dongeng. Rini sendiri pun kadang bingung dengan dirinya sendiri yang sering mengantuk padahal jam tidurnya tidak lewat jam 10 malam, ia sangat jarang bergadang. Maka dari itu Rini cukup sering dikeluarkan saat pelajaran berlangsung, ada sedikit perasaan senang Rini jika dikeluarkan karena ia bisa bersantai walaupun juga ada perasaan bersalah.
Bahkan sekarang pun mata Rini sudah terasa berat, otaknya sudah memberi sinyal bahwa Rini harus segera tidur. Di dukung langit yang gelap, suara-suara hujan yang semakin nyaring dan angin yang terasa sejuk masuk melalui celah jendela, ini adalah waktu yang sangat tepat untuknya tidur. Apalagi membayangkan tidur dikamar tidurnya, dengan kasur yang empuk, selimut tebal. Ya Tuhan, nikmat yang sangat luar biasa. Tapi semua khayalan itu sirna, setelah terdengar suara yang tidak diharapkan Rini.
“Selamat pagi murid-murid.”
“Pagi, bu Maya.”
“Karna suara hujan semakin nyaring dan suara ibu jadi tidak terdengar, maka hari ini kita adakan latihan soal. Keluarkan alat tulis, kertas kosong dan jangan mencontek.”
Mendengar perkataan ibu Maya terdengar keluhan dari siswa bahkan ada yang tampak sibuk, ada yang membaca catatan, ada yang protes mendatangi bu Maya, ada yang menyiapkan alat tulis, bahkan ada yang sempat-sempatnya membuat contekan di telapak tangannya. Rini yang menyaksikan pemandangan ini hanya tersenyum menatap tingkah laku teman sekelasnya, bahkan si ketua kelas sekaligus sahabat Rini juga sibuk menulis rumus-rumus di atas meja. Melihat sahabatnya si Sella, Rini menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Bisa-bisanya ketua kelas mencontohkan hal yang buruk pada teman sekelas.
“Soal latihannya kalian lihat di halaman 98, kerjakan sendiri-sendiri dan jika ketahuan mencontek nilai kalian langsung nol. Waktu mengerjakan sampai bel jam istirahat berbunyi.”
Rini yang sekarang terlihat memainkan bibirnya menggunakan jari-jarinya mengingat kembali rumus-rumus yang sudah ia pelajari, dan mencoba menjawab soal latihan. Rini berusaha tetap fokus, seolah pendengarannya tuli saat teman-teman diberbagai sudut memanggil dengan suara sepelan mungkin. Jika saja ibu Maya tipe guru yang baik, bisa saja Rini memberikan jawaban miliknya tapi masalahnya ibu Maya termasuk guru yang sangat disiplin dan guru yang tega sama siswa.
Terdengar bunyi bel tanda waktu istirahat, para siswa buru-buru mengumpulkan tugas ke depan meja guru. Takut-takut ibu Maya tidak menerima kertas jawaban, Rini yang sudah mengumpulkan kertas jawaban ia pun duduk santai dibangkunya dan tak sengaja menengok kearah Sella yang kalang kabut mengerjakan soal, matanya tampak berkaca-kaca, Rini yang melihat Sella mencoba menutup rapat bibirnya menahan tawanya.
Sella mendatangi ke meja Rini setelah mengumpulkan kertas jawaban di depan, dengan raut wajah yang terlihat sedih.
“Rin, gimana nih?”
“Ya, mau gimana lagi udah dikumpul juga. Makan yuk, sekalian cari Dina.”
“Temen lagi sedih bukannya di hibur malah diajak makan.”
Rini mengedarkan pandangannya sesampai di kantin, ia melihat Dina yang melambaikan tangannya. Rini dan Sella pun mendatangi Dina yang duduk di meja paling ujung.
“Sel, kamu kenapa? Wajahnya kelihatan sedih gitu sih? Cerita sama aku.”
“Gak apa-apa kok, Din.”
“Beneran, Sel?”
Dina yang bingung mencoba bertanya dengan Rini, Dina mencolek tangan Rini yang duduk disebelah Sella. Dina bicara dengan menggerakan bibir, Rini hanya menggelengkan kepalanya. Rini pun memesan makanannya.
“Mbak, pesan nasi goreng dua sama teh esnya dua juga ya.”
“Siap, dek.”
Rini dan Dina yang asyik bercanda berusaha menghibur Sella yang dari tadi masih kelihatan sedih, dengan berbagai lelucon kami keluarkan. Akhirnya Sella mulai tampak menanggapi lelucon kami berdua.
“Permisi dek, kita boleh duduk disini gak?”
Nggak upacara jadi kesenangan tersendiri buat anak2 sekolah. Salam kenal ya, aku Maurin. Aku pengguna baru di sini.
Comment on chapter Pagi Senin