Read More >>"> The One (Chapter 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The One
MENU
About Us  

Gadis berkaus putih itu namanya Kiandra Ariani. Dia ... hanya perempuan biasa. Tak ada yang menarik. 

Di usia kepala dua, sedang mengenyam pendidikan di sebuah universitas. Karena sedang libur, seharian hanya berbaring di kasur, sibuk mengutak-atik ponsel. 

Layar gawai digulir berulang kali. Berhenti tiba-tiba, ia mengangkat kedua alis. Dahi mengernyit jijik. Cepat-cepat dilemparnya benda persegi itu. 

Dia menatap langit-langit kamar, memutar otak. Bekerja keras memacu semua saraf menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan; kenapa manusia sudih berurusan dengan cinta?

Foto yang Kiandra lihat tadi menampilkan sepasang kekasih yang sedang berpelukan. Memamerkan keintiman seakan esok tak akan ada yang berubah. Menyertakan kata Forever dengan tidak tahu malu, seolah perasaan bukan sesuatu yang bisa aus dalam waktu singkat. Menggelikan. Lucu sekali. 

Tak mau repot-repot memikirkan hal nihil manfaat, si gadis memilih keluar dari kamar. Duduk di teras sembari bersiul. 

Kiandra mengamati pemandangan di depan. Ada jejeran pot bunga di dekat pagar, kendaraan yang sesekali lewat, rumah tante Rias di seberang jalan—yang baru ganti cat—dan ....

Mata ia tajamkan demi bisa memastikan dua objek di teras tante Rias. Benar. Bukan salah lihat. Yang saling berpegangan tangan sambil tertawa di sana itu memanglah Hani dan Dani. 

"Mampuuus ... mampus," makinya sambil mengubah arah pandang. Kedua tangan meremas kursi gemas. 

Dani, anak sulung tante Rias, kalau tidak salah, sekarang kelas XI. Sedangkan Hani, teman sekelas pemuda itu sekaligus pacar. Kiandra tahu karena beberapa kali diperkenalkan. 

Sungguh tidak diterima logika Kiandra. Anak baru lahir seperti mereka sudah berani bermesraan? Benar-benar memalukan. Mulutnya gatal hendak memaki. 

Beberapa menit berlalu, Kiandra melihat Hani dan Dani menuntun sepeda motor melewati pagar rumah. Langsung ia beranjak, berdiri di belakang pagar rumah.

Dilihatnya Hani naik dan langsung memeluk Dani dari belakang. Jantung Kia berpacu cepat. Tangannya gatal ingin melempar sesuatu pada dua sejoli tadi. 

"Hani, masih longgar tuh di belakang. Punggung Dani ada lemnya sampe kamu nempel begitu?" tanyanya dengan wajah jijik. 

Yang ditanyai hanya tersenyum. Tak ada niat untuk mengubah posisi. Membuat gadis berambut sebahu itu menepuk dada tidak habis pikir. 

"Kaak, Kak. Kayak nggak ngerti orang pacaran aja," kata Dani. 

"Bab yang bahas soal pacaran enggak ada di mata pelajaran mana pun," elak Kiandra.

Dani tersenyum jahil. Pemuda itu menepuk tangan kekasihnya yang melingkar di pinggang, lalu berucap, "Astaga! Aku lupa. Kak Kia kan belum pernah pacaran. Jomblo dari lahir, sampe dunia kiamat." 

Suara tawa Dani dan Hani perlahan menghilang sejurus dengan melajunya sepeda motor yang mereka tumpangi. Kia mengangguk mengamini di tempat. 

"Untung aku enggak gila kayak kamu, Dan," katanya sambil berjalan masuk ke rumah. 

Orang waras ialah mereka yang menganggap cinta sebagai alergen yang sudah semestinya dijauhi. Itu prinsip hidup Kiandra Ariani. 

Sore hari, selesai mandi Kiandra menghampiri ibunya yang sedang menonton di ruang tamu. Berusaha mengikuti alur cerita di layar sana selama beberapa menit, si gadis memutar mata malas. Lagi-lagi drama romantis. Dua pemeran utama di sana sudah hampir berciuman. . 

"Ibu ngapain sih nonton kayak beginian? Enggak jijik apa?" tanyanya kesal. 

Pertanyaan tadi tidak dijawab, si gadis menoleh. Ia sontak bergidik ngeri kala mendapati wajah merona ibunya. 

"Kamu mana ngerti, Ki. Jangankan pacaran, suka sama cowok aja enggak pernah," cibir Ratna—ibu Kia.

Memang. Kiandra sama sekali tidak mengerti. Suka, cinta, pacaran, hubungan asmara. Semua itu tak pernah bisa ia pahami. Apa definisinya, mengapa bisa terjadi, bagaimana terjadinya, tak pernah bisa dinalar. 

"Remote mana? Lebih baik kita nonton berita kriminal atau film aksi. Ada gunanya." 

Ratna langsung menyambar remote di atas meja. Ia memeluk benda itu sembari tersenyum pada Kia. 

"Tidur aja sana. Ibu mau nonton Cha Eun Woo dulu," katanya pada si anak. 

Tadi Dani dan Hani, sekarang ibunya. Daripada di kamar dan semakin kesal hinga bisa merusak suasana liburan, gadis itu putuskan untuk pergi ke mini market. Sekadar jalan-jalan sekaligus membeli camilan. 

Kia menyusuri jalan dengan dua tangan di dalam saku. Sesekali ia menyapa beberapa orang yang kebetulan dikenal. Sore ini jalanan lumayan ramai.

Hampir tiba di tujuan, sebuah sepeda motor berhenti di sebelah gadis itu. Melihat siapa pengemudinya, Kia langsung bersidekap. 

"Bangke! Enggak bisa parkir lebih sopan?" makinya pada si pengemudi sepeda motor. 

Laki-laki berkaos biru di atas motor hanya terkikik dan menggeleng. Ia matikan mesin lalu menggeser kendaraannya hingga benar-benar memalang akses jalan Kiandra. 

Jino dan Sandra. Dua orang manusia yang sejak tiga hari lalu ingin Kia musnahkan dari muka bumi. Mengaku sebagai teman, tapi melakukan sesuatu yang jahat padanya. 

"Mau jalan-jalan ke mana, Kia?" tanya Jino dengan senyum manis yang membuat mual. 

Tak mau memperpanjang obrolan, ia memutari motor dan melanjutkan langkah. Tak lama, Jino dan Sandra mencegat lagi. 

"Maaf, Kia. Kami cuma mau kamu dapat kenalan baru," jelas Sandra setelah turun dari motor. 

Kenalan baru? Kia tidak perlu. Apa lagi calon kenalan itu seorang pria sok akrab yang suka menebar senyum. Lebih mirip orang gila. 

Tiga hari lalu Sandra dan Jino mencetuskan ide mengunjungi pasar malam. Memang sedang ingin pergi juga, ia menyanggupi. Namun, saat sampai tempat itu, dua temannya tidak ada. Hanya seorang pria asing bernama Ridwan yang ada di sana. 

Ridwan bilang, Jino dan Sandra sengaja mengatur pertemuan mereka agar bisa jalan bersama. Melakukan pendekatan, siapa tahu bisa menjadi teman.

Omong kosong. Mengurusi dua teman saja sudah melelahkan untuk Kiandra. Terima kasih dan tidak perlu yang ketiga. Lagi pula, ia tidak bodoh. Teman? Jelas tidak hanya sampai di sana hubungan yang pria itu inginkan. Kia bisa pastikan karena ia tahu isi otak Jino dan Sandra. 

"Bener. Sayang banget tahu tampang polos gini dianggurin. Cowok-cowok tuh suka sama yang wajahnya lugu kek kamu, Ki. Beneran ogah punya pacar sampai tua?" sambung Jino. 

Sandra dan Jino tidak punya maksud lain. Hanya ingin Kia tidak melewatkan masa-masa indah menjalin asmara. Kalau sewaktu SMA dulu menolak, mereka maklum. Masa sekolah memang harusnya fokus belajar. Sekarang sudah waktunya Kia dewasa untuk urusan perasaan. Mereka hanya ingin membantu. 

Kia membuang napas kasar mendengar ucapan Jino. Ia tendang roda motor pemuda itu sembari mengusir. Sandra menolak dan meminta maaf lagi. 

Sadar watak dua temannya yang keras kepala, Kian menyerah. Memaafkan mereka agar segera pergi dari hadapannya. Tentu dengan syarat, tak akan mengulang perbuatan bodoh seperti kemarin. 

Senang, Sandra memeluk gadis di depannya. "Mau ikut jalan-jalan?" tawar perempuan itu. 

Kia menggeleng. Sandra dan Jino pasti mau pergi kencan. Dia akan sakit kepala jika ikut dna menyaksikan kegiatan tidak berguna itu. 

"Ya udah, Sayang. Kia kayaknya masih alergi sama manusia yang mesra-mesraan. Gimana ya, namanya juga nggak pernah rasain yang manis-manis. Yuk, Cinta. Kita aja yang pergi."

Dengan sengaja Jino mencium punggung tangan Sandra. Dia tertawa puas saat Kia membuang wajah dan mengepalkan tangan. 

"Pergi kalian. Sana-sana," kata gadis itu sembari mengibaskan tangan di depan wajah. Bahunya bergidik dan kepala jadi gatal. 

Sandra menurut. Dia naik ke motor diiringi instruksi berlebihan dari Jino. 

"Hati-hati, Sayang. Kalau kamu celaka, aku nggak tahu akan jadi gimana hidup aku." 

Geram, Kia menendang ban belakang motor Jino. "Jijik, Bangke. Jauh-jauh sana," sungutnya sembari mulai berjalan. 

Sepanjang jalan Kian mengulang janji dan sumpahnya. Sampai kapan pun dia tak akan pernah menyukai seorang laki-laki, tidak akan pernah pacaran dan bersumpah tak akan pernah menikah. Melajang seumur hidup adalah pilihan terbaik. 

Dunia ini palsu. Di menit pertama, seseorang bisa saja tersenyum padamu. Namun, di menit selanjutnya, dia bisa saja sudah menghunus pedang dan siap menikam. 

Di satu hari, mungkin saja seseorang mengaku suka dan jatuh cinta padamu. Esoknya, siapa yang bisa jamin? Mungkin saja dia akan memberimu racun, merobek dada lalu mencuri hati kemudian menjualnya di pasar organ. 

Percaya pada cinta dan perasaan? Kia tak akan pernah mau melakukanya. Seumur hidup. 

... 

Bersambung 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags