Dari kejauhan, kupandang dengan muram saat keping salju pertama jatuh menyentuh kelopak bunga mawar yang berwarna merah pekat, semerah darah. Aneh, seharusnya tidak ada bunga mawar yang merekah pada musim salju. Bunga mawar itu nampak seperti titik diantara luasnya hamparan salju. Nampak seperti bercak darah diatas kain putih.
Perlahan aku menghampiri bunga mawar itu, berusaha menelaahnya. Tiba-tiba saja air mataku menitik, bersamaan dengan terdengarnya suara langkah kaki yang terseok dari belakangku. Kutatap seorang wanita muda, rambutnya gelap, matanya hitam pekat seperti warna lautan pada malam hari, dan sama seperti lautan yang nampak beriak di bawah rembulan, begitu pula dengan sepasang mata itu. Tubuhnya nampak gemetar, sementara air matanya mulai membanjir. Ia terlolong semperti serigala di bawah bulan purnama, tepat di depan pintu gerbang rumahnya.
Pandangan mata wanita itu tidak dapat lepas dari sekuntum bunga mawar, sementara pandangan mataku tidak dapat lepas dari sosok mungil yang menatap wanita itu dengan sedih. Sosok mungil itu berdiri di hadapannya dan nampak kebingungan. Tanpa sadar aku menghelakan nafas, dengan sedih.
***
Awal aku mengenal anak kecil itu ialah saat Tuhan memanggilku menghadapNya. Sayup-sayup aku mendengar ia bercakap-cakap dengan Tuhan. Suara tawanya seperti denting lonceng di pagi hari. Jernih, lembut, dan suci. Anak kecil itu menanyai Tuhan dengan lugu dan polos.
“Apakah benar, jika Engkau akan menitipkanku kepada malaikat-malaikat setelah ini?” Tuhan menatapku, dan sepasang mata lugu itu mengikuti arah pandang Tuhan.
“Ia malaikat pelindungmu setelah ini,” aku tertawa kecil, begitu pula anak kecil itu. Kami langsung terkoneksi tanpa alasan.
“Namun,” selaku. “Selama di bumi, kamu akan dirawat, dididik dan dijaga oleh manusia, manusia itu akan mengasihi dan memperlakukanmu jauh lebih baik daripada malaikat memperlakukanmu.” Imbuhku.
“Oh ya? Ada yang lebih baik dari pada malaikat?” tanya anak kecil itu heran. Aku memandang Tuhan di tahta kemuliaannya dan Tuhan tersenyum indah.
“Ya, sebab saat Tuhan menciptakan manusia, mereka secitra dengan Tuhan. Sungguh amat baik.”
Kini, di depan sekuntum mawar itu aku menangis. Sekali lagi, tugasku berhenti sampai di titik ini. Sekali lagi, kubiarkan malaikat maut menggantikan posisiku untuk membawanya kembali kepada Tuhan.
“Sudah empat puluh hari kamu berjalan di sisinya, mengapa kamu tidak ingin pulang?” bujukku kepada anak kecil itu. Mata hitam pekat yang serupa dengan ibunya memandangiku, masih dengan polos dan lugu.
“Aku tidak bisa berhenti mengaguminya. Aku sangat mencintainya.” Bisik anak kecil itu.
“Oh ya?” tanyaku pura-pura terkejut.
“Ya, ia sangat lembut, hangat, dan cantik. Namun, mengapa ia selalu menangis?” tanya anak kecil itu.
“Karena ternyata Tuhan lebih membutuhkanmu di surga,” ungkapku.
“Disurga? Baru saja aku dari sana?” tanyanya heran.
Kutatap langit, berjuta jiwa anak kecil tertawa di dekat altar Tuhan. Mereka nampak begitu indah dan harum. Begitu murni dan lugu. Jiwa mereka bercahaya indah, mempercantik altar suci.
“Disana Tuhan ingin kamu duduk, memujiNya sepanjang masa.” Ungkapku.
“Ah, indah sekali.” Gumam anak kecil itu dengan tatapan mendamba.
Dikejauhan, kutatap malaikat maut, tersenyum padaku.
“Kalau begitu, bisakah kamu katakan kepada Wanita itu? Katakan padanya, terimakasih karena telah memberikan kesempatan bagiku untuk mengenalinya. Aku sangat menyukai setiap detik waktu yang aku habiskan dengannya. Kalau bisa bujuk ia untuk berhenti menangis.”
Aku tersenyum lembut. “tentu.” Bisiikku. Kuraih tangannya yang terjulur, dan kusambutkan dengan tangan malaikat maut. Setelah melihatnya berpulang dengan damai. Mataku kembali mengamati sekuntum bunga mawar yang mulai layu.
Kelopaknya berjatuhan, sementara semerbak harumnya, tak berkesudahan. Bukannya aku tidak tahu mengapa mawar merah itu tumbuh disana, Tuhan sengaja menumbuhkannya diatas mayat dari janin anak kecil tadi.
Sekitar sebulan yang lalu, aku melihat wanita itu, menggali lubang dan menaruh jasad janin disana. Sama seperti wanita-wanita muda lain yang keliru memutuskan pilihan hidupnya. Namun, Tuhan Maha Adil. Ia berikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat, dan memberikan tempat terindah bagi anak-anak yang tidak dilahirkan untuk berpulang. Memuji Tuhan selama-lamanya.
“Kamu tahu penderitaan terbesar?” bisik Raphael.
“Ya, penyesalan tiada henti. Seumur hidupnya,” jawabku kepada sang malaikat agung.
******
Halo readers, bagi teman katolik karismatik, tidak asing terdengar istilah luka batin dari dalam kandungan. Faktanya ialah bayi/ janin sudah memiliki ikatan yang kuat dengan ibunya semenjak dalam kandungan. Tidak heran, jika bayi didalam janin akan mengalami sakit saat Ibunya berusaha melukai dia (menggugurkan), mengalami terluka batinnya saat tidak diinginkan (karena ketidak samaan harapan gender. Misal : Ibunya ingin laki-laki, padahal janin tersebut ialah perempuan), dan masih banyak lagi.
Ikatan ibu dan anak ini tidak sepantasnya diputuskan secara sepihak. Sebab, suka tidak suka, kehamilan secara spiritual juga terjadi karena restu Allah. Jadi, kalau seorang wanita menggugurkan anaknya, maka ia telah menggagalkan misi Tuhan pada kehidupan anak tersebut. Bukannya, tidak mungkin Tuhan membuat nyawa seseorang dengan kebetulan?
*
Hai calon Ibu di dunia ini, jika bukan kalian yang menjaga dan mendukung hak anakmu sendiri, siapa lagi?