Aku mendengarnya. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar senandung yang berasal dari ketiadaan. Dimanapun dan kapanpun, aku mengengarnya. Walaupun di masa lalu, masa sekarang, dan masa depan, aku mendengarkannya.
Suaranya yang lembut itu bisa saja membuatku tertidur. Setiap saat aku mendengarnya, hatiku menjadi tenang, dan tentu saja aku mulai mengantuk. Aku menyukainya, tetapi tidak menyukai asal senandung itu.
Aku percaya bahwa semua orang pasti bisa mendengar senandungan ini. Namun, mereka menolaknya. Suara ini selalu terdengar, tetapi orang-orang menutup telinga dan hati. Mungkin saja, hanya aku yang menerimanya.
Suara itu sempat terhenti untuk beberapa saat. Kukira suara itu akan berhenti selama beberapa hari saja. Namun, sayangnya tidak. Aku telah menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, hingga kehidupan ini terulang Kembali, aku tidak bisa mendengarkannya Kembali.
Setelah penantian yang lama itu, aku menyadari bahwa aku tidak bisa mendengarkan senandungan lagu yang sama hingga akhir dari dunia ini.
Setelah beberapa siklus kehidupan kemudian, aku sudah tidak mengharapkan suaranya lagi. Lagipula, aku sudah berada di ujung dunia. Tidak akan ada kehidupan lagi setelah ini. Orang-orang yang kusayangi juga sudah meninggalkanku semua. Ah..kurang tepat. Lebih tepatnya, sekarang aku adalah satu-satunya manusia yang tersisa. Menghabiskan sisa waktuku hanya duduk di sebuah bangku tua.
Aku memakai sweter putih dan syal hitam, dan juga sedang memakan es krim coklat terakhirku. Malam ini tidak terlalu dingin, tetapi setidaknya aku ingin memakai pakaian favoritku dan memakan makanan favoritku sebelum aku meninggal, tenggelam dalam ketiadaan.
"Bahkan sampai akhir dari dunia ini, es krim ini masih enak seperti biasa! Haha!"
Sedikit bergurau di akhir hayat tidak apa, bukan? Setidaknya aku tidak ingin merasa kesepian. Ini lebih baik daripada meninggal dalam keadaan hening.
Aku menjilati es krimku pelan-pelan, hingga habis. Aku mematahkan stik es krim menjadi empat bagian sama Panjang, lalu membuangnya ke tempat sampah. Aku tidak tahu kenapa melakukan itu setiap kali memakan es krim, tapi memang sudah menjadi kebiasaan.
"Huh...sekarang apa?"
Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Server game kesukaanku masih mati. Tidak ada siapa-siapa disini. Aku tidak punya tempat untuk pergi.
Ironi...huh? Selama ini, aku selalu ingin mendapatkan perhatian seseorang, dan sekarang, aku benar-benar sendirian. Tidak ada siapa-siapa lagi di dunia ini.
"Kamu...tidak sendirian."
Heh, cukup aneh. Di saat sendirian begini, aku mendengar suara seseorang, yang bilang bahwa aku tidak sendirian...
Well, mungkin dia benar, karena di saat aku menaikkan pandanganku dan melihat ke arah depan, aku melihat seorang wanita yang berdiri di depanku. Sudah jelas bahwa sumber suara barusan adalah berasal dari dia.
"Kamu...tidak sendirian."
Dia mengulang perkataannya lagi. Aku tidak tahu kenapa dia merasa bahwa aku masih ragu dengan keberadaan dirinya, sehingga dia berusaha keras untuk meyakinkanku.
"Ya ya, aku tahu. Aku tidak sendirian."
Kalau boleh jujur, wanita di depanku ini cukup cantik dan benar-benar tipeku. Postur dan lekukan tubuhnya bagus, ukuran dada yang cukup, dan parasnya yang manis. Rambut coklat panjangnya yang sehalus sutra adalah nilai tambah. Dia juga makin terlihat dua kali lipat lebih menawan dengan gaun putih yang dipakainya. Apa mungkin aku dan dia bisa menjadi Adam dan Hawa yang baru? Heh, percuma. Aku masih belum tahu teknik-tekniknya.
"Kamu...tidak..."
Wanita di depanku berusaha mengulangi perkataannya lagi, tetapi terpotong. Saat kulihat wajahnya, dia menangis. Air matanya mengalir dengan deras.
Oh...
Aku langsung menyadarinya. Wanita ini benar-benar peduli kepadaku sampai-sampai dia menangis. Dia menangis karena khawatir akan diriku yang bakal merasa kesepian. Tenang saja, wanita cantik. Aku sudah makan es krim, jadi aku tidak merasa kesepian.
Akan tetapi, aku tidak bisa menenangkan dan menghapus air matanya. Aku baru menyadari, bahwa wanita yang berada di depanku ini tidaklah nyata. Dia hanyalah imajinasiku, tetapi bukanlah imajinasi semata saja.
Dialah adalah sumber dari senandungan yang biasa kudengar. Aku langsung paham setelah mendengar suaranya. Setelah melihat wajahnya lagi, aku paham bahwa dia hanya ada di dalam memoriku. Yang kulihat di depanku sekarang ini hanya proyeksi dari ingatanku, atau Bahasa simpelnya adalah imajinasi. Mungkin aku merasa terlalu kesepian hingga aku berimajinasi seperti ini.
