Read More >>"> Like a Dandelion (Chapter 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like a Dandelion
MENU
About Us  

Akibat kejadian kemarin, dampaknya sudah terlihat mulai hari ini. Kini Adel tengah berada di dalam ruang guru tepat di depan meja Bu Wati.

Adel hanya menunduk ketakutan. Tadi ketika ia baru saja keluar dari toilet Ardan bersama teman-temannya itu menarik dia dan mengatakan bahwa Adel dipanggil Bu Wati di ruangannya.

"Benar, kamu yang udah bantu mereka ngambil ponsel itu?"

Adel mengangguk. Jarinya saling memilin satu sama lain.

"Tuh 'kan, Bu! Bukan kita yang ngambil," ucap salah satu dari teman Ardan.

"Diam, Kevin!" Bu Wati melempar tatapan tajam pada anak muridnya itu. Kemudian kembali ia memfokuskan diri pada siswi yang kini sedang berdiri gemetar.

"Kenapa kamu ngelakuin itu Adel?" tanya Bu Wati geregetan.

"Aku disur--"

"Dia hutang budi, Bu, sama kita karena kita pernah nolongin dia dari marabahaya," sela Ardan.

Adel melotot dengan ucapan itu. Mana pernah dia ditolong dari marabahaya, justru saat ini mereka sedang mengirim sinyal 'marabahaya akan datang' kepada Adel. Baru saja ia hendak membela diri, Bu Wati sudah kembali berkata, "Mau apapun alasannya itu tetap salah Adel."

"Tapi, Bu, saya dipaksa--"

"Eits! Dipaksa apa? Yang ada lo yang maksa bantu kita." Ardan masih berkilah mengatakan hal yang tidak sesuai.

Adel mengerutkan dahinya. Buat apa dia melakukan hal seperti itu. Ditambah lagi kepada orang asing.

"Eh! Ya sudah, sekarang Adel karena kamu sudah melakukan pelanggaran. Kamu akan saya catat di buku poin pelanggaran kamu."

Adel membelalakan mata, sangat terkejut. Selama ia bersekolah di SMA itu namanya tidak pernah tertera di buku poin. Namun, sekarang, tepatnya detik ini juga ia melihat secara langsung di depan matanya Bu Wati dengan tanpa beban menulis sederet huruf yang tak asing lagi ia baca.

Adel tak mampu berkata-kata hanya menatap nelangsa namanya yang terukir indah di atas buku poin itu.

"Ibu harap ini yang terakhir ya, Del. Jangan kamu ulangi lagi, membela orang yang salah."

Adel mengangguk lemah.

Bu Wati membenarkan letak kacamatanya yang merosot. "Sekarang kamu boleh keluar."

Adel keluar dari ruangan mencekam itu dan diikuti Ardan cs dari belakang.

"Eh, Ardan! Kalian mau kemana?!"

Ardan memasang tampang polosnya. "Tadi ibu bilang udah boleh keluar."

Gigi Bu Wati bergemelatuk menahan kesal. "Itu Adel! Kalian masih ada urusan sama ibu!"

Kali ini mereka tidak bisa lolos lagi.

***

Adel merasa tidak semangat hari ini. "Siapa sih mereka?"

Adel tidak mengenal mereka. Yang ia tahu saat ini adalah mereka itu biang onar.

Adel kesal setengah mati, tetapi apa daya, dia tidak bisa membela diri. Ia harap ini yang pertama dan terakhirnya dia berurusan dengan orang-orang itu.

Namun, nyatanya realita selalu berbanding terbalik. Jika tadi ia berurusan dengan si tukang onar--julukan dari Adel--sekarang ia harus berurusan dengan orang kebelet famous di sekolahnya.

Adel berusaha menelan salivanya ketika dihadapkan dengan ketua tim cheers sekolahnya.

"Jawab jujur, ini elo 'kan?!"

Bella--ketua tim cheers--memperlihatkan telepon genggamnya yang menampilkan sebuah foto pada saat ia kemarin sedang bertatapan dengan cowo itu.

Adel meringis dalam hati, kenapa tampilan di foto dengan kenyataannya sangatlah berbeda. Jika kenyataannya dia justru diancam, tetapi dalam foto itu terlihat seperti sepasang sejoli sedang bertatapan.

"I-ini nggak kayak yang kalian pikirin kok. Aslinya nggak kayak gitu."

"Nggak kayak gitu gimana?! Udah jelas-jelas lo deketin dia!" Bella menyerang Adel dengan makian.

Bella merasa tersaingi, pasalnya sedari dulu ia yang selalu mendamba-damba Ardan yang sampai sekarang entah memang dirinya tak dihiraukan atau Bella yang kurang gencar mendekati.

"Kira-kira hukuman yang pantes buat lo itu apa, ya?" Bella memasang tampang berpikir dan melemparkan tatapan sinisnya.

"Hah?" Adel terkejut. Dua hukuman dalam sehari?

Ini karena ulah cowo itu pikirnya. Kalau saja ia tidak menyeret Adel dalam masalahnya mungkin sekarang Adel sedang duduk nyaman dalam perpustakaan.

"Hukuman apa?"

Sebuah suara yang berhasil membuat keadaan semakin mencekam. Adel memaksakan diri untuk menolehkan kepalanya.

Ardan. Cowo itu terdiam menunggu jawaban, yang bukannya dijawab mereka malah memandangi Ardan.

"Woy! Ditanya kok malah ngeliatin gue sih?"

Ardan tidak sendirian, bersama kelima temannya ia mengelilingi Bella dan dua antek-anteknya, dan Adel.

Kevin mengintip sesuatu dalam ponsel yang dipegang oleh Bella.

"Wah! Foto apa nih?" Kevin lantas merebut ponsel itu dan menyerahkannya pada Ardan.

Ardan memperhatikan foto itu. Tanpa berkomentar ia kembalikan ponsel itu kepada si empunya.

"Emangnya ada yang salah dari foto itu?"

Bella tak menjawab. Sesekali ia melirik ke arah teman-temannya.

"Kok diem?"

"E-enggak kok, Dan, nggak ada. Lagian bukan apa-apa kok, tadi kita cuma iseng aja, ya 'kan, Del?"

Adel memasang raut muka 'Apa?' yang dibalas tatapan mengancam.

Bella kehabisan alasan, ia menelan salivanya menutupi kegugupan. "Yaudah deh, gue juga mau ke kantin. Babay semua!" ucap Bella nyelonong pergi takut terkena introgasi lebih dalam.

Semua orang menatap kepergian Bella. Detik selanjutnya para cowo itu menatap Adel.

Sebuah ide terlintas di benak Ardan kala ia menyadari keberadaan buku-buku yang ia pegang. Ardan menyunggingkan senyum miringnya.

"Lo tadi habis dibully, ya?"

Adel tidak menjawab hanya memandang curiga laki-laki di hadapannya itu. Ardan menyunggingkan senyum miringnya.

"Karena kita udah bantu lo, lo harus kasih timbal baliknya ke kita." Ardan terkekeh sedangkan temannya yang lain saling bertos ria.

"Apa?"

Belum sempat Adel protes, setumpuk buku tugas sudah berada dalam dekapannya.

"Gue nggak minta yang muluk-muluk kok, cukup kerjain semua tugas gue ini." Ardan menepuk tumpukan buku yang sudah berada di pelukan gadis itu.

"Besok udah harus selesai," lanjutnya lalu hendak berbalik pergi jika Adel tidak memanggilnya lagi.

"Eh, tunggu dulu!"

Ardan menoleh, mata tajamnya tepat menatap iris cokelat Adel. "Apa?"

