“Kalian jangan lupa untuk mengerjakan PR-nya!”
Setiap hari pasti akan ada pekerjaan rumah. Tidak mungkin kami akan lupa, jadi diperingatkan pun tidak akan berguna. Yang menjadi kemungkinan malah kami akan lupa jika seorang guru tidak akan memberikan PR.
Beliau adalah guru terakhir yang mengajar hari ini. Setelah kami memberikan salam dan dia keluar dari kelas, semuanya bersiap-siap untuk pulang.
“Apa kamu tidak ada kegiatan klub, Erno?” tanya Nolan yang mehampiriku disaat memasukkan buku-buku ke dalam tas.
“Aku yakin kamu sudah tahu kalau aku tidak mengikuti klub apapun. Ya ya, aku tahu kalau aku ini tidak punya kehidupan yang produktif.”
“Hahaha! Jangan menyerah, dong! Apa kamu tertarik dengan klub seni? Aku adalah salah satu anggotanya.” Ucap Nolan.
Aku baru tahu kalau dia itu adalah anggota klub seni. Kukira dia masuk ke klub olahraga atau semacamnya karena dia cukup populer.
“Aku tidak tertarik dan berbakat di bidang itu juga. Selain itu, aku tidak menyangka kamu masuk ke klub seni, Nolan. Apa kamu mengejar seseorang?” tanyaku.
“Tenang saja, Erno. Aku ini tidak gay.” Jawabnya degan penuh percaya diri. Aku benar-benar tidak tahu kenapa dia mengambil kesimpulan kalau aku menuduh bahwa dia itu gay, tapi okelah, aku tidak terlalu peduli akan hal itu.
Aku mungkin saja bisa masuk ke klub seni asalkan ada teman, tetapi yang jadi masalah itu adalah aku benar-benar tidak berbakat di bidang itu. Terakhir kali aku menggambar, aku berhasil membuat satu sekolah mengejekku, bahkan guru-guru juga ikut mengejeknya. Itulah bukti dari kemampuan menggambar yang sangat istimewa, dan itu juga merupakan alasan kenapa aku benci dengan pelajaran geometri.
Ah!
Aku jadi ingat kalau ada pelajaran yang berkaitan dengan geometri yang belum kupahami. Mungkin aku akan belajar tentang itu sepulang sekolah.
Sepertinya aku akan tidur kurang dari 5 jam lagi ujarku dalam hati. Setidaknya, aku tidak akan terlihat bodoh.
“Baiklah, Erno. Aku akan ke ruang klub dulu!” ucap Nolan yang langsung berlari keluar kelas. Mungkin dia ada kencan dengan pacar lelakinya, aku tidak tahu.
Mungkin aku akan pulang juga. Aku juga tidak memiliki kegiatan lagi. Sudah seharusnya aku pula—
“Erno!!”
Seorang perempuan memanggilku di saat aku hendak keluar dari kelas. Dia adalah—yang menurutku—salah satu perempuan tercantik di kelasku. Namanya adalah Alice. Dia adalah gadis yang sangat menarik karena penampilan dan sifatnya. Dia adalah perempuan yang paling friendly disini. Rambut abu-abu pendeknya serta mata birunya yang bersinar bagaikan berlian terkadang membuat jantungku berdegup kencang. Namun tidak, aku tidak memandangnya sebagai wanita yang bisa menjadi pasanganku.
“Tolong gantikan aku piket membersihkan kelas!!” ucapnya yang sambil menghentakkan kakinya berkali-kali. Sudah terlihat sekali kalau dia sedang terburu-buru.
Dia meminta tolong kepadaku dengan senyum yang sangat dipaksakan. Walaupun dia cantik, tapi senyumannya itu sangat payah. Setidaknya dia masih bisa tersenyum walaupun sedang panik.
“Baiklah.” Aku terima permintaan tolongnya. Lagipula, kelas ini tidak banyak yang perlu dibersihkan, sehingga aku bisa menyelesaikannya dengan cepat.
“TERIMA KASIH!!!” serunya sambil mengambil tas dan berlari dengan cepat keluar ruangan. Aku tidak bisa menahan untuk tersenyum, karena menurutku sifatnya itu lucu sekali dan tidak sebanding dengan parasnya.
Aku terpaksa dan meletakkan Kembali tasku diatas kursi, lalu menghapus papan tulis. Ada dua orang lain yang membantu membersihkan kelas ini. Satu orang sedang menyapu, dan satu orang lagi membersihkan kaca kelas. Mungkin habis ini aku akan merapikan meja saja dan langsung pulang, sepertinya segitu saja sudah cukup.
Selagi menghapus papan tulis, aku merasa senang dan merenungi diriku sendiri. Tidak kusangka perempuan yang kuanggap paling cantik sekelas meminta tolong kepadaku. Tapi, kesannya seperti memanfaatkan diriku semata sih. Namun dibalik itu, menurutku menolong seseorang itu berarti bersedia untuk dimanfaatkan oleh orang tersebut. Jadi, aku pikir tidak masalah jika aku dimanfaatkan walaupun tidak berlebihan.
Hal itu membuatku berpikir, bagaimana pandangan teman-teman sekelas terhadapku? Aku memang hanya berbicara kepada beberapa dari mereka sekali atau dua kali, tetapi aku tidak bisa menyimpulkan impresi mereka terhadapku. Aku mencoba membaca emosi mereka, tetapi rasanya netral-netral saja.
Mungkin itulah impresi teman-temanku terhadapku selama kami menimba ilmu di tempat yang sama, yaitu bahwa aku ini biasa-biasa saja, atau bisa dibilang forgettable.
Memikirkan hal itu, juga membuatku sedih. Sebenarnya, apa yang ingin kucapai? Ini adalah cara keduaku selama di SMA yang berusaha membuat diriku sendiri popular. Rasanya, ini adalah kegagalan kedua yang bakal aku alami. Menjadi murid biasa akan membuatku menjadi orang yang biasa.
Aku juga tidak mempunyai teman yang dekat kecuali Nolan. Eh, Nolan sih dekat dengan semuanya, jadi aku tidak menganggap dia sedekat itu. Teman yang benar-benar dekat denganku hanyalah Carter. Tetapi…
“Huft..” memikirkannya hanya bisa membuatku menghela nafas panjang.
Sudah berapa hari sejak kejadian itu? Seminggu? Aku tidak menghitungnya. Yang aku ingat adalah, aku dan Carter sempat bertengkar setelah kejadian tersebut. Obrolan kami sangat panjang hingga aku tidak mengingat detail-detailnya, tetapi aku berharap untuk melupakannya saja. Mengingat atau melupakan pembicaraanku dengan Carter rasanya sama saja.
Aku tidak sedang bertengkar dengan Carter. Kami berdamai dengan cepat, bahkan kami berdua telah bermain sebentar beberapa hari yang lalu. Ya, hanya sebentar saja. Aku tidak ingin tidur 2 jam lagi.
Namun, hidupku rasanya makin hari makin hambar saja.
Apa yang harus aku lakukan..?
Setiap aku memikirkan apa yang harus lakukan, aku selalu teringat dengan betapa menakutkannya dunia ini. Terlalu banyak rahasia yang disimpannya. Kenapa aku memiliki kemampuan ini? Kemanakah rantai takdirku ini terikat? Apakah aku akan berjalan di sebuah jalur yang berbahaya?
Di sisi lain, aku tidak ingin memikirkannya.
Aku menyerah.
***
“Ah!! Akhirnya selesai!”
Aku seketika loncat bagaikan telah memenangkan olimpiade atau semacamnya. Habisnya, dalam waktu 2 jam aku bisa belajar geometri dan menyelesaikan PR untuk besok. Itu artinya lebih banyak waktu bermain sebelum jadwal tidurku.
“PELAYAN! Bawakan aku makanan! Biarkan aku menikmati kemenanganku malam ini!!”
Whoops, aku kelewatan. Aku membuka pintuku terlalu keras dan tidak sengaja mengeluarkan perkataan yang tidak pantas kepada orangtuaku. Eh, pasti mereka tidak peduli. Aku yakin bahkan jika aku buang air di depan mereka, mereka tidak akan marah.
Namun, tanpa kusadari, di saat aku berteriak, tidak ada siapa-siapa di rumah. Setelah kulihat-lihat lagi di semua ruangan, aku tidak bisa menemukan siapa-siapa.
“Mereka ada perjalanan bisnis lagi?”
Setidak pedulinya mereka, kedua orangtuaku tidak akan meninggalkanku membusuk sendirian dan aku bersyukur atas hal itu. Jika mereka tidak pulang hingga malam hari, maka mereka sedang melakukan perjalanan bisnis, atau apalah itu. Mereka pernah melakukannya sekali dan mereka juga menaruh uang di kamarnya untuk kuambil. Mungkin kali ini sama seperti itu, jadi aku cari saja besok pagi.
*tok tok*
“Hm?”
Aku mendengar suara ketukan pintu di saat aku akan mengeluarkan makanan dari dalam kulkas untuk kupanaskan. Aneh sekali jika ada orang lain yang datang pada jam segini. Apakah itu mungkin orangtuaku?
“Siapa?”
Tanpa berhati-hati, aku langsung membuka pintunya tanpa mengintip terlebih dahulu. Lagipula, siapa yang mau merampok rumah kecil ini?
Saat kubuka, ternyata yang mengetuk adalah Carter.
“Yo! Aku membawa pizza.” Sapanya.
“Aku lagi tidak ingin pizza.” Jawabku.
“Ini Cheese Mania.”
“Aku lagi ingin pizza. Silahkan masuk.”
Benar. Aku sangat suka dengan keju.