Read More >>"> Like a Dandelion (Chapter 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like a Dandelion
MENU
About Us  

Adel berjalan menuju 12 IPS 4 sambil membawa setumpuk tugas yang baru saja ia selesaikan jam 1 malam.

“Nyari siapa?” tanya salah satu siswi yang sedari tadi melihat Adel sedang mencari seseorang.

“Ada Ardan nggak?” jawab Adel menyebutkan seseorang yang sedang dicarinya.

Siswi berkuncir kuda itu melihat kembali kedalam kelasnya untuk mencari orang yang barusan disebutkan namanya. “Tasnya sih ada tapi orangnya gak ada,” kembali melihat Adel.

“Oh, gitu ya."

“Butuh bantuan?” tawar siswi itu.

“Bisa taro ini di mejanya Ardan?” Adel menyodorkan setumpuk buku tugas itu.

“Oh, bisa.” Siswi itu menerimanya.

Setelah mengucapkan terima kasih Adel pun pergi menuju kelasnya.

***

Ditempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Keenam anak laki-laki itu sedang berada di ruangan yang sudah tak asing lagi bagi mereka, kantor BK.

Bertemu dengan guru tercinta. Bu Wati, sesosok guru tegas dengan kacamata yang bertengger dihidungnya berdiri di depan mejanya menghadap ke arah enam siswanya yang berpenampilan jauh dari kata rapi.

“Saya tau kalau kalian kemarin kabur lagi."

Kalimat pembuka untuk sebuah pidato yang panjang. Seperti yang sudah-sudah Bu Wati akan kembali menceramahi keenam anak didiknya itu. Mengatakan bahwa masa depan mereka masih panjang, harus bisa membanggakan orang tua dan blablabla yang membuat keenam cowo itu tampaknya sudah sangat hapal dengan pidato panjang Bu Wati.

Bu Wati menatap keenam muridnya dengan tatapan mengintimidasi.

Namun, bukannya merasa terintimidasi, keenam muridnya itu malah asyik dengan kesibukannya masing-masing.

Galang yang menyungkil-nyungkil sisa makanan di sela-sela giginya dengan telunjuk.

Kevin yang sibuk dengan rambut badainya. Ia membelah tengah rambutnya hingga menyerupai tokoh mail dalam film upin ipin.

Anton yang malah mengupil lalu dipeperkan ke kemeja Aldi dan Aldi yang protes tidak terima.

Sedangkan Ardan dan Ryan malah sibuk menertawakan Aldi.

"Kalian! Denger omongan ibu nggak, sih?!" Suara lantang Bu Wati kembali mengalihkan perhatian keenam anak itu.

"Apa, Bu?" ucap Ardan santai.

Bu Wati menghirup napas dalam-dalam berusaha menetralkan emosinya. Perilaku mereka benar-benar membuat semua guru disekolah itu tidak kuat. Bahkan bu Wati saja menghadapi mereka dengan sangat terpaksa, karena dia seorang guru BK. Tidak hanya kelakuan bahkan ucapan mereka pun sama menyebalkannya . Dan saat ini bu Wati sudah tak tahan lagi berhadapan dengan mereka.

"Yaudahlah, gini saja kalian ibu hukum untuk membersihkan toilet!”

“Toilet? Toilet cewe, boleh! Ya gak gengs?” Kevin tampak exited mendengar perintah gurunya.

“Yoi!” ucap yang lain serempak.

“Tidaak! Toilet cowo dan itu kalian kerjakan pada saat jam istirahat!”

“Kenapa gak pas jam pelajaran aja sih, Bu?”

“Karena kalian harus belajar!”

“Tapi, Bu--”

“Tidak ada bantahan! Dan tidak ada jawaban lagi! Mengerti?”

“...”

“Mengerti?” Bu Wati kembali bertanya karena tak mendapat jawaban.

“...”

“Loh, ini, kenapa nggak ada yang jawab? Kalian ngerti atau tidak?”

“Tadi kata ibu 'tidak ada jawaban'.” Ardan meniru ucapan gurunya barusan. Bu Wati menghela napas lelah pasalnya bukan itu maksudnya.

“Yaudahlah, sekarang kalian cepet keluar!” titah Bu Wati tak mau berlama-lama berhadapan dengan anak-anak muridnya tercinta itu.

***

Adel baru saja keluar dari kelasnya dan menuju kantin.

“Psst, pssst.”

‘Suara apa itu?’ Lalu Adel mempercepat jalannya.

“Sst, Adel” Suaranya sangat pelan sekali. Membuat Adel mulai merinding.

‘jangan, jangan..’ Lalu sebuah tangan memegang bahunya.

“Aaaaammpph!” teriak Adel tertahan karena tangan itu kini membekap mulutnya

“Eh, ini gue Ardan."

Adel membelalakan matanya terkejut. Sepertinya salah satu kebisaan Ardan adalah menyamar sebagai setan di tengah hari bolong.

“Huh! Kirain siapa,” ucapnya setelah Ardan melepaskan bekapannya.

“Lu dipanggil kenapa malah lari, sih?” kata Ardan mendumel sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya.

“Aku pikir itu setan.”

“Eh, ganteng-ganteng begini dibilang setan.” Ardan berlagak sok tampan dengan mengusap jambulnya dari depan ke belakang.

“Hehe, maaf."

“Ck. Eh, Del, kita teman 'kan?” Ardan memajukan wajahnya mendekati Adel.

Cewe itu reflek memundurkan wajahnya lalu mengangguk.

“Kalo begitu lo bisakan bantu teman lo ini?”

Adel mengangguk lagi.

“Bagus." Sejurus kemudian ia menarik lengan Adel sambil berlari.

Sampailah mereka di depan toilet.

“Toilet cowo? Bantu apa?"

“Sebentar ... Gengs! Gue dah nemuin orangnya,” teriak Ardan memanggil teman-temannya yang berada di dalam.

“Nah, Del, sekarang lo bantuin kita bersihin toilet,” suruh Ardan.

“Toilet cowo? Kenapa gak cewe aja?”

“Disuruh sama Bu Wati toilet cowo."

“Nggak ah, nanti kalo ada laki-laki yang masuk gimana?"

“Nggak bakal, gue jagain di depan pintu."

“Tapi--"

“Cepet masuk!" Ardan memaksa sambil mendorong pelan tubuh Adel.

Ini sangatlah jorok dan bau. Terdapat 4 toilet di sini.

Dia mengerjakannya dengan benar, tapi setelah itu dia menemukan makhluk yang paling ditakutinya.

“Wuuaaa!! Bundaa!!”

Dia berlari tak tentu arah lalu kakinya itu membawa ia berlari menuju pintu keluar.

“Ada apa sih?”

Adel menabrak tubuh tinggi itu. Orang yang ditabrak pun tampak terkejut. Seketika mereka hanya saling menatap. ‘Benar katanya, ganteng' pikir Adel.

Jantung Adel berdegup sangat kencang. Entah karena makhluk mengerikan itu atau laki-laki yang memegang bahunya ini yang tengah memandanginya juga.

“Ada apa?” ucap Ardan menghentikan keadaan canggung itu.

“Eh, i-itu.”  Adel terlihat sangat ketakutan.

“Apa sih cicak? Di mana?”

“Bukan cicak, di pojok dekat wesatafel,” cicit Adel.

“Mana sih, gak ad... Wuaaa!!!”

Ardan berlari ke belakang punggung Adel, begitupun Adel. Mereka saling mendorong. Sama berteriak meminta tolong. Teman-temannya yang di luar pun masuk. Ardan menunjuk sesuatu itu, dan memberikan kode menggunakan tangan kepada temannya untuk menyingkirkan makhluk itu. Setelah keadaan dirasa aman Adel dan Ardan tanpa sadar menghembuskan napas lega bersamaan.

“Huh! Kamu laki-laki takut kecoa juga?”

“Lo juga."

“Aku kan perempuan. Ternyata si ketua gangster takut kecoa. Cemen banget, anak kecil aja ada yang berani. Lah ini? malah ikut teriak, kamu terkenal suka tawuran tap--" ucapannya terhenti saat dia menoleh ke sampingnya, dan orang tersebut sedang menatapnya dengan tatapan yang menyeramkan.

“Kamu suka tawuran dan menang terus 'kan? Aku yakin kamu itu ditakuti sama lawan-lawan kamu, kamu emang top, Dan!” ucapnya dengan senyum konyol itu takut kalau-kalau Ardan marah. Sedangkan Ardan yang mendengar ucapan Adel barusan hanya mendengkus.

“Ayo, kita ke kantin,” ajak Ardan beranjak dari tempatnya.

“Tapi itu belum selesai."

“Itu bukan pekerjaan lo, gue cuma minta sedikit bantuan lo doang, jadi biarin aja diterusin sama teman-teman gue."

"Oh gitu."

***

Penghuni kantin memusatkan pandangan mereka kepada 2 orang yang sedang duduk bersama. Mereka tampak akrab dengan duduk satu meja. Bagaimana tidak heran, jika mereka melihat si korban bully duduk dengan si tukang tawuran.

“Mereka lagi liatin kita?” tanya Adel sambil melihat ke sekelilingnya.

“Mungkin,” ucap Ardan sembari menyeruput es jeruk pesanannya.

“Kenapa?”

“Karena lu jelek mungkin?” Ardan menjawab asal sambil mengedikkan bahunya

“Apa?” Kini pandangan Adel mengarah ke orang yang ada di depannya ini.

“Kenapa? Benerkan?” Ardan menampilkan tampang watadosnya.

“Ya, aku tau kok." Adel menundukan kepala. Sudah banyak yang mengatakan itu, dan dia tidak heran.

Ardan mengerjap. "Gue bercanda elah."

"Lo cantik kok," kata Ardan lagi.

Adel baru hendak tersenyum, tetapi Ardan kembali berkata hal-hal yang membuat hatinya kesal. "Tapi kalo diliat dalam keadaan mabok."

Adel mendengkus kesal mendengarnya sedangkan Ardan hanya mesem-mesem tidak jelas melihat sikap Adel.

“Hai, Ardan!” sapa Bella yang diikuti dua antek-anteknya. Ia menghampiri tempat yang di duduki Ardan dan Adel.

Ardan hanya membalas dengan gumaman. Bella melihat Adel dengan sinis.

“Eh, bisa minggir gak?" Bella berbicara rendah, tetapi menusuk kepada Adel.

Ardan mengernyitkan dahinya tak suka. “Apa-apaan lo dateng-dateng malah ngusir orang!"

“Ardan,” panggilnya manja.

Ardan berdecak kesal. “Ayo, Del. Kita pergi,” ucapnya dingin lalu beranjak dari tempat duduknya dan menarik lengan Adel, Ardan mulai terganggu dengan sikap Bella. Sudah berapa kali Ardan menjauh tapi tetap saja sikapnya masih seperti itu. Dimana harga dirinya?

“Mau ke mana?” Adel bertanya di sela-sela langkahnya.

“Atap,” jawabnya singkat dengan pandangan lurus ke depan.

***

“Kayaknya Bella suka banget ya, sama kamu."

Sekarang mereka berada di rooftop sekolahnya dan duduk di meja yang sudah tidak terpakai.

“Oh,” pandangannya lurus ke depan.

Adel menatap Ardan dari samping.

"Dia cantik."

“Terus?” Ardan akhirnya mengarahkan pandangannya juga ke Adel, sehingga pandangan mereka bertemu.

“Nggak.” Adel membuang mukanya ke depan, entahlah yang jelas rasanya begitu aneh jika melihat langsung mata itu.

“Gue gak terlalu suka berurusan dengan cewe."

“Tapi, aku 'kan cewe."

“Dan lo tau nggak, sih? Kalo cowo itu suka jijik sama cewe lenjeh."

Adel kembali melihat Ardan.

"Lo nggak lenjeh, 'kan? Makanya gue mau deket sama lo."

***

"Sejak kapan lo bisa deket sama tuh orang?"

Ucapan tiba-tiba Dion membuat Adel berjengkit kaget.

"Dion! Ngagetin aja," ucap Adel sambil mengusap dadanya.

Dion meminta maaf sambil menggaruk tengkuknya.

"Emang kenapa? Kamu khawatir, ya?"

"Ap-apa? Nggak kok, gue cuma nanya. Yaudahlah, nggak penting juga."

Setelah itu Dion melengos begitu saja, meninggalkan Adel yang sedang menatapnya bingung.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags