Loading...
Logo TinLit
Read Story - ATMA
MENU
About Us  

Namaku Isti Makaratu Tatya. Kalian bisa memanggilku Isti. Arti namaku bisa dibilang indah. Isti yang berarti harapan, Makaratu yang berarti menjadi, dan Tatya yang artinya kenyataan. Harapan yang menjadi kenyataan.

Sayangnya, itu hanyalah sebuah nama. Berbeda jauh dengan apa yang aku dapatkan dan aku alami selama ini.

Aku tidak tahu mengapa ini semua teerjadi padaku. Aku puj tidak tahu apa maksud dari semua ini. Seringkali aku mengeluh kepada Tuhan, tapi aa aku pantas mengeluh seperti itu. Aku pun tak tahu.

TOK! TOK! TOK!

Aku menghentikan gerakan tanganku di atas notes dan menoleh ke arah pintu kamar.

TOK! TOK! TOK!

Ketukan itu kembali terdengar, bahkan semakin keras.

Aku meletakkan pulpen dengan kasar dan menghampiri pintu.

"TARAAAAA..." sosok laki-laki itu berseru di depanku dengan sebuah cupcake berlilin satu di atasnya.

Aku hanya menatap datar laki-laki di depanku ini. Namanya Raksaka Prarthana. Panggil saja dia Aksa.

"Lah, kok cemberut gitu, sih? Nggak suka ya?" raut senyum di wajah laki-laki itu memudar.

Aku menggeleng pelan. "Suka kok,"

"Suka kok malah kayak sedih gitu? Kenapa? Kamu ada masalah?"

Aku hanya diam dan kembali masuk ke kamar. Aku tahu kalau laki-laki itu mengikuti langkahku. Aku duduk di kursi dan laki-laki itu duduk di kasur kebesaranku. Masih dengan cupcake di tangannya.

"Harus ya kakak pergi ke Jepang?" tanyaku kemudian. Pandanganku tetap lurus menatap jendela di depanku.

Terdengar kakak laki-lakiku itu menghela napas berat. "Kamu nggak suka ya?"

"Perlu gitu kakak nanya lagi ke aku? Kakak tau kan kondisi aku kalau kakak nggak ada di sini? Aku mau hidup sama siapa?"

"Isti, kan ada Mama sama Papa di sini. Kakak yakin kok kalau mereka bakal ngurus kamu dengan baik. Percaya sama kakak,"

"Dua kali kakak ngomong kayak gitu. Hasilnya apa, Kak? Tahun lalu kakak ngomong kayak gitu? Tapi apa jadinya coba?"

"Ehem... Ehem..."

Suara itu mengejutkanku dan juga kakakku, Aksa.

Aku mengusap air mataku yang entah sejak kapa sudah mengalir deras. Jangan sampai dia melihatku menangis. Namun yang aku harapkan tak sesuai dengan kenyataan. Wanita itu menghampiriku dengan cepat dan membalikkan badanku degan kasar agar menghadap padanya.

"Kenapa kamu nangis, hm?"

Aku menggeleng keras.

"Berani ngelak ya kamu. Biarin ajalah kakakmu itu ke Jepang, itu juga demi kebaikan dia. Kamu nggak mau kan kakakmu itu gagal sukses, cuma gara-gara kamu yang cengeng kayak gini? Mau kamu?"

Aku kembali menggeleng. Aku merutuk dalam hati, kenapa air mata ini tidak mau berhenti. Kenapa?

"Ma, udahlah. Jangan kasar gitu sama Isti. Dia cuma nggak rela kalau aku pergi ke Jepag. Dia takut nanti nggak ada temen di sini,"

"Halah, biasanya juga nggak punya temen tetep bisa hidup. Udah, Aksa kamu siap-siap sana. Jam 7 malem nanti kamu harus udah ke bandara, kan?"

"Tapi, Ma–"

"Aksa!"

Perlahan, Aksa keluar dari kamarku dan meninggalkan cupcake itu di atas kasurku.

"Kamu, cobalah buat mandiri!"

Tak lama, Mama juga pergi dari kamarku. Tinggal aku sendiri di sini dengan perasaan sesak yang rutin hadir setiap jarinya.

Aku berjalan menuju kasur dan duduk atasnya. Tanganku bergerak meraih cupcake dengan sebuah lilin yang masih menyala itu.

Aku menatap cupcake itu dengan lekat. Menatap pada api yang bergerak-gerak pelan. Aku memejamkan kedua mataku dan fokus pada pikiranku.

Tuhan, aku harap ada orang yang mampu menggantikan kakakku selama di Jepang. Orang yang akan menemaniku ketika sedih. Orang yang akan mendengarkan segala keluh kesahku. Serta orang yang akan menolongku ketika aku jatuh. Semoga harapanku bukan sekadar harapan.

Aku meniup lilin itu hingga padam. Kini bukan api yang berak-gerak yang kulihat, asap abu-abu itu berhembus dengan gerakan yang membuatku terpesona. Aku melengkungkan bibir ke atas.

"Selamat ulang tahun, Isti."


✢✢✢✢✢


Sudah hampir seminggu lebih aku ditinggal kakakku, Aksa, ke Jepang. Namun, sebisa mungkin aku berusaha agar tidak lost contack dengannya. Aku bersyukur karena kakakku itu sangat perhatian denganku. Dia sering mengingatkanku untuk makan, untuk mengerjakan PR, dan mengingatkanku untuk tetap semangat walaupun dia tidak ada di sini.

"Sendiri aja?"

Aku terhenyak ketika tiba-tiba saja ada seorang anak laki-laki berseragam SMA duduk di sebelahku.

Aku sedang berada di kantin sekolah ditemani sebuah laptop yang terbuka di depanku.

"Widih, suka nulis ya?" laki-laki itu tanpa permisi mengambil alih laptopku dan membaca kata-kata dalam dokumen yang sedang kubuka.

Aku berusaha mengatur emosiku. Jangan sampai aku berubah menjadivsinga yang siap-siap menerjang orang ini.

"Kamu siapa?" tanyaku kemudian.

Laki-laki itu malah lebih tertarik membaca dokumen di laptopku, daripada menjawab pertanyaanku. Ralat, atau jangan-jangan dia tidak mendengar pertanyaanku? Aku menghela napas dan dengan cepat aku merebut kembali laptopku dan menutupnya dengan keras.

Laki-laki terkejut dengan perlakuanku. Beberapa orang di kantin menoleh ke arahku, namum aku tidak peduli. Giliran aku yang menatap dia tajam.

Anehnya, laki-laki malah menyengir lebar. Benar-benar tidak merasa bersalah sama sekali. "Hai! Kenalin, aku Atma Bhrahmadinata,"

Dia menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Aku menatap tangan itu dengan heran. "Panggil aja Atma. Kamu... Isti kan? Isti Makaratu Tatya?"

Aku menelengkan kepala. Bagaimana laki-laki ini bisa tahu namaku? Padahal di seragamku tidak terpasang badge nama.

"Bener kan?" ucap laki-laki yang bernama Atma itu. Tangannya masih tersodor ke arahku.

"Bener," jawabku singkat. Aku langsung mengambil laptop dan pergi dari kantin dengan terburu-buru. Aku tidak mau berurusan dengan orang aneh seperti dia.

Saking terburu-burunya, aku sampai tidak memperhatikan keadaan sekitar. Terdengar seseorang meneriakkan kata, 'Awas', dan ketika aku menoleh ke kiri sebuah bola meluncur dengan cepat menuju arahku. Namun, seseorang dengan punggungnya yang tegap langsung melindungiku dari bola basket itu.

Aku masih terpejam karena masih terkejut. Namun, aku baru sadar ketika ada suara debuman namun bukan dari benturan tubuhku dengan bola.

Perlahan aku membuka mata dan mendapati seseorang yang lebih tinggi dariku itu berdiri di depanku. Lihat, bahkan dia masih bisa tersenyum setelah punggungnya terkena benturan bola basket yang menurutku sangat keras.

Seseorang yang tadi meneriakkan kata 'Awas', yang menurutku adalah si pelempar berlari menghampiri kami.

"Eh, sorry ya Bro. Gue nggak sengaja,"

Laki-laki di depanku ini berbalik menghadap si pelempar itu. "Sans aja Bro. Lain kali hati-hati,"

"Siap. Thanks, Bro." si pelempar itu mengambil bola basket itu dan kembali ke lapangan.

Tinggal aku dan laki-laki yang melindungiku tadi.Aku menelan saliva dengan susah payah.

"Aman, kan?"

Aku mendongak dan saat itu juga tatapan kami beradu. Aku mengangguk pelan.

"Thanks, Atma."

Laki-laki itu tersenyum mendengar perkataan lirihku.

"Sama-sama,"


✢✢✢✢✢

 

"Serius? Terus orangnya asyik nggak?"

Aku berjalan menuju kasur dengan ponsel di telinga. "Biasa aja sih, soalnya baru pertama kali ketemu,"

"Cieeeee," goda kakakku di seberang sana.

"Ihhh, apaan sih. Kakak cepetan pulang dong. Nggak betah nih," rengekku. Tapi itu percuma karena aku tahu kalau kakakku masih lama di Jepang. Kurang lebih 2 bulan.

"Dibetah-betahin dong. Yang sabar,"

Aku hanya diam.

"Udah dulu ya. Kamu tidur sana,"

"Iya, salam buat Doraemon ya Kak," gurauku.

"Salamnya harus pake dorayaki katanya,"

"Nanti aku kirim, dalam mimpi. Bye Kak,"

"Bye,"

Aku merasa sediki lega ketika teleponan dengan Kak Aksa. Rasa lelah hari ini sedikit berkurang ketika mendengar suara kakakku. Aku tiba-tiba kembali teringat dengan Atma. Siapa sebenarnya dia?

TOK! TOK! TOK!

Pintu kamarku diketuk dengan keras. Aku sudah bisa menebak siapa orang di balik pintu itu. Aku berjalan malas menuju pintu dan membukanya.

PLAK!

Tiba-tiba saja pipiku ditampar dengan keras oleh Mama. Aku tertegun akan perlakuannya yang tai terduga.

"Enak ya kamu, di kamar terus. Nggak tau kalo kerjaan rumah maish banyak. Mama itu udah capek kerja, kamu harusnya prihatin. Bantu-bantu kek, di kamar mulu. Nggak sadar diri kamu jadi anak,"

Aku hanya diam sambil memegangi pipiku yang terasa panas dan perih. Kalaupun Mama merasa capek dan butuh bantuanku untuk beres-beres rumah, kenapa harus dengan menampar aku. Toh aku juga akan melakukannya, tanpa harus dimarah-marahi. Aku juga tidak tau, kenapa bukan Mbok Simi yang melakukannya, biasanya beliau yang mengurus.

"Mbok Simi sakit," kata Mama seakan membaca pikiranku. "Sana kamu beresin semuanya. Jangan balik kamar sebelum semuanya beres,"

Setelahnya, Mama turun menuju kamarnya. Aku pun berjalan turun menuju dapur untuk membersihkan peralatan makan yang berserak di bak cuci. Begitu kotor ruangan tersebut, padahal biasanya tidak separah ini.

Aku mengikat rambut panjangku dan mulai mencuci peralatan-peralatan makan ini. Selesainya, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci tangan. "Akhirnya..."

"ISTI! ISTI!" Mama meneriakkan namaku.

Aku segera menuju tempat Mamaku berada.

Ruang cuci.

Di sana Mama sudah berdiri dengan pakaian yang tadi ia pakai bekerja.

"Nih, kamu bersihin! Pokoknya besok harus udah kering! Kalau nggak, jangan harap kamu bisa makan besok!" Mama pergi meninggalkanku. "Oh iya, sekalian baju-baju yang numpuk itu kamu cuci,"

Aku menahan rasa sesak di dada. Air mataku sudah menetes. Nasibku kian parah sejak Kak Aksa pergi. Aku harap, masih ada kekuatan dalam diriku ini untuk menghadapi semuanya. Tenang, Isti, cuma 2 bulan dan nanti Kak Aksa akan balik ke sini.

✢✢✢✢✢

Aku melangkah menuju ruang makan untuk sarapan. Di sana aku menemukan Mama sedang malahap sarapannya. Aku juga melihat ada Mbok Simi di sana.

"Pagi, Ma. Mbok Simi pagi juga," sapaku pada mereka.

Mama hanya menjawab dengan deheman singkat dengan tangan kiri yang sibuk memegang ponsel.

"Pagi juga, Mbak Isti," balas Mbok Simi.

Aku menarik kursi di depan Mama. Aku memperhatikan penampilan Mama hari ini. Kenapa... pakian beda dari yang kemarin aku cuci? Kata Mama dia akan mengenakan pakaian yang kemarin?

"Hmm, Ma?"

"Apa?"

"Kok nggak pake baju yang kemarin? Kan udah Isti cuci, kayaknya juga udah kering,"

Mama meletakkan sendok dengan kasar. Dia menatapku tajam. Seakan-akan aku telah melakukan sebuah kesalahan besar. "Mama pake baju yang kemarin? Yang bener aja Isti! Baju yang kemarin kamu cuci itu bau! Bau apek, sampe bikin Mama mau muntah tau nggak!"

Aku menunduk mendengar kegeraman Mamaku.

"Kamu mau bikin Mama malu ya di depan orang-orang kantor? Iya?"

Aku menggeleng kuat. Aku berusaha menguatkan emosiku.

"Nggak usah makan! Mbok, Isti nggak usah dikasih makan ya!" teriak Mama memberitahu Mbok Simi.

Mbok Simi hanya bisa diam di dapur, melihat sikap Mama padaku. Mama pergi dari rumah. Mbok Simi buru-buru menghampiriku. Aku langsung menangis dalam dekapan Mbok Simi. Aku meluapkan segala kekesalanku dan segala rasa sesak ini.

"Aduh, Mbak. Udah jangan nangis Mbak. Mbak Isti yang kuat ya,"

Aku terus terisak dalam dekapan Mbok Siti. "Kenapa sih... Mbok, Mama i-tu selalu... tega sama... aku?" ucapku terbata-bata.

"Mbak udah, nggak usah dipikirin masalah itu. Mungkin Mama kamu lagi ada masalah,"

"Tapi tiap hari Mbok, dia begitu sama aku,"

Mbok Simi terus mengusap-usapi kepalaku dengan penuh kasih sayang. Harusnya ini yang aku dapat sejak dulu dari Mama. Kehangatan dari seseorang yang bernama... ibu.

✢✢✢✢✢

"Hey, Isti! Apa kabar?"

Seorang anak laki-laki tiba-tiba duduk di hadapanku. Dengan tangan yang terangkat untuk tos denganku. Sayangnya aku sedang melamun.

"Hey, Isti!" panggil Atma lagi.

Aku menatapnya. Aku tidak berselera untuk berbicara dengan siapapun.

"Kamu kenapa? Pucet gitu, mata kamu juga bengkak lho. Lagi ada masalah?"

Aku diam. Ingin sebenarnya aku menceritakan semuanya pada seseorang. Tapi... aku baru tahu Atma kemarin.

"Okey kalau kamu belum mau cerita sama aku. Seengaknya kamu makan dulu, ya biar nggak lucet lagi," dia menyodorkan semangkuk nasi dengan sayur sop ke arahku. Dengan senyum hangatnya, dia mencoba membujukku.

Tanganku tergerak untuk menikmati santapan itu. "Terimakasih,"

Atma mengangguk dengan senyumannya yang masih terlengkung di bibirnya.

Begitu aku menghabiskan makanan itu, Atma menatapku lekat.

Aku jadi salah tingkah sendiri karenanya. "Kamu kenapa ngeliatin aku kayak gitu,"

"Ada sesuatu yang mau aku kasih tau ke kamu,"

Aku menaikkan sebelah alisku.

Dia tba-tiba menarik tanganku, dan kami berdua berjalan meninggalkan kantin. Dia menuntunku menuju gedung sekolah tepatnya bagian teratas dari gedung alias rooftop.

Sesampinya di sana, aku merasakan sejuknya angin yang menerpa diriku. Pemandangan dari atas rooftop juga tampak indah. Membuaku terpana selama beberapa saat.

Atma menoleh ke arahku yang masih terpana melihat pemandangan indah ini.

"Gimana? Indah kan?"

Aku mengulum senyum. Baru tahu kalau pemandangan dari sini sangatlah indah. "Indah banget," gumamku lirih

"Begitu pun kamu,"

Aku terkejut mendengar ucapan Atma barusan. Aku menatap Atma dengan tatapan bingung. "Maksud kamu... apa?"

Atma tampak salah tingkah sendiri dengan ucapannya sendiri. Lihat saja, dia sampai menggaruk-garuk tengkuknya sendiri dan aku yakin kalau tengkuk itu tidak benar-benar gatal.

"Ya... indah. Karena kamu adalah harta terindah buat keluarga kamu gitu maksudku,"

Aku tersenyum kecut mendengarnya. Lalu... bagaimana dengan kenyataan yang aku alami ini? Berbeda sekali kan? Aku memalingkan wajahku kembali melihat pemandangan dari atas sini. Tak berniat menggubris pernyataan Atma tadi.

Atma menoleh ke arahku yang masih terpana melihat pemandangan indah ini.

"Through the dark, through the door
Through where no one's been before
But it feels like home,"

Aku menoleh pada Atma yang tiba-tiba bernyanyi. Aku mendengarkan dengan saksama setiap lantunan indah itu.

"They can say, they can say it all sounds crazy
They can say, they can say I've lost my mind
I don't care, I don't care, so call me crazy
We can live in a world that we design

'Cause every night I lie in bed
The brightest colors fill my head
A million dreams are keeping me awake
I think of what the world could be
A vision of the one I see
A million dreams is all it's gonna take
A million dreams for the world we're gonna make,"

Aku begitu terhipnotis dengan nyanyian dari Atma.

Atma menatapku lekat. "Tau film The Greatest Showman?"

"Tau," jawabku sambil mengangguk.

"Tau lagu tadi?"

"Tau. A Million Dreams, right?"

Atma terkekeh pelan.

"Kenapa kamu tiba-tiba nyanyi?" tanyaku.

"Karena," jedanya. Ia menaruh kedua tangannya di bahuku. "Aku pengen orang yang ada di depanku ini selalu punya harapan apapun keadaannya. Aku yakin, suatu saat nanti pasti ada harapan kamu yang terkabul. Percaya deh,"

Aku kembali tersenyum kecut. Aku melepas pegangan tangannya di bahuku dan berjalan di tepi rooftop, memegang pembatas. "Harapanku... udah nggak ada lagi,"

Aku tak tahu bagaimana ekspresi Atma ketika mendengar ucapanku. "Aku terlalu optimis sama harapan-harapan halu aku. Apalagi tentang keluarga. Mereka nggak ada apa-apanya buat aku, kecuali kakak aku."

Aku menghela napas sejenak. "Cuma dia yang bisa nemenin aku dalam keadaan apapun. Nggak kayak Mama atau Papa yang selalu keras sama aku. Mereka nggak suka kalau aku hadir di dunia ini,"

"Isti," panggil Atma lirih.

Namun, aku tetap fokus menatap pemandangan di depannya.

"Aku pasrah sama keadaan, Atma. Aku... tinggal ngikutin alur aja. Dan asal kamu tau, harapanku nggak dan nggak akan pernah ada yang terkabul,"

BRUKKK!

Aku langsung menoleh ke belakang begitu mendengar suara berdebum.

"ATMA!" pekikku melihat Atma yang terkapar di rooftop dengan sungai merah yang mengalir dari hidungnya.

"Atma! Bangun Atma!" Aku menggoyang-goyangkan lengan Atma, namun Atma tetap memejamkan matanya. Aku menepuk-nepuk pipinya pelan. "Atma, bangun..." pintaku dengan sesak.

Aku melihat mata Atma yang terbuka walaupun sedikit. "Atma, kamu masih sadar, kan? Kamu bisa denger aku kan?"

Atma tersenyum tipis dan mengangguk lemah, sangat lemah. "Isti, asal kamu tau. Harapan kamu udah ada yang terkabulkan sama Tuhan. Jangan sampai harapan kamu mati, dan jangan terlena sama keadaan. Kalau banyak orang yang nggak suka sama kamu, jadilah orang yang kuat dan mandiri. Dan... jangan benci sama orangtua kamu..."

Aku menggeleng dengan kuat. "Kamu ngomong apa, sih, Atma? Kamu kenapa sampe kayak begini?"

Namun, Atma kembali terpejam sempurna.

"ATMA!"

✢✢✢✢✢

Aku tidak ikut mengantar Atma hingga ke rumah sakit. Ini atas permintaan guru disekolahku. Mereka bilang mereka akan mengurus masalah Atma ini.

Usai kejadian di rooftop tadi, banyak anak-anak yang berbisik-bisik ria membahas kami berdua. Tunggu, lebih tepatnya aku.

Ya, walaupun mereka hanya berbisik, tetapi aku bisa mendengar jelas bagaimana tajamnya ucapan mereka. Bahkan lebih tajam daripada silet.

Namun, aku teringat akan pesan Atma tadi sebelum ia terpejam. Aku tidak perlu mendengarkan dan menghiraukan omongan-omongan tajam mereka. Anggap saja angin lalu.

Begitu bel pulang berbunyi aku segeda mengemas semua peralatan sekolahku dan mempercepat langkahku menuju suatu tempat. Ya, rumah sakit adalah tujuanku saat ini. Beruntung angkutan umum dapat segera kudapatkan, walau harus berdesakan dengan anak-anak yang lain. Yang terpenting aku bisa segera sampai di rumah sakit.

Perasaanku gusar sekali. Beberapa kali aku menilik jam di pergelangan tanganku. Beberapa kali pula, aku menggigit bibir bawahku saking tak tenangnya.

Aku langsung meneriakkan tempat tujuanku pada Pak Supir di depan sana.

"Neng, kembaliannya,"

"Ambil aja, Pak."

Alasan aku melakukan hal tersebut agar aku tidak membuang waktu hanya untuk menunggu uang kembalian. Tadi sebelum berangkat menuju rumah sakit aku menanyakan di mana Atma dirawat pada salah satu guru yang tadi ikut mengantar Atma. Aku begitu terkejut ketika guruku itu mengatakan bahwa Atma berada di ruang ICU.

Apa sebegitu parahnya keadaan Atma sampai masuk ICU?

Sembari berlari kecil, aku menyusuri lorong putih dengan aroma khas itu. Sedikit lagi aku sampai di ruang ICU, langkahku terhenti melihat sosok seseorang tak kuduga sebelumnya.

Sosok itu tengah memeluk wanita paruh baya yang sedang terisak. Aku juga melihat beberapa guru yang tadi menganta Atma. Hingga akhirnya tatapanku beradu dengan sosok yang tak kuduga itu.

"Mama...?" lirihku.

Ya, sosok itu adalah Mama. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa wanita itu ada di sini?

Kakiku lemas melihat ini semua. Apa aku... mimpi?

Mama melepas pelukannya dari wanita yang tengah terisak tadi dan berjalan menuju ke arahku. Ia sekarang sudah berdiri di depanku. Aku semakin terkejut ketiba Mama memelukku tiba-tiba. Bisa kurasakan belaiannya di kepalaku.

Aku masih terdiam, tak membalas pelukannya. "Ma... Mama kenapa ada di... sini?"

Mama melepas pelukannya. Raut cemas sekaligus gusar tercetak jelas di wajahnya.

"Ada sesuatu yang harus kamu tau, Sayang."

Mama merangkulku dan mengajakku berjalan menuju depan ruang ICU. Ia kemudian menghadapkanku ke arah jendela tembus pandang. Aku membekap mulutku sendiri tatkala retinaku menangkap bayangan Atma yang terbaring dengan peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Tak hanya satu, ada banyak alat medis seperti kabel-kabel yang terpasang di tubuhnya.

Mataku terasa panas melihat pemandangan ini. Dadaku sesak. Aku tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Bahkan, kepalaku terasa berdenyut sekarang.

Aku mendongak dan menatap Mama, meminta penjelasan.

Mama hanya menatap wanita paruh baya yang masih terisak menatap Atma dari luar jendela.

Mama terlihat berbisik pada wanita itu. Wanita tampak menganggukkan kepala pelan dan menghapus sisa air matanya.

Aku kembali menatap sosok Atma yang terbaring lemah di dalam sana. Sebenarnya ada apa dengan Atma? Dia... sakit apa? Apahkah parah?

Pundakku tiba-tiba diusap-usap oleh wanita yang sempat berpelukan dengan Mama tadi.

Aku menatap wanita itu dalam diam. Lidahku terlalu kelu untuk mengatakan sesuatu setelah melihat Atma.

Wanita itu tersenyum tipis. Aku bisa menebak, pasti itu adalah senyum paksa. Seseorang yang baru saja menangis, ketika ia tersenyum akan sangat berat.

"Kamu pasti Isti ya?"

Aku hanya mengangguk.

"Saya Ibunya Atma. Anak yang ada di dalam sana,"

Suara wanita itu terdengar bergetar ketika menyebut nama anaknya itu. Entah kenapa, perasaanku menjadi semakin sesak.

"Tan...tante," jedaku, begitu sulit untuk berkata-kata. "Atma... kenaoa Tan?"

Air mataku tiba-tiba lolos begitu saja. Bukan hanya aku, wanita di sampingku ini juga.

Ia memelukku dan tangisan. "Atma... hanya butuh waktu untuk istirahat, Nak."

Bohong.

Sudah tentu itu bohong. Istirahat di ICU? Yang benar saja.

Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruang ICU.

Dokter itu tampak resah.

Perasaanku semakin sesak di dibuatnya. Perlahan, dokter itu menggelengkan kepalanya pelan.

Seketika itu juga, ibu dari Atma menjerit histeris. Tangisan utu terdengar sangat memilukan di telingaku.

Apa... maksud semua ini?

Aku memberanikan diri untuk bertanya pada dokter itu. "M...maksud dokter apa?"

Dokter itu memegang pundakku. "Atma... sudah tidak tertolong lagi,"

Napasku naik-turun mendengar ucapan dokter itu. Aku menataop kembali sosok Atma dari balik jendela ini. Sungai bening terus mengalir menyaksikan satu per satu alat medis yang tadi terpasang di tubuh Atma dilepas oleh perawat. Hatiku semakin terisis, melihat ibu dari Atma yang masuk dan memeluk raga Atma yang sudah tak berjiwa.

Tangisan histeris itu bagaikan soundtrack memilukan bagiku.

Mama mendekapku dalam pelukan. Aku menumpahkan tangisanku di sana. Mama dengan tenang, mengusao-usap punggungku.

"Ini semua... mimpi kan, Ma?" ucapku di tengah tangisan.

"Sabar, Sayang. Ikhlaskan,"

✢✢✢✢✢

"Isti Makaratu Tatya. Namamu indah Isti. Sangat indah. Kau patut bersyukur atas itu."

Kupandangi layar laptopku yang menampilkam wajah tegas Atma. Ya, Atma yang beberapa waktu lalu terbujur kaku di ICU dan memilih beristirahat untuk selama-lamanya.

"Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tiba-tiba bisa hadir di hidupmu."

Terdengar kekehan kecil dari bibirnya. Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat.

"Mungkin kau heran kenapa aku seolah-olah sangat akrab denganmu. Itu semua ada alasannya, Isti. Kau tau? Mama-mu yang merencanakan ini semua."

Alisku bertaut mendengar perkataannya.

Lagi dia terkekeh.

"Aku yakin kau sedang menampakkan muka bingung. Seperti ini,"

Tampak Atma mencontohkan muka bingung. Hal itu berhasil membuatku tertawa setelah sekian lamu aku tidak melakukannya. Lucu saja melihat dia yang mencoba meniru ekspresiku yang sedang bingung.

Kali ini Atma tersenyum. Senyum yang akan sangat kuingat dan kurindukan.

"Ibu kita ternyata berteman sejak kecil. Memang, aku baru bisa bertemu denganmu ketika kita sudah beranjak SMA. Itupun karena aku pindah di sekolahmu. Isti, Mama-mu itu denganmu. Dia bercerita bahwa orang yang paling dekat dengan kamu adalah kakakmu. Tak ada yang lain, bahkan Mama-mu sendiri. Tapi asal kau tau. Dia amat peduli denganmu. Ketika kakakmu memutuskan untuk pergi ke Jepang, Mama-mu meminta tolong padaku agar aku menemanimu. Layaknya kakakmu yang selalu menemanimu. Dia nggak mau kamu kesepian, apalagi berlarut sedih karena kakakmu pergi. Sekarang udah nggak alasa untuk kamu benci sama orangtua, apalagi Mama kamu."

Tak terasa air mataku sudah menetes. Kulihat raut wajah Atma yang berubah resah.

"Isti, suatu saat nanti, kau akan tau keadaanku sebenarnya. Mungkin dari luar, aku tampak biasa saja. Tapi... ada sesuatu yang tengah mengganggku."

Aku melihat Atma yang mengusap air matanya. Kenapa dia menangis?

"Kanker darah sudah menggangguku sejak aku berusia 14 tahun. Aku tau, seseorang yang mengidap penyakit ini, pasti hidupnya tak akan lama. Aku juga tidak keberatan jika nyawaku dipanggil saat ini juga."

Atma mengusap kembali air matanya. Begitupun aku. Aku tertohok mendengar fakta yang baru saja Atma katakan.

"Tapi... yang aku takutkan bukan soal kematianku. Tapi tentang kamu. Aku takut, siapa yang akan menjagamu jika aku pergi sekarang? Aku takut, amanahku tak terlaksana dengan maksimal. Aku sudah berjanji akan menjagamu kapanpun dan aku takut melanggarnya. Karena itu tujuanku. Tapi aku yakin selama ada harapan, semuanya akan baik-baik saja."

