Read More >>"> Like a Dandelion (Chapter 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Like a Dandelion
MENU
About Us  

8 tahun yang lalu di Indonesia

Beberapa hari yang lalu jalanan ini menjadi saksi bisu tingkah generasi bangsa.

Jika dahulu pahlawan mempertaruhkan nyawa untuk keutuhan bangsa ini, maka yang dilakukan cucunya adalah mempertaruhkan nyawa untuk keutuhan ego dan harga diri mereka di depan rekannya, rekan satu bangsa, rekan satu tanah air.

Lalu apakah darah, keringat, air mata, kepedihan, kesakitan, teriakan, bahkan semangat itu, semua yang telah dikorbankan para pahlawan kita akan sia-sia?

Setiap peristiwa memang ada penyebabnya. Begitu pula yang dilakukan generasi kita ini. Baik buruknya mereka tergantung dari apa yang mereka dapatkan di lingkungan mereka.

Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan? Tidak ada yang harus disalahkan. Namun, jika ada yang harus disalahkan adalah ego dari masing-masing individu itu sendiri.

Ego yang dapat membutakan kesadaran kita.

Selain penyebab, pasti ada akibatnya bukan?

Di saat kelompok lain bersenang-senang karena kemenangan, tidak pada kelompok yang satunya lagi. Salah satu dari mereka harus kehilangan anggota badannya karena hal itu.

Jika kita berharap dengan adanya akibat itu maka semua akan berhenti, maka jawabannya, TIDAK!

Dari yang awalnya 'ego' akan berubah menjadi 'dendam'.

Dan dendam tidak hanya membutakan kesadaran, tetapi menggelapkan hati.

***

Alarm jam beker itu berbunyi sangat nyaring, tetapi masih tak mampu membangunkan sang empunya. Pasalnya tadi malam dia harus menonton tim bola kesayangannya.

Tangannya kini meraba-raba nakas yang berada di samping tempat tidur berspreikan logo ‘barca’. Setelah tangan itu berhasil menggapai alarm, dia langsung mematikannya dan menarik tangannya yang masih memegang alarm. Mengarahkan jam itu ke wajahnya untuk melihat angka yang tertera di jam digital tersebut.

06.15

“Hah!” ia benar-benar terkejut.

Dia langsung bergegas keluar kamarnya menuju kamar mandi. Setelah keluar kamar mandi ia langsung mencari seragam di lemari. Dikeluarkan asal bajunya hingga kini baju-baju itu berserakan di lantai. Setelah menemukan apa yang dicari, ia langsung mengenakannya.

Seragam putih ber-nametag Adelina Putri, dan rok abu-abu selutut itu ia gunakan secara kilat. Bahkan rambut pendek sebahunya pun hanya  disisir menggunakan tangan. Tak lupa dengan kacamata besarnya. Di luar kamar ia menemukan sang bunda yang sudah menyiapkan bekalnya.

“Makasih, Bun, bekalnya. Assalamualaikum."

Adel segera menyambar kotak makan berwarna merah itu dan langsung berlari ke arah teras.

Waalaikumsalam, hati-hati!"

Adel hanya mengangkat jempolnya tanda mengiyakan ucapan bundanya.

Adel bergegas mengeluarkan sepeda kesayangannya, lalu mengayuhnya dengan tempo yang cepat. Embusan angin menerpa wajahnya yang tengah fokus memerhatikan jalan. Rambut pendeknya bertebrangan karena bertabrakan dengan angin.

Mobil yang baru ingin memasuki gerbang sekolahnya terpaksa harus berdecit karena mengerem mendadak. Adel mengendarai sepedanya dengan cepat menyalip mobil yang hendak masuk.

Tinn!

"Woy! Nyari mati ya!" seru si pengendara mobil.

Adel segera menuju parkiran dan memarkirkan sepeda. Matanya memicing melihat mobil yang hampir saja ia serempet. Mobil itu juga akan memasuki parkiran khusus kendaraan roda empat. Adel berjalan menunduk, bersembunyi di balik tanaman di area parkir itu.

"Huh." Ia mengusap dadanya yang cukup cepat berdebar. Hatinya lega, untung saja ia tidak bertemu dengan si pengendara itu. Dengan langkah cepat ia buru-buru masuk ke dalam kelasnya.

Untunglah dia belum terlambat, masih ada waktu 10 menit sebelum bel masuk berbunyi. Dia duduk di bangku paling belakang. Melihat di sekelilingnya tampak beberapa anak perempuan sedang bergosip, ada yang sedang tertawa, membicarakan idola mereka, dll. Sedangkan dia... Mungkin karena dia yang introvert?

Entahlah.

Suara derap langkah santai terdengar jelas di telinga Adel. Perempuan itu menoleh dan menemukan si empunya suara itu.

“Jangan lupa sabtu siang ke rumah gue ya, kerja kelompok bahasa Indonesia.”

Dia adalah Dion, ketua kelasnya yang dingin. Jika diperhatikan Dion memiliki wajah yang tampan sebenarnya. Tingginya 175 cm, kulitnya kuning langsat, Dion memiliki alis yang tebal dan sepasang mata yang tajam. Namun, karena sikap tidak ramahnya membuat ia tidak pernah terlihat berdekatan dengan perempuan, dengan kata lain Dion salah satu idola di Sekolahnya yang tak memiliki pacar.

“Adel! Lo denger gak sih?” tanya Dion yang tak kunjung mendapat jawaban. Ia mengernyit karena lawan bicaranya hanya menatapnya.

“E..eh, i..iya, aku denger kok. Hari sabtu, 'kan?” ucap Adel gugup. ‘Kenapa harus gugup juga sih?’ batin Adel.

“Hm, gue tunggu.” Lalu pergi
Baru saja Adel ingin membalas Dion sudah berlalu dari hadapannya.

See?

Ketua kelas yang dingin.

***

Waktu istirahat telah tiba semenjak beberapa menit yang lalu. Biasanya tempat yang pertama kali ia tuju adalah perpustakaan. Namun, kini Adel harus membantu Bu Beti untuk membawa setumpuk buku tugas ke ruangan beliau dikarenakan Bu Beti yang dipanggil kepala sekolah.

Ketika ia hendak memasuki ruang guru sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Psst! Psst!"

Adel celingak-celinguk mencari asal suara. Tiba-tiba saja ia merinding, lantas kembali memasuki ruang guru.

Urusan dengan Bu Beti sudah kelar, Adel sudah hendak berjalan menuju perpustakaan kalau saja sebuah tangan tidak mencekalnya.

Adel ingin berteriak, tetapi mulutnya sudah terlebih dulu ditutup.

"Sstt! Jangan ribut ngapa sih! Gue cuma mau minta bantuan lo doang."

Adel mengoceh tidak jelas dibalik bekapan orang itu.

"Lo ngomong apa sih?"

"Ng-mmmph!" Adel masih berusaha berbicara walau mulutnya dikunci secara paksa.

"Dia nggak bisa napas kali, Dan," ucap Kevin.

Cowo yang tengah membekapnya itu bernama Ardan. Siapa yang tak kenal Ardan, salah satu siswa langganan BK sekaligus pemimpin dari sekelompok geng berandal di sekolahnya.

"Oh iya." Ardan akhirnya melepas bekapannya. Setelah terlepas Adel langsung menghirup napas dalam-dalam.

Benar saja, sejak ditutup tadi Adel kesulitan bernapas.

"Nah, sekarang lo masuk lagi ke dalam terus ambil hp gue yang disita Bu Wati."

Belum juga jantung Adel berdetak normal. Ia harus dikejutkan dengan ucapan laki-laki itu.

"E-enggak bisa! Aku nggak bisa."

Atau mungkin, Adel adalah satu-satunya orang yang tak mengenal Ardan. Karena siapa pun yang mengenal Ardan tak akan berani menolak cowo itu.

Ardan berdecak. "Kok lo nyolot sih! Sama gue nggak ada kata nggak bisa, sekarang cepetan lo masuk."

"Aku nggak bisa! Aku takut," cicit Adel.

"Dan, cari orang lain aja, deh. Nggak yakin juga gue," ucap salah satu temannya yang lain bernama Anton.

"Diem, deh lo. Gue udah mepet."

"Ayo, cepet! Ah, gila lama banget lo." Kini pandangan Ardan tertuju pada Adel.

Adel menggeleng sambil menunduk.

Cowo itu menghela napas lalu bertolak pinggang. Diangkatnya wajah Adel agar menatapnya. "Lo nggak perlu make acara-acara ngumpet-ngumpet, ngindik-ngindik ala-ala detektif. Lo cukup masuk dengan gaya santai lo, terus lu ambil hp gue yang lagi nangkring cantik di atas meja Bu Wati. Mumpung tuh guru lagi ke toilet. Paham?" Suara cowo itu memelan, tetapi cukup mengintimidasi.

Adel mengangguk perlahan karena tatapan cowo itu.

"Sekarang lo tarik napas," titah Ardan yang diikuti Adel. "Terus buang." Kembali Adel mengikuti saran Ardan.

"Nah, sekarang ikutin saran gue, cepet masuk!" Ardan berkata sambil mendorong paksa tubuh kurus Adel.

***

Adel kini kembali memasuki ruang kramat itu, ruang guru.

Ruang di mana kita akan selalu keringatan jika berada di dalamnya padahal terdapat AC. Kramat, bukan?

"Adel!"

Panggilan itu mendadak membuat seluruh tubuh Adel menegang.

"Bukunya udah ditaro di meja ibu?"

Itu adalah suara Bu Beti, Adel menghela napas lega. Ia menoleh ke belakang dan memaksa senyumannya. "Iya, Bu. Udah saya taro."

Bu Beti menganggukan kepala. "Makasih ya, Del. Sekarang kamu boleh keluar. Kamu dari tadi masih nungguin ibu?"

Bu Beti mengira sedari tadi Adel masih diam di ruangan guru hanya untuk menunggunya keluar dari ruang kepala sekolah.

Adel hanya mengangguk saja. "Yaudah, saya keluar dulu ya, Bu."

"Yaudah, sana."

Ketika Bu Beti berbalik badan menuju mejanya di situlah Adel menyempatkan diri mengambil ponsel Ardan yang berada di meja Bu Wati yang letaknya tepat di belakang Adel saat ia menghadap Bu Beti.

***

Ardan gelisah karena sosok yang ia tunggu tak kunjung terlihat. "Kok lama, ya?"

"Kan, udah gue bilang gue nggak yakin."

Ardan melihat Anton khawatir. Ia berdecak kesal sampai akhirnya sosok itu tertangkap indra penglihatannya. "Keyakinan lo perlu dipertanyakan kayaknya, Ton. Tuh orangnya." Ardan menunjuk Adel yang sedang berlari ke arahnya. Ia tersenyum penuh kemenangan.

Cewe itu tampak engos-engosan.

"Gue bilang 'kan nggak usah lari, biasa aja."

Adel tidak menjawab lebih memilih memberikan ponsel yang diminta Ardan.

"Thanks, ya."

Adel hanya berdehem lalu berbalik.

"E-eh, nama lo siapa?"

Adel berhenti kemudian kembali menghadap Ardan. "Adel."

Ardan mengangguk sekilas lalu pergi bersama teman-temannya. Melihat itu Adel terdiam. "Cuma gitu doang?"

Adel tidak menyadari bahwa ia sudah masuk dalam masalah yang tidak seharusnya ia masuki. Cewe itu telah berkomunikasi dengan orang yang seharusnya ia hindari.

Karena mulai detik itu juga mungkin kehidupannya akan mulai berubah.

***

Ardan dan kedua temannya berlari menuju halaman sekolah bagian belakang. Setelah mendapatkan tembok besar itu, mereka saling lirik dan saling menyunggingkan senyum tipis. Dengan ahlinya mereka melewati tembok itu, orang-orang pun akan langsung tahu kalau itu sudah menjadi kebiasaannya.

Di balik tembok itu ketiga temannya yang lain sudah menunggu.

"Lama banget sih lo pada, kacang gue sampe abis ini," gerutu cowo yang bernama Galang.

"Tau tuh yang disuruh Ardan orangnya nggak pro," sahut Anton yang langsung menaikki motor Aldi.

"Yang penting dapet, 'kan," ucap Ardan lalu menaikki motor Ryan.

Lalu Kevin menaikki motor Galang.

Setelah mereka berhasil menaikki boncengan temannya. Motor itu serempak melaju meninggalkan area sekolah.

Di tempat yang tidak jauh dari mereka, sekelompok orang memandang mereka dengan sorot kebencian.

.
.
.
.

Enjoy for reading

Kasih votenya ya

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags