Alunan musik jazz mengalun dengan merdunya di sebuah kamar. Seorang gadis sedang duduk di kursi belajar kamar itu, mengamati sebuah buku catatan kecil yang berada di meja. Sejak kecil, ia memang menyukai genre musik jazz, sangat mendukung kegiatannya, terutama di saat ia sedang mencoba membuka pemikiran untuk mengubah dunia.
Mengubah dunia. Mungkin, kedengarannya sangat mustahil. Tapi percayalah, bahwa ia sangat ingin sekali untuk mengubahnya dan membawanya ke peradaban baru tanpa mengikutsertakan kebodohan. Menegakkan keadilan dan keselarasan manusia tanpa memandang tingkat sosial.
Ia kembali membaca buku catatan yang berisi tentang perencanaan dunia itu. Mulai menulis dengan memikirkan permasalahan yang sekarang terjadi di dunia ini.
Abaya Elaksi Lakshya, nama gadis itu. Sesuai dengan arti namanya, gadis itu adalah wanita pemberani dalam mencapai tujuan, dengan sorot mata tajam yang ia miliki. Usianya baru menginjak enam belas tahun. Sangat muda jika memimpikan untuk mengubah dunia. Tetapi, bukankah semakin muda itu semakin bagus? Masih banyak waktu tersisa. Dan yang harus ia lakukan pertama kali adalah mengubah orang yang ada di sekitarnya.
"Kamu panggil aku?"
Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok cantik yang seumuran dengan Abaya. Abaya mengangguk seraya tersenyum. Ia menarik gadis yang baru datang tadi, untuk segera duduk di atas tempat tidur.
Abaya membuka buku catatan yang berisi perencanaan dunia tadi, lalu memperlihatkan kepada sahabatnya, Minara Rajita. "Gimana?" tanyanya.
Wajah Mina mulai serius, membaca kata demi kata yang tertulis di buku itu. Setelahnya, dia menatap Abaya dengan lekat. "Ini sangat berisiko, Aya. Belum tentu apa yang kamu tulis ini bakal terwujud," ucapnya.
Abaya sangat mengerti itu. Bukan langkah yang mudah saat kita ingin mengubah dunia. Butuh pendirian yang kuat dan keberanian.
"Tapi, bisa dicoba, kan? Aku yakin, dengan permulaan orang kecil seperti kita, yang lain juga bakal ikutan." Abaya mencoba untuk meyakinkannya.
Mina mengangguk pelan. "Oke. Bakal kita coba," putusnya.
"Gimana sama keluarga kamu? Apa kamu juga mau mengubah lingkungan keluarga?" lanjutnya.
Abaya menunduk. Mungkin Mina lupa dengan keadaan Abaya yang sekarang. Abaya tidak memiliki orang tua. Mereka meninggalkannya di panti asuhan. Tepat diusia delapan tahun, ia diadopsi. Tetapi, lagi, ia ditinggalkan kembali dan hanya dititipkan rumah dua kamar ini. Untuk keuangan, mereka masih mengirimkannya uang saku setiap bulannya.
"Eh, bukan itu maksudku." Mina meralat ucapannya tadi, menyadari perubahan wajah Abaya yang sendu. "Maksudku, kali aja kamu mau kasih tau rencana ini. Pasti mereka bangga sama pemikiran kamu."
Abaya menggeleng. "Kami sudah jarang komunikasi. Kalo iya, itu pun cuma menanyakan kabar setiap bulan, berbarengan dengan kasih tahu uang yang sudah dikirim."
Mina menatapnya sendu. Mengelus pundak Abaya dengan perlahan. "Udah, jangan sedih. Kan, aku ada di sini. Kamu juga punya ibu aku. Kami akan selalu menjaga kamu." Ia selalu menganggap Abaya sebagai saudarinya. Mereka sudah bersama sejak Abaya diadopsi. Rasa sayang sudah tertanam sejak saat itu, dan semakin erat sampai sekarang. Tidak ada yang mampu menggoyahkan persahabatan mereka.
Abaya tersentuh mendengar pernyataan Mina. Minara adalah orang yang baik. Begitu juga dengan keluarganya. Mereka selalu ada di saat Abaya sedih maupun senang. Terutama Ibu Mina, yang selalu berada paling depan saat orang lain berani mengganggu hidup Abaya.
"Oh, iya. Langkah pertama di sekolah, kan? Aku denger dari adik kelas, kalo di sekolah kita itu masih banyak yang menyalahgunakan tingkat senior. Mereka gila hormat. Kita gak diperbolehkan buat menatap kakak kelas. Bahkan, kalo ada yang gak mau nundukkan kepala ke senior, mereka bakal kena bully. Mungkin kedengarannya kayak drama. Sekarang jarang ada yang kayak gitu, mungkin orang juga gak bakal percaya kalo kita ceritain. Tapi, memang itu kenyataan yang terjadi di sekolah kita," jelas Mina.
Abaya mengangguk. Sekolahnya memang terkenal seperti itu. Para guru tidak terlalu memperhatikan keadaan siswanya. Mungkin karena, sekolahnya adalah sekolah buangan. Kasus pacaran di luar batas juga sedang merajalela. Ini sering terjadi, karena banyaknya jam pelajaran yang kosong.
"Gimana caranya? Pasti bakal susah banget." Mina menghela napas, seolah menyerah dengan keadaan yang akan mereka lakukan nanti.
"Aku anggota OSIS, kamu juga. Kita harus berusaha menarik perhatian, supaya kita terpilih sebagai ketua dan wakil ketua OSIS," usul Abaya.
Mina terlihat mencerna perkataan Abaya. "Ketua? Wakil ketua? Tapi, gimana? Kamu itu dianggap misterius sama orang-orang, Ya. Mereka juga gak pernah berani menatap kamu, karena kamu punya sorot mata tajam yang mengintimidasi. Gimana bisa kita jadi ketua dan wakil ketua, sedangkan pemilihan pemimpin baru, bakal dilaksanakan dua bulan lagi?"
Itu benar. Akan sangat susah jika Abaya menjadi pemimpin. Mereka semua sangat tidak suka dengannya. Ia tidak pernah menampilkan senyum manis kepada orang-orang, bahkan ia malah terang-terangan menatap mereka dengan sorot mata tajam yang dimiliki.
"Kalo kamu? Semuanya pada suka sama kamu, kan? Kamu banyak dikagumi dan juga terkenal di tiga tingkat. Gimana kalo kamu aja?"
Mina tampak menimang-nimang ucapan Abaya. Ya, benar. Dia adalah orang yang terkenal di sekolah. Tetapi, mungkin dia akan lebih memikirkan hal ini, karena dia sangat susah dalam hal memimpin.
"Aku bakal bantu kamu, buat jadi sosok yang tegas. Waktunya juga masih banyak, sangat cukup," ucap Abaya.
Tanpa pikir panjang, Mina menyetujuinya. Dia sangat percaya pada Abaya, dan akan melakukan hal itu untuk membantu sahabatnya dalam mengubah dunia yang ia inginkan.
"Mina! Aya!"
Terdengar suara Ibu Mina dari ruang tamu rumah Abaya. Mereka berdua segera keluar kamar. Terlihat, beliau membawa satu kotak pizza, dua kotak KFC dan dua totebag. Kakak lelaki Mina juga berada di rumah ini. Sedang duduk dengan memainkan handphone di tangannya.
"Sini! Ibu bawa makanan sama baju buat kalian. Tadi abis ke mall sama Arsan." Ibu melirik Kakak Mina yang masih asyik memainkan handphone.
"Tumben, biasanya ogah banget diajak ibu, malah lebih milih pergi sama Ka Dayne. Ke mana dia? Hati-hati loh, nanti diselingkuhin lagi," goda Mina.
Arsan Fernanda berhenti memainkan handphone, lalu menatap Mina dengan tajam. "Apaan, sih?!" Dia bangun dan berjalan menuju dapur.
Ibu Mina menggelengkan kepala, memukul lengan Mina. "Kamu, sih, De."
Mina sangat suka menggoda kakaknya itu, apalagi jika sudah bersangkutan dengan pacar kakaknyaㅡ Dayne Angela.
Dayne adalah pacar Arsan. Mereka sudah menjalin hubungan sejak kelas satu SMA, dan masih bertahan sampai kelas tiga ini. Mereka satu tingkat di atas Mina dan Abaya. Mina sempat bercerita pada Abaya, bahwa Dayne pernah menyelingkuhi Arsan dengan teman Arsan sendiri, yaitu Esa Tirtana. Saat itu, Arsan sudah ingin memutuskan hubungannya, tetapi Dayne memohon padanya dan rela memutuskan Esa. Karena melihat ketulusan dari Dayne, akhirnya Arsan tidak jadi memutuskan hubungan yang sudah lama dijalin itu.
Jauh di lubuk hatinya, Abaya menyukai Arsan sejak setahun yang lalu. Ia menyimpan rahasia ini sendiri, bahkan Mina pun tidak tahu soal perasaannya. Tetapi, Mina selalu saja menggoda Abaya tentang Arsan. Andai dia tahu yang sebenarnya, sudah pasti dia akan sangat heboh.
"Aya, ambilkan piring dua, ya."
Abaya mengangguk dan beranjak menuju dapur untuk mengambil dua piring. Di sana, ia melihat Arsan yang sedang membuka lemari es.
"Gue minta air es," ucapnya saat menyadari keberadaan Abaya.
Abaya mengangguk, walaupun Arsan tidak melihatnya. Segera Abaya mengambil dua piring, lalu menjauh dari dapur. Ia tidak akan tahan jika berlama-lama dalam keadaan tadi.
"Kenapa ibu gak adopsi Aya aja?" tanya Mina saat Abaya sampai di ruang tamu.
"Ibu sudah pernah berusaha, tetapi orang tua adopsi Aya tidak mengizinkan," jelas Ibu Mina.
"Terus, ibu nyerah gitu aja?"
Abaya sendiri terdiam. Tidak bisa berkata-kata. Ia bingung jika dihadapkan dengan pembahasan ini.
"Gue gak mau," sela Arsan yang baru saja datang dari dapur.
Abaya, Mina, serta ibunya terdiam, menunggu pernyataan yang akan dikatakan Arsan, tentang dia yang tidak menyetujui rencana adopsi. Dia berjalan dan duduk di samping ibunya, menaruh gelas yang dibawanya di atas meja.
"Kenapa pada diem?" tanya Arsan.
Tak ada jawaban dari mereka bertiga, karena memang menunggu jawaban Arsan sendiri.
Arsan menghela napas, menyadari bahwa jawaban dia yang dibutuhkan. "Ya, kan, masih banyak cara selain adopsi. Tanpa diadopsi pun, Aya masih bisa kita kontrol. Lagipula, aku gak mau punya adik lagi selain Mina."
Abaya tersenyum getir saat mendengar ucapannya. Sekarang ia lebih sadar lagi, jika ia memang tidak diinginkan untuk berada di dunia ini.
"Oke, ibu menerima alasan kamu. Tapi ibu minta, kamu harus juga menjaga Aya seperti kamu menjaga Mina. Ini karena kamu menolaknya," ucap Ibu Mina yang terdengar tegas.
Abaya melirik Arsan, ia menjadi tak enak hati kepadanya, karena ia kembali menyusahkan keluarga mereka. Tapi, disisi lain ia juga senang karena Arsan akan selalu ada untuknya. Ibu menyudahi pembicaraan ini, dan menyuruh Abaya juga Mina untuk segera makan.
Pikiran Abaya melayang saat makan. Ia memikirkan banyak hal. Tentang keluarga aslinya, keluarga adopsinya, serta keluarga Mina. Ia mempunyai dua keluarga, karena ia tidak mengetahui asal-usul keluarga aslinya. Tetapi, jika ia punya dua keluarga, mengapa ia tidak terlalu bahagia? Sedangkan, Mina yang mempunyai satu keluarga saja, merasa sangat bahagia walaupun kedua orangtuanya bercerai.
Abaya menggelengkan kepalannya. Seharusnya, ia tidak boleh membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain. Setiap orang memiliki porsi bahagianya masing-masing. Belum tentu yang selalu terlihat bahagia, hatinya juga bahagia. Oleh karena itu, seharusnya Abaya menysukuri hidupnya yang sekarang karena ia masih memiliki keluarga Mina yang selalu peduli dengannya.
“Ada apa? Kok menggeleng? Gak enak, ya?” tanya Ibu Mina pada Abaya.
Abaya tergugu. Ia tidak sadar, jika dirinya benar-benar menggelengkan kepala. “Gak, Bu. Enak, kok. Cuma pusing aja, mikirin besok ulangan,” kilahnya.
Ibu Mina mengangguk, sedangkan putrinya tersedak. “Aku bener-bener lupa kalo besok ulangan! Bu, Mina nginep di sini, ya,” pintanya pada sang ibu.
Ibunya menyetujui. Beliau menawarkan Arsan untuk bermalam juga, menjaga kedua adiknya karena mereka berdua perempuan. Arsan hanya diam, tidak mengiyakan, sedangkan Mina menolak mentah-mentah, ia takut kakaknya mengganggu belajar karena hampir setiap malam Arsan mengeluh lapar dan berujung minta dibuatkan makanan. Ia juga tidak ingin ibunya tidur seorang diri di rumah, takut ada apa-apa. Akhirnya, ibunya menyetujui penolakan putrinya. Beliau Bersama putranya kembali ke rumah mereka, yang berada di seberang rumah Abaya.
Sebelum belajar, mereka membasuh piring bekas makan tadi. Setelah selesai, Abaya menelepon salah satu teman dekatnya di sekolah untuk ikut bermalam di rumah. Teressa Alesha, teman dekatnya itu langsung menyetujui. Ia memang sangat hobi bermalam di rumah temannya, jika ditanya maka alibinya adalah karena ia bosan di rumah. Padahal, Abaya dan Mina sangar tahu bahwa temannya itu memilki masalah keluarga yang membuat kedua orangtuanya sering berkelahi.
Dua puluh menit kemudian, Teressa datang dengan tas gendong miliknya. Ia menaruh dulu, seragam sekolah beserta sepatu di kamar Abaya. Setelahnya, ia bersama Mina dan Abaya belajar di ruang tamu. Mereka semua sibuk berkutat dengan materi masing-masing. Namun, jika ada bagian yang tidak mengerti, maka mereka akan bertukar pikiran.
Pukul sebelas malam, mereka masih belajar. Maklum, karena mereka belajar dengan sistem kebut semalam. Mina sudah mengeluhkan dirinya yang pusing dan lelah. Ia itu tipe yang cukup malas dengan pelajaran, terutama yang berkaitan dengan sejarah. Parahnya, besok adalah ulangan mata pelajaran sejarah. Tidak pernah satu kalipun, ulangannya di atas lima puluh. Ia selalu menyalahkan gurunya atas hal itu, karena menurutnya gurunya itu saat menjelaskan seperti mendongeng. Padahal, menurut Abaya dan Teressa, guru mereka sudah sangat baik dalam menjelasakan. Mina selalu mendengus saat kedua temannya berbicara seperti itu, otak mereka jauh di atas Mina, itu sebabnya mereka mudah mengerti.
Mina merebahkan kepalanya di atas meja. Ia merasa lelah belajar, pikirannya juga terasa hendak pecah. Ia mengamati kedua temannya yang masih fokus belajar. Dari sudut pandangnya, keduanya sangat sempurna. Mereka pintar, cantik, baik hati dan juga memiliki pemikiran yang dewasa. Di antara mereka, Teressa yang paling banyak disukai para siswa SMA Guna Mulya. Sosoknya yang terekspos karena menjadi ketua ekstrakulikuler dance membuatnya digilai para kaum adam. Jika Abaya, ia terlalu penutup. Sangat jarang seklai temannya yang satu ini menampakkan diri di keramaian sekolah. Padahal, Mina sangat yakin jika Abaya akan disukai banyak orang jika dirinya terkenal di seluruh penjuru sekolah dan hanya perlu memperbaiki image sedikit. Abaya dikenal dengan image juteknya, karena sorot mata tajam yang dimiliki.
Saat bergelut dengan pikirannya, ia melihat tetes-tetes darah yang berjatuhan, membuat titik-titik kecil di buku. “Sa, lo mimisan!” pekik Mina.
Mendengar pekikan temannya itu, Abaya dan Teressa mengalihkan pandangannya dari buku. Teressa memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah itu. Abaya berlari ke arah dapur, ia mengambil bahan-bahan yang digunakan untuk mengatasi mimisan.
Setelah selesai mengobati Teressa, Abaya memintanya untuk beristirahat. Tetapi, Teressa menolaknya. Ia ingin melanjutkan belajarnya. Kedua temannya tentu saja melarang, tetapi Teressa tetap bersikeras dengan keinginannya. Ia berulang kali mengatakan tidak papa, menyuruh kedua temannya agar tidak khawatir.
“Jangan keras kepala, Sa. Kamu lagi sakit! Kamu gak baik-baik aja!”
Teressa menggeleng keras. “Aku gak mau bikin orang tua malu, kalo hasil ulangan jelek. Aku mau bikin bangga mereka,” lirihnya.
Abaya dan Mina tidak habis piker dengan temannya itu. Teressa selalu ingin membuat bangga orangtua, tetapi kedua orangtuanya tidak peduli dengan anaknya itu. Tidak peduli seberapa keras proses anaknya untuk meraih hasil terbaik, tidak peduli bagaimana perasaan anaknya saat mereka terus bertengkar, mereka juga tidak peduli dengan kondisi Teressa karena mereka selalu sibuk kerja. Tetapi, mereka selalu menuntut Teressa untuk selalu menjadi yang nomor satu, menutup mata dengan perjuangan anaknya.
“Kamun udah bikin bangga kita semua, Sa, dengan kamu dapat juara umum kelas sepuluh kemarin,” ucap Abaya.
Teressa mulai menitikkan air matanya. “Tapi, itu dulu, Ya! Sekarang, aku gak bisa lagi bikin bangga mereka! Aku bikin mereka malu karena rankingku yang turun.” Isakan Teressa mulai kencang. Ia tidak ingin membuat kedua orangtuanya malu. Saat ia menjadi yang nomor satu saja, kedua orangtuanya tidak terlalu peduli, apalagi dengan ia yang tidak lagi mendapatkan posisi pertama.
Ia teringat akan papanya yang pernah bilang bahwa beliau malu. Malu karena di kelas sebelas semester satu kemarin, Teressa tidak lagi menyandang gelar juara umum sekolah. Mendengar ucapan papanya, tentu saja ia merasa sakit. Ia merasa seperti jatuh ke lubang yang sangat dalam. Dan sekarang, ia bertekad agar tidak membuat papanya malu lagi.
“Aku sakit-sakitan! Gimana bisa. Aku bikin bangga orang-orang yang ada di sekitar?”
Mina dan Abaya ikut menangis. Mereka tahu jika hidup sahabatnya itu sangat berat. Tetapi, satu hal yang tidak mereka ketahui. Tentang Teressa yang mengaku sakit-sakitan.
“Mereka campakkin aku. Apa setelah ini, kalian juga bakal gitu?”
Kedua temannya menggeleng. Tentu saja mereka tidak akan seperti itu, karena mereka tahu bahwa Teressa sangat membutuhkan seseorang yang selalu berada di sampingnya untuk mendukung. Tanpa kata, mereka mendekat, membawa Teressa ke dalam pelukan. Malam ini, Teressa terlihat sangat rapuh. Pertahanan yang ia buat agar tidak ada orang yang melihat penderitaannya, kini telah runtuh. Di depan kedua temannya, ia mengeluarkan segala keresahan dalam hati, berharap akan menemukan titik lega.
Abaya dan Mina melepaskan rengkuhannya, saat isak tangis Teressa tidak terdengar lagi. Kedua mata Teressa terpejam, ia tidak sadarkan diri. Kedua temannya menjadi panik. Mina berlari keluar rumah Abaya menuju rumahnya. Ia mengetuk pintu rumah dengan tak sabaran, beruntung bahwa kakaknya belum tidur.
“Kak, bisa siapin mobil? Teressa pingsan, kita mau bawa dia ke rumah sakit,” pinta Mina.
Arsan mengangguk, ia masuk kembali ke dalam rumah. Mengambil kunci mobil dan memakai hoodie. Setelahnya, ia mengunci pintu rumah, karena sang ibu sudah terlelap sejak pukul sembilan tadi. Ia mengeluarkan mobil dari garasi, sementara Mina kembali ke rumah Abaya. Arsan masuk ke dalam rumah Abaya, membantu mereka untuk menggendong Teressa masuk ke dalam mobil.
Di tengah perjalanan, Abaya terus menelepon kedua orangtua Teressa lewat ponsel milik temannya itu. Berulang kali, tetapi tidak diangkat sama sekali. Entah mereka sengaja, atau memang sudah tidur, Abaya tidak tahu itu. Ia mencari kontak lain di ponsel Teressa, dan akhirnya ia menemukan telepon rumah. Ia segera menghubungi nomor itu, dan beruntung asisten rumah tangganya menjawab. Tanpa basa-basi, Abaya memberitahukan kondisi Teressa. Ia memberitahukan rumah sakit mana yang akan dituju, dan ia berharap kedua orangtua Teressa bisa dating untuk melihat kondisi putrinya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, mereka sampai di rumah sakit tujuan dan Teressa langsung diperiksa oleh dokter. Arsan, Abaya, dan Mina menunggu di bangku depan ruang Teressa. Selang dua puluh lima menit, orangtua Teressa datang. Wajah sang ibu, terlihat begitu panik, sedangkan ayahnya hanya memasang wajah datar. Abaya bersyukur, setidaknya mereka masih peduli dengan kondisi anaknya.
Mereka menyalami kedua orangtua Teressa. Ibunya meminta penjelasan, tentang Teressa yang bisa masuk rumah sakit. Abaya menceritakan semuanya dari awal, tetapi ia tidak menceritakan bagian di mana Teressa menangis tersedu. Kedua orangtua Teressa menyampaikan rasa terima kasihnya, karena sudah membawa anaknya ke rumah sakit. Mereka mempersilahkan Abaya, Mina, dan Arsan untuk pulang.
“Tante, tolong jaga psikis Teressa. Dia cukup tertekan selama ini,” pesan Abaya.
Mereka bertiga berpamitan untuk pulang, meninggalkan kedua orangtua Teressa yang hanya terdiam mendengar ucapan Abaya.