Bulan selalu bersinar sempurna pada satu malam. Tepat pada tanggal lima belas dalam satu bulan hijriyah. Harusnya malam ini bulan itu bersinar terang, lebih terang dari cahaya lampu. Tapi nampaknya awan gelap terlalu cemburu apabila keindahan bulan dinikmati oleh manusia. Yah.. itu tidak masalah bagi ku.. justru awan yang menuangkan air itu sedikit membantu.
Bau darah sangat terasa menyatu dengan bau bubuk mesiu, banyak mayat tergeletak disetiap sudut. Entah itu yang masih utuh atau yang sudah terpotong-potong. Hanya ada satu orang saja disana yang masih berdiri dengan senjata ditangannya. Sebuah pedang pendek yang memancarkan cahaya biru apabila berada dalam kegelapan dengan sisa bercak darah dari korbannya.
Rambut hitam bergelombangnya, basah kuyup akibat hujan. Dari yang tadi ku lihat adalah sebuah pesta dengan banyak pinata yang ku hancurkan, dan baru aku sadar kalau pinata yang berlarian kearah ku, memkul ku dengan pelan itu ternyata adalah manusia.
Melihat kesekeliling ruangan, akhirnya ku putuskan untuk pergi. Tak ada lagi yang bisa dilakukan disini selain bermain-main dengan mayat. Sepanjang lorongpun semuanya sudah dipenuhi oleh mayat-mayat yang bertebaran, hingga sampai ke pintu keluar, ada seseorang yang sedang merangkak menjauhi gedung semi permanen yang jadi tempat pembunuhan berantai.Tak kuat lagi berjalan, akhirnya dia terpeleset jatuh dengan lukanya terlebih dahulu.
Mengambil kotak kecil dari saku jaket ku, kuputuskan untuk menghampirinya. Terlihat sekali raut horor diwajahnya begitu melihat ku, tapi langsung berubah dengan senyum pasrah, “jika kau ingin membunuh ku, tolong lakukanlah tanpa rasa sakit tidak seperti korban mu sebelumnya,” ucapnya pasrah, mengenggam erat foto dirinya bersama satu orang wanita dan dua anak kecil.
Tak perlu menjawabnya, segera saja ku buka kotak kecil tadi yang isinya adalah seperangkat kecil alat jahit yang digunakan untuk manusia. Tak perlu repot memberikan obat bius, langsung saja ku cari peluru yang masih menancap dipinggangnya, dan segera menutupnya dengan cara dijahit, “untuk sementara itu bisa membantu, tapi segera lah ke klinik terdekat untuk perawatan lebih lanjut,” kulemparkan seikat uang yang ku ambil dari ruangan boss yang tadi sepertinya ku bunuh, “gunakan uang itu untuk pengobatan mu, juga sebagai modal hidup.. jangan mau bekerja adengan orang seperti mereka jika tak mau berakhir seperti ini,” tambah ku, melangkah pergi.
Dia berkata, “tanda F di jaket mu itu.. apa kau dari Figure? Nomor berapa kau…?”
Belum sempat menjawab, api sengat cepat menjalar keseluruh bangunan seperti api kompor gas yang baru dinyalakan. Dengan dibantu cahaya dari api yang membakar bangunan serta isinya, dia bersyukur dalam hati karena bertemu dengan ‘dia’.
“Nine…”