Read More >>"> Like a Dandelion (Chapter 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like a Dandelion
MENU
About Us  

Kamar yang sangat luas nan megah, bernuansa maskulin dengan dinding bercat biru itu nampak memberikan kenyamanan tersendiri untuk sang penghuni.

Rumahnya yang megah nan mewah bergaya klasik dengan furniture yang tak kalah mewahnya membuat rumah ini bak istana.

Namun, sayangnya bukan ini yang ia inginkan, ia menginginkan rumah yang memiliki kehangatan dan kenyamanan bersama keluarga. Keluarga yang utuh dimana ada seorang ayah, ibu, dan saudara. Bukan suasana yang seperti ini, sepi.

Ayahnya sudah dipastikan sedang bekerja, lalu ibunya? Saudaranya?... Entah di mana, yang jelas mereka pergi saat dia berumur 3 tahun. Kembarannya yang saat itu sakit keras dan memerlukan biaya yang sangat besar sedangkan sang ayah belum memiliki apa-apa, harus dibawa ibunya pergi.

Dia tidak mengingat wajah ibu dan saudaranya bahkan untuk mengingatnya kembali dengan foto pun ia tidak menginginkannya. Semua foto yang berkaitan dengan ibu dan saudara kembarnya itu ia musnahkan semua, ia merasa ibunya lebih sayang dengan saudaranya dibanding dirinya. Dia tidak ingin mengenalnya, dan mengingatnya!!

Perasaan tidak diperhatikan inilah yang membuat remaja berusia 17 tahun ini sangat membenci ibu dan saudaranya. Tak hanya perasaan benci bahkan salah satu penyebab kenakalanya di masa remaja.

Ceklek

Bunyi pintu kamar yang terbuka. Menampilkan lima sosok sahabatnya. Kebiasaan jika memasuki rumah Ardan, tanpa pamit lagi mereka akan nyelonong masuk.

“Hei, bro!!” Kevin berteriak heboh.

Ardan menampilkan wajah tidak minatnya.

“Kenapa? Ada masalah lagi sama bokap lo?” tanya  Galang sambil mengunyah kacang bawaanya.

“Gimana mo punya masalah? Ketemu aja kaga."

“Bokap lo keluar negeri lagi?” Ryan yang sedang menyiapkan peralatan bermain PSP milik Ardan.

“Mm,” Ardan hanya menjawab dengan gumaman.

Ardan mengembuskan napas lelah. “Gue suntuk nih, enaknya ke mana ya?” Ardan memang merasa sangat bosan di rumah.

“Wah! Lu mau nraktir kita-kita nih!” Anton tampak kegirangan.

“Si Adel...," Ardan memotong perkataannya membuat teman-temannya penasaran.

“Kenapa?” Kevin yang sudah sangat penasaran akhirnya bertanya.

“Lucu."

“Hah?” jawab teman-temannya serentak.

“Jangan bilang kalo...," Aldi curiga.

“Apaan sih lo pada! Maksud gue tuh lucu aneh."

“Tapi kadang gue suka kasian sih ama tuh orang gegara kita kerjain mulu.” Galang berbicara sambil mengunyah kacangnya.

“Yaelah ngerjainnya gak parah-parah amat kok,” Kevin berkilah.

“Gayanya itu loh, apalagi ekspresinya kalo kita suruh-suruh sumpah ngakak abis,” ucap Aldi sambil tertawa terbahak-bahak.

“Yap, bisa jadi hiburan tersendiri tuh,” Ryan menoleh sebentar kearah teman-temannya lalu melanjutkan permainannya lagi bersama Aldi.

“Tapi ada hal yang mau gue tanyain ke elo?” Anton menghadapkan tubuhnya ke arah Ardan.

“Apaan?”

“Lu beneran jadiin dia temen?” nadanya berubah serius.

“Iyalah emang mo dijadiin apaan? Emak gue?” jawabnya santai.

“Kenapa?”

“Maksudnya?” Ardan mengernyitkan dahinya bingung.

“Lo serius nganggep dia temen?”

“Iya Antonio, kenapa sih?” Ardan mulai merasa tidak enak.

“Alasannya?”

"..."

***

Adel sedang berjalan mengindik-ngindik, nengok ke kanan dan kiri sepertinya mereka--maksudnya Ardan dkk--tidak ada. Pasalnya tadi sewaktu istirahat mereka dipanggil lagi ke ruang BK entah apa lagi yang mereka lakukan. Yang sekarang Adel takuti adalah dia disuruh mengerjakan hukuman mereka lagi.

“Adel!” panggil seseorang dari arah belakang.

Tanpa menengok ke belakang dia mempercepat langkahnya, terdengar suara derap langkah itu sama cepatnya dan akhirnya ia berlari. Dia berlari sangat kencang melewati anak-anak lain yang berlawanan arah bahkan ada yang sampai terjatuh.

"Ih, hati-hati dong, lo pikir ini lapangan lari maraton!"

"Woy, buset dah, badan gue kecil make ditabrak lagi!"

Adel sudah tidak sempat meladeni protesan mereka, ia hanya melontarkan kata maaf ketika berlari melewati orang-orang itu.

Dia melihat tembok besar di ujung lorong. Adel memutuskan bersembunyi di situ.

“Lagi ngapain?”

“Ya ... ngumpet lah ... masa ... ngupil!” Napasnya masih tersengal-sengal.

“Capek ya?”

“Iya, udah tau nanya! Gak liat orang engos-engosan."

“Makanya jangan lari-lari."

“Kalo gak lari ya bakal ketangkep lah gimana sih!”

“Emang kalo ketangkep kenapa?”

“Kamu ini kebanyakan nanya!” Adel menoleh kebelakang karena kesalnya dengan orang itu. Awalnya dia tidak menyadari, tapi setelahnya.. Akhirnya dia menolehkan kepalanya lagi dengan pelan-pelan... Matanya sukses membulat, baru saja ia ingin berlari.

“Ha, mo kemana lo?” memegang kerah baju bagian belakang Adel.

Sepertinya ketakutannnya ini menjadi kenyataan.

“Hehe, mau pulang.”

“Sepertinya lo belum bisa pulang.”

“Ke-kenapa?”

“Soalnya lo harus bantuin gue lagi, ayo ikut gue,” lalu menyeretnya dengan memegang kerah baju bagian belakang layaknya kucing. Sedangkan yang ditarik hanya mengikuti pasrah.

***

“Sebelah sana masih kotor, sana juga,” Ardan mengintrupsi.

“Adel, ada kecoa!” ucap Aldi, sambil menunjuk kearah Adel.

“Haah, mana? mana?” Adel panik, dia berputar-putar sambil berloncat-loncat.

“Hahaha!” semua tertawa kecuali Adel.

“Del, lu mau aja ditipu Aldi,” kata Galang, sambil menimpukan kulit kacang ke arah Aldi.

“Jadi kecoanya nggak ada?”

“Nggak ada Adel,” kali ini Anton.

“Eh, udah-udah jangan ganggu Adel. Nanti gak selesai selesai,” Ardan menyudahkan.

Adel sedang membersihkan lapangan indoor basket. Seperti biasa, ini hukuman Ardan dkk tapi malah Adel yang mengerjakannya. Sedangkan mereka hanya duduk, minum, dan tertawa. Sungguh menyebalkan pikirnya.

“Adel, kok bengong sih. Cepetan kerjain!"

“I-iya," jawab Adel yang sedang mengepel lantai itu.

“Ini hukuman mereka tapi malah aku yang ngerjain,” gumamnya.

“Gue denger loh, Del!” Ardan berteriak dari tempat duduknya.

Adel menoleh cepat ke arah Ardan. “Hah? Serius?”

“Kerjain cepet!"

Adel mengembuskan napas pasrah lalu kembali membersihkan area lapangan basket itu. Setengah jam sudah terlewati, Adel menghela napas lega melihat kerjaannya yang telah selesai.

“Huh, akhirnya!” ucap Adel seraya menyeka keringatnya.

Dari tempat Ardan duduk ia dapat melihat pekerjaan Adel yang sudah selesai. Perempuan itu sedang menyeka keringatnya yang bercucuran. “Adel, sini duduk!" Ardan menepuk bangku di sebelahnya.

Adel menghampiri cowo itu lalu duduk di tribun penonton tepatnya di samping Ardan.

“Nih." Ardan memberikan minuman dingin isotonik.

Cewe itu tidak langsung menerima. “Buat aku?”

Ardan berdecak kesal seraya memutar bola matanya jengah. “Enggak, buat Pak Bejo satpam sekolah sebelah! Ya buat lo, lah."

“Makasih." Adel meminumnya.

Ardan menatap cewe itu dari samping. Keringatnya terus bercucuran, jika dilihat dari jarak sedekat ini, melihat cewe itu lelah akibatnya tidak tau kenapa ia merasa sedikit bersalah. “Capek ya?”

Adel menganggukan kepala. "Iya."

“Pulangnya bareng gue aja,” tawar Ardan.

Kali ini Bu Wati memberikan hukumannya tepat pada jam pulang sekolah. Maka dari itu seharusnya Adel pulang sejam yang lalu.
“Nggak usah aku naik sepedah. Ya udah aku pulang dulu ya."

“Ok, hati-hati."

“Sip."

Adel berjalan menyelusuri lorong menuju parkiran. Saat tiba di parkiran betapa terkejutnya ia melihat keadaan sepedanya. Penuh dengan lumpur, ban dibocorkan, dan penuh coretan pilok.

“Sepedah lo kenapa?” tanya Ardan yang entah dari kapan berada di sampingnya.

Adel menggelengkan kepala, dia sungguh tidak tau apa yang sedang terjadi ini. Sepedanya dihancurkan seperti itu, oleh siapa?

“Ya udah, lo pulang bareng gue aja, sepeda lu nanti gue suruh anak-anak bawa ke bengkel. Nanti kalo udah bagus gue kirim ke rumah lo, gimana?”

Adel masih memandang nanar sepedanya. Sepeda kesayangannya itu selalu dirawat dengan baik. Namun kini, lihatlah keadaan sepeda itu.

Tes ... Setetes air mata jatuh.

“Hei, jangan nangis. Kan udah gue bilang, nanti gue benerin ke bengkel. Oke?”

Adel beralih memandang laki-laki disampingnya itu. Dia mengucapkannya dengan nada yang sangat lembut. Entah cowo itu menyadari perubahan suaranya atau tidak.

“Ayo, keburu kesorean.” Ardan langsung saja menarik lembut tangan Adel membuat cewe itu tersentak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags