Seoul
Chang Min menghirup nafas dalam-dalam sembari merenggangkan ototnya yang pegal. Di saat karyawan lain sudah keluar untuk makan siang, ia justru masih tertinggal sendirian di ruangan besar itu, mengerjakan pekerjaannya yang masih menumpuk. Menjadi anak pemilik perusahaan tidak membuatnya dimanja, ia justru dipenuhi tekanan untuk bekerja lebih baik dari karyawan tetap perusahaan itu.
Untuk sesaat, Chang Min hanya menatap kosong pemandangan kota dari jendela kaca kantor besar itu. Cahaya matahari yang masuk tiba-tiba mengingatkannya pada sosok pemuda yang selalu duduk di samping jendela dan melamun. Senyum kecil segera terukir di wajah Chang Min. Baru beberapa hari tidak bertemu, Chang Min sudah merindukan teman sekelasnya itu.
Lengan panjang pemuda itu segera menyaut ponsel di meja, mengetikkan sesuatu dengan cepat di sana.
Untuk: Tukang Tidur
Hey, apa kau sedang tidur siang setelah makan?
Chang Min tersenyum jahil. Baru saja pesan itu terkirim, ponsel itu sudah kembali bergetar.
Dari: Tukang Tidur
Kau beruntung, aku belum tidur.
Chang Min tertawa kecil dengan jawaban si tukang tidur. Ia bisa mendengar suara Jun Su hanya dengan membaca pesan itu.
Untuk: Tukang Tidur
Mau makan malam denganku malam ini? Aku tahu banyak rumah makan enak di Seoul.
Dari: Tukang Tidur
Ah, maaf, malam ini tidak bisa.
Chang Min memanyunkan bibirnya.
Untuk: Tukang Tidur
Kau kosong hari Sabtu besok?
Dari: Tukang Tidur
Yup.
Mata Chang Min melebar, begitu juga dengan senyumnya. Ia segera mengetik dengan semangat.
Untuk: Tukang Tidur
Bangunlah sedikit lebih pagi. Aku akan menculikmu seharian.
Hari sudah gelap saat keluarga Kim menyantap makan malam mereka dengan Ri In dan Na Ra. Di saat orang-orang di sekitarnya mengobrol dengan satu sama lain, Jun Su hanya menatap makanannya dengan tidak semangat. Ia sama sekali tidak berselera makan.
“Bagaimana rasanya? Masakan Na Ra sangat enak ‘kan?” mata Nyonya Kim berkilat senang sementara Na Ra hanya tersenyum malu-malu.
Jun Su tidak tau apa yang harus ia lakukan selain memaksakan senyum tipisnya dan mengangguk pelan. Apa tidak ada yang menyadari bahwa Jun Su belum melahap satu sendok pun makanan itu?
Masakan gadis itu terlihat baik-baik saja, ia juga tidak membenci Na Ra, Jun Su hanya sudah lelah dengan keluarganya yang terus menanyakan opininya tentang setiap hal yang dilakukan gadis itu. Jun Su sangat ingin meneriakkan isi hatinya bahwa ia tidak peduli.
Jun Su menghembuskan nafas panjangnya dalam diam. Ia harap ia sedang menikmati makan malamnya dengan Chang Min ketimbang berada di sini. Jun Su tersenyum kecil, ia merindukan anak angkuh itu.
Hamufield
Jun Su memejamkan matanya dan membiarkan cahaya matahari yang hangat menyentuh kulit wajahnya. Ia hanya mendengar suara angin dan beberapa hewan di sekitarnya. Aroma pohon pinus membuatnya tersenyum.
“Ada masalah?”
Jun Su segera membuka matanya dan mendapati Jae Joong berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kau tidak terlihat begitu senang.” Jae Joong mengulurkan segelas beer untuk Jun Su, lalu menenggak beer miliknya.
Jun Su hanya tersenyum dan menenggak beer ala kota kecil itu.
“Ada masalah dengan sekolahmu?” Jae Joong tidak pernah gagal untuk menyadari sesuatu yang tidak menyenangkan sedang terjadi pada orang-orang terdekatnya.
Jun Su menggeleng, menatap kosong pemandangan halaman belakang rumahnya itu.
“Lalu?”
Jun Su menghela nafas, “Hanya mimpi buruk.”
Ya, dijodohkan dengan Na Ra. Bisa dibilang mimpi buruk. Setidaknya itu menurutnya.
Jae Joong mengerutkan keningnya. “Sejak kapan?”
“Baru-baru ini.”
Seoul
Matahari pagi sudah menerangi kota Seoul saat Jun Su membuka matanya. Dengan cepat, ia segera bangun dari ranjangnya dan beranjak turun tanpa mempedulikan rambutnya yang masih berantakan.
Di ruang makan, ia segera disambut oleh tatapan kaget kedua orangtuanya dan juga Jun Ho. Melihat Jun Su ikut sarapan menjadi hal yang benar-benar tidak biasa saat anak itu libur. Semua orang di rumah itu hafal bahwa Jun Su akan bangun saat waktunya makan siang. Sementara itu di Hamufield, Yun Ho sedang bertanya keheranan pada Jae Joong karena adiknya itu tidak ikut ke pub.
Dua jam berlalu, dan keluarga Kim kembali dikejutkan dengan Jun Su yang berpamitan. Tuan Kim mengangkat alisnya dan menatap Nyonya Kim dengan pandangan ‘ada apa dengan anak itu?’, sementara Nyonya Kim hanya terdiam memperhatikan mobil sedan yang menjemput anaknya berjalan menjauh.
Jun Ho yang memperhatikan Jun Su dari jendela kamarnya hanya bisa teridam dalam bingung. Adiknya yang selalu menolak ajakan keluarganya untuk berlibur demi berdiam diri di rumah itu kini memiliki teman yang menjemoutnya di Sabtu pagi.
Chang Min mengangkat alisnya melihat pemuda di hadapannya itu sibuk memilih buku-buku di hadapannya. Ia berdecak, “Apa shift kerjamu di perpustakaan kampus tidak cukup?”
Jun Su tidak mempedulikan complaint Chang Min. Ia masih sibuk memilih-milih buku yang dibutuhkannya.
“Bukankah aku yang seharusnya menculiknya? Aku merasa seperti diculik…” Chang Min menggumam pada dirinya sendiri. Ia menghela nafas dan memandang ke sekelilingnya. Toko buku besar yang sepi itu terlihat membosankan baginya.
“Aku sudah selesai.” Jun Su segera beranjak ke kasir, membawa tumpukan buku baru di tangannya.
“Oh, akhirnya!” Chang Min mendramatisir. “Aku lapar, ayo makan.”
Satu jam berlalu, dan mereka sudah duduk di restaurant langganan Chang Min, menunggu pesanan untuk segera diantar.
Mata Chang Min tertuju pada kantung berisi buku-buku baru Jun Su, “Kau sangat suka membaca?”
Jun Su berdengung, “Entahlah… mungkin.”
Kening Chang Min berkerut mendengar jawaban laki-laki di hadapannya itu, tetapi ia lebih memilih untuk tidak memikirkannya, “Buku apa yang kau beli?”
“Oh, itu…” Jun Su sedikit kebingungan untuk menjawab pertanyaan Chang Min. “Itu, hanya tentang musikal dan pertambangan.” suara Jun Su terdengar ragu dan lebih pelan dari biasanya, tetapi Chang Min bisa menangkap itu dengan jelas.
Kerutan di kening Chang Min semakin dalam. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana harus merespon. Dua subject yang begitu berbeda itu juga tidak berhubungan dengan perkuliahan mereka sama sekali.
“Kau suka pertambangan dan musikal?” nada heran Chang Min jelas terdengar.
“Ya… begitulah…” Jun Su merasakan pipinya memanas. Bagaimana ia bisa mengatakan yang sejujurnya pada Chang Min? ‘Aku memang suka musikal, aku sedang aktif berlatih musikal di Hamufield, dan meski tidak menyukai pertambangan, tetapi aku harus demi pekerjaan paruh waktuku untuk Paman Smith.’ Jun Su membayangkan dirinya mengatakan hal itu pada laki-laki yang sudah melihatnya dengan tatapan heran itu. ‘Oh bagus Jun Su, pilihan pertama dia akan menganggapmu bercanda, dan pilihan kedua ia akan menganggapmu gila.’ Tidak. Jun Su memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.
Sementara Jun Su tenggelam dalam pikirannya sendiri, Chang Min hanya diam menatap laki-laki yang menundukkan kepalanya itu. Ia juga tenggelam dalam pikirannya sendiri, menyadari bahwa ia belum mengenal si tukang tidur itu.
Hari sudah cukup larut saat Jun Su menutup pintu kamarnya, tidak menyadari reaksi keheranan dari keluarganya. Ini adalah kali pertama Jun Su pulang larut.
Jun Su segera menggeletakkan barangnya di lantai dan melempar tubuhnya ke kasur. Senyumnya segera mengembang. Ia tidak tahu apa yang membuatnya begitu senang, tetapi ia benar-benar menikmati waktunya hari ini. Di Seoul. Dirinya tidak pernah menyangka untuk lebih memilih Seoul ketimbang Hamufield.