Dan begitulah penyusup yang satu ini dapat masuk ke rumahku dengan mudah. Sebetulnya ini adalah pertama kalinya dia datang mampir ke rumahku. Sebelumnya, dia hanya mengantarku ke sini beberapa kali saja.
Seharusnya aku membeli es krim coklat dan kusimpan beberapa di kulkas. Pizza keju dan es krim coklat…rasanya surga.
“Jadi, orangtuamu sedang keluar kota?” tanya Carter sambil membuka kotak pizza yang dibelinya.
“Sepertinya begitu.”
Sesaat setelah dia membuka kotak pizzanya, rasanya pikiranku ingin meledak. Dia barusan membelinya dan langsung membawanya ke sini. Pizzanya masih panas dan kejunya masih meleleh. Ah..ingin kumakan segera rasanya.
“Sudah, langsung ambil saja. Aku juga belum makan.” Ucapnya.
“Selamat makan!!” tentu saja aku tidak akan menahan diri.
Pizza yang dia beli adalah pizza yang berukuran sedang, terdiri dari 6 potong. Untuk dua orang, rasanya sudah cukup.
“Bagaimana dengan anakmu, Carter?” tanyaku sambil mengunyah pizza.
“Dia sedang ada kemah bersama teman-teman kelas dan gurunya. Mereka juga membawa beberapa penjaga jadi seharusnya aman.” Ujarnya.
“Oh, jadi kamu kesini karena kesepian?” tanyaku sambil tersenyum menyeringai. Ini adalah kesempatan untuk mengejeknya. Jika dia menjawab “iya”, maka aku bisa mengejeknya dengan “seharusnya kamu melamar guru yang cantik itu!”. Kemudian, jika dia masih menyangkalnya—
“Aku hanya tidak ingin menyisakan pizza ini. Pizza yang kubeli ini ukurannya lebih besar dari dugaanku.”
Aku ingin membunuhnya. Kenapa kesempatan untuk mengoloknya sangat sedikit sekali??
Tunggu dulu…
Mungkin aku masih bisa mengejeknya. Bagaimana aku harus mengejeknya? Apakah “dasar perut kecil” atau “dasar pembohong”? Aku benar-benar tidak tahu. Manakah yang lebih efektif? Sebenarnya, dua-duanya sangat tidak efektif. Olokan “perut kecil” itu rasanya kekanak-kanakan sekali. Jika aku bilang kepadanya “dasar pembohong”, dia pasti memiliki 1000 cara untuk membalasku. Oh! Bagaimana jika…
“Apakah kamu bodoh? Bagaimana kamu bisa salah mengira ukurannya?”
“Whoa. Ucap seorang anak yang tidak bisa membedakan persegi dan persegi panjang.” Responsnya.
Sial! Kenapa dia masih mengingat cerita itu!?
Itu adalah aibku yang tidak boleh tersebarkan lebih luas lagi. Aku tidak bisa menyerah sekarang. Aku harus segera membalasnya tanpa berpikir panjang!
“Whoa. Ucap seorang duda yang tidak bisa memilih wanita baru.”
“Whoa. Ucap seorang pemuda yang ingin menjadi popular dengan menjadi pendiam.”
“Whoa. Ucap seorang bayi yang menangis karena…”
Tunggu dulu, aku hampir menyinggung kejadian saat dia menangis tiba-tiba. Aku hampir mengoloknya terlalu jauh.
“Whoa. Ucap seorang pecundang yang masih saja berpikir panjang untuk mengolok seseorang.”
“Diamlah kau, sialan!”
Begitulah jika aku lengah dikit. Entah itu salah bicara atau yang lain, dia akan langsung mengambil kesempatan itu dan membalasku dengan pukulan yang sangat keras dan tepat sasaran. Aku tidak akan bisa mengalahkannya. Aku harus mempelajari Art of Trash Talking lebih dalam lagi.
“Setidaknya kamu masih bersemangat, Erno. Apa kamu sudah menyelesaikan PR-mu?” tanya Carter yang sekarang sudah tidak berniat mengolokku lagi.
“Tentu saja. Jika tidak, namaku akan tercemar.” Jawabku.
“Heh, kamu masih meneruskan jalan ninjamu itu, ya.”
“Aku…tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Aku benar-benar tidak tahu harus apa lagi. Apakah aku harus meneruskan jalan hidupku ini, ataukah merubahnya, ataukah membuangnya? Aku sudah lelah memikirkan yang baru dan aku rasa disayangkan sekali jika aku membuangnya begitu saja.
Yang bisa kulakukan hanyalah tetap maju.
“Tidak begitu, Erno. Kamu itu bebas. Kamu itu bagaikan catatan kosong yang masih bisa kamu tuliskan apa saja. Mau kamu tuliskan hal sebodoh apapun, itu adalah hakmu. Tetapi, jika kamu terpaku kepada satu hal yang bodoh, itu adalah kebodohan sejati.” Ucapnya sambil memakan pizza yang kejunya meleleh kemana-mana hingga bajunya ternodai. Apa yang barusan dia katakan itu sebenarnya cukup motivasional, tapi sayang sekali orang yang mengatakannya itu cukup sampah.
“Catatan kosong, huh…”
Aku pernah mendengar perkataan yang mirip seperti itu juga dari orang lain. Orangnya tidak lain adalah Aria. Perbedaannya adalah, apa yang dikatakan oleh Aria itu cukup abu-abu dan membuatku bingung sampai sekarang. Mungkin apa yang berusaha dikatakan oleh Aria adalah apa yang barusan dikatakan oleh Carter.
Apa…aku harus memulai semuanya dari awal?
Kemudian, Carter melanjutkan, “Jika kwamu tidwak mwemilikhi tujuwan, cwiptakhan gwawangmu shendili dan cwetaklah sebuwah gool.”
Aku merespons, “Aku benci bagaimana kamu berusaha menjadi inspirational tetapi malah mengotori lantai rumahku dengan keju dimana-mana. Setidaklah telanlah makananmu sebelum berbicara.”
“Bukan salahku. Kamulah yang membiarkanku masuk.”
Kemudian, dia langsung mengambil gelas dan air putih tanpa seizinku. Aku hanya bisa menghela nafas, karena dia adalah seorang Carter, mau bagaimana lagi.
“Lalu…sekarang bagaimana?” tanyaku. Maksud dari pertanyaanku ini adalah mengenai Agnes. Aku…sama sekali belum menjenguknya. Rasanya aku ini munafik, membela dia didepan Nolan dan Carter, tetapi aku belum menjenguknya sama sekali. Aku tidak tahu kapan dia akan dipulangkan dan Kembali bersekolah. Jika dia sudah Kembali…lalu apa Langkah selanjutnya?
“Terserah kamu.” Jawabnya.
“Apa kamu benar-benar serius mengatakan itu? Aku tidak ingin bertindak seenakku sendiri tetapi akan dihujat nantinya.”
“Tenang saja, Erno. Aku akan selalu menghujatmu. Akan tetapi, aku serius terhadap ucapanku. Lagipula kamu adalah ‘Tuhan’ bagi duniamu sendiri.”
Aku tidak asing dengan perkataan tersebut. “Kamu adalah ‘Tuhan’ bagi duniamu sendiri.” Pertama kali kudengar dari Aria. Benar, lagi-lagi Aria. Aku tidak tahu apakah ini hanyalah kebetulan semata atau memang Carter dan Aria memiliki hubungan atau semacamnya.
Banyak yang belum aku ketahui, terutama mengenai Carter. Setelah bercakap dengannya setelah kejadian itu, aku tidak bisa berkata-kata. “Agnes lebih baik mati saja.” Begitulah katanya.
Banyak sekali pernyataannya waktu itu yang membuatku tidak yakin lagi dengan Carter yang aku kenal sekarang ini. Dia tidak memendam benci kepada Agnes, dia mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh.
Dia juga berkata bahwa Agnes hanya akan membawa kerusakan di dunia ini. Aku tahu ini semua berkaitan dengan ‘rahasia dunia’ yang aku belum ketahui semuanya. Namun, bukankah semua manusia membawa kerusakan di muka bumi ini?
“Carter, kalau kamu tahu, aku menganggapmu sebagai teman dekat. Tapi…rasanya kamu itu jauh sekali."
Aku tidak mengatakan bahwa Carter itu jauh dari aku, melainkan bahwa dia itu jauh dari semuanya. Dari orang-orang disekitarnya, ataupun dari realita ini. Rasanya dia itu adalah seorang manusia yang sudah melihat semuanya, tetapi di saat yang bersamaan dia seperti belum melihat semuanya. Oleh karena itulah, dia takut.
Dia Kembali duduk, meminum air yang diambilnya, lalu meletakkan gelasnya perlahan. Dia juga berganti ke mode serius. Dia tahu kalau aku masih mencurigainya. Carter yang aku tahu tidak akan memerdulikan kecurigaan orang-orang disekitarnya. Dia serius bukan untuk menghilangkan kecurigaanku, melainkan untuk menyatakan kecurigannya kepadaku.
“Kamu sendiri rasanya bukan seperti orang yang baik, Erno.”
Jadi, itulah yang dia rasakan kepadaku. Memang benar, aku bukanlah orang yang suci. Bagaimanapun juga, aku ini adalah manusia.
“Memang. Bukankah kamu juga, Carter?” jawabku terhadap kecurigaan Carter.
“Setidaknya aku sedikit lebih baik daripadamu.” Jawabnya dengan nada yang sombong. Tentu saja aku naik pitam mendengarnya.
“Apa yang membuatmu berpikir kalau kamu lebih baik dari aku?”
“Setidaknya aku tidak meninggalkan-nya.”
Sialan..
Dari jawabannya itu, aku sudah menarik sebuah kesimpulan, kalau dia memang memiliki hubungan dengan Aria.
“Aku tidak pernah meninggalkannya. Dialah yang meninggalkanku.” Ucapku sambil mengernyitkan alis. Wajahku sedikit memerah karena marah terhadap singgungan Carter itu.
“Jangan menyangkalnya. Aku tahu semuanya. Namun, aku tidak pernah menjauhimu karena itu. Perasaanku selama ini itu tulus. Aku menikmati perbincangan denganmu setiap saat. Aku tidak pernah menganggap diriku ini sempurna, dan seharusnya kamu juga begitu. Kita berdua ini adalah manusia yang paling busuk di dunia ini.”
“Carter…apa yang ingin kamu sampaikan?”
Carter tanpa menahan dirinya terus melanjutkan, “Kamu ini sangat egois. Kamu ini takut dengan ‘dunia’, tetapi kamu tidak bisa keluar dari duniamu sendiri. Kenapa kamu waktu itu kamu bersimpati kepada Agnes? Aku yakin kamu memandang dirinya itu sama seperti dirimu, oleh karena itulah kamu menyuruhnya untuk ‘menyerah’. Jangan bercanda, itu adalah saran terburuk yang pernah aku dengar. Walaupun kamu sekarang mengenal Agnes, apakah kamu akan memandangnya sebagai ‘Agnes’? Apakah kamu akan terus mencari kenikmatan dengan menanggap bahwa dirimu ini berguna?”
“Carter, daritadi kamu hanya menyalahkanku dari segala sisi. Sebenarnya, apa yang ingin kamu samp—”
“Selamatkan dirimu sendiri. Ingatlah kenapa waktu itu kamu menyerah.”
Aku tidak bisa menahan diriku untuk tertawa dalam hati. Kukira malam ini aku dapat makan pizza dengan nikmat yang kemudian dilanjutkan dengan main game hingga larut malam. Namun, aku malah dikritisi habis-habisan.
Rasanya sangat tidak enak sekali, Ketika seseorang mengkritisi jalan hidupmu yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Aku ini adalah orang yang selalu merasa kesepian sejak dahulu. Oleh karena itulah, aku selalu suka mencari perhatian. Diawali dari SMP yang akhirnya aku dibully oleh teman-teman, hingga sekarang yang berusaha menjadi populer. Semangatku terus terkikis oleh waktu, mengetahui bahwa aku tidak akan sepopuler Nolan, ataupun sedikit populer saja. Memang tidak bisa dipungkiri, kalau semangatku untuk menjadi populer ini habis, maka aku akan bunuh diri. Aku tidak memiliki alasan untuk hidup lagi.
Menyelamatkan diriku sendiri, huh…
Mungkin Carter benar, kalau aku lah yang meninggalkan Aria. Apa yang ingin dicapainya saat itu sangat bertentangan dengan apa yang ingin kucapai. Kita berselisih, hingga berpisah satu sama lain. Waktu itu, Aria bahkan tidak marah sama sekali. Aku juga tidak merasakan kekecewaan di hatinya. Namun, mungkin itulah yang dimaksud oleh Carter.
Aku tidak terlalu memikirkan orang lain.
Tidak peduli seberapa detail aku bisa membaca emosi orang lain, aku masih belum bisa memahami mereka.
“Agnes lebih baik mati saja”,”Dia hanya membawa bencana saja.”, kedua pernyataan dari Carter tersebut belum kumengerti sampai sekarang. Kedua pernyataan tersebut memanglah terdengar jahat, dan itulah kenapa aku terkejut saat Carter mengatakannya. Akan tetapi…
“Erno, aku ini juga seharusnya lebih baik mati saja. Bahkan jika kamu mau membunuhku sekarang juga, aku tidak akan keberatan.” Ucap Carter dengan tenang yang membuatku heran.
“Kenapa…kamu mengatakan hal seperti itu..?”
“Aku sudah tidak memiliki tujuan pasti di dunia ini. Aku belum mati karena aku masih tidak ingin mati. Agnes masih hidup karena dia masih tidak ingin mati. Jika dia mengambil nyawanya sendiri, aku tidak keberatan. Aku membenci sikapnya itu, tetapi aku tidak membencinya sampai ingin dia mati. Nyawanya adalah miliknya sendiri. Aku tidak meninggalkan Agnes begitu saja setelah mengetahui bahwa dia itu hanya membawa bencana saja. Buktinya, aku masih saja meladeninya, walaupun aku tidak menyelesaikan masalahnya itu dalam waktu satu tahun, dan bahkan lebih.”
“Lalu, kenapa kau—”
“Lalu, bagaimana denganmu, Erno? Kamu bukanlah siapa-siapa. Kamu masih belum bisa memahami orang lain kecuali dirimu sendiri. Kamu juga belum memahami dunia ini sepenuhnya. Apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku…”
Apakah aku harus mengerti semuanya agar dapat menjalani hidup yang benar? Apakah aku harus memahami perasaan semua orang dan juga memahami dunia ini? Apakah aku harus berjalan di jalur itu?
“Kamu tidak harus mengerti semuanya, Erno. Kamu boleh mengetahui semua, tapi apa kamu akan peduli dengan hal itu? Ini adalah duniamu, Erno. Namun, bukan berarti semuanya itu tentang kamu. Bukalah matamu, dan lihatlah semuanya. Selain itu, lihatlah dunia dari sudut pandang lain. Kamu bilang bahwa aku ini seperti sangat jauh dari segalanya, tetapi tidak. Aku ini sangat dekat dengan semuanya, aku sangat dekat denganmu. Ingatlah kenapa pada hari itu kamu menyerah.”
***
“Ramai sekali…”
Hari ini ada promo ‘cuci gudang’ atau apalah itu. Ada truk kecil yang masuk ke lapangan sekolah dan menjual hotdog dengan harga yang sangat murah. Aku mendengar berbagai testimoni yang mengatakan bahwa rasanya “benar-benar sangat enak lezat sekali”.
Apakah aku harus membelinya…
Setelah berpikir panjang, akhirnya aku membeli dua. Untungnya pelayanannya cukup cepat sehingga aku tidak mengantri terlalu lama, walaupun sekitar ratusan anak sedang mengantri. Yang menjadi keluhanku adalah kenapa mereka menjualnya di tempat yang terbuka, bukan tempat yang teduh?
Aku tidak akan menghabiskan hotdog ini sendirian. Aku akan memberikan satunya ke seseorang. Kebetulan aku melihat dia sedang berteduh di bawah pohon dekat lapangan.
Dia duduk sendirian dan hanya memandangi truk hotdog yang diserbu ratusan orang sejak awal bel istirahat berbunyi. Aku yakin dia ingin membelinya.
Bisa kubilang, wajahnya masih sangat suram sekali. Rambut coklat pendeknya yang sedikit kaku itu tidak menolongnya sama sekali. Tiap detik dia memandangi truknya, pandangannya makin rendah.
“Ini.”
Aku datang dari sampingnya dan memberikannya salah satu hotdog milikku. Dia menatap hotdog-nya dengan mata yang penuh cahaya. Aku tersenyum tipis karena lega bisa menghilangkan kesuramannya. Gini-gini, aku menyukai hal yang terang, lho.
Dia langsung mengambilnya, membuka bungkusnya, lalu memakannya. Dia melahap dan mengunyahnya dengan cepat. Bisa dilihat kalau dia itu lapar sekali. Tidak, aku tidak berniat memberikan makananku yang satu lagi. Aku juga butuh makanan.
Aku duduk di sebelahnya, sambil memandangi kerumunan orang-orang yang mengantri.
“Ini enak, bukan?” tanyaku kepadanya.
Dia hanya mengangguk pelan, kemudian menggigitnya makanannya lagi.
“Bagaimana? Kamu sudah tidak apa-apa?” tanyaku lagi. Aku merasa tidak enak menganggu waktu makannya tapi mau bagaimana lagi.
Dia mengangguk pelan lagi, dan kali ini dia sudah menghabiskan makanannya. Padahal aku baru menghabiskan setengahnya. Dia cepat sekali kalau makan.
Aku menghabiskan makananku dengan damai. Dia tidak berbicara sedikitpun. Suasana diantara kita menjadi hening sembari melihat ke arah truk yang makin lama makin sepi. Beberapa saat kemudian, penjual hotdog tersebut mengumumkan bahwa stoknya telah habis. Dia tidak menggunakan pengeras suara, jadi dia hanya berteriak seperti orang gila.
Perlahan, lapangan menjadi sepi. Kebanyakan dari mereka sudah memasuki ruangan kelas karena jam istirahat hampir habis. Kami berdua masih duduk santai dibawah pohon.
“Erno…”
Setelah sekian lama, akhirnya dia berbicara. Kali ini, dia memanggil namaku, bukan mengusirku.
“…Mengapa aku harus menyerah?” tanyanya.
Sudah kuduga dia akan bertanya hal seperti itu.
“Aku minta maaf, karena menurutku itu kurang pantas. Jika kamu masih bersikeras mencari ‘orang itu’, maka kamu lebih baik menunggu Carter saja.” Jawabku.
“Oh.” Responsnya.
Apa…yang ingin kucapai dalam hidupku sendiri? Apa yang harus kulakukan? Sejak dahulu, aku mencari perhatian karena aku sendirian dan selalu sendirian. Usahaku tidak ada yang pernah berhasil. Aku juga tidak memiliki pencapaian apa-apa dalam hidupku. Jika aku adalah orang yang lemah, mungkin aku sudah membunuh diriku sendiri.
Bukankah kamu juga sama, Agnes? Jika kamu tidak berusaha mencari ‘orang itu’, mungkin kamu sudah mengambil nyawamu sendiri sejak lama. Tetapi jujur saja, mengancam nyawamu sendiri agar orang lain menganggapmu serius itu sudah keterlaluan. Mungkin kamu bisa mencari cara lain yang lebih damai.
Jika aku ingin hidupku lebih terarah, apakah aku juga harus mencari ‘orang itu’? Heh, rasanya konyol sekali. Sekarang..
“Agnes…”
…yang ingin kulakukan adalah…
“…Apakah kamu mau main bersama setelah pulang sekolah nanti? Aku akan membantumu melawan Theo.”
…menjadi temannya.
“Huh?” Agnes terlihat kebingungan.
Benar. Aku menginginkan seorang teman dan aku ingin menjadi temannya. Agnes terlihat kesepian, jadi aku ingin menemaninya. Lagipula, aku tidak memiliki kegiatan klub ataupun sejenisnya. Aku masih punya waktu bermain dengannya.
Jika dia ingin membicarakan masalahnya denganku, itupun tidak apa-apa. Aku juga ingin mengerti tentang dirinya, sehingga mungkin aku bisa membantunya melalui semua masalahnya.
Jujur saja, aku masih tidak suka dengan sifatnya yang keras kepala dan suka memaksa orang lain. Mudah-mudahan saja aku dapat menahannya dan dia juga dapat memperbaiki sifatnya itu.
“Mau tidak? Lebih baik daripada mengulang terus, bukan?”
Agnes terlihat sedikit ragu, bahkan sempat menggigit bibirnya. Setelah dia berpikir beberapa saat, akhirnya dia menerima ajakanku.
“Baiklah…”
“Sip.” Jawabku sambil mengacungkan jempol kearahnya.
***
https://drive.google.com/file/d/1kDltCmROJ9Ur84mg25V1_WC_CXGVhMVj/view?usp=sharing
(share dalam bentuk link, karena kayanya posting gambar ngga bisa)
Erno and Agnes eating ice cream illustration. Aku tau ini ngga sesuai dengan isi chapter barusan, tapi aku cuma pingin share illustrasi ini.
Artist : https://twitter.com/faldeus_