Seoul, Musim Semi, 1999
Yoo Chun membanting pintu kamarnya dan mengunci pintu itu dari dalam. Ia memeluk kedua lututnya dan membiarkan air mata terus keluar membasahi pipinya.
“Yoo Chun?” suara cemas orangtuanya dan ketukan pintu terus terdengar, tapi Yoo Chun mengabaikannya.
Yoo Chun tidak bisa menerimanya. Ia tahu keadaan di rumah semakin buruk, tapi ia tetap tidak mau orangtuanya berpisah.
Yoo Chun tidak tahu berapa lama ia menangis sebelum akhirnya tertidur di lantai kamarnya yang dingin. Punggunya masih bersandar pada pintu kayu yang keras, sementara wajahnya tenggelam dalam lengan dan lututnya yang terlipat.
Hamufield
Orang-orang sudah berkumpul di alun-alun kota dengan semangat. Walikota sudah bersiap dan tersenyum lebar di atas panggung. Nyonya Han dan kedua putranya juga terlihat di tengah-tengah kerumunan.
“Apa aku akan mendapat adik lagi?” Jae Joong bertanya pada Nyonya Han dengan mata berbinar saat melihat amplop keemasan di tangan walikota.
“Tidak ada yang tahu, Jae.” Nyonya Han tersenyum lembut pada putra sulungnya yang terlihat berharap.
Ini adalah pertama kalinya Jun Su melihat begitu banyak orang berkumpul di alun-alun kota selain karena festival-festival tahunan.
“Kali ini, kita kembali kedatangan bocah laki-laki!” suara walikota segera mendapat perhatian dari hampir seluruh penduduk Hamufield yang datang.
Jun Su hanya bisa menatap bingung orang-orang sekitarnya yang terlihat senang dan segera ribut berbicara dengan satu sama lain.
Yoo Chun terbangun dan memandangi langit-langit kamarnya. Ia hanya diam dan tidak bisa berpikir apa-apa selama beberapa menit; ia selalu membutuhkan waktu lama untuk benar-benar bangun dari tidurnya.
Yoo Chun mengerjap dan berusaha mengumpulkan kesadarannya. Yoo Chun masih belum sepenuhnya terbangun saat ia menyadari ada yang aneh: ini bukan kamarnya.
Yoo Chun tersentak dan segera memandang sekeliling. Rasa takut mulai menggerayanginya.
“Namanya, Yoo Chun.” walikota menyebut nama Yoo Chun perlahan, memberi penekanan pada nama yang baru pertamakali ia ucapkan itu.
“Nama yang lucu.” Melanie tersenyum membayangkan anak laki-laki berwajah imut seperti namanya.
Eaton mengeratkan pelukannya pada Melanie. Wanita itu tersenyum dengan pipi yang merona dan tangan terkepal di bawah dagunya.
“Setelah mendiskusikannya, kami memutuskan untuk menyerahkan Yoo Chun pada Eaton dan Melanie.” suara walikota kembali mendapat reaksi dari penduduknya.
Senyum Eaton memudar setelah mendengar pernyataan walikota. Mata Eaton yang melebar segera menatap Melanie.
Melanie sudah menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Mata Melanie terlihat berkaca-kaca.
Eaton meraih tangan Melanie, membuat wanita itu menatapnya dengan senyum lebar meski air mata masih mengalir membasahi pipinya.
Senyum Eaton akhirnya pecah. Ia segera menarik Melanie ke dalam pelukan eratnya. Mereka terlalu bahagia untuk menyadari para penduduk sudah bertepuk tangan dan meneriakkan ucapan selamat.
“Kau sudah bangun?”
Yoo Chun menatap anak laki-laki yang lebih besar darinya. Anak itu berdiri tepat di samping ranjang asing yang ia duduki, menatapnya dengan mata tajam, cocok dengan suaranya yang terdengar tegas. Dengan pandangan takutnya, Yoo Chun memeluk lututnya makin erat.
Seakan dapat membaca pikiran Yoo Chun, Yun Ho berusaha melembutkan nada bicaranya, “Jangan takut. Namaku Yun Ho.”
Yoo Chun mengawasi gerak-gerik anak laki-laki dihadapannya, masih dengan tatapan takut berampur bingung. Nama bocah itu seperti nama orang Korea kebanyakan, wajahnya juga, tapi bahasanya berbeda. Yoo Chun belum pernah mendengar bahasa itu sebelumnya, tapi ia mengerti seluruh kata yang diucapkan Yun Ho.
“Tenang, aku tidak akan marah hanya karena kau tidur di kasurku.” Yun Ho memutuskan untuk tersenyum lebar, tidak ingin menakuti anak baru itu lebih lama. Kesan dingin wajah Yun Ho seketika berubah menjadi ramah dengan bibir yang semakin tipis dan mata yang membentuk bulan sabit.