Should old acquaintance be forgot
And never brought to mind
Should all acquaintance be forgot
And auld lang syne
For auld lang syne, my dear,
For auld lang syne,
We'll take a cup o' kindness yet,
For auld lang syne
And surely you will buy your cup
And surely I'll buy mine
And we'll take a cup o'kindness yet
For auld lang syne. (Lea Michele)
Mereka terjatuh di alat teleport, pohon Oak besar itu yang kini mereka gunakan sebagai alat berteleport. Para starla yang menyadari ini. Mereka memperhatikan bahwa lingkaran-lingkaran penanda umur pada batang pohon oak besar milik mereka itu bisa ditembus masuk. Namun mereka hanya memiliki kesempatan satu kali saja untuk dapat berpindah tempat. Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh keempat anak itu untuk kembali pulang ke dunia mereka.
Dengan suara kencang berbunyi "Aaaaa!!!!" mereka berteriak di sepanjang lorong itu. Lusi tidak dapat melihat cahaya apapun di lorong yang gelap itu. Mereka seperti terjatuh, terjatuh, dan terus terjatuh, seperti tanpa akhir.
Bunyi teriakan keempat anak itu memenuhi lorong kecil yang mengarah turun ke bawah. Mereka tidak pernah bisa tahu ada apa di ujung bawah sana.
Lusi mengingat setiap detil kejadian yang terjadi di negeri Qirollik. Ketika ia menerima kot ajaib dari seorang wanita buta di kios kot, dan saat goncangan besar terjadi di rumahnya, yang pada akhirnya membawa mereka semua bertualang ke negeri Malam. Semuanya masih membekas di ingatan Lusi. Bagaimana ia melihat wajah anak laki-laki itu untuk pertama kalinya dalam jarak yang dekat. Bagaimana sensasi yang ia rasakan untuk pertama kalinya terbang melayang di tengah kegelapan malam. Angin malam menerpa rambutnya dengan sangat lembut. Memberikan pengalaman menyenangkan yang tidak akan pernah terlupakan. Juga bagaimana saat ia melihat mata wanita berjubah hitam itu. Seakan kedua bola matanya akan segera terlepas dari kulit yang menyangga matanya. Bagaimana keletihan menghantam seluruh tubuhnya. Dan untuk pertama kalinya saat ia bertarung dengan para hewan liar, anak buah Hesper. Ia teringat akan cakar-cakar serigala yang mencakar wajahnya dengan sangat kasar. Ia teringat saat Hesper mencekik dirinya tanpa ampun, dan pada sisa napasnya yang terakhir saat ia melihat penyelamat dirinya datang. Hatinya bangga, saat ia dipercaya untuk bertarung membela suatu bangsa, suatu bangsa yang sebelumnya tidak ia kenal. Ia merasa hidupnya yang singkat ini sangatlah berarti.
Brukkk!!!
Lagi-lagi mereka terjatuh. Bima melihat bahwa Linda akan segera mendarat, ia segera menggeserkan tubuhnya agar gadis itu tidak mengenai dirinya. Linda terjatuh. Bima menarik tangan Linda, karena ia tahu sebentar lagi adiknya akan segera mendarat di tempat ini. Kaki Robi sudah terlihat, dan ... Robi mendarat di tempat Bima dan Linda sebelumnya terjatuh. Bima segera menarik Robi, namun sebelum Robi bisa bergeser, Lusi sudah lebih dulu mendarat.
"Awww!!!" Robi teriak.
"Pendaratan yang bagus, Lusi." Linda terkekeh. Lusi tidak harus terkena lantai yang keras yang ada di bawahnya.
Lusi terkejut, ia mendarat di punggung Robi. Gadis itu meloncat, "Maaf."
Robi terus mengaduh, "Sakit sekali. Sepertinya berat badanmu bertambah banyak di negeri itu."
Mereka tertawa bersama.
"Kita ada di rumah!" seru Lusi pada kakaknya.
"Horeeee!!! Kita sudah ada di rumah!!! Tapi ..." Linda menatap Lusi dengan ketakutan, "sudah berapa lama kita meninggalkan rumah?"
Lusi baru menyadari bahwa mereka telah menghabiskan beberapa hari di negeri Qirollik.
"Oh, tidak!!!" Lusi melihat ke jam dinding di rumahnya.
"Jam empat sore," sahut Robi.
"Lihat!!" seru Bima, "ruangan ini tidak berantakan sama sekali, tidak sama seperti waktu kita pergi."
Mereka berempat saling berpandangan.
Mereka bangkit dari lantai, dan segera berlarian ke luar rumah, berusaha untuk mencari siapa saja yang bisa mereka tanyai.
"Hujan!!!" teriak Lusi.
"Bagaimana kita bisa mengetahui hari apa dan tanggal berapa ini?!" tanya Linda panik.
"Handphone!" jawab Bima dengan bersemangat, "mana handphone ku?"
Bima mencari tasnya. Tasnya ada di kursi tamu Linda. Ia mengambil tasnya, dan membuka tas itu. Handphone berwarna hitam itu, tersembul dari kantong dalam tasnya.
Robi, Linda, dan Lusi pun melakukan hal yang sama, mereka mencari handphone mereka. Linda menemukan handphone, dan dengan hati yang was-was, ia melihat tanggal serta hari apa sekarang, di layar handphone nya.
"Tanggal dua belas Mei dua ribu dua puluh!!!" teriak para remaja itu serempak.
"Itu berarti?" gumam Lusi dengan nada bertanya.
"Itu berarti kita hanya pergi dalam waktu satu jam ke negeri itu," sahut Robi, "kau ingat? Kau baru saja pulang satu jam yang lalu? Kemudian peristiwa aneh satu persatu mulai terjadi, apakah kau ingat?"
Lusi mengangguk, "Iya, benar. Aku telat pulang, karena mendapat hukuman dari Miss Minarni."
"Luar biasa!" ucap Bima bersemangat.
"Petualangan kita di negeri Qirollik beserta kot ajaib itu, sangat seru dan melelahkan," sahut Robi.
"Semoga kerajaan mereka tetap aman dan damai," Lusi mendoakan negeri Qirollik.
"Aku bangga padamu, Lusi." Linda memeluk Lusi, ia hampir menangis mengingat setiap peristiwa yang terjadi pada mereka.
"Dan aku juga bangga padamu, Linda," ujar Bima tulus pada Linda, "kami lihat, bagaimana kau menendang makhluk mengerikan itu untuk mengalihkan perhatiannya." Bima memegang tangan Linda.
"Hei! Kalian masih SMA! Hentikan acara pegang-pegangan tangan seperti itu di depan kami! Kami masih kecil!" ketus Lusi.
Robi tertawa pelan. Pertengkaran antara saudara akan tetap terjadi di dunia mereka.
"Aku akan masuk ke tempat tidurku. Aku sangat ... sangat ... sangat ... lelah." Lusi pergi ke tempat tidurnya.
Sudah lama rasanya ia belum merebahkan dirinya lagi di tempat tidur. Punggung nya terasa sangat pegal sekali. Ia berganti baju. Dan mulai merebahkan badannya. Matanya berusaha untuk terpejam. Tapi pikirannya berkeliaran mengembara kemana-mana, ia mengingat saat Bima memegang tangan Linda di depan matanya. Mudah sekali seorang yang cantik mendapatkan seorang pacar. Mungkin ia akan memegang status jomlo dalam waktu yang lama.
****
Tiga bulan kemudian ....
"Lusiiii!!!! Bangunnnn!!!" Linda menggoyang-goyangkan tubuh Lusi yang masih berbaring di tempat tidurnya.
Lusi mengintip dengan ujung matanya. Kali ini aku harus menang. Aku akan tetap tidur, apapun yang akan terjadi.
Orang tua mereka melakukan perjalanan dinas lagi. Linda lagi-lagi harus menanggung bayi besar yang ada di rumahnya.
Kamu tetap tidak mau bangun? Baiklah!!!
Linda mengambil gayung yang ada di kamar mandi dan ...
Byurrrr ...
Tempat tidur Lusi basah!
Bagaimana dengan Lusi? Dia juga basah!
"KAKAKKKKK!!!!!!!!"
***
Linda dan Lusi duduk di bus, di tempat yang berbeda. Tetapi bukan karena mereka tidak akur. Mereka akur, tidak saling membenci. Mereka tidak satu tempat duduk, karena Linda akan duduk dengan pacarnya.
Bus berhenti.
Dua remaja laki-laki berwajah tampan, menaiki bus ini.
"Pagi," Bima menyapa pacarnya, dan duduk di sebelahnya.
"Pagi," sahut Linda pada pacarnya.
Dan seorang lagi, duduk di sebelah Lusi.
"Bagaimana harimu?" tanya Robi yang sudah mengetahui jawabannya.
Robi seperti sudah mengenal Lusi lama sekali. Ia sudah bisa menebak bahwa Lusi baru saja menghabiskan rotinya, karena sisa remahan roti masih terlihat di sekeliling mulutnya. Juga pasti Lusi melupakan jam sisir rambutnya, karena saat ini ia dapat melihat rambut Lusi di sisir seadanya. Itupun Robi berani bertaruh, pasti gadis itu tidak menggunakan sisir untuk menyisir rambutnya.
"Kapan tanggal ulang tahunmu?" tanya Robi tiba-tiba.
Wajah Lusi merona, dia senang sekali, Robi memberikan perhatian khusus untuknya.
Dia melirik pada Robi, benarkah anak laki-laki itu sedang menanyakan hari ulang tahunnya. Pasti akan terjadi hal yang besar dan menyenangkan saat hari ulang tahunnya tiba. Mungkin seperti, anak laki-laki itu akhirnya mengakui isi hatinya, atau sebagainya.
Lusi senang sekali, hatinya seperti mau loncat dari tubuhnya.
"Tiga belas Agustus," jawabnya pelan.
Robi mengeluarkan handphonenya dan menandai tanggal tiga belas Agustus di handphone nya.
Lusi tidak mempercayai penglihatannya. Benar, kan! Pasti akan terjadi sesuatu yang besar akan terjadi di hari itu!
Lusi tersenyum-senyum memikirkannya.
Robi melihat temannya itu yang sedang tersenyum-senyum sendiri.
"Ingatkan aku, kalau-kalau handphoneku rusak, pada tanggal itu aku harus membelikanmu sisir. Lihat rambutmu berantakan sekali." Robi memejamkan matanya dan mulai menikmati perjalanannya menuju sekolah
Mulut Lusi terbuka lebar. Ia tidak percaya, Robi mengatakan itu!
Well ...
Sepertinya, memang Lusi tidak perlu berharap terlalu tinggi pada Robi. Dia harus menerima kenyataan untuk tetap jomlo sampai waktu yang di tentukan.
Lusi masih percaya ungkapan "Indah pada waktu-Nya" adalah benar adanya. Jadi untuk saat ini dia tak perlu bersedih hati dan larut dalam kekecewaannya. Mungkin dia harus memperbaiki penampilannya sedikit agar tidak terlalu memalukan.
Oke, besok dia akan menyisir rambutnya ke sekolah.
Bus sekolah berhenti. Mereka semua turun dengan teratur. Robi berjalan di depan Lusi. Lusi berjalan santai di belakangnya.
"Nanti sore aku boleh ke rumahmu?" tanya Robi tiba-tiba berhenti dan menunggu Lusi sampai gadis itu berjalan di sebelahnya.
"Kamu mau apa?" tanya Lusi, mereka berjalan bersama.
"Kak Bima mau bermain ke tempatmu, mungkin dia mau mengobrol dengan kak Linda."
"Kenapa kau perlu ikut?" tanya Lusi penasaran, "rumah kami tidak luas, kau kan tahu."
"Kita belajar bersama saja. Lagipula minggu depan sudah ujian."
"Kita?" Lusi mengernyitkan dahinya, "kalau kak Bima ingin datang ke rumah ku, silahkan saja. Tapi kenapa kau perlu ikut?"
"Begitulah orang tua kami," jawab Robi, "sebenarnya kami tidak dibolehkan untuk pacaran dulu. Kami masih SMA. Pasti kamu berpikiran kalau orang tua ku kolot, kan?"
Lusi memandang Robi, "Berarti kak Bima dan kak Linda tidak sedang berpacaran?"
Robi terus berjalan, "Kak Bima sudah minta izin ke orang tua kami, dia katakan bahwa pacarnya adalah siswi teladan di sekolah kami. Jadi orang tua kami mengizinkannya."
Lusi terbatuk. Lehernya seperti tersedak. Seperti ada sesuatu yang baru saja membuatnya begitu terkejut.
Kalau untuk mendapatkan izin orang tua Robi agar ia dapat berpacaran dengan anak laki-laki itu, berarti dia harus sepintar, secerdas, secantik kak Linda. Itu tidak mungkin!
Berat sekali untuk memenuhi permintaan orang tua Robi. Meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga pun, hal itu tetap tidak akan terwujud.
Kakinya lemas. Tidak ada harapan.
Baiklah, berarti besok dia tidak perlu berusaha untuk sisiran!
***
Bima dan Robi sedang bermain basket di alun-alun daerah rumah mereka. Mereka bertanding basket lima lawan lima seperti biasa. Linda mengajak Lusi agar menemaninya melihat pertandingan antara Bima dengan teman-teman sekolah lainnya.
Jadi ini tadi yang dimaksud oleh Robi, kalau Bima mau datang ke rumah mereka. Ternyata mereka mengajak kedua anak perempuan itu untuk menonton pertandingan mereka.
Hari telah menjadi sore. Lusi tampak menikmati pertandingan basket ini. Sepuluh anak laki-laki tampan bertubuh tinggi sedang memperebutkan bola di lapangan itu. Pertandingan masih menyisakan waktu lima belas detik, tim Bima adalah tim yang memegang bola dan melakukan serangan. Mereka memiliki peluang yang sangat besar untuk memenangkan pertandingan sore itu, jika saja kesempatan terakhir digunakan dengan sebaik mungkin oleh Robi untuk berhasil mencetak poin karena skor kedua tim ini imbang 70-70, namun Robi gagal mencetak angka. Tim lawan berhasil memblok lemparan Robi. Pertandingan di lanjutkan menuju overtime.
Pada waktu tambahan ini, Bima melakukan tembakan tiga angka, tim mereka memenangi pertandingan itu dengan ritme yang cukup cepat. Skor akhir 104-103.
Kedua tim menyudahi pertandingan mereka sore hari itu.
Pertandingan di akhiri dengan high five di udara.
Lusi menyesali pertandingan basket ini berjalan dengan sangat cepat. Teman-teman sekelas Lusi, duduk di sebelah Lusi. Mereka bersikap manis sekali pada Lusi. Mereka menawarkan makanan ringan untuk Lusi, menawarkan minuman dingin untuk Lusi dan segala macam untuk menarik perhatian anak perempuan itu.
"Mereka sedang mendekati Robi, mereka sedang mencari informasi tentang anak laki-laki itu darimu," terang Klarabel, teman satu-satunya Lusi yang dekat dengan Lusi tanpa ada maksud tertentu.
"Ow ... ow ..." Lusi menutup mulutnya dengan tangannya seolah tak mempercayai alasan di balik senyuman dan perlakuan manis teman-teman sekelasnya, "apa aku harus memanfaatkan keadaan ini?" tanyanya terkekeh.
Klarabel tertawa pelan mendengar pertanyaan dari Lusi.
Anak-anak tampan dengan tubuh tinggi-tinggi itu, satu persatu meninggalkan lapangan bola basket. Bima dan Robi berganti pakaian. Seragam olahraga mereka sudah basah karena keringat. Waktu pertandingan mereka memang dibatasi, karena setelah ini sudah ada tim dari sekolah lain yang mengantri untuk bermain basket di lapangan itu.
Klarabel melihat jam di tangannya, sudah waktunya untuk pulang, "Lus, aku pulang dulu, sudah sore," Klarabel menepuk punggung Lusi, "oh iya, Lus. Lihat anak laki-laki yang mau bermain itu. Tampan sekali. Aku minta nomor teleponnya, ya." Klarabel nyengir dan langsung meninggalkan tempat duduk para penonton itu.
Sekarang waktunya anak-anak dari sekolah lain untuk bermain basket. Mereka melakukan pemanasan terlebih dahulu. Mendrible bola, mencoba lemparan tiga angka dan melakukan slam dunk mereka.
Bima dan Robi mendatangi tempat duduk kedua anak perempuan kakak beradik ini. Bima tersenyum pada Linda seperti biasa. Linda menawarkan air minum pada Bima dan Robi. Tiba-tiba bola basket melayang ke arah Lusi.
Lusi teriak, "Kyaaaaa!!!" Dia menangkap bola basket itu.
Hufftt ...
"Kenapa kau berteriak?" tanya Linda pada Lusi yang berada di sebelahnya.
Lusi menatap Linda dengan tatapan aneh, "Apa kau tidak kasihan dengan adikmu sendiri? Syukurlah bola basket ini tidak mengenai wajahku."
Bima dan Robi tertawa mendengar ucapan konyol Lusi.
"Bola basket apa?" tanya Linda masih tak mengerti.
"Bola basket ini. Tentu saja bola basket yang sedang ku pegang ini."
Bima masih tertawa. Robi mendadak diam. Wajahnya pucat.
"Kau tidak bohong kau sedang memegang bola basket?" tanya Robi dengan curiga.
"Oh tidak!!" Lusi menyadari sesuatu. Dia memandang bola basket tak kelihatan yang sedang di pegangnya.
Linda bersedekap, "Bola basket ajaib?"
"Oh, tidak lagi," sahut Bima pasrah.
"Lusi, harusnya kau tidak ikut kami," Robi berkata dengan lesu.
Tiba-tiba kilatan cahaya keluar dari arah bola itu menyambar ke seluruh lapangan bola basket itu.
Tiba-tiba kursi penonton bergoncang dengan hebat. "Jangan sekarang!" seru Lusi, "aku masih harus menanyakan nomor handphone anak laki-laki itu."
Robi terperanjat mendengar Lusi membicarakan anak laki-laki lain selain dirinya.
"Aaaaaaaa!" Mereka jatuh ke lapangan bola basket, tempat anak-anak sekolah lain bermain.
"Apa boleh buat," ucap Robi lirih, "apa kau siap?" tanyanya ke Bima.
"Ya, aku ksatria Bima." Dada Bima mengembang dengan gagah.
"Baiklah, aku juga sudah siap," Linda berujar.
Anak laki-laki itu tersenyum melihat anak perempuan yang sedang memegang bola tak kelihatan di tangannya.
Bersamanya pasti dia akan mengalami hal-hal yang menakjubkan. Hatinya berdegup pelan, seolah setiap sendi di dalam dirinya tak berhenti bernyanyi bersama sang mentari, memuja anak perempuan itu.
You are my sunshine, my only sunshine
(Kaulah sinar mentari, satu-satunya)
You make me happy when skies are gray
(Kau membahagiakanku saat kelabu)
You'll never know dear, how much I love you
(Kau takkan pernah tahu, sayang, betapa besar cintaku padamu)
Please don't take my sunshine away
(Kumohon jangan ambil sinar mentariku)
TAMAT