Tokyo
Jun Su merasakan tangan Chang Min mengelus rambutnya dengan lembut. Ia membuka matanya perlahan dan melihat senyum manis Chang Min yang menatapnya.
“Pagi.” Jun Su menggumam pelan.
“Ini sudah siang.” Chang Min meledek. “Akhirnya kau bangun juga.” Chang Min tertawa kecil.
“Kau menungguku? Tumben.” Jun Su merenggangkan otot-ototnya.
“Akhir-akhir ini kau sangat suka tidur. Seperti saat aku pertama mengenalmu dulu.” Chang Min tersenyum kecil, mengingat kembali si tukang tidurnya dulu, sementara Jun Su hanya tersenyum tipis.
“Jun Su,” nada suara Chang Min mendadak serius, “tidak bisakah kau bekerja di perusahaanku di Seoul?”
Mata Jun Su melebar dengan pertanyaan Chang Min yang tiba-tiba. Ia segera mendudukkan dirinya dan menatap Chang Min yang masih menatapnya denga serius, meski ia tetap dapat melihat kelembutan di sana.
“Aku harus mengurus perusaanku di Seoul. Aku tidak akan bisa tinggal lama di Tokyo.” Chang Min menatap Jun Su dan mengelus pipi pemuda yang hanya diam itu. “Ikutlah denganku ke Seoul, aku akan memberimu posisi yang bagus di kantor.”
Jun Su hanya diam. Chang Min bisa melihat reaksi Jun Su yang tidak senang dengan itu.
“Aku bahkan tidak mau bekerja di kantormu di Tokyo, terlebih lagi di Seoul.” Jun Su tersenyum kecil.
Chang Min mengangguk dan menghela nafasnya. “Aku bisa membantumu mencari pekerjaan bagus di Seoul, tidak di kantorku.” Chang Min masih berharap Jun Su tidak keberatan, tapi wajah Jun Su jelas menunjukkan kesedihannya.
“Kita bicarakan ini nanti.” Chang Min tersenyum lebar dan mengacak rambut Jun Su. “Cepatlah siap-siap. Kita akan bersenang-senang hari ini.”
Jun Su memandang takjub pemandangan di hadapannya; ini terasa seperti di Hamufield! Padang rumput yang luas dan bersih, tanpa suara kendaraan bermotor, atau suara-suara bising lainnya. Udara di sini terasa segar dan sejuk.
“Kau suka?” Chang Min tersenyum lebar memandang Jun Su.
Seorang laki-laki yang sudah berumur lebih dari setengah abad datang mendekat dengan senyum lebar, “Tuan muda Shim, kudanya sudah siap.”
Jun Su tidak bisa berhenti tersenyum dan mengelus kudanaya. Kuda besar yang terlihat sangat kuat itu mengingatkan Jun Su pada kuda kesayangannya di Hamufield; kuda kebanggaan yang menjadi juara di festival pacuan kuda tahunan.
Dari atas kuda coklatnya yang gagah, Chang Min tersenyum mengamati Jun Su yang terlihat benar-benar senang.
Jun Su mencoba menaiki punggung kuda besar itu, namun gagal. Jun Su terdiam. Ada apa dengannya? Ia sudah sangat terbiasa menaiki kuda dengan mudah di Hamufield. Jun Su kembali mencoba, namun gagal. Rasanya sangat sulit untuk mengangkat tubuhnya.
Jun Su masih terdiam keheranan. Ia tidak mengerti kenapa ia begitu kesulitan menaiki kuda yang saat ini sudah ia tunggangi. Setidaknya duduk di atas kuda ini tidak terasa asing baginya.
“Ini adalah pertama kalinya kau naik kuda ‘kan?” Chang Min membuyarkan lamunan Jun Su.
Jun Su menatap Chang Min yang duduk di atas kudanya, berada beberapa langkah di depan kudanya. Jun Su ingin berkata bahwa ia sudah sering, tapi semua itu di Hamufield. Akhirnya, Jun Su hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
“Kau suka?”
Jun Su kembali mengangguk.
Chang Min terlihat tersenyum lega.
Kuda Chang Min berjalan cukup jauh di depannya. Sudah terbiasa dengan kudanya di Hamufield, Jun Su memacu kuda yang ia tunggangi untuk berlari menyusul Chang Min.
Jun Su sedikit tersentak saat kuda itu berlari lebih kencang dari yang ia maksud. Tanpa bisa ia cegah, kuda itu berlari sangat kencang, seperti saat ia memacu kudanya untuk berlari dan berlomba dengan Yoo Chun.
“Jun Su, hati-hati! Apa yang kau lakukan?” Chang Min berteriak kencang, namun Jun Su tidak menghentikan kudanya. Perasaan cemas langsung menyelimuti Chang Min, ia segera membuat kudanya berlari untuk menyusul Jun Su.
Ini aneh! Kudanya tidak mau berhenti!
Jun Su berusaha menghentikan kuda itu dengan cara yang biasa ia lakukan di Hamufield, tapi kuda itu tetap tidak mau berhenti.
Jun Su merasa tubuhnya tidak seimbang di atas kuda itu. Aneh! Ia sudah biasa menunggangi kuda yang berlari cepat, tapi kenapa ia merasa tidak nyaman di sini?
“Jun Su! Hentikan kudanya!” suara teriakan panik Chang Min terdengar.
Jun Su berusaha melakukan itu sedari tadi, tapi tidak bisa. Kuda hitam itu tetap berlari kencang dan bahkan melompati pagar peternakan besar itu, membuat posisi duduk Jun Su semakin tidak nyaman.
“Kim Jun Su!” Chang Min kembali berteriak memanggilnya.
‘Ayolah Jun Su, apa yang terjadi padamu?!’ sedikit panik, Jun Su masih berusaha menghentikan laju kudanya.
Sekuat tenanga, Jun Su menarik tali di tangannya, berusaha membuat kuda itu menurut dan berhenti. Namun yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya; kuda itu terkejut, atau mungkin mengamuk, mengeluarkan suara keras dan berdiri dengan dua kaki belakangnya, membuat Jun Su yang tidak siap segera terlembar ke tanah.
Jun Su merasakan kepalanya seperti meledak. Ia tidak bisa bergerak... hanya ada rasa sakit... dan pandangannya mulai gelap.
Chang Min menahan nafasnya tanpa sadar. Pemandangan di hadapannya membuatnya tidak bisa bergerak, tidak bisa bicara.
Melihat Jun Su yang terbaring di tanah, Chang Min segera melompat dari kudanya dan berlari mendekat. “Jun Su,” Chang Min mengangkat pelan kepala Jun Su, namun ia segera merasakan cairan kental kemerahan membasahi tangannya. Ia merasa sekujur tubuhnya lemas melihat batu besar di tanah itu sudah dibanjiri darah segar.
“Jun Su,” Chang Min berusaha membuat Jun Su bicara padanya, namun mata laki-laki itu tetap terpejam.
Tubuh Chang Min gemetar, matanya sudah panas oleh butiran-butiran air mata yang siap meluncur menuruni pipinya.
Hamufield
Jun Su tersentak dan segera bangun terduduk di ranjangnya. Peluh sudah memabashinya.
Ia memandang sekeliling dan mendapati kamarnya di Hamufield. Jam di atas perapian kamarnya menunjukkan pukul tiga pagi.
Jun Su berusaha membuat dirinya tenang. Apa yang terjadi dengan dirinya di Tokyo?
Ia ingat betul ia baru saja terjatuh dari kudanya. Kepalanya terasa sangat sakit! Jun Su segera meraba bagian belakang kepalanya. Tidak ada yang terjadi padanya, tidak ada rasa sakit sama sekali...
Tokyo
Lorong rumah sakit itu terasa kosong dan dingin. Chang Min menatap tangannya yang gemetar, ia tidak bisa menghentikannya. Seumur hidupnya, Chang Min belum pernah merasa setakut ini.
Sudah berapa lama ia duduk di bangku dingin itu? Dan sampai kapan? Entahlah...
Hamufield
Jun Su kembali membuka matanya dan mengerang kesal. Ada apa dengannya? Ia tidak bisa bangun di Tokyo! Setiap kali tertidur, ia hanya akan tidur di Hamufield. Jun Su merasakannya. Tidur di Hamufield terasa berbeda... nyaman, tapi saat ini ia sangat ingin melihat Chang Min.
Jun Su bisa membayangkan wajah panik Chang Min. Apa yang terjadi di sana?
Jun Su hanya bisa menghela nafasnya dengan kesal.
Tokyo
Perlahan, kaki panjang Chang Min memasuki kamar rawat Jun Su. Ia tersenyum kecil melihat Jun Su yang terbaring di ranjang, namun air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Perban besar di kepala Jun Su, masker oksigen yang menutupi wajahnya, selang-selang di tubuh Jun Su, itu benar-benar membuat Chang Min sakit. Satu-satunya yang bisa membuat Chang Min bertahan adalah kenyataan bahwa Jun Su masih bernafas. Satu-satunya harapan Chang Min adalah suara mesin yang memenuhi ruangan, menyuarakan suara detak jantung Jun Su.
Chang Min mengambil tempat duduk di samping ranjang. Tangannya yang besar meraih tangan Jun Su yang terlihat kecil dalam genggamannya. Tangan itu terasa dingin. Apa Jun Su kedinginan? Apa Jun Su merasa sakit?
“Maafkan aku...” Chang Min mengecup pelan tangan Jun Su. Chang Min tidak bisa berhenti mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa menjaga Jun Su lebih baik...