Aku juga memahami, lebih dari yang mereka katakan, bahkan mungkin lebih dari yang sanggup mereka pikirkan. Tentangku, perasaanku, dan apapun itu, aku lebih memahami. Tak bisa dipungkiri, aku juga mengerti apa yang terbaik dan tepat untukku, namun andaikan sang waktu memberiku pilihan, maka lebih baik aku mengorbankan kebaikan dan kebenaran demi kebahagiaan, karena… tak sekalipun mereka memberiku kebahagiaan.
Matahari tentu meninggalkan senja lebih cepat di musim dingin. Angin utara berhembus dan kristal salju yang turun membuat seluruh tubuh terasa berat untuk bergerak, bahkan untuk bernafas. Namun, dunia yang sedang membeku ini turut juga membekukan ingatanku, tentang kebersamaan kami selama ini, aku bisa mengingatnya, termasuk ketika langkah-langkah kecil kami beriringan menapak kepingan salju di mana kami saling mengaitkan lengan dan bersentuh dalam senyum yang hangat.
Kami, sepasang gadis yang baru memekarkan kelopak cinta di awal musim dingin, berpagut dalam ciuman untuk pertama kalinya. Dalam dekapan lidah yang terasa manis itu, dunia seolah membukakan kaleidoskop violet-krem yang membekas dalam dunia serba putih. Sampai detik inipun, aku tak pernah menyangka bahwa perasaan ini, bukan hanya tepukan sebelah tangan, perasaanku terbalaskan, dan kini kami hanya perlu terus saling menepuk perasaan masing-masing untuk mencipta nada yang indah.
Namun sekarang, mengingat itu semua bukanlah saat yang tepat, karena hubungan kami sepertinya sedang menjadi masalah yang sedang dipermasalahkan. Seseorang mengetahui tentang ciuman itu, dan begitulah bagaimana kelas pada pagi hari disibukkan dengan gosip tentangku. Aku menyebut itu gosip, karena bagaimanapun mereka bicara tentang sesuatu yang lebih jauh dari ciuman, itu tentu bukan lagi sebuah fakta. Dan peranku di kelas ini pastilah hanya penerima arang dari rangkaian api yang mereka bakar dalam gosip itu.
Aku dan Misa tentu sudah sejak awal saling membicarakan kemungkinan terbongkarnya hubungan kami, namun pembicaraan itu selalu buntu. Kehidupan sosial tentu tak bisa disalahkan dan dikalahkan hanya bermodalkan hak asasi maupun naluri afeksi yang salah arti. Tentang bagaimana dua gadis yang menjalin asmara, norma apapun tentu tak akan menerima. Namun ketika norma mengharuskan bersatu dalam perbedaan, mengapa norma mengharamkan bersatu dalam persamaan? Dan jika cinta yang tumbuh dari persamaan saja coba dihapuskan, bagaimana mungkin mereka berharap akan ada cinta yang tumbuh dari perbedaan?
“Tama….” Suara Aria terdengar sedang mencoba memanggilku, aku menoleh ke belakang dan ia mendekat dengan menyeret meja itu berkali-kali hingga cukup dekat. Bisa kudengar rasa penasaran dari cara gadis itu memanggil namaku. “Kau dan Misa benar-benar berpacaran, kan?” Udara dingin membuat bisikan pertanyaan itu menciptakan kepulan uap air yang terlihat tebal, namun aku tetap mendengar pertanyaan darinya.
“Kau keberatan dengan hubungan kami?” Aku membalikkan dengan pertanyaan.
“Tidak. Bukan begitu.” Ia menjawab dengan yakin. “Tapi dari jawabanmu, kurasa gosip itu benar.” Keyakinan itu masih terdengar dari suaranya.
Keakrabanku dengan Aria selama ini rasanya membuatku sulit untuk menipunya. Namun karena keakraban itu juga aku bisa tahu bahwa Aria benar-benar tidak sedang mempermasalahkan hubungan menjijikkan yang sedang kujalani dengan Misa. Aku berpikir pasti ada hal lain yang ingin ia tanyakan padaku, namun itu bukan tentangku atau Misa, dan untuk mengetahui itu, kurasa aku harus menunggunya siap untuk mempertanyakan apa yang ada dalam pikirannya.
Ia merapatkan kedua tangannya dan mulai memainkan jemari lentiknya, sama seperti yang biasa kulakukan tiap kali merasa salah tingkah.
“Hubungan seperti itu, kau juga pasti tahu bahwa orang lain tak akan menerima kalian, iya kan? Maksudku, Tama, kau perempuan, dan Misa juga perempuan… Jadi aku pikir, aku sedikit iri dengan keyakinan kalian dengan perasaan kalian sendiri, lalu aku penasaran… apa alasanmu menyukai sesama perempuan seperti sekarang? Ah… tapi bukan berarti aku keberatan atau menolak hubungan kalian, sebagai teman tentu aku merasa lega meskipun aku tak bisa mendukung hubungan aneh kalian.”
Ia mengakhiri pertanyaan itu dengan tertawa ringan, seutas lesung pipit tersibak sedikit dari senyum yang mungkin ia paksakan untuk mencairkan suasana. Pertanyaan yang ia ungkap dengan susahnya…, aku berani menebak pasti pikirannya tadi ia penuhi dengan berbagai diksi agar tidak membuat canggung apapun di antara kami. Namun bukan berarti aku mengabaikan usahanya dalam bertanya, hanya saja kurasa jawaban itu akan lebih susah untuk kuungkap, karena bagaimanapun, seyakin apapun aku pada perasaanku, aku tak pernah yakin alasanku mampu mencintai sesama perempuan.
Aku langsung berbalik menghadap kembali whiteboard kelas yang sudah kusam menghitam, aku kalut sendirinya hanya dengan mendengar pertanyaan Aria, dan Aria yang merasa terabaikan langsung berdiri menepuk-nepuk pundakku. Aku terlanjur sembunyi dalam dua lengan dan selusur bangku. Namun sebelum kusadari, kelas berubah menjadi diam dengan gumaman, Alasannya tentu sudah pasti… Misa yang mereka benci sudah hadir pagi ini.
Misa, sosok ketua kelas yang juga merupakan manusia biasa, tidak berbeda dengan satupun di antara kami, sama-sama memiliki kelemahan dan keahlian. Namun malangnya, satu-satunya keahlian miliknya hanyalah membuat orang lain salah menilai dirinya. Tentang Misa…, ia adalah perempuan yang tingginya sama denganku, namun saat berciuman dengannya kemarin, kurasa ia sedikit lebih tinggi, badannya kurus namun timbunan lemak salah tempat membuat lengan atasnya terlihat gempal. Parasnya mungkin kalah oke dibandingkan Aria, namun kalau cinta hanya bisa tumbuh berdasarkan visual pada rupa, maka sampai kapanpun orang buta tak akan pernah jatuh cinta. Beberapa guratan pada wajahnya mencerminkan sikap tanggung jawab yang besar dan ketegasan, kaca mata minus yang ia pakai menambah kesan itu, dan kurasa wajah itulah yang menjadi sumber masalahnya.
Misa adalah manusia biasa, yang berbeda darinya hanyalah statusnya sebagai ketua kelas. Sama seperti di tahun pertama, di tahun kedua sekarang seorang guru juga memasrahkan tanggung jawab itu padanya karena tak ada satupun yang berminat mengajukan diri, dan tak ada satupun yang peduli bahwa sebenarnya ia menolak jabatan itu. Alasannya tentu saja karena kami masih muda, yang kami inginkan adalah menikmati masa muda sepuas kami, bukan untuk mengurusi kelas dan menghadapi masalah tentang ini-itu yang tak jelas asal muasalnya. Singkatnya, ketua kelas hanyalah seorang budak yang dipertugaskan tanggung jawab pribadi.
Pertama kali melihat Misa adalah ketika di tahun pertama. Kami berbeda kelas, dan terimakasih aku ucapkan pada tupperware yang pada saat itu tertinggal dalam kelas, yang karenanya aku bisa bertemu dan berkenalan dengan Misa untuk pertama kali. Kelasnya berada di sebelah kelasku, dan ketika aku kembali ke kelas mengambil tupperware milikku aku mendengar bunyi gaduh di kelas sebelah, sekolah sudah usai dua jam yang lalu, dan tak ada kegiatan ekstrakurikuler di musim yang hujan bisa turun kapan saja waktu itu, jadi, rasa penasaran membuatku menengok isi kelas sebelah yang ternyata terdapat sosok Misa yang sedang memendam kesedihannya. Ia dengan susah payah menyeret meja dan kursi seorang diri sambil memegang sapu di tangan lainnya.
Wajah itu sudah cukup banyak menceritakan apapun, hingga tanpa kusadari kakiku ikut melangkah dan membantunya membersihkan seisi kelas yang entah bagaimana tampak tidak terawat. Kami saling diam, hanya bekerja, tak saling mengobrol. Kami masih saling asing pada waktu itu, namun aku mungkin saja berani membuat sebuah obrolan untuk saling mengakrabkan diri, hanya saja aku berpikir ia tak ingin masalahnya tercampuri. Yang bisa kulakukan hanya membantunya karena kepedulian, dan mengacuhkannya karena kebaikan.
Hanya setelah akrab, aku sedikit mengerti tentang situasi yang membuatnya membersihkan kelas sendirian saat itu. Teguran dari wali kelasnya tentang kelas yang kotor membuatnya mencoba sedikit bersikap tegas tentang jadwal piket yang tidak pernah dijalankan. Namun sialnya, anak yang piket pada hari itu merasa tidak adil karena pada hari-hari sebelumnya piket tidak pernah berjalan. Pada akhirnya kelas menjadi ribut dan penuh pertengkaran, dan yang bisa mereka salahkan hanya si ketua kelas dengan dalih kurang tegas dan lain sebagainya.
Bersama Aria, kami semakin akrab kian harinya meskipun tak ada satupun di kelasnya yang berkenan akrab dengan Misa. Sekarang, di tahun kedua, posisinya sebagai ketua kelas terulang sebagai de javu dengan latar belakang yang sama dan sikap kelas yang sama, bahkan Aria, aku tahu ia juga sangat keberatan ketika aku menghabiskan banyak waktu untuk membantu Misa seorang, kadang ia juga membantu, namun aku tahu pendapatnya tentang Misa, Aria mungkin bukan membenci Misa, hanya sekadar menganggap Misa sebagai orang ketiga dalam pertemanan kami.
Jam pertama, guru sedang cuti melahirkan, kegiatan di kelas hanya belajar mandiri, anak laki-laki beberapa sudah hilang entah kemana, mungkin juga bersembunyi di beberapa sudut sekolah untuk merokok atau bersenang-senang, sedangkan beberapa anak perempuan keluar mencari tempat menarik untuk selfie instagram mereka, tujuannya tentu mematenkan wajah cantik mereka ke dunia maya. Hanya hal tidak berguna yang mereka lakukan, laki-laki yang peduli gengsi namun pecundang dari tanggung jawab, juga perempuan jalang yang bersembunyi dibalik kedok suci, entah sejak kapan dunia muda di penuhi dengan hal-hal demikian.
Aku bukan seseorang yang layak untuk berpikir demikian, karena merasa bahagia hanya dengan ciuman begitu, tentu aku juga sama jalangnya seperti mereka. Namun aku berbeda, setidaknya aku mengambil semua tanggung jawabku, aku memberikan kehangatan kepada seseorang yang mereka tinggalkan bahkan meskipun mereka menyadari seseorang itu melakukan segalanya demi mereka, aku memberikan kebahagiaan kepada seseorang yang mereka pandang menyebalkan. Aku mengambil semua tanggung jawab di masa mudaku, begitu juga Misa, kami sama-sama berhak akan kebahagiaan kami.
Jemari lentik mulai kumainkan kembali, satu pertanda gelisah yang datang hanya dengan berpikir tentang macam-macam. Sudah 4 menit berlalu sejak Misa keluar setelah menjatuhkan polpen dengan sengaja, sebuah kode untuk bertemu di toilet perempuan, dan aturannya adalah aku akan keluar menyusulnya setelah 5 menit kode itu ditunjukkan.
5 menit berlalu, aku menghindari kecurigaan dengan berjalan sambil berpura-pura memegang perut bagian bawahku, sesuatu yang mungkin hanya diketahui seorang perempuan. Begitu aku berhasil memastikan semua aman, aku memeriksa kesiapanku menemui Misa. Rasa gelisah yang kurasakan saat menunggu tadi masih ada, namun tertutup rapat oleh kebahagiaan untuk berbicara dengannya berdua.
“… apa alasanmu menyukai sesama perempuan seperti sekarang?”
Terngiang lagi di kepala tentang pertanyaan Aria yang sempat ia tanyakan. Sampai saat ini aku juga belum yakin tentang jawabanku. Namun inilah perasaanku. Tentu aku juga ingin memiliki asmara yang normal dengan laki-laki, namun aku lebih memilih menipu gender dibanding menipu perasaanku, karena sekali aku menipu perasaanku, tak akan ada lagi yang tersisa untukku. Mungkin Tuhan-lah yang salah menciptakanku sebagai perempuan, atau salah menciptakan Misa sebagai perempuan. Mungkin juga takdirlah yang salah telah mempertemukan kami, membuat kami saling membukakan hati untuk masing-masing, dan menciptakan perasaan cinta ini pada kami. Yang pasti, adalah keputusan kami untuk melanjutkan kisah yang kami mulai, sampai suatu titik di mana kami harus menyerah menerima kekalahan dihadapan masyarakat yang maha benar melampaui Tuhan dengan segala cinta-Nya.
Aku masih mendengar jantungku gelisah, meski semua sudah kupersiapkan dengan benar….
Aku tidak memakai lipgloss hari ini, untuk memastikan tidak akan ada lemak lagi yang akan menumpuk di lengannya gara-gara berciuman denganku. Aku mengatur nafasku agar kacamatanya tidak berembun andaikan nanti ia menciumku. Aku sengaja tidak merapikan seragamku, agar ia tidak ragu untuk membuat seragamku kusut dengan pelukan eratnya. Aku tetap berjalan dengan pelan meski tidak sabar untuk menemuinya, menghindari keringat dan bau badan jika aku berlari. Tinggal beberapa langkah lagi….
Aku membuka pintu….
***
NB: dfsjub joj ejcvbu tfnbub cvlbm vouvl nfoevlvoh MHCT. Qbibnjmbi dfsjubmzb efohbo dfsnbu.