Kopi hitam dimeja belum juga tersentuh sedari tadi. Pandanganku jauh ke arah depan namun pikiranku jalan entah kemana. Kacau benar rasanya uangku sudah menipis tapi Darto belum juga mengembalikan. Dia sudah tiga kali meminjam uang, tapi sejak pertama kali pinjam belum sepeserpun ia kembalikan.
"Hei! Kau ini ngelamun saja! Lihat kopi itu sudah dingin!"
"Aduuh, Cok! Bikin kaget saja...eh jangan diminum dong."
Ku cegah Ucok meminum kopiku padahal mulut dia sudah monyong mendekati bibir gelas. Ucok tertawa, rupanya dia nggak serius. Nama asli dia adalah Purba, tapi sering kupanggil Ucok saja panggilan khas orang Medan. Lagipula dia memang suka dipanggil Ucok daripada nama asli dia. Dia ini teman ngobrol yang blak-blakkan dan bagi para pengemudi ojol yang belum kenal dia pasti banyak tersinggungnya. Kalau dia bilang jelek ya jelek nggak bisa ditawar lagi. Tapi buatku itu lebih baik daripada si Warto yang apapun itu bakalan dia bilang "nggih" Bahasa Jawanya yang artinya "bisa" meski kadang dia nggak bisa.
"Kemana si Darto itu Jek? Mampir dia kemari?"
"Justru itulah aku juga cari, Cok. Mau tagih hutang dia. Memangnya selama jadi
ojol nggak pernah dapet uang apa gimana?" "Nah sama lah, Jek. Aku juga mau tagih hutang dia. Malas aku dengar alasan dia macam kaset. Maak kopi satu ya...!"
Teriakan Ucok dibalas Mak Mar pemilik angkringan dengan kode tangan OK. Satu per satu pengemudi ojol lainnya mulai berdatangan juga mampir kemari. Ada si Warto, Dul, Yoyok sampai yang paling cantik sendiri di komunitas ojol kita Santi. Eits tapi jangan salah! Santi ini susah bedakannya sama laki-laki lainnya kecuali pas dia ngomong. Memang dia sengaja membuat tampilannya laki banget. Alasan dia sederhana supaya nggak ada yang berani ganggu pas lagi ngojek.
"Kalian tahu kemana Darto?"
"Wih nggak,Cok. Lagian santi juga barusan datang."
"Kalau kau,Warto?"
"Nggih mas ucok...saya nggak tahu."
Ucok tepok jidat. Aku setengahnya menahan ketawa dengar Warto bicara. Ucok kan artinya sama dengan bang, kakak dan mas eeh dia panggil lagi dengan sebutan mas didepan kata ucok. Baru saja diomongin orangnya datang juga.
"Nah panjang umur juga kau...!"
"Lah ada apa?"
"Apalagi kalau bukan hutang! Kali ini jangan banyak alasan kau ya."
Darto kali ini tak berkutik. Biasanya dia sudah mengeluarkan jurus seribu satu alasan untuk menghindar dari tagihan hutang. Dompet kulit berwarna coklat muda ia keluarkan dari balik kantong celana jeansnya. Selembar uang lima puluh ribu ia serahkan ke Ucok. Aku pun juga menagih hutang ke Darto. Dia mau berkelit namun ucok sudah menatap matanya tajam.
"Iya, Jek. Nih aku bayar seratus ribu dulu."
"Hutang jaman kapan bayarnya yang kecil duluan gimana sih?! Serius aku butuh
buat bayar kos-an nih!"
"Iya iyaa tiga hari lagi ya aku bayar tunggu aja. Kan belum dapat penumpang aku
hari ini lagipula buat modal bisnis nih."
"Aku heran sama kau. Ada bisnis tapi nggak berkembang? Atau cuma omongan kau
aja yang mutar macam kaset."
Darto selalu tak bisa menjawab kalau ucok angkat bicara. Hanya bisa terbata-bata lantas katanya ada orderan masuk dan kabur begitu saja. Tapi kali ini aku tak main-main. Aku curiga kalau di kos-an, Darto itu masih punya uang.
***
Tiga hari dari peristiwa itu masih kutunggu niat baik Darto. Aku duduk di warung Mak Mar sembari menghisap rokokku. Kulihat dari kejauhan ucok datang sambil tersenyum. Sepertinya dia habis dapat orderan besar.
"Jek, belum dapat orderan?"
"Belum, aku mau tunggu Darto disini buat tagih hutangnya."
"Ah! Percuma kau tunggu dia. Kenapa nggak ke kos-an dia?"
"Tau dimana kos dia, Cok?"
Ucok memberi tahu nama jalan dan kemana arah yang harus kutuju. Namun dia berpesan sebaiknya malam kesana. Nihil siang ini Darto ada di kos-an. Sejauh ini teman satu kumpulan nggak ada yang pernah tahu dimana Darto tinggal. Ucok tahu karena ketidaksengajaan dia sehabis antar penumpang dia ikutin kemana motor Darto melaju. Pernah dia datangi siang hari dan selalu kosong. Tapi saat malam, lampu di kos-an Darto selalu menyala tanda ada penghuninya.
***
Benar saja kujalankan saran dan petunjuk dari Ucok. Memang cukup susah mencari jalannya apalagi daerah kos-an Darto tidak di area perumahan. Masih masuk area desa. Belum lagi ditambah penerangan jalan yang kurang baik. Sampai akhirnya kutemukan ciri rumah kos yang sama disebutkan oleh Ucok. Ku ketuk pintu kamar Darto. Yaah aku tahu dari sandal dan sepatu yang berjejer di dekat pintu. Memang tak salah lagi inilah kos-an Darto.
"Ya siapa? Eh kamu Jek? Darimana kamu tahu kos-an ini."
"Nggak usah basa-basi! Aku mau tagih hutangku!"
"Duh sabar, Jek. Belum balik duitnya....."
"Mau alasan apa lagi? Nah itu ada uang dibawah itu uangmu kan?!"
"Itu bukan uangku, Jek. Ituu...itu...."
Langsung aku masuk ke kamar Darto. Aku sudah tak peduli lagi kali ini. Kulihat ada uang berceceran dibawah dan ada sebuah buku ukuran folio. Sepintas aku lihat catatannya. Aku benar-benar tak mengira ternyata Darto itu...
"Jadi selama ini kamu bandar judi togel?!"
"Sst...tolong jangan keras-keras ya toloong. Ini rahasia kita berdua saja, Jek. Tolong jangan laporkan ke polisi. Aku hidup dari sini, Jek. Jadi driver ojol nggak bisa sepenuhnya memenuhi hidupku. Tolong yaa tolong....Aku bayar ini nanti aku bayar. Malam ini mereka yang pasang akan bayar ke aku dan aku bayar hutangmu."
Amarah dan kecewa sudah memuncak malam itu. Uang yang katanya untuk hidup dia sehari-hari. Malah justru diputarkan untuk bisnis haram seperti ini. Kutatap tajam si Darto layaknya harimau bertemu mangsanya. Darto hanya bisa gemetar saat itu.
***
Pagi ini di warung Mak Mar semuanya berkumpul. Banyak cerita seputar orderan termasuk penumpang rewel. Kami tertawa sembari mencomot gorengan diatas piring. Hingga akhirnya ucok nyeletuk.
"Kemana ya si Darto itu sudah 3 hari nggak nampak batang hidung dia?"
"Iya ya. Kadang Santi ketemu di jalan pas dia bawa penumpang."
Seketika bulu kudukku berdiri mendengar nama itu. Segelas kopi hitam yang nyaris kuseruput itu tak jadi. Hilang seleraku hari ini. Kini mereka ramai membicarakan Darto yang omongannya seperti kaset. Aku hanya diam saja tak mau ikut menanggapi.
"Jek, kenapa tiba-tiba diam? Ada apa?"
"Nggak apa, Cok. Tiba-tiba badanku nggak enak."
"Mas Jek apa pulang aja daripada nanti pingsan disini. Istirahat dulu nggih di kos-
an."
"Nggak apa Warto. Aku masih baik-baik aja."
"Tangkap dia!!"
Sontak semuanya kaget termasuk aku. Kedua tanganku dipegang erat dan diborgol. Aku menengok ke belakang dan ternyata 3 orang polisi salah satunya yang berhasil memborgolku. Wajahku pucat kini tak tahu harus apa lagi. Kulihat wajah teman-temanku kaget dan hanya ucok yang berani menghampiri para polisi itu.
"Ada apa ini, Pak? Tolong lepaskan teman saya. Dia tidak salah apa-apa."
"Sesuai dengan pemeriksaan dan bukti yang ada di lokasi pembunuhan, dia terbukti.
telah melakukan pembunuhan hingga mayat korban membusuk di sebuah kamar
kos."
"Pembunuhan? Jek...apa maksudnya ini?"
"Mas Jek nggak mungkin melakukan itu! Mas kan orang baik! Ini pasti salah
tangkap!"
"Cok, Warto, Santi aku bukan orang baik. Tolong jangan dekati aku lagi."
Aku minta waktu sebentar pada para polisi itu. Aku berjanji tak akan melawan. Ya, kujelaskan pada mereka semua aku yang membunuh Darto. Aku yang memukulinya hingga tak bernyawa lagi. Rasanya mereka masih tak percaya dan berpikir bahwa Darto masih hidup dengan sejuta omongan bolak balik macam kaset. Mereka masih mengira bahwa teman mereka Jek tidak pernah membunuh Darto. Semua kejadian ini hanya karangan polisi menurut mereka. Tapi tidak! Aku memang membunuh Darto. Khususnya Ucok memang dari raut wajahnya masih tak menerima kenyataan ini. Namun aku hanya tersenyum dibalik penangkapan ini.
Inilah caraku untuk menyelamatkan mereka. Agar tak ada lagi korban Darto yang hanya ditipu untuk melancarkan bisnis judi togelnya. Ini pula caraku agar nama Darto tak buruk di hadapan mereka. Biarkan Darto dikenal sebagai manusia kaset asal jangan sebagai bandar judi.
"Jek...!Jek....!"
Ucok masih terus memanggilku ketika mobil polisi sudah membawaku pergi. Hingga perlahan suaranya tak terdengar lagi.
***