Jika di dunia ini sama seperti komik superhero, maka satu-satunya manusia yang pantas disebut sebagai pahlawan adalah wanita yang di depanku ini. Dia hidup di memori semua orang hanya untuk menjaga mereka. Namun, semua orang menolaknya.
Akupun..sama saja. Aku juga tidak punya apa-apa. Aku berusaha meraih semuanya, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Pada akhirnya, aku tidak memiliki apa-apa.
"Pada akhirnya...semua sama saja..."
Sial...aku sudah tidak bisa menahannya. Air mataku mengalir deras dan aku tidak bisa menghentikannya. Aku kesepian. Aku menderita. Aku memikul beban dunia ini sendirian tanpa pencapaian apapun. Jika aku bisa..jika aku bisa...!
"Hmmm...Hmmmm~"
"...hehe."
Aku terkikik. Di saat aku menangis begini, aku terkikik. Betapa menyedihkannya aku. Aku terkikik karena tebakanku benar. Aku bisa mendengar senandungan ini darinya di akhir dunia.
Air mata wanita itu masih mengalir, dan sudah terlihat sekali bahwa dia berusaha sekeras mungkin. Walaupun suaranya masih bergetar...ini sudah cukup.
"Ini... sudah... cukup..."
***
Kamu tahu, dunia ini sangat menakutkan. Yah, setidaknya sedikit lebih menakutkan daripada gedung yang tinggi. Yang membuat dunia ini menakutkan adalah rahasia yang disimpannya. Manusia sudah terbiasa hidup dengan kesibukannya sendiri sehingga mereka tidak peduli dengan rahasia-rahasia dunia yang kemungkinan tidak akan memengaruhi kehidupan mereka.. Pekerjaan, sekolah, ataupun hal lainnya. Aku bukanlah pengecualian.
Di siang bolong ini, aku sedang menancapkan 5 paku ke sebuah kayu panjang yang akan kujadikan gantungan bajuku. Gantungan bajuku yang lama telah rusak dan aku enggan untuk membeli yang baru. Aku ingin menabung uang demi membeli kostum game dan tidak ada yang bisa menghentikanku.
Ayah dan ibuku sekarang tidak berada di rumah sehingga aku tidak memerdulikan suara pukulan paku yang dihasilkan akan mengganggu atau tidak.
"Selesai..."
Aku menggantung gantungan baju yang telah kebuat di salah satu sisi dinding dekat pintu.
"Wow. Aku benar-benar pekerja keras."
Tidak lupa pujian untuk diri sendiri. Aku tidak tahu kalau perbuatanku ini disebut malas atau pekerja keras. Mungkin pekerja keras, karena aku sudah bisa membuat barang untuk keperluanku sendiri.
Di saat aku puas dengan hasil pekerjaanku, aku baru sadar dengan serbuk kayu yang kuhasilkan dari memotong dan memasang paku ke kayu. Jujur saja, aku terlalu malas untuk mengambil sapu. Karena aku adalah orang yang sangat kreatif dan inovatif, aku mendapatkan ide yang brilian untuk membersihkan lantai kamarku dengan menggunakan buku catatan sekolahku.
"Ini sungguh brilian."
Dengan bangga diri, aku membuang serbuk kayu keluar jendela. Walaupun akhirnya bukuku sedikit kotor, pekerjaanku untuk membersihkan kamar telah selesai.
Ayah dan ibu telah pergi sejak pagi hari. Pada saat itu juga, aku berjalan keluar untuk mencari sebatang kayu. Beberapa blok dari sini ada rumah yang sedang di renovasi. Aku pikir, seharusnya disana setidaknya ada beberapa kayu, dan bingo, aku menemukannya. Aku kembali ke rumah dan segera melakukan pekerjaanku. Jadi, dari tadi pagi, aku tidak sempat bermain sama sekali.
Aku tidak memiliki rencana apapun untuk hari ini, sehingga aku berencana untuk bermain hingga malam.
"Baiklah, waktunya beli makanan dan minuman untuk mengurung diri."
Belum mandi, belum menyisir rambut, aku langsung keluar menuju supermarket terdekat. Tubuhku dipenuhi kegirangan untuk melanjutkan petualangan di game online yang bernama "Cursed Mage". Game itu rilis 2 tahun yang lalu dan masih populer sampai sekarang. Alasanku menyukai game itu adalah plotnya yang sangat menarik dan dunianya yang sangat menarik untuk dijelajahi. Walaupun ini merupakan MMO, aku seringkali bermain sendirian. Mungkin sekali atau dua kali mengajak orang asing untuk mengalahkan bos bersama.
Aku tahu hidupku tidak sempurna, tapi sebahagia inilah kehidupanku sekarang. Cukup normal, dan aku bisa menghabiskan waktuku untuk kegiatan yang benar-benar kusukai. Aku adalah salah satu contoh manusia yang lalai.
Di balik langit biru yang cerah sekarang, terdapat banyak rahasia yang menakutkan. Walaupun dunia ini sangat indah, aku menolak untuk melihat lebih dalam. Disengat oleh cahaya matahari, ataupun terbakar olehnya, lebih baik daripada mengetahui semua dan berusaha untuk ikut campur di dalamnya.
"Bukankah ini yang kamu inginkan, Aria?"
Yang bisa kulakukan hanyalah tetap maju.
***
Aku telah tinggal di daerah perumahan ini sejak kecil. Banyak yang berubah, tetapi sebetulnya masih sama saja. Dulu, aku sering sekali duduk di taman bermain di daerah sini. Banyak sekali anak yang bermain, tetapi aku hanya duduk di bangku bawah pohon sambil menikmati es krimku. Kuakui, hari-hari itu adalah hari-hari terbahagiaku. Hanya dengan melihat anak-anak yang bermain, aku sudah cukup senang. Namun, sayangnya taman itu sangat sepi sekarang, hampir tidak ada anak yang bermain.
"Mungkin aku akan ke sana sebentar setelah ini." gumamku.
Setelah beberapa saat, aku telah sampai di supermarket favoritku. Bukan supermarket yang terlengkap, tapi aku punya banyak kenangan disini. Cat berwarna biru yang menghiasi dinding serta lagu tema supermarket yang selalu dipasang setiap saat membuatku merasa bahagia dan nostalgic.
Aku tidak sabar untuk masuk, dan segera melangkahkan kakiku mendekati pintu.
"Agh!"
Secara tidak sadar, aku menabrak seseorang dan membuat makanan yang dipegangnya terjatuh. Bungkus makanan tersebut terbuka sehingga isinya tercecer semua.
"Ah! Maaf!" secara refleks aku meminta maaf kepadanya.
Orang yang kutabrak adalah seorang gadis yang lebih pendek dariku. Rambutnya pendek dan berwarna coklat. Dia yang menunduk menatap makanannya yang jatuh, kemudian menatapku tajam dengan mata coklatnya yang menyeramkan itu.
"Tunggu sebentar! Akan kuganti!"
Aku langsung bergegas masuk dan segera membelikan pengganti untuknya. Aku tahu persis dimana rak makanan yang tadi kujatuhkan dan bergegas untuk mengambil dan segera menuju kasir. Setelah kubayar, aku langsung menuju keluar pintu, tetapi gadis itu telah pergi.
"Sial..."
Kalau saja aku lebih konsentrasi, mungkin aku tidak akan membuatnya marah. Aku selalu kehilangan kontrol jika datang ke supermarket ini.
Aku tidak mengenal gadis itu. Dia memakai pakaian kasual dan kesini dengan jalan kaki, mungkin rumahnya tidak jauh dari sini. Apakah dia orang baru disini? Kalau iya, sayang sekali aku membuatnya marah saat pertemuan pertama. Mungkin lain kali akan kutraktir dia es krim kalau bertemu lagi.
Aku masuk kembali ke supermarket, kemudian membeli beberapa bungkus keripik dan minuman, dan juga tidak lupa es krim rasa coklat.
Sebelum mengurung diri ke kamar, aku memutuskan untuk pergi ke taman yang sering kukunjungi saat kecil.
Aku terkekeh, karena tidak ada yang berubah. Malahan, taman ini lebih tidak terawat. Perusutan, jungkat-jungkit, dan mainan lainnya bisa dibilang telah rusak dan berkawat. Namun, ada satu hal yang benar-benar tidak berubah, yaitu bangku dan pohon yang meneduhinya. Bangkunya terbuat dari kayu dan bisa dibilang cukup kuat. Aku mencobah menggoyangkannya, tetapi masih tetap berdiri tegak dan tidak goyah.
"Cukup kuat, bukan?" ucap seseorang di belakangku. Suaranya tidak asing bagiku karena kami sebenarnya cukup dekat.
"Benar juga, Adrik. Tidak kusangka akan tahan selama ini."
"Tumben sekali kamu ke sini. Tempat ini bisa dibilang sudah mati, loh." Ucapnya yang terlihat sedikit kecewa karena anak-anak sekitar sini tidak tertarik untuk bermain di taman ini.
Mungkin sudah 5 atau 6 tahun aku tidak ke taman ini. Aku sudah lupa kenapa aku tidak mampir ke taman ini lagi. Apa mungkin karena bosan?
Aku kenal Adrik karena tempat tinggalnya tidak jauh dari sini, sehingga saat dulu aku sering ke taman ini, aku juga sering bertemu dengan Adrik. Walaupun sudah tidak ke sini, terkadang aku masih bertemu dan berbicara dengan Adrik. Dia adalah duda berumur 40 tahun. Istrinya sudah lama meninggal dan tidak meninggalkan seorang anak, jadi sekarang dia hidup sebatang kara. Dulu aku sempat bertanya kepadanya kenapa dia tidak mencari wanita lagi, tetapi dia menolak untuk mencari istri baru. Benar-benar pria yang setia.
Kami berdua duduk di bangku yang tua ini. Kebetulan aku membeli es krim lebih dari satu, sehingga kuberi dia satu.
"Benar-benar membawa kenangan yang indah. Duduk bersamamu dan memakan es krim favoritmu. Hahaha!" tawanya sambil memukul punggungku. Dia benar-benar terlihat bahagia.
"Ouch!"
"Oh? Rupanya kamu makin lemah ya, Erno."
"Bukan! Kamu saja yang memukulnya terlalu keras!"
Dia adalah pria yang kekar. Harusnya dia sadar diri akan itu. Harusnya dari dulu dia sadar diri. Memang kebiasaannya bergurau sambil memukul punggung orang dengan keras. Bahkan teman lamaku pernah menangis karena itu.
"Oh, bagaimana kabar Aria? Aku jarang bertemu dengannya." Tanya Adrik penasaran.
"Aria..."
Entah kenapa, ketika membicarakan Aria, rasanya berat sekali. Dia adalah teman lama yang kusinggung sebelumnya. Kami berdua sering singgah di taman ini. Entah itu mengobrol atau memakan es krim bersama. Mungkin ini sedikit memalukan karena dia lebih muda dari aku, tetapi dia adalah salah satu orang yang memberi pengaruh yang besar dalam diriku. Dia adalah salah satu orang yang membentuk diriku yang sekarang ini.
Tidak, Aria belum meninggal. Dia sehat-sehat saja. Hanya saja kami jarang bertemu satu sama lain. Mungkin dia sudah punya kesibukan sendiri. Yang membuatku enggan berbicara tentangnya adalah...
"...Tidak tahu. Aku jarang bertemu dengannya." Jawabku. Aku tidak berusaha untuk menyembunyikan ekspresiku, sehingga Adrik tahu bahwa aku keberatan untuk melanjutkan.
"Mungkin aku akan memperbaiki semua yang ada di taman ini, sehingga taman ini bakal ramai lagi."
"Ide bagus, Adrik. Aku mendukungmu!" jawabku sambil menepuk punggung Adrik.
"Lemah!" Adrik membalasku dengan kekuatan 10 kali lipat dan membuatku mengeluarkan es krim yang telah kutelan semua.
"AAARGH!!!"
***
Ini gawat, aku kurang tidur. Aku berencana untuk tidur hanya 5 jam, yang biasanya sudah cukup bagiku. Namun, karena keterusan, aku hanya tidur 3 jam.
Untungnya aku sudah mengerjakan PR jauh hari, tetapi aku tidak bisa merisikokan nama baikku karena ketiduran di kelas. Aku duduk di deretan bangku nomor dua dari depan dan berada di depan papan tulis. Jika aku ketiduran di sini, maka tamatlah nama baikku.
Bel sekolah berbunyi, dan guru masuk ke kelas tidak lama kemudian. Sang ketua kelas memerintah teman-temannya untuk berdiri dan memberi salam. Namanya adalah Nolan. Aku memiliki hubungan yang baik dengannya, walaupun kami berdua tidak terlalu sering mengobrol. Memang dia adalah tipe pemimpin dan sudah selayaknya dia menjadi ketua kelas. Kepribadiannya yang penuh wibawa membuat semua orang segan terhadapnya. Jujur saja, aku sedikit merasa iri kepadanya karena semua orang mengakuinya sebagai orang yang "hebat". Apakah suatu saat aku dapat mengalahkannya? Siapa tahu.
Dan hal itulah yang membuatku jengkel. Jika aku ingin "mengalahkannya", maka setidaknya aku harus punya kepribadian yang mirip dengannya dan bisa bersosialisasi dengan baik ke sekitarku. Nyatanya, aku tidak dekat dengan siapa-siapa disini, kecuali Nolan sendiri.
Aku sebenarnya punya satu "teman dekat" lagi selain Nolan. Dan itu adalah...guruku sendiri.
"Kali ini maumu apa, Erno?"
Di saat bel istirahat berbunyi, aku langsung bergegas ke ruang guru dan ke mejanya. Namanya adalah Carter. Aku tidak menyebutnya dengan sebutan "Pak" karena kami sudah cukup dekat. Sebenarnya, kita menjadi "teman" karena sering melakukan pertukaran informasi.
Setahun yang lalu, tepatnya saat aku kelas 1 SMA, aku adalah bocah yang benar-benar normal. Tidak ada yang mencolok dariku. Aku tidaklah kharismatik dan berbakat, sehingga aku tidak terlalu dipandang oleh orang-orang sekitarku.
Aku selalu ingin menjadi pusat perhatian, tetapi aku tidak bisa. Pada masa SMP, aku adalah bocah pembuat onar dan hasilnya malah berbanding terbalik dengan apa yang aku harapkan dan aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku mencoba untuk menyalonkan diri menjadi ketua kelas, ikut klub basket dan klub modern dance karena kedua klub tersebut adalah klub yang populer di sekolah, tetapi semua usahaku gagal. Aku mendapatkan 0 suara dalam pemilihan ketua kelas, dan aku memutuskan untuk keluar dari kedua klub tersebut.
Aku benar-benar terjebak di dalam kegelapan, tidak bisa melihat apapun sehingga tidak peduli kemana aku pergi, tidak akan mencapai kemana-mana. Saat semester kedua, aku memutuskan untuk memperbanyak waktu mainku, karena hasilnya pasti sama saja. Bagus atau jelek, tidak ada yang peduli dengan nilaiku. Tidak ada yang peduli denganku.
Nolan adalah orang pertama yang mau mendengarkan keluh kesahku. Namun, dia menyarankan untuk hidup normal saja, tanpa mengharapkan perhatian. Benar-benar saran yang sampah. Kemudian, aku bertemu dengan Carter dan berbicara kepadanya.
Ah...
Walaupun sangat samar, aku bisa melihat cahaya. Cahaya yang akan membawaku kepada penyelamatan yang selama ini kucari. Penyelamatan yang dia berikan adalah...tidak ada. Dia tidak memberikan saran atau bantuan kepadaku sama sekali. Dia hanya sering mengajakku bermain game dan tidak memperbaiki keadaanku sekarang. Aku sangat benci dengan orang ini. Akan tetapi, dia cukup menyenangkan untuk diajak bicara. Well, hanya orang ini yang kudapatkan di dalam kegelapanku.
"Aku bosan."
"Aku bukan penghiburmu, Erno. Ini sudah tahun keduamu, seharusnya kamu sudah punya beberapa teman." ucapnya sambil menata kertas-kertas yang berada di mejanya. Kulihat sekilas, kertas-kertas itu adalah survey karir murid-murid tahun ketiga.
"Ternyata kamu juga mengajar murid tahun ketiga, ya, Carter."
Carter menghela nafas, terlihat sedikit kesal. "Tiba-tiba aku ditugaskan untuk menjadi wali kelas. Sudah kutegaskan berkali-kali bahwa aku ini tidak cocok menjadi wali kelas. Aku hanya bisa mengajar berhitung. Hanya itu saja. Jika aku diperintahkan untuk membimbing murid, maka murid-muridku akan jatuh ke jurang kebodohan yang dipenuhi oleh kegagalan."
Dari yang kuketahui, Carter sebelumnya hanya mengajar murid tahun kedua saja. Sekarang, dia benar-benar sibuk, apalagi menjadi wali kelas. Sekolah ini terkenal sangat peduli dengan murid-muridnya. Mereka ingin murid tahun ketiga setelah lulus nanti, jalan menuju karirnya sudah jelas. Oleh karena itu, pihak sekolah akan seringkali mengadakan survey karir.
"Aku yakin kamu pasti bisa, Carter!"
"Jangan pura-pura menyemangatiku. Kamu sendiri adalah murid bimbinganku secara tidak langsung. Sekarang lihatlah dirimu. Bibit kegagalan yang lebih gagal daripada saudara-saudara spermamu."
Jika aku boleh dan bisa melakukannya, maka aku akan memukul orang ini dengan sekeras-kerasnya. Cara dia mengejek sangatlah kreatif sampai aku bingung apakah aku harus tertawa atau marah.
"Omong-omong, Erno, apakah kamu tahu ruangan kosong di dekat ruangan klub seni?" tanya Carter tiba-tiba.
"Ada apa?"
"Aku berencana membuat klub hobi gaming. Aku sudah mengajak satu orang lagi dan dia bakal ke tempat itu sepulang sekolah. Tolong berkenalanlah dengan dia."
"Dia ...? Lalu, kenapa tiba-tiba—"
"Tolong."
Aku hanya ingin bertanya kenapa dia tiba-tiba ingin membuat klub yang aneh. Namun, Carter memotong ucapanku dan meminta tolong dengan tegas. Ucapannya barusan yang disertai raut muka serius membuatku sedikit terkejut.
"Carter, apakah kamu setidaknya bisa mengatakan alasanmu melakukan semua ini secara tiba-tiba? Aku tidak menyangka kamu ingin membuat klub yang aneh dan tidak berguna."
"Dia memintanya."
"Dia? Orang yang kamu singgung tadi?"
"Benar. Kali ini, tolong."
Ini cukup aneh...
"...Baiklah. Apakah kamu akan datang juga?"
"Kemungkinan tidak. Aku ada sedikit urusan seusai sekolah dan akan menjemput anakku."
Aku sempat lupa kalau Carter sebenarnya sudah memiliki seorang anak.
"Baiklah, aku akan ke sana."
Persetujuanku untuk pergi ke ruangan klub kosong untuk menemui calon anggota klub itu membuatnya lega. Seakan-akan semua bebannya tiba-tiba hilang. Bisa terlihat ada senyuman tipis di wajah Carter.
Ini tidak seperti biasanya...
Perilaku Carter membuatku sangat penasaran, sehingga aku memutuskan untuk pergi ke ruangan klub kosong tersebut.
***
Bel sekolah berbunyi, menandakan sekolah hari ini telah usai. Kami memberi salam kepada guru yang dipimpin oleh Nolan, kemudian guru keluar kelas sembari kami merapikan buku diatas meja dan memasukkannya ke dalam tas.
Sebelum aku sempat berdiri, Nolan datang kearahku.
"Apakah kamu langsung pulang, Erno?"
"Tidak. Kebetulan aku ada kegiatan."
Nolan sedikit terkejut mendengar responsku, karena dia tahu kalau aku sudah keluar dari semua klub yang sebelumnya aku sudah terdaftar didalamnya, jadi dia mengira aku tidak memiliki kegiatan sepulang sekolah.
"Woah, apakah kegiatan klub?"
"Itu..."
Aku tidak tahu kalau aku boleh memberi tahu nama klub yang akan dibuat ini atau tidak. Jujur saja, dalam kasus ini, Carter cukup misterius. Aku tidak tahu apakah klub ini legal atau tidak.
"...aku hanya akan bertemu seseorang."
"Pernyataan cinta?"
"Tidak."
Mengambil kesimpulan dengan cepat tanpa pikir panjang adalah salah satu ciri khas Nolan. Aku ingin menyinggung sifatnya itu yang tidak cocok bagi seorang pemimpin, tetapi aku takut menyakiti hatinya. Well, seharusnya aku tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, karena seharusnya orang seperti dia mampu menerima kritik dan saran dengan baik. Mungkin lain kali saja.
Hubunganku dengan Nolan bisa dibilang agak lucu, setidaknya bagiku. Aku menganggapnya sebagai salah satu teman dekatku, yang padahal kenyataannya tidak. Aku tidak banyak tahu tentangnya sehingga aku sedikit ragu untuk bicara apa adanya. Aku bahkan tidak tahu dia masuk ke klub apa.
Kami berdua berpisah setelah Nolan mengingatkanku untuk mengerjakan PR. Dia pergi menuju ruang guru karena ada sebuah urusan katanya, dan aku menuju ruang kosong di sebelah ruang klub seni.
Seseorang sedang menungguku...
Entah kenapa, jika memikirkan hal itu, membuat jantungku berdebar sedikit lebih kencang. I don't know, man, tetapi memikirkan ada seseorang yang menungguku, tampak seperti aku ini diinginkan. Perasaan yang kekanak-kanakan, aku tahu. Tapi, mau bagaimana lagi.
Kemudian, aku sampai. Pintu ruangan yang akan kumasuki ini tidak berlabel. Dulu ketika aku melewati pintu ruangan ini, kukira hanyalah gudang, sehingga aku tidak terlalu memperdulikannya.
Aku membuka pintunya perlahan...
"..."
Satu meja, 3 kursi. Di atas meja tersebut, ada satu laptop yang menyala dan seseorang menggunakannya. Lebih tepatnya, seorang perempuan berambut pendek dan berwarna coklat. Pandangannya sangat fokus ke arah layar laptop, hingga aku sedikit ragu untuk membuyarkan konsentrasinya.
Sambil aku membuka pintu perlahan, aku mencoba mengamatinya juga. Jika didengar dari laptopnya, dia sedang memainkan game yang kebetulan juga aku mainkan, yaitu "Cursed Mage".
Dari sound effectnya, dia melawan mid-game boss dungeon, "Theo, The Tree Guardian". Dengan mengambil asumsi level karakternya sesuai dengan syarat minimum untuk memasuki dungeon tersebut, maka seharusnya dia tidak kesulitan. Moveset-nya tidak sulit untuk dihafal dan damage-nya juga tidak terlalu besar. Jika kubuat suara, seharusnya dia tidak seberapa terganggu...
"Permisi..."
Sesaat setelah aku membuat suara, bola matanya berputar dan pupilnya menatap tepat ke arahku. Aku terpatung karena tatapan matanya yang begitu tajam. Kedua tangannya tetap memainkan game walaupun dia tidak menatap layarnya.
A-apakah dia marah?
Dia mengeluarkan aura pembunuh yang sangat besar dan mengarahkan itu tepat ke arahku, yang terpaksa membuat merasa gelisah.
Perempuan ini...
Wajahnya tidak asing. Aku pernah menemuinya sekali dan sangat sebentar. Dia adalah perempuan yang kujatuhkan makanannya di depan supermarket itu.
Dia menatapku beberapa detik, hingga memutuskan untuk menatap kembali layar laptopnya. Aku anggap itu adalah kode bahwa dia memperbolehkanku masuk, sehingga aku duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengannya.
Aku tidak suka dengannya. Aku tidak suka dengan siapa pun yang memberikan kesan yang tidak enak sepertinya. Jika saja, Carter tidak menyuruhku...
Dia benar-benar tidak memperdulikan keberadaanku. Dia melanjutkan game-nya sama seperti sebelum aku datang ke sini. Hari ini aku tidak membawa laptop, jadi aku tidak bisa ikut bermain dengannya.
Keadaan menjadi canggung bagi diriku untuk beberapa menit ke depan, karena aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Rasanya dia akan membunuhku jika aku buka mulut sedikitpun.
Kemudian, aku menemukan kesempatan di saat sound-effect kemenangan terdengar dari laptopnya. Aku pikir ini adalah kesempatan yang bagus untuk mulai berkenalan dengannya.
"H—"
"Keluar."
***
"Dan itulah kisahku."
"Apakah kamu ini dibenci secara universal? Jesus."
Aku tidak akan memaksa diriku. Sesaat perempuan itu mengusirku, maka aku beranjak keluar dari ruangan itu. Aku langsung menunggu Carter di tempat parkir, dan sekarang aku berada di mobilnya dan menceritakan semuanya.
Bahkan Carter setuju bahwa tindakannya itu diluar akal. Carter sendiri sudah bilang kepadanya bahwa ada orang lain yang akan datang ke ruangan itu, jadi perempuan itu tidak memiliki hak untuk mengusirku. Carter hanya bisa menghela nafas panjang.
"Oh well, biarkan saja. Yang penting kamu tidak terluka"
"Apakah memang bisa sampai separah itu?"
"Mungkin. Who knows?"
Kami berdua sedang dalam perjalanan menuju sekolah anaknya Carter. Anaknya tidak langsung pulang ke rumah karena ingin pergi ke suatu tempat bersama ayahnya. Mungkin setelah sampai, aku akan langsung pulang dengan jalan kaki.
"Jadi, siapa nama anak perempuan itu?" tanyaku.
"Agnes. Dia adalah adik kelasmu."
Oh? Kukira dia seangkatan denganku. Cukup berani juga dia untuk berperilaku seperti itu.
"Sebetulnya, aku pernah menemuinya sekali."
"Sungguh?"
"Well, technically. Tapi aku tidak pernah bicara dengannya."
"Hmm...kalau tidak salah, dia memang tinggal tidak jauh dengan rumahmu."
"Figures. Tidak mungkin juga dia berjalan kaki untuk ke supermarket dekat rumahku kalau dia tinggalnya jauh dari situ."
"Kalau begitu, kamu bisa mengunjungi rumahnya dan berteman dengannya."
"Kenapa kemu memaksaku, Carter? Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?"
"Jika aku lakukan, maka kamu akan menggunakan kesempatan itu untuk menelpon polisi. Dan juga, kamu itu helplessly virgin jadi kurasa tidak ada salahnya jika dekat dengan satu atau dua perempuan."
"Duda sepertimu juga seharusnya mencari istri baru."
"Hmm...Salah satu guru yang dekat dengan anakku cukup cantik dan muda. Mungkin aku bisa menikahinya."
Huhh...aku tidak bisa melawan orang ini. Sepintar apapun ejekkannya terhadapku, aku tidak bisa membalasnya. Aku memang tidak berbakat dalam mengejeknya dan dia hanya menerimanya begitu saja.
***
"Papa!"
"Irina!"
Kami sampai di sekolah anaknya Carter. Nama anaknya adalah Irina dan berumur 7 tahun. Aku bisa tahu kalau hubungan mereka sangat dekat karena Irina langsung loncat seperti anjing kecil ketika melihat ayahnya.
Yang mendampingi Irina adalah salah satu guru di sekolah ini dan mereka rupanya sangat dekat, bahkan Carter percaya untuk menjaga putrinya hingga sore.
Irina melihatku dan kebingungan karena masih belum mengenalku.
"Halo, Irina! Namaku Erno!"
Aku mencoba untuk seramah mungkin agar Irina merasa nyaman. Rupanya sedikit berhasil karena kebingungan yang terpajang di mukanya sedikit berkurang.
Carter berterima kasih kepada guru yang telah menjaga Irina, lalu menggandeng Irina untuk berjalan ke arah mobil.
"Baiklah, Carter, kalau begitu aku—"
"Ikutlah. Nanti kuantar kau pulang."
Baguslah, aku dapat tumpangan gratis.
Kami bertiga masuk ke dalam mobil. Awalnya aku akan duduk di kursi baris depan sebelah Carter, tetapi anaknya protes dengan keras hingga memukuliku. Sebagai kakak yang baik hati, aku mengalah dan duduk di belakang.
"Asyiik! Menuju ibu!!" seru Irina ketika mesin mobil berhasil dinyalakan oleh Carter.
Aku sedikit terkejut mendengar seruan Irina. Akan tetapi, aku langsung paham kemana kita akan pergi.
Aku tidak bisa berkomentar apa-apa karena seharusnya aku tidak disini. Lalu, kenapa Carter membawaku?
Carter dan anaknya sedang berbagi cerita dan aku merasa tidak enak untuk memotongnya. Melihat anaknya yang masih tersenyum lebar, jujur saja membuatku sedikit merasa sedih. Carter bercerita bahwa istrinya meninggal saat anaknya berumur masih 2 tahun. Sejak saat itu, Carter membesarkan anaknya sendirian. Aku tidak tahu penyebab meninggalnya dan aku menolak untuk bertanya.
***
Kami sampai. Aku berdiri di depannya. Carter sempat membeli bunga sebelum kesini dan sekarang dia meletakkannya.
Mereka berdua berdoa, lalu Irina memeluk batu nisannya, seakan-akan batu itu adalah sosok ibunya.
"Ayah, apakah kita bisa melihat ibu?"
"Bisa, tapi sayangnya ibu masih kelelahan. Jadi, biarkan dia beristirahat dulu, nak. Nanti, kamu bisa main sepuasnya bersama ibu!"
Aku bisa melihat betapa susah payahnya Carter mencari jawaban seperti itu demi anaknya. Dia adalah tipe orang yang brutally honest terhadap hal seperti ini—hal-hal yang sudah menjadi fakta —. Jika ada sesuatu yang terlihat bodoh, maka dia akan mengatakan bahwa hal itu bodoh. Jika ada sesuatu yang bernafas, maka sesuatu itu adalah makhluk hidup. Jika seseorang telah mati, maka kita tidak akan bisa melihatnya kembali.
Namun, dibalik semua realita tersebut, masih ada banyak misteri dibaliknya. Salah satunya adalah, setelah manusia mati, kemanakah jiwa akan pergi? Banyak yang mengatakan bahwa jiwa akan pergi ke surga atau neraka dan ada yang mengatakan bahwa jiwa tersebut tidak akan pergi kemana-mana, atau bahkan ada yang mengatakan bahwa jiwa itu tidak pernah ada. Tidak ada yang tahu persis.
Oleh karena itu, dunia ini sangat menakutkan. Orang yang takut kepada dunia ini adalah orang yang menyadari akan rahasia yang disimpannya itu, dan aku adalah salah satu dari mereka.
Sebuah cahaya hijau tiba-tiba muncul di depanku. Cahaya tersebut seperti cahaya yang dipancarkan oleh kunang-kunang, tetapi ini bukanlah kunang-kunang. Tidak lama kemudian, aku bisa banyak melihat lebih banyak cahaya yang mengelilingi kami. Lalu, tanpa kusadari, semuanya dipenuhi oleh cahaya hijau tersebut.
Irina tetap memeluk dan berbicara kepada batu nisan ibunya, menceritakan hal yang sama seperti dia ceritakan kepada Carter sebelumnya. Walaupun aku melihat banyak sekali cahaya hijau ini, dia tidak terganggu sama sekali. Alasannya adalah karena dia tidak dapat melihatnya.
Di tempat ini, hanya aku dan Carter yang dapat melihatnya. Kami telah mengetahui pemandangan ini sejak lama. Walaupun sudah terbiasa melihatnya, tetapi hati kami masih belum terbiasa. Kami selalu merasa takut. Melihat rahasia dunia ini dengan mata telanjang membuat kami tertegun.
Semua cahaya ini adalah jiwa-jiwa manusia yang telah meninggal. Mereka tidak pergi menuju surga ataupun neraka. Mereka hanya tinggal di dunia ini, entah sampai kapan. Cahaya-cahaya ini tersebar di seluruh dunia dan entah berapa milyar jumlahnya. Ini adalah rahasia dunia yang hampir semua orang di dunia tidak ketahui.
Aku dapat memilih kapan untuk bisa melihat cahaya-cahaya ini, sama seperti Carter. Namun, terkadang cahaya ini tampak di mata tanpa kami sadari. Aku mengetahui rahasia ini sejak kecil, tetapi menolak untuk mencari tahu lebih dalam.
Aku dan Carter berdiri di belakang Irina sambil menunggunya puas bercerita. Carter menoleh ke arahku dengan ekspresi yang serius. Kali ini, bukan ekspresi serius yang berniat untuk mengejek atau memarahi, tetapi serius untuk berbicara tentang sesuatu yang benar-benar serius.
Dia berkata, "Dari dalam lubuk hati, aku meminta tolong kepadamu, Erno. Tolong."
Ucapannya tersebut dipenuhi oleh aura kemisteriusan yang tidak bisa kuabaikan. Aku tahu betul apa permintaannya tersebut dan tidak berbeda dengan apa yang dia minta tolong sebelumnya.
Dari perkataannya itu, aku tahu bahwa "klub hobi gaming" hanyalah kebohongan semata. Permintaan sebenarnya adalah untuk aku mendekati Agnes. Mungkin terdengar konyol, tetapi Carter tidak pernah mengatakan hal yang konyol dengan muka serius seperti ini.
Aku tidak tahu kenapa Carter tidak mengatakannya secara langsung apa alasannya dibalik semua ini. Akan tetapi, entah mengapa aku yakin akan satu hal.
Perempuan itu, Agnes, memegang sebuah rahasia lain dari dunia ini. Aku tidak bisa memikirkan kemungkinan lain selain itu. Aku dan Carter menjadi dekat bukan hanya kesamaan hobi, tapi kesamaan diri kita yang dapat melihat semua ini.
"Memang berhubungan dengan itu ya..."
Aku sudah memutuskan untuk tidak menggali terlalu dalam berkaitan dengan hal-hal ini. Aku yakin begitu juga dengan Carter, melihatnya yang tidak pernah menjelajahi ke teritori aneh yang berkaitan dengan semua ini.
Apakah jika aku menerima permintaan tolong Carter adalah Tindakan yang benar? Apakah jika aku menerimanya, aku akan melangkah terlalu jauh?
"Erno—"
Sudah cukup. Aku tidak ingin jual mahal dan melihat Carter membungkukkan badannya dihadapanku.
"Carter, setelah semua ini berakhir, tolong beritahu semuanya."
***
Author's note
Akhirnya bisa kembali menulis. Aku targetin cerita ini, setidaknya bagian pertama, bakal selesai akhir tahun ini dan bakal ku update secara berkala. Terima kasih sudah berkunjung!
Kalau ada typo, kata yg ter-autocorrect sama word, atau suatu ketidak konsistenan boleh diberitahu.