Hujan siang itu membuat terminal ramai oleh ojek payung. Siang yang mendung itu mendatangkan rezeki bagi para ojek payung. Beberapa ojek payung berdiri di dekat bus yang baru saja datang. Sebagian berulangkali mengantar penumpang bus ke area parkir mobil yang letaknya memang sedikit jauh dari area parikir bus sendiri. Tak jarang ojek payung di terminal itu menjemput langganan mereka masing-masing. Begitupula dengan seorang gadis yang berbaju merah kotak-kotak hitam memegang payungnya dengan erat. Ia berharap agar hari ini mendapat banyak upah. Gadis berbaju kotak-kotak merah itu menghampiri seorang pria yang berkemeja hitam polos. Pria itu seudah menjadi langganannya selama ini. Akan tetapi hari itu berbeda. Biasanya si pria tidak pernah membawa temannya sekalipun. Namun sekarang justru pria tersebut terlihat menggandeng wanita di sampingnya dengan erat.
“Hai!” sapa gadis ojek payung pada pria di depannya. Pria itu masih menggandeng erat tangan wanita di sampingnya. Mereka segera berteduh di warung dekat area parkir bus itu. Wanita di samping pria itu anggun walau hanya mengenakan celana jeans dan kaus bermotif bunga-bunga. Pria itu kemudian tersenyum dan mengenalkan wanita di sampingnya, “Kenalkan dia adalah calon tunanganku, Sinta. Sinta, kenalkan ini adalah Luneta. Pekerjaannya sebagai ojek payung di sini. Dia langganan ojek payungku,” ungkapnya sedikit menjelaskan singkat pada Sinta.
“Hari ini kau tak perlu memayungiku. Aku akan memakai jaket saja ke area parkir mobil. Kau cukup memayungi dia, jangan sampai Sinta basah kuyup terkena hujan,” ujar si pria.
“Kau yakin? Kau akan basah kuyup nanti, Roy!” ujar Sinta pada Roy. Roy tersenyum pada Sinta, ia mengusap pipi calon tunangannya lembut, “Tak apa, setidaknya kau tidak boleh basah. Kau bisa sakit nanti, terlebih sebentar lagi kita akan tunangan. Ada baiknya jika kau menjaga kesehatanmu,” kata Roy pada Sinta. Luneta yang berada di antara mereka sedikit salah tingkah. Sebelumnya Roy memang tak pernah sekalipun mengenalkan Sinta pada dirinya. Namun ia sadar ini hal yang wajar. Dia bukan siapa-siapa Roy yang perlu tahu semua tentang kehidupan Roy. Baginya Roy memiliki tunangan saja sudah merupakan hal yang mengejeutkan.
“Aku akan berlari ke area parkir lebih dulu. Luneta, aku titip Sinta padamu. Apa kau masih ingat tempat biasanya aku memarkir mobil?” tanya Roy memastikan.
Luneta mengangguk mengiyakan ucapan Roy. Roy kemudian berlari kecil menutupi sekujur tubuhnya dengan jaket. Tinggallah Luneta bersama Sinta di warung itu. Luneta membuka payungnya lalu mereka mulai berjalan di bawah derai hujan siang itu. Luneta yang tak betah dengan kecanggungan mereka mulai mengajak ebrbicara, “Kapan kalian akan bertunangan?” tanya Luneta pada Sinta.
“Recananya tiga hari lagi. Bagaimana denganmu, berapa lama kau mengenal Roy?” tanya Sinta sedikit penasaran. Roy terkadang bercerita tentang gadis ojek payung yang mengantarnya ke area parkir selama ini. Dari cerita Roy, gadis ojek payung ini cukup menarik. Roy tak pernah lupa menceritakan tingkah dan kelakuan Luneta pada Sinta. Bagi Roy, gadis ojek payung itu sudah seperti sahabatnya sendiri yang menemaninya ketika harus mengambil mobilnya di parkiran mobil.
“Belum cukup lama, sekitar dua tahun. Kami cukup dekat, meskipun hanya bertemu ketika hujan turun. Kalau tidak hujan, aku tidak bisa ke sini dan bertemu dengannya,” kata Luneta menjelaskan pada Sinta. “Sebentar lagi kita akan sampai,” imbuh Luneta memberitahu jika mereka sudah dekat dengan area parkir mobil.
“Sedekat apa hubungan kalian?” tanya Sinta masih berhubungan dengan Roy. Luneta tak langsung menjawab, ia berpikir cukup lama menjelaskan hubungan mereka. Luneta tak pernah menganggap Roy sebagai saudara. Teman pun rasanya tidak. Karena hubungan mereka cukup dekat untuk sekedar berbagi cerita tentang keluarga mereka masing-masing.
“Aku sedikit bingung mengatakannya. Kami memang cukup dekat, sedekat sahabat pada umumnya.”
“Oh, begitu. Itu artinya kau juga menjadi sahabatku mulai sekarang.”
“Nah, kita sudah sampai,” ujar Luneta pada Sinta ketika mereka telah sampai di depan mobil Roy. Sinta mengangguk dan ia mengucapkan terimakasih pada Luneta, “Terimakasih telah mengantarku. Ada yang perlu kau tahu. Kedatanganku kemari bukan untuk bertunangan dengannya. Aku akan membatalkan pertunangan kami,” ujar Sinta akan tetapi ia berbisik di telinga Luneta. Luneta terhenyak mendengar ucapan Sinta. Ia tak menyangka jika Sinta kemari untuk membatalkan pertunangan mereka. Roy yang sedari tadi menunggu di mobil akhirnya keluar karena Sinta tidak kunjung masuk.
“Kalian membicarakan apa? Jangan terlalu lama. Sinta, kita masih harus pergi sekarang. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” kata Roy memotong pembicaraan Luneta dengan Sinta. Roy mulai menarik tangan Sinta. Sinta tersenyum simpul “Sebentar, Roy.” Sinta melepaskan gengggaman Roy lalu berbisik pada Luneta kembali, “Sempatkan waktu untuk menghiburnya jika kau bertemu dengannya lagi,” kata Sinta lalu ia masuk ke mobil mendahului Roy.
“Aku pergi dulu ya, terimakasih. Ah …, aku akan kemari lagi besok pada jam biasa, untuk mengantarkan undangan. Datanglah ke pertunangan kami nanti,” ujar Roy lalu menepuk bahu Luneta. Luneta mengangguk mengiyakan saja ajakan Roy itu. Setelah berbasa-basi dengan Luneta cukup lama, mobil perlahan meninggalkan area parkir terminal.
*
Sudah lewat dua jam Luneta menunggu Roy. Kemarin Roy tak jadi menemuinya di terminal karena ada masalah sedikit dengan pertunangannya. Luneta tahu maksud dari masalah pertunangan Roy apa. Wajar jika Roy tidak menemuinya. Sekarang hari kedua Luneta menunggu Roy. Tapi sepertinya hari ini ia tak akan datang lagi seperti kemarin. Luneta memandangi jamnya yang mulai menunjukkan pukul lima sore. Terminal sore itu masih padat. Banyak bus yang keluar masuk terminal menurunkan penumpang. Ia telah dapat empat konsumen ojek payung hari ini. tidak termasuk Roy. Luneta mempererat genggaman payungnya. Hawa dingin menyelimuti tubuhnya meski ia telah mengenakan jas hujan. Ia mulai pesimis menanti kedatangan Roy. Seharusnya Roy telah tiba di terminal jika jarum jam menunjukkan pukul empat, yang mana sejam lalu. Belum lama ia memandangi jamnya, bus yang biasa membawa Roy masuk ke terminal. Luneta segera berjalan ke dekat bus tersebut lalu menanti Roy di luar sambil berjinjit, mengintip penumpang yang berdesakkan keluar.
“Siapa yang sedang kau tunggu?” tanya Roy yang kini berada di samping Luneta. Luneta menoleh kea rah pria di samping kirinya, Roy. Ia memperhatikan Roy yang berdiri di sampingnya dengan jaket kulitnya yang telah basah kuyup. Dengan tangkas, luneta memayungi Roy.
“Kau dari mana saja? Kukira kau akan muncul dari bus ini yangbiasa kau tumpangi,” ujar Luneta pada Roy. Roy menggeleng dank arena hujan semakin deras Roy mengajak Luneta pindah ke warung bakso langganan mereka. “Ayo makan, aku lapar. Biar aku saja yang memegang payungmu,” kata Roy lalu merebut payung dari tangan Luneta sebelum Luneta mengomelinya. Selama ini Roy memang sering memegang payung daripada Luneta. Roy sadar jika Luneta kesusahan karena harus berjinjit ketika memayungi dirinya yang tinggi ini.
“Pak, baksonya dua mangkuk. Masing-masing sepuluh ribu, ya!” kata Roy pada penjual bakso. Warung bakso sore itu sangat ramai. Roy menggandeng tangan Luneta erat. Ia melihat ke tempat biasa mereka duduk. Namun di tempat itu sudah banyak sekali orang. Biasanya mereka duduk dekat dengan meja kasir. Hampir saja tak kebagian tempat duduk. Untungnya, seorang ibu dan anak kecil memanggil mereka untuk menempati tempat duduk ibu tersebut. Roy dan Luneta segera duduk di situ.
“Maaf jika kemarin aku tidak jadi datang mengantar undangan,” kata Roy sebagai awal mula percakapan mereka sore itu.
“Tidak apa. Kemarin aku juga sangat sibuk mengantar konsumen ke parkiran. Kalau kau datang, aku juga tak bisa berbicara leluasa begini,” ucap Luneta bohong. Ia berharap Roy tidak menyadarinya.
Roy mengeluarkan rokoknya dari dalam saku celananya. Sudah merupakan hal yang biasa ketika Roy ada masalah ia akan merokok. Akan tetapi sikap Roy yang seperti ini baru diketahui Luneta. Entah seakan lupa dengan alergi Luneta terhadap rokok, Roy justru memantik koreknya di depan Luneta, “Apa kau lupa jika aku alergi dengan asap rokok?” ujar Luneta mengingatkan Roy. Roy belum sempat menyalakan putung rokoknya, segera mengurungkan niatnya itu.
“Maaf. Sejak kemarin aku terus-menerus ingin merokok. Mungkin karena sedang stres. Pasti kau juga sudah tahu hal ini dari Sinta,” ucap Roy disertai dengan embusan napas beratnya. Saat seperti ini biasanya mereka berbicara soal berbagai hal yang dapat membuat mereka tertawa tak henti. Tak disangka jika hari ini mereka hanya duduk berdampingan tanpa tahu harus membahas apa. Luneta tak mungkin mengajaknya bergurau sedangkan Roy masih sedih.
“Besok kau akan ke mana?” tanya Luneta pada Roy. Ia berencana mengajak Roy keluar sebentar untuk melupakan kesedihannya.
“Mengapa? Kau ingin mengajakku pergi?” tanya Roy sedikit menebak. Luneta mengangguk membenarkan, “Iya. Ayo ikut aku besok! Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”
Roy tersenyum mendengar ajakan Luneta, “Memang kau tak bekerja besok?”
“Besok?? Emm …, menurut ramalan cuaca, besok hari akan cerah. Jadi tidak akan hujan. Lagipula besok hari Sabtu, aku bisa meninggalkan pekerjaanku sejenak,” ujar Luneta meyakinkan Roy. Roy mengangguk paham. Sore itu dihabiskan mereka berdua dengan makan bakso bersama. Di tengah hujan yang turun dan diselingi hangatnya kuah bakso. Hari itu secercah harapan Roy untuk melupakan Sinta mulai muncul.