"Kalian nggak bisa gitu dong! Aku nggak mau!" Niatnya ingin berkata seperti itu, tetapi kala ia melihat tatapan tajam cowo itu, maka yang keluar dari mulutnya malah. "Nama kamu siapa? Nanti bukunya aku anter ke mana?"

Pertanyaan Adel sontak menimbulkan gelak tawa dari teman-temannya Ardan.

"Lo nggak tau dia?" Kevin menunjuk 'dia' ke arah Ardan.

"Oh iya kita belum kenalan ya. Oke, kita kenalan." Ardan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aneh juga sih bukan anak baru tapi harus kenalan. Nama gue Ardan."

"Kelas?" Adel kembali bertanya.

Ardan menoleh sekilas ke teman-temannya yang di balas senyuman miring dan kode dagu, lalu kembali menatap Adel dengan kilatan devil. "Di kelas yang terkenal dengan keonarannya."

Adel berpikir sejenak, nama Ardan seperti tidak asing lagi di telinganya. Kelas yang terkenal keonarannya? Setau dia kelas 12 IPS 4.

Kelas 12 IPS 4? Bukannya itu sarangnya anak-anak yang tidak bisa diatur, suka bolos, dan ... tawuran?

Adel baru mengingatnya. Ardan, murid yang selalu ia dengar namanya kala ia memasuki ruang guru. Nama yang selalu disandingi dengan sikap-sikap buruk.

"Oh, iya karena kita udah kenalan, berarti mulai dari sekarang kita berteman." Ardan mengedipkan satu matanya.

Adel terpaku, membuat teman-teman Ardan terkekeh melihatnya. Setelah mengatakan itu Ardan lantas pergi diikuti kelima temannya yang sebelum pergi sempat menepuk bahu Adel, mengacak-acak rambut pendeknya, dan ada pula yang melambaikan tangan sambil berucap, "Hai teman!"

Segerombolan geng itu berlalu dengan tawa yang menggelegar bergabung dengan suara riuh sekitar.

Berteman? Dia punya teman?

Namun, setelah ia mengetahui siapa Ardan itu. Adel mulai berpikir kira-kira kalimat 'kita berteman' akan menjadi kalimat yang indah atau malah kutukan?

***

12 IPS 4

Terdapat 6 orang yang paling menonjol dalam kelas ini.

Ryan, laki-laki berkacamata. Kalian berpikir dia nerd? Mungkin akan seperti itu kelihatannya, tapi jika kalian melihat cara dia bertarung dan mengalahkan lawannya. Jangankan mengucapkan, bahkan untuk memikirkannya pun, kalian harus mempertimbangkannya beribu-ribu kali.

Setelah Ardan, Ryan adalah orang nomor dua yang sudah tidak diragukan lagi keahliannya. Ryan salah satu orang paling kalem di 12 IPS 4.

Kevin, orang yang paling jail dari kelima temannya. Memiliki paras yang tampan dengan rambut badai yang sering kali kena cukur oleh guru-guru yang melihatnya. Satu hal lagi yang terkenal dari sosok Kevin, playboy.

Anton, anak paling manja sekaligus dewasa di waktu tertentu.

Aldi si gamers yang memiliki otak yang lumayan oke di 12 IPS 4. Kemungkinan menang jika melawan Aldi--dalam hal gamers--itu sangatlah kecil.

Galang, cowo paling mageran sepanjang masa. Hobinya adalah nyemil kacang dan berbagai makanan ringan lainnya. Apa dia gendut? Tidak, bahkan lebih kurus dibanding teman-temannya.

Dan yang terakhir Ardan, laki-laki berkulit sawo matang dengan wajah tampan khas Indonesia. Ia memiliki lesung pipit di pipinya. Sungguh manis kalau dia sedang tertawa. Orang nomor satu dalam hal akademik, tapi jika diurutkan dari bawah.

Bagaimana dengan murid yang lain?

Tidak berbeda jauh, intinya julukan orang yang mengatakan 12 IPS 4 adalah kelas keonaran memang benar adanya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags