"Tolong!" Cicilia berlari sembarang arah. Mentalnya terombang-ambing bagai ombak ganas. Kedua mata cokelat sang gadis berkilau oleh airmata. Tetes demi tetes rintik hujan membasahi pipinya. Cicilia memukul setiap pintu rumah yang dilihatnya. "Kumohon! Buka pintunya!" teriak Cicilia senyaring mungkin, berusaha menyamarkan isakannya. Namun nihil. Tidak seorang pun membalas. Pasrah akan keadaan, kaki Cicilia menekuk ke tanah. Ia tidak lagi peduli apa yang terjadi selanjutnya. Pandangan Cicilia kosong, menyisakan raut datar di paras cantiknya.
Perlahan terdengar langkah kaki dari kejauhan. Suara yang Cicilia kenali sekaligus takuti. Ia tahu betul setiap bunyi sepatu itu mendekat, sebuah pisau akan menyayat lehernya hingga mengeluarkan darah. Ia tahu risiko dari melarikan diri. Cicilia mendongak. Bulan purnama menyinarinya, dan bintang bersinar terang di langit tanpa awan. Sungguh malam yang indah. Namun Cicilia tidak pernah mengharapkan pemandangan itu adalah hal terakhir yang dilihatnya sebelum tiada.
"Cicilia..." Seseorang memanggil namanya. Persis semanis permen, juga selembut kapas. Nada yang entah mengapa terdengar peringatan bagi Cicilia.
Ia tidak menyangka lelaki yang dikiranya baik itu kini mengincar nyawanya. Ia tidak tahu betapa besar bahaya dari mencari tahu alasan dibalik koma lima tahunnya.
Jika Cicilia tahu hal ini akan terjadi, ia tidak akan pernah bangun. Dari koma.