Bahkan di saat seperti itu, Atma masih memikirkan tentang orang lain, dan itu aku. Aku tak kuasa menahan rasa sesak ini.

Atma tampak mengambil gitar dan memangkunya.

"Kau masih ingat lagu A Million Dreams, kan?"

Dengan lihanya ia memetik senar-senar gitar menghasilkan alunan nada yang menenangkan. Bibirku bergerak melantunkan lagu itu. Tiba-tiba Atma berhenti memainkan gitar dan menunduk. Tangannya bergerak dengan panik mengambil sesuatu. Atma menutupi hidungnya dengan tissue.

Apa... dia mimisan?

Terdengar kekehan kecil darinya.

"Udah resikonya sering kayak gini."

Atma tersenyum walaupun sedikit terhalang oleh tissue, namun bisa kulihat dari garis matanya yang sedikit menyipit.

"Isti, apapun keadaannya kamu harus tetap punya harapan. Sekalipun harapan itu tidak mungkin, kau harus menjaga harapan itu agar bisa tumbuh dan berbuah. Dan kau tidak perlu taku sendirian, karena banyak orang-orang yang peduli padamu, sekalipun kau tidak sadar. Aku... juga akan selalu menjagamu, dimanapun dan kapanpun,"

Tangan Atma bergerak menunjuk dirinya sendiri.

"Namaku Atma. Atma Bhrahmadinata, jiwa penolong terbaik untuk menjaga harapan menjadi kenyataan."

 

 

 


✧ S E L E S A I ✧

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kebugaran cinta
436      309     0     
Romance
Meskipun sudah memiliki harta kekayaan yang berlimpah tidak membuat martia merasakan ketulusan dan bahagia. Orang tua martia selalu sibuk mengejar karir dan kesuksesan sampai-sampai martia dari kecil sampai besar harus dirawat oleh asisten rumah tangganya. Kebiasaan buruk martia selalu melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan juga kesedihan nya dengan cara ngemil makanan sehingga tanpa sadar bera...
Slash of Life
8339      1763     2     
Action
Ken si preman insyaf, Dio si skeptis, dan Nadia "princess" terpaksa bergabung dalam satu kelompok karena program keakraban dari wali kelas mereka. Situasi tiba-tiba jadi runyam saat Ken diserang geng sepulang sekolah, kakak Dio pulang ke tanah air walau bukan musim liburan, dan nenek Nadia terjebak dalam insiden percobaan pembunuhan. Kebetulan? Sepertinya tidak.
Mikroba VS Makrofag
176      162     0     
Humor
Muka default setelan pabrik, otak kacau bak orak-arik, kelakuan abstrak nyerempet prik ... dilihat dari ujung sedotan atau belahan bumi mana pun, nasib Sherin tuh definisi burik! Hubungan antara Sherin dengan hidupnya bagaikan mikroba dengan makrofag. Iya! Sebagai patogen asing, Sherin selalu melarikan diri dari hidupnya sendiri. Kecelakaan yang dialaminya suatu hari malah membuka kesempatan S...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1068      695     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
Ineffable class
422      277     12     
Mystery
Seluruh penghuni kelas XII IPS E rata-rata tidak waras. Di mana ketua bucin menjadi wakil ketua dan ketua kelas sendiri adalah musuhnya guru BK. Dari 15 siswa separuhnya kerapkali hilang saat jam pelajaran, 5 lainnya tidur, sisanya pura-pura menyimak guru. 15 kepribadian berbeda yang jarang akur ini, harus bersatu mencari wali kelas dikabarkan menghilang selama seminggu. Gawatnya, tuduhan tidak...
Pembuktian Cahaya
471      346     0     
Short Story
Aku percaya, aku bisa. Aku akan membuktikan bahwa matematika bukanlah tolak ukur kecerdasan semua orang, atau mendapat peringkat kelas adalah sesuatu yang patut diagung-agung \'kan. Aku percaya, aku bisa. Aku bisa menjadi bermanfaat. Karena namaku Cahaya. Aku akan menjadi penerang keluargaku, dan orang-orang di sekitarku
More Than Survive
555      324     3     
Short Story
High school isn’t going to be easy as you think it is. Might as well as try to survive than letting it go.
Cinta Aja Nggak Cukup!
5029      1642     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Lantas?
35      35     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Bittersweet Memories
40      40     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...