Read More >>"> Like a Dandelion (Chapter 6) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like a Dandelion
MENU
About Us  

Langit yang hanya bercahayakan bulan, dan embusan angin malam dengan setia menemani kesendirian pemuda yang kini sedang menghisap putung rokoknya yang ia selipkan di antara jari tengah dan telunjuk, sedangkan tangan yang satunya memegang botol alkohol dan sesekali meneguk.

Baru saja ia merasakan kebahagiaan tapi tidak lama dari itu kesedihan kembali datang padanya. Kebahagiaan menurutnya hanyalah seperti mimpi, datangnya hanya sebentar. Sedangkan dalam dunia nyata?

Ardan. Pemuda itu kini tengah berada di pinggir jalan, tepatnya di dalam mobil yang ia biarkan bagian jendelanya terbuka untuk mengeluarkan asap rokoknya itu.

Ardan tidak ingin pulang sekarang, tapi dia bingung ingin ke mana. Mungkin mengunjungi salah satu rumah temannya adalah hal yang tepat. Baru saja ia menyalakan mesin mobil, kepalanya terasa sangat pusing. Namun, dia harus tetap menjalankannya, untung saja kondisi jalan pada saat itu tidak ramai. Ardan masih cukup sadar untuk tidak mengendarai mobilnya dengan kecepatan maksimal. Mobil dari arah berlawanan berjalan di jalur kanan, entah pengemudi itu sama maboknya. Namun, setidaknya Ardan masih cukup sadar untuk mengendarai mobil sesuai jalur, Ardan membantingkan setirnya ke arah kiri, alhasil BMW hitam itu menabrak pohon. Tabrakan itu tidak cukup keras tapi mampu merusak kap depan mobil Ardan. Setelah itu ia tidak tau apa-apa lagi.

***

Ardan terbangun dari tidurnya, bukan, mungkin pingsannya. Entahlah yang jelas dia sudah terbangun. Hari sudah siang terlihat dari cahaya matahari yang masuk melewati celah gordennya. Bukan gordennya, itu bukan gorden kamarnya. Lalu dia melihat sekeliling ruangan itu ternyata bukan hanya gorden tapi ruangan ini pun bukan ruang kamarnya. Lalu ini di mana?

Ardan masih sangat pusing untuk memikirkan apa yang telah terjadi pada dirinya sehingga ia berada di tempat asing ini. Kepalanya sangat berat diangkat padahal dia hanya ingin mendudukan tubuhnya.

"Kamu udah bangun? Tiduran dulu Ardan, kamu masih pusing, kan?"

Suara itu, pemilik suara itu yang membuat dia sangat nyaman. Apakah dia mimpi? Karena kebahagiaannya itukan hanyalah mimpi. Tapi pada saat dia melihat dengan jelas siapa orang yang sekarang tengah tersenyum padanya sambil memegang nampan berisi bubur dan susu yang kemudian dia taruh di atas nakas di samping tempat tidur.

"Tante? Tante yang bawa saya ke sini?"

"Iya," jawab Bu Desy. Ya, orang yang sekarang tengah tersenyum teduh itu adalah Bu Desy, bundanya Adel.

"Berarti ini?"

"Iya, ini di rumah Tante, sekarang kamu makan dulu."

Saat Ardan ingin meraih mangkuk berisi bubur itu tiba-tiba saja kepalanya sakit dan akhirnya Bu Desylah yang mengambilnya.

"Makasih Tante," ucap Ardan sambil mengambil mangkok itu dari tangan Bu Desy.

"Sama-sama, ayo dimakan."

Hanya terdengar suara dentingan dari sendok dan mangkuk yang bersentuhan. Saat suapan terakhir, Bu Desy melihat lekat-lekat pemuda yang ada di hadapannya ini.

"Ada apa, Tan?" tanya Ardan menyadari bundanya Adel yang sedang memandanginya.

"Kamu ... Nggak pulang begini, apa nggak dicariin?" Bu Desy akhirnya mengeluarkan suara.

"Siapa yang mo nyariin saya? Papa jarang ada di rumah, yang ada paling pembantu saya," ucap Ardan sembari tertawa parau.

Bu Desy mengetahui bahwa Ardan tidak tinggal bersama ibunya, Adel yang menceritakan. Namun, tentang alasannya kenapa, Adel tidak tau.

Sebenarnya, Bu Desy ingin sekali menanyakan masalah apa yang anak ini alami, tapi diurungkan karena dia merasa tidak sepantasnya menanyakan itu.

"Adel, beruntung yah, punya ibu. Apalagi ibunya itu kayak Tante."

"Kalo kamu mau ... Kamu bisa nganggap Tante, ibu kamu juga." Awalnya, Bu Desy ragu mengatakan itu, tapi dia tetap mengatakannya.

Dia paham untuk anak seusia Ardan itu sangat perlu sekali perhatian dan bimbingan dari orang tua. Dan Bu Desy tidak keberatan untuk memberikan perhatian dan bimbingan itu kepada anak lain selain Adel.

"Maksud, Tante?"

"Ya, kamu bisa manggil Tante 'bunda', nganggap Tante ibu kamu. Jadi kalo ada masalah mau itu besar ataupun kecil kamu harus cerita sama saya. Seperti Adel yang selalu menceritakan segala hal kepada Tante. Kalo kamu mau," tutur Bu Desy.

Ardan hanya memandang wanita yang berada di hadapannya ini, terdapat ketulusan di mata Bu Desy pada saat mengatakan itu tadi.

Ardan sempat bingung kenapa wanita ini tidak memarahinya karena dia adalah anak remaja nakal yang berteman dengan anaknya. Ardan pikir wanita ini akan menyuruh menjauhi putrinya itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, dia menyuruh Ardan menganggap dirinya ... Ibu.

Bukannya menjawab Ardan malah berhambur dalam pelukan Bu Desy. Di sana, di pelukan itu, untuk pertama kali ia merasakan kehangatan seorang ibu. Setelah beberapa saat, Ardan meregangkan pelukannya dan menatap wajah wanita di depannya ini.

"Terima kasih, Tan, terima kasih."

"Berarti kamu harus janji kalo punya masalah tempat yang pertama kali kamu kunjungi adalah Tante."

"Iya, Tante, saya janji," ucapnya yakin.

"Dan satu lagi, jangan panggil tante tapi bunda," ucap Bunda dengan mantap.

"Bunda."

Ada perasaan lain ketika ia mengatakan satu kata itu. Hangat. Itulah yang ia rasakan.

***

Adel sedang bersiap-siap ingin pergi ke rumah Dion. Mengerjakan tugas bahasa Indonesianya itu. Ia mengetahui bahwa di rumahnya sedang ada Ardan. Tadi malam saat ibunya pulang dari rumah neneknya ia terkejut karena Bunda membawa Ardan sedang dalam keadaan kacau. Dia membantu Bunda menggotong Ardan ke kamar tamu, tercium bau alkohol dan asap rokok di tubuh tinggi tegap itu. Mobil bagian depannya pun penyok seperti habis menabrak sesuatu yang keras. Dia sempat berpikir apa Bunda yang membuat mobil Ardan penyok, karena bundalah yang mengendarai mobil. Dan akhirnya, Bunda menceritakan semua.

Flasback on

Bunda menceritakan bagaimana kronologinya. Dari mulai ia melihat keramaian di pinggir jalan. Sampai pada akhirnya Bunda menyadari bahwa korban yang ada di dalam mobil itu adalah Ardan.

Adel hanya ber'oh' ria saja, mendengar penjelasan panjang sang bunda.

"Kayaknya dia ada masalah, ya." Yang disampaikan bunda itu pernyataan bukan pertanyaan. Adel hanya mengedikkan bahunya.

"Menurut kamu apa ya masalahnya?" tanya Bunda.

"Aku nggak tau, Bun, aku belum kenal banget sama Ardan. Yang aku tau cuma Ardan itu di tinggal ibu dan saudaranya pergi," jelas Adel.

Pada saat itu Bunda tampak terkejut dan setelahnya Bunda hanya menyuruh Adel tidur karena hari sudah malam.

Flashback off.

Setelah selesai bersiap-siap ia melangkah keluar kamar. Adel memanggil-manggil bundanya untuk berpamitan tapi tak ada sahutan. Dia baru ingat kalau tadi Bunda masuk ke kamar tamu untuk melihat keadaan temannya.

Tok.Tok.Tok

Pintu itu terbuka, Bunda yang membukanya.

"Bun, aku berangkat dulu, ya," pamit Adel seraya mencium punggung tangan Bunda.

"Lo mau ke mana?" tanya Ardan yang masih duduk di pinggiran kasur.

"Ngerjain tugas bahasa Indonesia ke rumah temen," jawabnya.

"Oh, kirain temen yang lu punya cuma gue doang," ucap Ardan lalu tertawa.

Adel mendengkus kesal. Dalam kondisi yang seperti ini, Ardan masih saja menggodanya.

"Ke rumah siapa, Del?" Bunda bertanya.

"Dion, Bun," jawab Adel singkat, tapi dapat membuat laki-laki yang tengah duduk itu terkejut.

"Yaudah sana," ujar Bunda.

"Siapa tadi lo bilang?" tanya Ardan dengan nada yang dibuat setenang mungkin.

"Dion, kenapa?"

"Bunda keluar dulu ya, kamu istirahat aja dulu," ujar Bunda ke Ardan lalu keluar dari kamar itu. Dan diikuti Adel yang juga berjalan ke arah luar.

"Dion. Dion Ardiansyah, lo lagi," gumamnya lalu beranjak dari tempat tidur mengejar Adel yang kini sedang membuka pagar.
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags