“KALAU LANGIT BISA DIKALAHKANPASTI AKU AKAN DITUGASKAN UNTUK MENGALAHKANNYA”
“Hidup tidak akan pernah terlepas dari pengaruh positif ataupun negatif tapi tetap apa yang terjadi dalam hidup, diri sendirilah yang merasakan dan menentukannya. Meski orang lain terlibat, tetap diri sendiri pula yang memiliki hak untuk memilih jalannya. (Nando Arya Rasendra)”
Crakkk… tak… tak…
Ditengah kegelapan malam, tanpa alas kaki ia menjelajahi lorong rumah yang sepi dan menggema. Semilir angin masih terasa walau ia menggunakan piyama lengkap dengan selimbut tebal yang ia pakai terseret-seret dilantai kayu bahkan ia sama sekali tidak memperdulikan suara malam yang sudah bersahabat ditelinganya sejak kecil. Menurutnya suara malam lebih enak didengar daripada harus mendengarkan mereka.
Ia menjelma menjadi manusia nocturnal semenjak 5 tahun lalu. Disaat orang beristirahat ia pasti berkeliaran didalam rumah mewahnya. Ia tidak bisa memejamkan matanya setelah mendengar keributan dan kini hal itu menjadi kebiasaaannya, kebiasaan buruk yang menguntungkan karena hanya malam yang menjadi kebebasannya, berbeda dengan siang hari yang membuatnya menjadi manusia robot yang sudah diatur.
“Aduh Nak Da, gara-gara Nak Da setiap kali kedapur Nenek tidak membedakan mana tikus dan manusia” ujar Nek Inoh, kepala pelayan rumah tangga yang sudah mengabdi kepada keluarga Rasendra sebelum ia dilahirkan. Ia lebih akrab dengan Nek Inoh yang sering memergoki kebiasaannya makan sembari duduk disebelah kulkas. Bahkan ia berani menyapanya “Nenek” sebutan yang tidak seharusnya ia ucapkan.
“Nek. Aku sering melakukan hal ini dari kelas 4 SD. Tidak mungkin ada tikus dirumah ini Nek, jangankan tikus hama terkecil saja sudah orang tuaku bereskan Nek” ujarnya sembari duduk makan dilantai. Percakapan ini sudah sering kali mereka lakukan hampir setiap malam.
“Tapi Nak Da kalau terus seperti ini tidak baik untuk kesehatan” ujar Nek Inoh.
“Mau bagaimana lagi Nek, aku sama sekali tidak bisa tidur. Nenek juga tidak perlu khawatir selagi mata mereka melihatku tidak terkapar, mereka juga tidak akan mempermasalahkan hal ini” ujarnya enteng meski sang nenek sangat mengkhawatirakn kondisinya.
Nek Inoh merasa iba dengan tuan mudanya yang harus hidup dalam penjara tanpa kasih sayang yang ia dapatkan. Hampir setiap hari jika orang tuanya ada dirumah pasti hanya ada keributan. Mereka akan mesra jika didepan orang lain, bahkan mereka tidak peduli Nenda kecil melihat mereka bertengkar dan tetap acuh seolah tidak merasakan atau melihat kehadirannya. Nenda kecil hanya bisa menangis dan duduk disudut kamarnya sembari menutup telinga sampai akhirnya ia merasakan kelelahan karena tidak ada yang berubah, setidaknya kedua orangtua sesekali tersenyum kepadanya meski ia harus menunjukkan prestasi terlebih dahulu. Karena kesedihan mendalampun ia sudah tidak bisa lagi menangis seperti dulu, air matanya enggan untuk keluar meski merasakan kesedihan, kekesalan ataupun kemarahan.
Bahkan Nek Inoh benar-benar kasihan padanya, ia bagaikan benda yang ada dirumah ini. Mewah, berharga dan menawan namun mati. Ia tidak bisa melakukan apapun yang diinginkan bahkan ia tidak mendapat perhatian dari kedua orang tuanya yang sibuk bertengkar mempertahankan egonya. Perhatian satu-satunyya yang ia dapat hanyalah dari sang kakek namun itu juga merupakan perhatian yang “mematikan” karena itu adalah peraturan yang tidak boleh dilanggar olehnya.
Meski tahun-tahun telah berlalu tidak ada perubahan sama sekali dirumah dan hidupnya. Nenda Arvigo Rasendra seorang anak yang kini telah menjelma menjadi seorang remaja yang terus hidup dalam peraturan keluarga bangsawan yang keras, ia dituntut menjadi orang yang menawan dan nomor satu dalam hal apapun. Sebelum lahir keduniapun ia sudah memiliki tanggung jawab yang cukup besar sebagai ahli waris, bahkan untuk berteman saja sulit karena mayoritas semua temannya senasib dengannya ditambah dengan anggota keluarga lainnya yang seolah berlomba menjadi yang terbaik dari yang terbaik untuk menangkap, mendapat pandangan dan pujian dari keluarga Rasendra khususnya sang Kakek.
“Huffthhh… “ keluhnya. “Nek, mengapa Nenek senang bekerja dikeluarga ini?”
“Maksud Nak Da” ujarnya tersenyum sembari memasak. “Nak Da, sebaiknya kamu ke kamar sebelum kakek melihatmu disini”.
Nenda mengikuti intruksi sang Nenek, meski ia malas dan benci melakukan kesehariannya tapi ia tidak ingin melihat Neneknya dihukum karena keberadannya. “Baiklah Nek, aku pergi kekamar dulu”
Nenda melangkahkan kaki sebelum Kakeknya tidak menemukan keberadaannya dikamar, dirumah ini adalah Sang Kakek penguasa mutlak karena ia mengetahui jika anak-anaknya tidak bisa melakukan hal yang ia inginkan tidak seperti Nenda sang cucu yang seolah tahu apa yang harus dilakukan oleh keluarga Rasendra. Pertengkaran ayah dan ibunya yang sudah bertahun-tahun tidak diizinkan untuk bercerai bahkan mereka boleh melakukan apa saja asalkan jangan sampai mempermalukan keluarga Rasendra, sang kakek tidak pernah pandang bulu siapapun itu jika ketahuan mencoreng nama baik mereka pasti akan mendapat hukuman. Setidaknya Nenda mengetahui jika tidak hanya dirinya yang merasakan rasa sakit yang tidak berdarah ini.
“O ya Nek” ujar Nenda menghentikan langkah kaki dan berbalik. “Apa hanya aku saja yang mendengar suara denting jam setiap tanggal 14 April jam 04.00 WIB, 29 Juli 23.47 WIB dan 17 November 09.03 WIB. Awalnya aku tidak percaya dan aku mengabaikannya tapi suara itu terus mengingatkanku selama bertahun-tahun lalu aku mulai mencatatnya. Suara denting jam itu sangat berbeda dari suara jam lainnya dan juga tidak biasa. Suara itu snagat khas sampai aku sulit melupakannya”
Nenek Inoh tersenyum, “Sejak kapan Nak Da menyadarinya?”
“Sebelum ayah dan ibu sering bertengkar dan ketika kemarin lusa tanggal 17 November di jam sama aku mendengarnya kembali. suara tidak pernah berubah terasa menggema namun tidak ada yang menyadarinya tapi aku melihat padangan mata Nenek selalu berubah setiap kali denting jam itu berbunyi termasuk kemarin itu” jelas Nenda yang cukup mengejutkan sang Nenek meski tidak menunjukkan didepannya. “Maaf Nek aku tidak bermaksud, aku harus kembali ke kamar”
Nenda tidak bermaksud untuk mencurigai sang Nenek tapi ia juga penasaran dengan suara denting jam yang begitu aneh. Ia sudah menyelidiki setiap jam yang ada dirumah ini bahkan ia berani menyelinap untuk masuk ke ruang kerja sang kakek hanya untuk memastikan kebenarannya tapi tidak ada yang memiliki suara yang sama persis dengan suara jam itu. Ia juga sempat ingin bertanya kepada anggota keluarganya bahkan pelayannya tapi setelah diperhatikan tidak ada yang menyadari suara jam itu, semua seolah tidak ada apapun atau mungkin mereka menganggap hanya suara jam biasa, lain halnya dengan sang Nenek yang jelas terlihat memiliki pandangan dan tingkah yang berbeda jika suara itu muncul.
Sedangkan Nek Inoh hanya tersenyum dengan pertanyaan Nenda, ia terus memperhatikan punggung tuan muda sampai ia benar-benar hilang. Ia tidak menyangka selama ini akan ada anggota Rasendra yang mendengarnya sebelum ia mati. Ia pikir tidak ada satupun yang menyadarinya, setidaknya sebelum tutup usia ia bisa melihat siapa orang yang berhak menerimanya.
“Tuan akhirnya ada juga orang yang bisa mendengarnya, semoga kelak ia bisa menjadi sepertimu, seperti Pohon yang tidak bisa berpindah meski disamping ada jurang namun tetap masih bisa berbuah dan bermamfaat” gumam sang Nenek.
*******
Beberapa hari telah berlalu, Nenda sering bertemu dengan sang Nenek namun ia tidak pernah menanyakan hal itu lagi, Nenda juga tidak enak hati untuk menanyakannya ke Nek Inoh. Nenda bersikap seperti biasa seolah kejadian sebelumnya tidak pernah terjadi. Nek Inoh juga tidak pernah membahasnya dan mengikuti alur tuan mudanya seolah tidak terjadi apapun. Nenda kini sedang disibukkan untuk kembali mendapatkan prestasi yang baru, ia ditunjuk untuk mengikuti Kompetisi Sains tingkat Internasional yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Seperti biasa hanya buku yang menjadi makanan dan kehidupannya, apapun yang terjadi ia harus menjadi nomor satu. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang harus ia lakukan.
Setiap hari kakeknya terus mendatangi kamarnya untuk melihat cucunya yang sedang berjuang. Bagaimanapun ia akan menjadi ahli waris keluarga Rasendra yang kini yang sudah hampir merajai bisnis disegala sektor. Keuntungan yang didapat tidak sedikit, sang kakek ingin mencetak sejarah selama hidupnya, ia tidak hanya ingin merajai bisnis hanya didalam negeri melainkan ia juga akan merambah bisnisnya keluar negeri. Ambisi sang kakek diketahui jelas oleh semua anggota keluarga termasuk Nenda yang jelas lebih mengetahui jika kakeknya ingin melebihi keberhasilan dari kakek buyutnya. Nenda mengikuti apapun yang diinginkan kakeknya, ia bisa membaca semua gerak-gerik anggota keluarganya, karenanya ia juga mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Bahkan ia mengetahui dengan jelas aura kebencian yang dipancarkan oleh sepupu dan anggota keluarga yang lain. ia tidak akan memperdulikannya karena mereka harusnya tahu aturan dalam anggota keluarganya, yang terbaiklah yang akan menjadi nomor satu. Secara tidak langsung Nendapun harus berpikir layaknya keluarga Rasendra.
“Selamat Nak Da akhirnya berhasil mendapatkan kembali juara pertama tingkat internasional. Pasti keluarga Rasendra akan kembali terkenal, bisnis yang besar dan juga bibit yang terbaik” ujar Nek Inoh, seperti biasanya memergoki Nenda berada didapur.
“Sudah berapa lama Nek aku tidak melakukan hal ini, akhirnya aku terbebas juga. Bagaimanapun kakek tidak akan membiarkanku menghilang dari pandangannya” ujarnya seraya memakan tomat mentah. “Bahkan tahun barupun aku selalu memakan buku”.
“Ingat Nak Da sebentar lagi akan kenaikan kelas, belajar kembali dan menjadi juara umum”
“Tenang saja Nek aku sudah mempersiapkan semuanya, karena tidak hanya orang tuaku yang tidak diizinkan untuk bercerai tapi aku juga tidak diizinkan untuk kalah. Bahkan aku tidak pernah diizinkan untuk melakukan apapun aku yakin kakekpun sudah memiliki daftar calon untuk istriku. Aku ingin sekali pergi dari rumah ini Nek. Meski aku memiliki orang tua utuh aku tidak merasakan kebahagiaan” ujar Nenda yang tidak tahu harus senang atau sedih dengan keberadaan orang tuanya yang lengkap dan selalu dekat namun selalu bertengkar. “Aku beruntung karena ada Nenek disisku, aku berharap nenek akan terus bersamaku dan anakku karena hanya Nenek yang bisa menemaninya”.
“Segala sesuatunya ada waktunya Nak, Nenekpun tidak mungkin terus bersamamu. Semuanya memiliki catatan tersendiri begitupun denganmu”
“Aku akan meminta Tuhan untuk melakukan tugasnya kembali meminta nenek untuk menemani anak yang sepertiku”
“Tuhan pasti akan menjalankan tugasnya jika sudah waktunya. karena tomat yang kau makanpun tidak akan pernah kembali. meski ada tomat yang lain tetap saja ada perbedaannya” ujar Nek Inoh menatap dalam tuannya. “Tidak terasa kau sudah kelas 3 SMP dan sekarang kau sudah besar, mungkin tidak akan terasa sebentar lagi kau akan menikah”.
Tidak seperti biasanya, kini Nenda bisa bebas untuk berbicara dengan sang Nenek, karena Kakek dan kedua orang tuanya sedang melakukan perjalanan bisnis, meski begitu ia tidak bisa menghilangkan pandangan dari para penjaga dan pelayan yang ada dirumah ini yang akan terus mengawasinya selama hidupnya. Selain kamera yang selalu aktif ada mereka juga yang menjadi kamera berjalan, itulah yang ia yakini. Ia juga tidak bisa menyalahkan mereka, bagaimanapun itu tugas mereka.
“Nenek berharap kau akan tetap menjadi dirimu sendiri dalam keadaan apapun. Nenek percaya kau pasti akan menjadi yang terbaik dari semua yang terbaik. Setidaknya hanya kau yang terlihat berbeda dari semua keturunan Rasendra yang lain mengingatkan Nenek pada Kak Nando” ujar Nenek tersenyum, senyumnya terlihat berbeda dari biasanya.
*******
Tidak terasa 8 tahun telah berlalu, kini Nenda menjelma menjadi seorang pria yang tampan, gagah, berwibawa dan pastinya menjanjikan. Ia yang sadar tidak bisa menjadi menjadi apa yang ia inginkan, terus menyibukkan dirinya dengan meraih prestasi bahkan ia yang sudah memiliki kekayaan lebih dari tujuh turunanpun terus membuat tapak kakinya disetiap tempat dan waktu. ia menginginkan kuliah didalam negri dengan mengambil beberapa jurusan dan murni menggunakan beasiswa, tidak ada yang tidak mungkin menolak kehadirannya disetiap perguruan tinggi.
Dedikasi yang tinggi baik diluar dan didalam membuatnya sulit ditolak. Tidak ada yang tidak mengenalnya. Sebelumnya semua orang tahu jika dia adalah keturunan bangsawan yang merupakan kelarga priyayi dari jaman penjajahan, tidak ada yang tidak mengenal latar belakang keluarganya, prestasi Nenda selama sekolah ataupun saat ini dan juga kini dirinya menjadipengusaha muda yang mampu mengembangkan bisnis di berbagai sektor. Hanya saja semua orang melihat apa yang terlihat dari dirinya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, Nenda tidak mempermasalahkannya karena itu juga sudah menjadi tugasnya sebagai keluarga Rasendra untuk menjaga nama baik disemua mata orang lain.
Nenda yang awalnya ingin terbebas dari cengkraman kakeknya memilih untuk kuliah diluar negri seperti halnya yang dilakukan anggota keluarga lainnya, namun hanya dirinya yang memiliki pengawasan ketat dari kakeknya, karena hal itu ia mengurungkan niatnya, semua percuma untuk dilakukan, ia telah melupakan jika dirinya tidak mempunyai kuasa untuk tubuh dan hidupnya. Bahkan setelah sang Kakek wafat ia diberi wasiat untuk tetap menjadi seorang berprestasi untuk keluarganya hanya saja kini ia menorehkan sebagai seorang pemimpin semua bisnis anggota Rasendra. Nenda sudah terbiasa bahkan jika sang kakek tidak memberikan wasiat itupun ia pasti akan melakukannya karena hanya itu yang bisa dilakukan, kebiasaan yang sudah mendarah daging.
Tidak ada kasih sayang, teman atau lainnya. Ia tidak bisa menjadi orang normal seperti diluaran sana karena ia hanya bisa kerja dan kerja. Bosan, bahkan ia sempat ingin melarikan diri tapi tidak bisa, kemapun ia pergi sangat mudah untuk ditemukan kecuali ia mati, terlintas dipikirannya untuk bunuh diri namun ia juga tidak akan bisa mati karena ia tidak diizinkan untuk mati atau orang lain yang akan menerima getah karena perbuatan yang ia lakukan, keluarga Rasendra terlalu berkuasa.
Jam menunjukkan pukul 01.30 WIB. Dikamar yang terlampau besar, ia baru saja pulang kerja tanpa mengganti pakaiannya, ia membaringkan tubuhnya dengan tangan yang menjadi bantalan dan menyilangkan kakinya. Ia menghembuskan napas dengan berat. Apakah takdirnya akan selalu seperti ini. hanya kantor dan rumah. Ia yang tidak mengenal cinta dari orang tuanya, juga tidak mengenal cinta dari seorang perempuan yang ia cintai, tidak terpikirkan olehnya untuk melihat wanita karena ia tahu semua sudah diatur. Meski awalnya hanya sebuah anggapan ternyata benar ia sudah ditunangkan dengan seroang wanita semenjak tahu jika keturunannya adalah berkelamin laki-laki. Sampai saat ini ia juga belum pernah bertemu, yang ia dengar tunangan juga memiliki prestasi, hal itu sudah sangat disadarinya, tidak mungkin sang kakek memilih calon yang sembarangan.
Pandangannya menerawang entah kemana. Sampai saat ini iapun masih sulit untuk menutup mata, bahkan ia tidak berani meminum obat-obatan, masih sangat jelas dipikirannya ketika ia dipergoki sedang meminum obat oleh ayahnya, kakeknya yang datang langsung menggeledah kamarnya saat itu juga. Tiba-tiba Nenda terhenyak, seolah ia terkejut dan menggeledah laci demi laci yang ada didalam kamarnya. Seketika Ia teringat dengan pemberian Nenek Inoh setahun setelah ia melihat senyum yang berbeda dari Neneknya tepatnya disaat ia akan memulai hidup disekolah SMA baru.
“Syukurlah” ujar Nenda tenang setelah menemukan arloji tua yang antik pemberian sang nenek ketika ia naik kelas 3 SMP. Ia masih sangat jelas mendengar dentingan jam itu setiap tahun jika ia sedang berada dirumah. namun ia tidak menggubrisnya karena ia tahu arloji itu ada ditangannya sampai kesibukkan karena bisnisnya membuatnya hampir melupakan arloji yang belum ia lihat karena mulai sering melakukan perjalanan bisnis. Bahkan iapun tidak mengetahui dimana Nek Inoh dikuburkan karena tidak ada yang memberitahunya.
Nenda kembali merebahkan tubuhnya diatas kasur dan menyentuh perlahan arloji bulat yang berwarna emas begitupun dengan rantainya. Ia mengusap halus gambaran depan arloji, sebuah pohon hijau yang menyembul dengan tiga orang duduk dibawah pohonnya yaitu ayah, ibu dan seorang anak yang masih kecil. Untuk gambarnya berwarna silver. Nenda membuka arloji itu. suara dentingan sangat jelas, suara yang benar-benar mirip dengan yang ia dengar selama ini. ditengahnya ada sebuah jam bulat dengan jarum jam menyerupai akar pohon dengan lilitan daun dan pinggiran bulat itu menyeruai tanaman dengan daun yang merambat sangat indah bahkan menggunakan warna aslinya. Nenda tersenyum mahakarya dihadapannya mengalahkan keindahan permata yang selama ini ia lihat.
“Hey… ahkhirnya kau datang juga” ujar seseorang yang menepuk pundak Nenda dari belakang.
Nenda hanya tersenyum membalas sapaannyya karena ia tidak tahu siapa orang yang duduk disampingnya.
“Ikutlah denganku” orang itu menarik tangan Nenda dan berlari menuju entah kemana, Nenda tidak bisa menolak karena ia tiba-tiba menariknya.
Entah ia akan pergi kemana langkah kaki ini terasa ringan seolah tidak ingin menolak ajakannya. Kini Nenda ikut berlari sesuai keinginanya. Bahkan ia tidak menyadari dirinya kini sudah berada diluar disebuah tempat yang asing baginya. Ia berlari diantara pepohonan dan juga tumbuhan liar, suara daun kering yang terinjak terdengar renyah. Nenda yakin jika ini bukanlah hutan lebih mirip seperti kebun. Akhirnya ia berhenti juga disebuah pohon yang cukup lebat dan besar. Orang yang mengajaknya kini sedang mengatur nafasnya karena terlalu lelah berlari. Namun Nenda baru menyadari jika dirinya ditarik oleh seorang anak kecil mungkin sekitar 7 tahun begitupun dengan dirinya yang melihat tangan, kaki dan pakaian juga seperti anak kecil seumuran dengannya karena ia bisa pandangan mata Nenda sejajar dengan kepala anak didepannya.
“Kau siapa?” ujar Nenda melihat kejanggalan yang terjadi.
“Lihatlah…” ujarnya justru tersenyum sembari menunjuk kearah depan sana. Nenda terkejut ia melihat taman bermain yang sangat besar dan lengkap. Disana ramai sekali penuh dengan teriakan kebahagiaan. Nenda berpikir rasanya tidak mungkin suara bising itu tidak ia ketahui.
“Waw… menyenangkan sekali” ujar Nenda yang terbius dengan keramaian dan permainan di wahana bermain itu, seumur hidupnya ia tidak pernah merasakan hal itu.
Anak yang belum diketahui namanya itu menarik kembali Nenda dan mengajaknya menuruni tempat ia berdiri menuju taman bermain itu. ia tidak tahu jika diantara pepohonan ini ada taman bermain tersembunyi. Nenda kecil tersenyum bahagia dan mengikutinya kembali. Satu persatu wahana ia naiki dan tidak pernah sekalipun senyuman itu hilang darinya. Seolah ia benar-benar kembali menjadi seorang anak kecil. Ia melupakan siapa dirinya yang sesungguhnya dan menikmati apa yang ada dihadapannya. Ia juga membeli permen gula-gula dan bermain bersama badut disana.
“Wah menyenangkan sekali” ujar anak itu memberikan es krim kepada Nenda sembari duduk dibangku taman dengan warna yang mulai berubah. Langit jingga itu terasa menenangkan dan sangat indah.
“Terima kasih karena telah mengajakku. Aku sangat senang sekali. untuk pertama kalinya aku merasakan bermain seperti ini” ujar Nenda sumeringgah.
“Sama seperti denganku. karena aku tidak memiliki teman untuk pergi kesini dan aku beruntung bertemu denganmu. Kau hampir mirip denganku” jawabnya dengan senyuman yang lebih lebar dari Nenda.
“Baiklah sudah sore kita harus pulang” ujarnya.
Nenda tidak menjawabnya karena ia ingin lebih lama bermain disini, namun entah mengapa dirinya semakin menjauh darinya seolah ada yang menarik dirinya meski tidak ada yang menyentuhnya. Orang yang belum diketahui namanya itu melambaikan tangan sembari nongkrong di bangku taman dan kini orang itu menjelma seperti seorang siswa remaja. Nenda berusaha menggapai dengan tangannya namun ia tidak bisa menyentuhnya dan semakin menjauh.
Tok… tok… Tuan muda
Seorang pelayan mengetuk pintu dan membangunkan Nenda yang merasa letih sekali. mimpi itu seperti kenyataan bahkan ia merasakan manis didalam mulutnya, es krim yang belepotan disekitar mulutnyapun masih ada dan mengering. Nenda terkejut tidak mungkin jika mimpi itu adalah sebuah kenyataan. Tapi bajunya jelas kotor dan ia juga letih, namun tidak menampik jika semua itu sangat menyenangkan. Kalau bisa ia sangat ingin kembali ke tempat itu walau jelas tubuhnya kini sudah dewasa.
“Pagi Pih, Mih” ujar Nenda yang menuruni tangga sembari menyapa kedua orang tuanya yang sudah duduk menunggu mereka.
“Pagi” ujar mereka kompak dengan senyuman hangat. Nenda sangat menyayangkan jika harus melihat keharmonisan orang tuanya disaat ia sudah dewasa. Mungkin langkah yang diambil sang kakek ada benarnya juga, orang tuanya kini lebih mesra dan akur, tidak seperti dulu yang sering bertengkar mungkin mereka sudah letih karena pertengkaran sehebat apapun mereka tidak bisa melarikan diri dan kembali kerumah lagi. Jika hal ini terjadi saat dulu, Mungkin saat ini Nenda juga memilii seorang adik.
“O ya Nenda. Kamu sudah saatnya memikirkan rumah tangga dan kau juga sudah siap untuk menikah” ujar Papihnya sembari melahap sarapan paginya.
“Lalu kapan aku bisa bertemu dengannya?” tanyaku pada mereka yang dibalas dengan tatapan dari mereka.
“Kamu sudah tahu jika dijodohkan? Kapan kamu mengetahui hal itu?” Tanya mamih.
“Aku tahu setelah kakek meninggal tapi jika tidak tahupun aku bisa menebaknya. Tidak mungkin aku tidak tahu Pih Mih pasti semua sudah direncanakan” ujarku santai.
Sang Papih hanya mengangguk-angguk karena hal itu bukanlah tidak mungkin, meski ia juga dijodohkan tapi ia masih bisa memilih wanita yang ingin dinikahinya karena ia disiapkan beberapa kandidat. Sedangkan anaknya sudah jelas ditentukan. “Kau akan bertemu dengannya mungkin sekitar 2 minggu lagi”
Nenda hanya mengangguk sembari menghabiskan makanannya.
*******
“Heh… mengapa kau lemas begitu?” Tanya Nenda kepada orang yang mengajak ke taman bermain. Ini sudah keempat kalinya Nenda bertemu dengan orang yang belum memberikan namanya itu. meski terasa janggal sudah tidak dihiraukannya lagi karena ia sudah terbiasa dan jujur ia sangat menikmati pertemanan dengannya, pertemanan yang tidak pernah ia lakukan sama sekali dengan siapapun. Kini ia memakai seragam sekolah menengah pertama, entah mengapa ia juga merasa ia menjadi siswa padahal yang dikenakanya hanya menggunakan sarung. Ia tidak mengerti tapi sepertinya ia sudah mengetahuinya.
“Lelah aku setiap hari terus menerus melakukan hal yang sama dan aku dituntut untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik” ujarnya seolah mengingatkan tentang dirinya. “Kau ikut kerumahku, malam nanti ada pesta dirumahku”
Nenda mengangguk dan mengikuti langkah kaki orang itu dibelakangnya sembari memperhatikan jalanan dengan suasana yang sangat berbeda namun tidak asing, padahal jelas rumah yang ia lihat jauh lebih dari kata sederhana dengan rumah yang biasa ia lihat. Ia tidak mengerti sebenarnya dimana dirinnya.
Ia berhenti dipintu gerbang yang cukup besar dengan rumah yang tidak jauh lebih besar lagi, rumah ini benar-benar tidak asing meski berbeda. pintu gerbang yang terbuka membuat Nenda terkejut ia melihat beberapa pelayan dan para penjaga dengan siluet seseorang yang berada ditengah seolah menatap kearahnya penuh dengan amarah. Semakin dekat dan diperhatikan mulai semakin jelas wajahnya dan Nenda benar-benar terkejut.
“KEMANA SAJA KAU NANDO” Teriaknya sangar menggema hampir seluruh ruangan rumahnya. matanya melotot dan ia menunjuk orang itu dengan itek (penyangga kaki) antik berwarna emas dan Nenda yakin pernah melihatnya.
Orang yang dipanggil Nando itu hanya diam tidak menggubris tatapan matanya tetap lurus memperhatikan orang yang sedang memarahinya.
“Kau tahu ini sudah tahu jam berapa, HAHHH… “ ia menunjuk arah jam dinding yang menunjukkan pukul jam 19.00 WIB. “Kau tahu Acara dimulai jam 20.00 Wib mengapa kau baru datang sekarang”.
Dengan lirikan orang yang didepannya beberapa pelayan mengikuti Nando, Nando melirik kearah Nenda untuk mengikutinya sama persis yang dilakukan orang itu. Nando dan Nenda membersihkan diri dan mengganti baju dengan jas untuk pesta yang diadakan malam ini.
“Maaf kau harus mengikuti dan melihat semuanya” ujarnya tersenyum. “Ayahku memang sangat ketat, ia tidak mengizinkanku untuk menggerakkan tubuhku sendiri”
Nenda tidak mengerti yang dilakukan orang ini sama seperti dengan dirinya. “Tidak masalah aku pernah juga sering melakukan hal itu, kakekku juga sangat galak dan menjadikanku seperti robot. Pesta apa sebenarnya sampai kau dimarahi seperti itu dan kalau tidak salah apakah namamun Nando?”
“Owh aku lupa memperkenalkan diriku, namaku Nando Arya Rasendra dan hari ini adalah hari ulang tahunku ke 17” ujar Nando.
Nenda terhenyak mendengar nama “Rasendra”, pantas rasanya tidak asing dengan nama Nando dan beberapa yang berada dirumah ini pastinya ayahnya yang mirip dengan Kakeknya, iapun tidak ingin berpikir karena mungkin itu hanya kebetulan meski sulit dipercaya.
“Kau kakek buyutku. Namaku Nenda Arvigo Rasendra. Apa yang terjadi sebenarnya?” Nenda bingung, gelisah dan tidak percaya apa yang terjadi. “Tanggal berapa sekarang?”
“Lihat saja tanggal itu ada dibelakangmu dan dilingkari warna merah” ujar Nando.
Nenda terkejut karena sekarang tanggal 14 April 1934, tidak aneh jika ia juga melihat jalanan dan rumahnya terkesan jauh dari modern begitupun dengan pakaian lainnya namun tidak dengan tempat bermain yang ia sering datangi. Tidak mungkin ia melakukan perjalanan waktu tapi setiap sadar ia selalu berada diranjangnya bagaikan seperti mimpi, namun jika mimpi ini terlalu misterius.
“Jadi kau cucu buyutku, kau yang berhasil mendapatkan arloji Aruna, jadi yang diceritakan Inoh adalah kau” ujar Nando yang semakin mengejutkan.
“Apa jadi Nek Inoh bercerita tentangku?”
“Nenek, jadi kau memanggilnya seperti itu, untuk aturan keluarga bukankah hal itu dilarang” ujarnya kembali.
“Aku melakukan hal itu jika sedang berdua saja” ujarnya lemah dan menitikkan air mata. “Kakek buyut apa aku masih bisa bertemu dengan Nek Inoh? Bahkan aku tidak diberitahu jika ia telah meninggal dan dikuburkan dimanapun aku tidak pernah tahu”
“Kau akan bertemu dengannya” ujar Nando membuatnya tersenyum.
Pesta dimulai dengan mengunakan pakaian elit pada masanya, mereka berdua terlihat menawan dan tampan. Pesta klasik ini sangat mewah dihadiri para bangsawan, pegawai pemerintahan bahkan ada bangsawan asing, karena tahun ini masih dalam masa penjajahan. Nando menunjuk Nek Inoh yang sedang duduk tenang para tamu, tanpa basi-basi Nenda menghampiri Nek inoh yang terlihat sangat muda mungkin sekitar 5 atau 6 tahun.
“Nek Inoh” ujar Nenda gugup.
“Nenda akhirnya kau kesini” ujarnya dengan suara anak kecil namun ia seperti Nek Inoh yang dikenalnya.
Mereka berdua berbincang, pesta yang diadakan sebenarnya tidak jauh untuk melebarkan sayap Rasendra dikalangan masyarakat dan juga sang ayah yang sedang memilih kandidat untuk calon istrinya. Pesta yang membosankan akhirnya berakhir namun tidak dengan masalah pelik yang dihadapi keluarga Rasendra. Masih diruangan yang sama disaat para pelayan sedang memberskan sisa pesta, Nando dimarahi ayahnya karena telah menolak untuk menikahi seorang gadis pilihannya. Nando tidak ingin karena ia sudah memiliki gadis yang ia sukai, bahkan Nando berani menentang ayahnya untuk melebarkan sayap Rasendra bersama dengan istrinya dan jika tidak berhasil ia akan diceraikan atau keluar dari keluarga Rasendra, matipun tidak masalah.
Ayahnya mengangguk terpaksa dan mengikuti keinginan Nando dengan syarat ia harus mensukseskan keluarga Rasendra seperti yang dikatakannya. Nenda yang melihat Kakek buyutnya itu merasa tertantang apa yang membuatnya berani melakukan hal yang cukup berani, selama ia bersama dengan Nando ia akui, meski memiliki pemikiran dan nasib yang sama, ia tidak pernah berpikir untuk menikmati dunia dengan cara yang berbeda. bahkan Kakek buyutnya berani memilih calon sendiri.
“Aku yakin kau pun sepertinya masih memiliki nasib yang sama denganku” ujar Nando duduk disebelah Nenda. Sisi kiri dan kanan Nenda ada Nek Inoh dan juga Kakek buyutnya.
“Ya Kek, tapi apa harus seperti ini terus, aku tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan caraku sendiri. aku tidak bisa berteman, bermain atau melakukan hal apapun yang ku inginkan” ujar Nenda.
“Ikutlah denganku…” ujar Nando tersenyum menggenggam erat tangan Nenda, kini seolah sekitarnya berputar dan terhipnotis apa yang dilakukan sang kakek. “Jika langit bisa dikalahkan pasti aku akan ditugaskan untuk mengalahkannya. Langit itu tinggi dan prinsip Rasendra itu seperti langit. Kau cukup membuat orang lain harus mengetahui jika itu adalah “Langit” dan “Tinggi”. Kau cukup membuat keluarga Rasendra sukses dimata orang, meski tidak tahu seperti apa didalamnya”.
14 April 1932
“Ini adalah umur disaat aku 15 tahun. Aku benar-benar menyadari jika aku memang tidak bisa hidup seperti yang aku inginkan semua seolah sudah tertulis di buku yang ada ditangan ayahku dan aku tidak akan pernah bisa mengambilnya bahkan sampai aku mati, semenjak itu aku mulai mengikuti apapun yang diinginkan ayahku karena aku harus menjadi yang terbaik dari anggota keluarga lainnya, mungkin ke 2 adik perempuanku tidak diperhatikannya, dan karena sudah terbiasa aku tidak keberatan. Namun disisi lain aku melakukan perencanaan untuk masa depanku. Terwujud atau tidaknya aku tidak pernah tahu bahkan aku berpikir itu mustahil tapi tanganku ini tidak ingin mengakhirinya” jelas Nando. “Aku merasa bahagia karena aku bisa melakukan apapun yang diinginkan ayahku dan juga bisa menjadi diriku sendiri”.
Nenda terus mendengar semua yang dikatakan kakek buyutnya, seolah berjalan diatas waktu ia melihat semua yang dilakukan kakek buyutnya, ia melihat kakek buyutnya merasa bebas meski kakinya jelas terantai. Nenda salut kepada kakek buyutnya yang terliihat santai memiliki jalannya sendiri namun tetap membanggakan untuk keluarganya.
“Dan aku mulai yakin dengan rencanaku setelah Aku bertemu Aruna, nenek buyutmu yang sangat aku cintai sejak aku pertama bertemu, ia adalah seorang gadis miskin namun memiliki kekayaan berlimpah diotaknya. Ia bisa melihat apapun yang didepannya dan bisa melakukan apapun yang tidak semua wanita bahkan laki-laki lakukan, wanita aneh, perkasa dan tidak pernah takut apapun padahal jelas hidupnya sangat susah, bahkan aku menikahinya karena sebuah tantangan dan ia menyetujui, meski kami suami istri kami seperti teman yang terus bertengkar dan akrab kembali. aku menikahinya setelah 2 bulan pesta itu. 1 tahun setelah pernikahan aku dibuat menyerah dan tidak sanggup menerima kenyataan. Aku sadar pasti itu ada ikut campur tangan ayahku sendiri, namun berkat perkataan Aruna membuatku sadar “Jika kau memang mencintaiku, ayo kita akhiri ini sampai aku tidak sanggup meggerakkan jari ini”, setelah lewat 2 tahun akhirnya aku dan istriku memenangkan pertarungan dengan ayahku bahkan jauh lebih besar dan itu tidak lepas dari otak Aruna. “Aku akan berikan tubuh ini untuk ayahku tapi akan aku sisakan hatiku untuk Aruna-ku”. Aku sadar tanpa bantuan ayahku aku bisa merasakan kenikmatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain. aku serahkan sepenuhnya rencanaku kepada istriku karena aku sadar aku masih dalam kendali ayahku. 2 tahun berikutnya aku dikaruniai seorang anak. Hidupku menjadi bahagia sekali”
Nenda terus mendengar yang dikatakan kakeknya dan melihat semua yang dilakukan kakeknya seolah ia masuk dalam sebuah film meski kehadiran mereka tidak disadari oleh orang yang berada disekitarnya. Tidak seperti sebelumnya Nenda kembali menjadi Normal seperti umurnya namun tidak dengan sang Kakek buyut yang umurnya berubah mengikuti tahun kejadian.
29 Juli 1956…
Kini disamping Nenda yang menggenggam tangannya berubah menjadi umur 39 tahun dan ia meneruskan kembali ceritanya. “Beberapa tahun sebelum tahun 1956 ini, aku terus mempertahankan semua yang dilakukan keluarga yang sudah turun termurun dilakukan, aku juga kini bisa akrab dengan kedua adikku, aku memiliki istri dan 2 anak laki-laki yang berbeda umurnya 3 tahun dan negaraku telah merdeka. Aku benar-benar sangat bahagia dan kini giliran anak-anakku yang diajarkan peraturan Rasendra oleh Ayahku sama halnya denganku bahkan kepada cucunya pun ia tetap keras khususnya pada anak laki-laki masih dengan peraturan yang sama harus menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Mereka di didik sangat keras apalagi ibunya hanya dari kalangan orang bawah. Karena aku tidak ingin anakku seperti diriku, setelah diberi pelajaran oleh Kakeknya aku menjadi seorang ayah yang ingin melengkapi kehidupan anak-anaknya” ujar tersenyum berat.
Nenda melihat dengan jelas kebahagian yang kini menjadi Kakek yang terus memantaunya, meski ia terlihat menikmati masa kecil namun Kakeknya tetap keras kepadanya. Kedua Kakeknya sangat bahagia dan mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Tanpa disadari Nenda merasa sedih dengan kebahagian yang ia lihat.
Kakek buyutnya justru tersenyum melihat tingkah Nenda yang bersedih. “Tepat ditanggal ini, anakku yang pertama melakukan bunuh diri”
Nenda terkejut karena ia juga sempat berpikir kearah menyesatkan itu. Tapi ia tidak tahu jika ada sejarah seperti ini dikeluarga Rasendra.
“Apa yang dilakukan anakku sempat akan dilakukan olehku, berkat Aruna aku tidak jadi melakukannya. Aku pikir kehadiranku menjadi orang tua yang baik bisa dirasakan dan tersalurkan kepada anakku, tapi nyatanya tidak untuk Anak pertamaku yang berumur 19 tahun melakukan bunuh diri karena tidak tahan dengan kakekku padahal aku selalu melakukan hal yang terbaik sebagai ayah dan akhirnya ayahku menyalahkan aku karena terlalu lembek dalam mengajar mereka. “Meski satu darah kita tetap manusia yang memiliki hati yang berdiri sendiri, meski kita mendapatkan kekuatan dari orang lain tetap kekuatan yang paling besar adalah dari diri kita sendiri” aku menyadari hal itu karena jelas didikan ayahku terhadap ayahku lebih berat karena seperti itu kasih sayang yang ayahku tunjukkan kepadaku”
Nenda kini mulai yakin jika kakeknya itu adalah anak kedua, bahkan ia tidak tahu jika keluarga Rasendra pernah memiliki sejarah kelam, mungkin itu yang mewajarkan didikan kakeknya kepadanya yang begitu keras seperti ayah dari Kakek buyutnya bahkan lebih keras sesakit apapun yang dirasakan keluarga Rasendra tidak akan pernah berdarah apalagi meninggalkan bekas luka.
17 November 1983…
Kini berubah kembali, genggamann itu mulai longgar dan giliran Nenda yang menggenggam erat kakek buyutnya yang sudah beruban dan renta. Ia bahkan terdiam cukup lama dan menitikkan air mata. nenda hanya terdiam karena tidak tahu apa yang terjadi. karna yang dilihat matanya tidak ada apapun yang harus membuatnya sedih. Namun setelah beberapa kejadian terlewat Nenda tidak sanggup melihat dan ia juga menitikkan air mata karena di tanggal ini cintanya hilang terenggut oleh Tuhan, meski sedih Kakek buyutnya mengatakan “Untung saja ia meninggalkanku lebih dulu, aku tidak akan bisa tenang jika aku yang terlebih dahulu meninggalkannya”. Nenda semakin tidak sanggup dan menangis terisak, untuk pertama kalinya setelah betahun-tahun akhirnya ia bisa mengeluarkan air mata yang dulu sulit dikeluarkan.
“Aku bahkan pernah berpikir jika Tuhan itu tidak adil kepadaku, meski aku memiliki kekayaan yang berlimpah. Aku mungkin tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Tapi semua itu berubah ketika aku bertemu Aruna, ia melihatku sebagai Nando, bahkan ia menelan pahit hinaan keluargaku dan mungkin saja siksaan tanpa aku ketahui namun ia tidak menghiraukan setidaknya jika ada diriku dihadapannya” ujar Nando yang semakin tidak kuasa menahan tangisnya. “Setidaknya dalam hidupku aku masih diberi kesempatan untuk bahagia. “Semua orang pasti memiliki kebahagiaan, penderitaan dan apapun itu dengan cara yang berbeda, semuanya tergantung dirimu sendiri hanya kau sendiri yang tahu” aku bahagia karena ada keturunanku yang memiliki padangan berbeda tentang rasa sakit dan itu lebih penting karena aku yakin kau sangat kuat bahkan lebih kuat dariku”
Nenda yang masih menutup matanya terus mengeluarkan air mata tanpa henti, seseorang disampingnya terus menepuk-nepuknya namun Nenda tidak sadarkan diri juga. Ia khawatir dan melakukan berbagai cara bahkan dokter telah dipanggil namun ia tidak bangun, sang dokter tidak berani melakukan hal yang gegabah karena kondisi Nenda masih stabil meski ia tidak sadarkan diri, sang dokter menyarankan untuk tetap disampingnya dan mengajaknya bicara.
“Siapa kau?” Tanya Nenda melihat seorang wanita yang khawatir berada dipinggir ranjangnya dan dikerumuni oleh beberapa orang.
“Anakku” mamihnya langsung memeluk. “Aku bersyukur kau tidak apa-apa”
“Ada apa Mih?” ujar Nenda kebingungan, ia masih menggenggam Arloji itu ditangannya.
“Sebaiknya Nenda istrihat dulu” ujar dokter pribadi keluarga.
“Aku ingin penjelasan” ujar Nenda ngotot.
“Biar aku Tante yang menjelaskannya” ujar perempuan itu.
Semua orang meninggalkan Nenda dan seorang wanita didalam kamarnya.
“Jika kau ingin menangis, menangislah. Tidak perlu malu, mau kau seorang lelaki ataupun orang kaya kau berhak untuk menangis jika itu memang merasa sakit” ujar wanita itu memandang Nenda yang bingung melihat kehadirannya. “Aku Merlirosa tunanganmu”
“Owh aku ingat, sebelumnya kita akan melakukan pertemuan. Maaf, aku tidak ingat” ujar masih mengusap air mata.
“Aku pikir kau ingin kabur dengan menggunakan cara itu karena tidak ingin bertunangan denganku” ujarnya tersenyum manis membuat Nenda terpesona. “Kau tidak perlu khawatir jika ingin membatalkan pertunangan ini tapi tidak harus melakukan cara seperti ini”
“Maaf aku tidak bermaksud melakukan hal itu, jika kau tidak keberatan aku ingin berteman denganmu, untuk hasilnya kita lihat nanti, setidaknya kita bisa berteman dan tidak perlu memutuskan hubungan keluarga” ujar Nenda berhati-hati.
“Syukurlah… aku juga merasakan hal yang sama, keputusan apapun kita pikirkan nanti yang penting kau harus janji kita tetap memiliki hubungan meski tidak harus yang dilakukan orang tua kita. Jika tidak aku bisa dijadikan sushi oleh ayahku” ujar Merli bahagia dan tersenyum lebar.
“Baiklah kita adakan ulang pertemuan kita” ujar Nenda tersenyum.
Nenda senang, meski ia belum berteman ataupun bertunangan secara resmi tapi ia masih memiliki harapan untuk bahagia. sebagai keluarga Rasendra ia harus melakukan tugasnya karena tanpanya ia tidak akan mungkin tercukupi dan memenuhi semua kebutuhan yang ia inginkan sampai seperti ini. secara tidak langsung ia juga mengucapkan terima kasih kepada kakeknya yang telah mendidiknya keras, karena kenyataan keluarga Rasendra tidak bisa dididik secara lembut, namun bukan berarti aku tidak bisa mencoba.
Nenda juga beruntung, ia mendapatkan tunangan yang memiliki pikiran sama dengannya. Tidak ada salahnya jika ia mencoba melakukan pendekatan dengan perempuan yang bernama “Merlirosa”. Selain ia juga tidak memiliki teman wanita yang cukup dekat. Sejujurnya ia juga tidak bisa menilainya. Seperti halnya yang dikatakan kakek buyutnya “Semua yang didapatkan tergantung hasil usaha sendiri. Bahagia atau tidaknya hanya kita yang menentukan”
“Meski hal itu terlihat salah dan kasar, tapi itu adalah cara mereka memaknai dan menunjukkan arti cinta mereka”