Kisah ini ada ketika aku kelas empat SD. Aku baru saja keluar dari rumah sakit, mengantarkan papaku berobat. Ya, papaku dulu memang pernah kena tumor di sum-sum tulang belakang, tapi untungnya sudah dioperasi dan sudah hilang. Tapi entah mengapa, sekarang papaku sakit lagi, tapi belum tahu penyakitnya apa. Aku pun membantu papaku menuntunnya dari belakang. Ya, papaku tidak bisa berjalan dan harus dibantu dengan kursi roda. Aku dan papaku pun menunggu mamaku yang sedang mengambil mobil. Sekarang, di sini, hanya ada aku dan papaku saja.
“Nisa..” papaku memanggilku lembut sekali.
“Ya..” jawabku.
“Papa kena tumor lagi. Tumornya ada di leher.” terang papaku singkat. Aku tahu, jawaban itu sangat tak kuharapkan. Begitu mendengar kata-kata itu, badanku langsung keringat dingin, kaku, tak dapat mengatakan satu patah kata pun. Kalau melihat perjuangan papa beberapa tahun sebelumnya yang harus berobat sana-sini, hingga akhirnya mengambil keputusan untuk operasi dan merelakan nikmat berjalannya diambil, itu bukanlah perjalanan yang singkat. Dan sekarang, ujian itu datang lagi?
“Sa, nanti kalo kamu jadi dokter, jadi dokter yang baik-baik ya...kalo ada pasien yang minta bantuan langsung dibantu. Jadi dokter yang adil, tulus, kalo bisa ringankan biaya orang-orang yang kurang mampu, ya...!” kata papaku tiba-tiba, aku pun mengiyakan.
Sepanjang perjalanan pulang, aku tak dapat berkata satu patah kata pun, aku lebih banyak diam, tak percaya. Sedih rasanya melihat kondisi papa yang sakit. Tapi aku tak boleh merasa iba, harusnya aku mengacungkan jempol, dan berkata, papa hebat! Papa bisa melewati semuanya tanpa mengeluh walau hanya sebentar saja. Belum tentu ada orang yang bisa setabah papa.
Ah...sudah tak terasa, lima tahun papaku harus melawan penyakitnya. Mungkin, kalau aku jadi papa, aku sudah putus asa dan menangis sepanjang hari. Papaku hebat, walau beliau tak bisa berjalan, setengah badannya yang bawah yang mati rasa, dan hanya berbaring di kasur atau hanya duduk di kursi roda, tapi papaku tetap tegar menjalani kehidupan yang penuh dengan ujian ini.
Hari ini Bulan Ramadhan, aku senang bisa berkumpul bareng-bareng keluarga, bersyukur masih punya mama, papa, dan adik-adik yang sangat luar biasa. Oh iya, papaku baru saja pulang dari umroh bersama mamaku dan tanteku. Tak terbayang, perjuangan papaku dengan kondisinya yang tak normal seperti yang lain, bisa sampai di sana, menahan teriknya matahari yang sangat terik, mengikuti seluruh kegiatan-kegiatan di sana, di tambah harus berpuasa. Untung saja, ada mamaku yang selalu setia menemani dan memberikan suport untuk papaku.
Sepulang dari tanah suci, entah mengapa papaku mengajak kami sekeluarga jalan-jalan ke mall dan makan bersama di salah satu restoran di sana, setelah lima tahun papa tidak pernah pergi ke mall-mall atau makan di luar. Ini saja, kami harus mencari mall yang memiliki eskalator lurus, agar papaku bisa naik dengan kursi rodanya. Sesampainya di sana, rasanya senang sekali melihat papa bisa senang, makan makanan yang enak, bisa melihat suasana mall yang ramai, dan masih banyak lagi. sedih melihat papa yang tidak bisa berjalan seperti yang lain. Walau begitu, kami sekeluarga tidak malu, karena sebenarnya, kami yakin bahwa papa sangatlah hebat dan luar biasa.
Sekarang, aku sudah kelas 2 SMP, tepatnya, aku kini bersekolah di sekolah berasrama, sekitar 2 jam perjalanan dari rumah. Entah mengapa, tiba-tiba tanteku datang dan meminta izin kepada guruku untuk menjemputku pulang.
“Maaf, bu guru. Saya mau menjemput Nisa pulang. Papanya sedang ada di rumah sakit dan ingin bertemu dengan Nisa.” jelas tanteku.
Akhirnya, guruku pun mengizinkanku untuk pulang. Rasanya, di perjalanan hatiku tidak tenang. Badanku pun mulai kaku dan berkeringat dingin. Ah, tapi aku tidah boleh begini, tetap tenang, Nisa...semuanya pasti baik-baik saja.
2 jam berlalu, aku pun sampai di salah satu rumah sakit di Semarang. Sudah tidak sabar aku bertemu dengan papaku. Aku pun diantar ke salah satu kamar. Saat aku masuk, di sana sudah ada mama yang tampak matanya sedikit sembab dan aku melihat papaku yang sedang berbaring lemah di kasur. Sedih pasti, melihat kondisi papa yang sangat kurus, padahal sebelumnya papaku orang yang gendut berisi. Aku pun bersalaman dengan mamaku dan berjalan mendekati papa, bersalaman dengannya.
“Sa..” papaku memanggil namaku. Aku pun mendekat.
“Maafin papa ya, Sa...” kata papaku singkat.
“Maafin aku juga ya, Pa...” jawabku. Beberapa menit setelahnya, papaku memintaku untuk terus membacakannya surat yasin. Terus kulantunkan, hingga keesokan paginya sekitar pukul 03.00, papaku muntah-muntah. Rasanya tak tega melihat kondisi papa, papaku juga merasakan sakit yang luar biasa. Mamaku terus memanggil dokter melihat kondisi papaku yang mulai memburuk. Dari pagi hingga siang hari, mamaku terus memanggil dokter, tapi tetap saja tidak datang, salah satu perawat memberi info kepada kami bahwa dokternya sedang rapat dan tidak bisa diganggu. Yah, pokoknya tidak bisa datang! Katanya sich begitu.
“Ya Allah, apa tidak bisa dokternya datang dulu di sini, melihat kondisi pasien. Apa rapat lebih penting? Ya Allah, ini nyawa orang koq dibiarkan saja...”gumam mamaku sambil memegang tangan papaku erat-erat. Papaku mulai lagi merasakan sakit yang sangat dalam, keringatnya mulai bercucuran. Ditambah papa yang muntah-muntah terus bila dimasukkan makanan. Aku pun jadi kesal melihat semua ini, kalau tahu ilmunya, ingin rasanya biar aku saja yang menyembuhkan papaku. Ah, selera makanku jadi berkurang. Hingga menjelang malam, kondisi papaku sudah sangat menurun, glukosanya menurunlah, inilah, itulah, dan dokter baru saja datang. Kami semua menunggu di balik tirai. Beberapa menit setelah itu, akhirnya dokter tadi pun menemui kami.
“Maaf, Bu. Mungkin hanya ini yang bisa kami lakukan.” Kata dokter itu singkat dan langsung meninggalkan kami. Ya, memang itu kenyataannya, dokter itu langsung pergi begitu saja. Setelah itu, mamaku pun langsung menemui papaku yang sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kulihat mamaku berlinang air mata, walau mungkin sudah tabah karena sebelumnya sudah bisa merasakan tanda-tanda kematian papa. Ah, badanku langsung kaku melihat semua ini. Sedih, agak kesal, semuanya bercampur jadi satu. Saat itu juga, aku pun menyempatkan diriku untuk mencium kening papaku yang dingin untuk yang terakhir kalinya. Papa, aku tidak akan pernah melupakanmu dan aku akan selalu mendoakanmu. Pasti.
Aku jadi teringat kata-kata papa saat keluar dari rumah sakit beberapa tahun yang lalu, “Sa, nanti kalo kamu jadi dokter, jadi dokter yang baik-baik ya...kalo ada pasien yang minta bantuan langsung dibantu. Jadi dokter yang adil, tulus, kalo bisa ringankan biaya orang-orang yang kurang mampu, ya...!”
Yah, mungkin itu pesan papa yang selalu terngiang dalam ingatanku. Yah, tunggu saja beberapa tahun ke depan, aku akan menjadi dokter seperti yang papa bilang. Biar aku, biar aku saja, izinkan aku yang mengobati mereka. Aku tidak ingin kejadian seperti papa kemarin terulang kepada mereka di luar sana. Dokter kemarin yang menangani papa asal-asalan, hatinya kurang peka, malah lebih mementingkan urusannya sendiri. Tunggu ya papa, aku akan jadi seperti apa yang papa impikan....