Dua tahun tidak pulang ke Indonesia membuat Azra sangat merindukan semuanya tentang Indonesia, entah itu suasananya, makanannya ataupun kebiasaannya. Dan hal yang paling ia rindukan ialah santri-santrinya di TPA, ia rindu mendengarkan lantunan ayat suci dari mereka. Azra memutar murathal di ponsel pintarnya, suara indah lantunan surah Al-Fath dari Muhammad Thaha al-Junayd bergema di telinganya, seketika otaknya merespon dan mengingat suara Azmi, iya lantunan ayat Al-Qur’an yang dibacakan Azmi sangat mirip dengan suara Muhammad Thaha. “Ya Allah mengapa aku masih memikirkan dia? Apakah benar ini yang orang katakan cinta? Setiap saat aku selalu memikirkan dia,” batin Azra.
“Aku tidak boleh memikirkan Azmi lagi, biar bagaimanapun aku harus belajar menghapus bayangan wajahnya dalam pikiran ku.” Pikirannya sangat kacau sehingga suara murathal yang ia putar sedikitpun tidak masuk ke dalam telinganya.
Sementara di ruang tamu ada suara ketukan pintu. “tok… tok.. tok… Assalaamu’alaikum”
Abi dan Umi yang kebetulan sedang menonton di ruang keluarga saling menatap satu sama lain, “siapa ya bi?” tanya Umi, “perasaan kita gak ada janji sama siapa-siapa malam ini,” lanjutnya.
“Entahlah mi? Udah buka aja dulu,” ujar Abi.
“Wa’alaykumussalaam, sebentar,” ujar Umi seraya berjalan menuju ruang tamu. Ketika membuka pintu ia melihat ada dua orang laki-laki dan satu perempuan di depan pintu. “Iya maaf, dengan siapa? Dan mau bertemu siapa ya?” tanya Umi.
“Siapa Mi?” Sahut Abi dari dalam seraya berjalan menuju ruang tamu. Saat sampai ia melihat ke arah pintu, matanya melihat Thamrin ayahnya Azmi. “Eh Pak Thamrin, masuk Pak,” ujar Abi.
“Terima kasih Pak Amron,”
“Oh, iya ini Pak Thamrin Mi, rekan kerja Abi,” ujarnya.
“Silakan duduk Pak Thamrin,” tawar Abi. “Oh, iya ini pasti Azmi putra tunggalmu yang sering kamu ceritakan itu kan!” tanya Abi.
“Iya Pak Amron, ini kebanggaanku Azmi.”
“Sebentar ya, saya buatkan minuman,” ujar Umi.
“Oh iya Pak Thamrin, ngomong-ngomong putramu ini usianya sama kan ya sama putriku Azra,” ujar Abi.
“Iya Pak Amron, Azmi cerita kalau dia satu sekolahan sama putri Pak Amron, dan dari ceritanya Azra itu siswi berprestasi ketika di sekolah dulu. Emang benar ya, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.” Puji Thamrin.
“Oh, iya sekarang nak Azmi sedang sibuk apa?” tanya Abi.
“Azmi mulai kerja di Perusahaan Papa om. Cari pengalaman om agar nanti bisa seperti Papa,” jelasnya.
“Bagus-bagus. Papamu ini pengusaha yang sangat hebat, kamu harus belajar banyak darinya.” Tutur Abi.
“Ah, Pak Amron bisa aja,” ujar Thamrin malu-malu.
Sementara itu Umi datang dengan membawakan minuman dan camilan di dalam nampannya. “Silakan dinikmati, Pak, Bu, Nak Azmi. Jangan malu-malu, hehe… Anggap saja rumah sendiri,” tawar Umi.
“Oh iya Azra nya mana Bu?” tanya Ibu Thamrin.
“Ada bu, di kamarnya. Sebentar ya, saya panggilkan.
***
Azra berjalan menuju meja belajarnya dan membuka buku diary nya, ia mulai menuliskan kisahnya.
Dear Bunny
Entah mengapa aku masih memikirkan dia, kamu tahu kan bunny siapa yang aku maksud? Iya kamu benar aku sedang membicarakan Azmi, menurutmu apakah aku sedang jatuh cinta padanya, atau aku hanya mengaguminya saja?. Entahlah aku tidak tahu kenapa aku selalu memikirkannya. Tapi bunny, cinta pada pria yang bukanlah suamiku tidak seharusnya aku lakukan, tapi kenapa hati ini sangat egois. Otakku menolak tapi hatiku tidak bisa, saat ini aku butuh kak Zakky. Aku ingin cerita padanya aku ingin bertanya pendapat darinya.
Kak Zakky aku kangen kakak, tapi sekarang aku nggak bisa lagi manja-manjaan sama kak Zakky. Biar bagaimanapun sekarang aku sudah tahu kita tidak ada hubungan darah sama sekali, akan terlihat aneh jika kita masih sering bersama. Dua tahun di Moskow tanpa komunikasi dengan kakak membuatku jadi wanita kuat, tapi jujur aku kesepian kak. Belum lagi pikiranku selalu dipenuhi dengan Azmi, kuliahku terganggu, hafalan qur’anku terganggu, bahkan jiwaku juga terganggu kak. Aku sangat menyukai dia meskipun aku sudah mendapati bahwa dia melakukan hal yang aku benci, tapi aku masih menyukainya.
Bunny sampaikan suara hatiku pada kak Zakky, agar setidaknya ia bisa dengar masalahku saat ini.
Belum selesai ia menuliskan diary nya tiba-tiba suara pintunya berbunyi. “Tok… tok… tok… Azra,” panggil umi.
“iya umi, sebentar,” jawabnya. Azra membuka pintu kamarnya, “ada apa umi?” tanya Azra.
“Ada tamu di depan sayang, temannya Abi. Pak Thamrin dan keluarganya sedang berkunjung ke sini. Kamu ke sana dulu ya temui mereka,” pinta umi.
“Oke Umi, bentar Azra pake jilbab dulu,” pinta Azra. “Yok Umi!” mereka berjalan menuju ruang tamu, diperjalanan Azra bertanya, “oh, iya Umi. Ngomong-ngomong Pak Thamrin itu temannya Abi yang mana ya? perasaan Abi belum pernah cerita, dan dari namanya jangan-jangan Pak Thamrin ini pemilik Perusahaan Thamrin Grup?” Tanya Azra penasaran.
“Ntahlah,” jawab Umi singkat.
Sampai di ruang tamu alangkah kagetnya Azra saat melihat disana ada Azmi, Iya Azmi orang yang selalu ada di dalam pikirannya, “Azmi!” ujarnya kaget.
“Azra kenal sama Azmi?” tanya Umi.
Azra hanya diam karena masih terkejut dengan kenyataan yang ia hadapi saat ini, ia bingung harus betbuat apa. Pikirannya kacau, “Ya Rabbi…. Baru saja aku memikirkan dia, dan berusaha untuk melupakan dia. Sekarang mengapa Engkau hadirkan dia di depan mataku,” bisik Azra dalam hati.
“Iya tante Azra dan Azmi satu sekolahan saat SMA dulu,” timpal Azmi.
“Ohhh… begitu ya, baguslah kalau kalian saling mengenal.” Ujar umi.
Azra masih dalam lamunannya, hingga akhirnya Umi menyenggol lengan Azra, Azrapun tersadar dan berjalan menuju Papa dan Mamanya Azmi kemudian mencium punggung telapak tangan mereka.
“Cantik ya Ma,” ujar Pak Thamrin pada istrinya.
“Iya Pa, wajar saja Azmi suka banget sama Azra,” bisik Bu Thamrin.
Pembicaraan mereka terdengar samar di telinga Azra membuat Azra jadi gugup dan pikirannya tidak tenang, “apa? Azmi suka padaku,” bantin Azra. “ Ya Rabbi apa yang harus aku lakukan? Dan ada apa mereka kesini?” tanya Azra.
“Oh iya Pak Amron, berhubung Azra sudah ada disini, dan kita semua sudah berkumpul, saya ada maksud yang ingin disampaikan kepada keluarga bapak,” ujar Pak Thamrin membuka pembicaraan menjadi serius.
“Wah, ada apa ini Pak? Sepertinya sangat serius.” Tanya Abi pada Pak Thamrin.
“Anak-anak kita sudah dewasa, dan sudah saling mengenal satu sama lain juga. Azmi juga sudah cerita banyak tentang Azra, jujur dari cerita Azmi kami sangat yakin kalau Azra merupakan anak yang baik apalagi kalau Azra merupakan didikan Pak Amron dan istri. Jadi, tujuan kami kemari adalah untuk meminang putri bapak Azra untuk putra kami Azmi,” tutur Pak Thamrin menyampaikan maksudnya.
Duaar…. Betapa terkejutnya Azra dengan apa yang ia dengar barusan, “apa Azmi melamarku? Apa aku tidak salah dengar? Tidak mungkin, mungkin aku salah dengar, mungkin ada masalah di telingaku. Ya Rabbi… bagaikan bom waktu, semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Aku tidak siap dengan kenyataan ini.” Batin Azra.
“Iya Pak, Bu dan Nak Azra. Azmi udah cerita semuanya ke saya, dan akhirnya meminta kami untuk menyampaikan maksudnya ke Nak Azra.” Tambah Ibu Thamrin.
“Saya tidak bisa menentukan untuk menerima atau tidak lamaran ini, semuanya saya serahkan kepada putri saya, saya sendiri sangat senang mendengar maksud dari keluarga bapak, mengingat keluarga kita sudah saling mengenal satu sama lain, namun yang menjalaninya nanti juga kan anak-anak ya Pak. Jadi, saya serahkan semuanya ke Azra,” ujar Abi.
“Benar Pak, anak-anak yang akan menjalaninya jadi biarkan mereka berdua yang akan ambil keputusan,” ujar Pak Thamrin.
“Oh, iya nak Azmi, udah siap lahir batin untuk meminang Azra? Sudah siap menerima semua kelebihan dan kekurangannya Azra?” tanya Abi.
“InsyaAllah siap Pak. Saya sudah pertimbangkan dengan matang sebelum mengambil keputusan ini,” jawab Azmi.
Sementara Azra masih diam terpaku tanpa bicara, hatinya masih belum bisa berdamai dengan bom waktu yang ia hadapi saat ini. Ia senang mendengar semua ini, sebab akhirnya cintanya terbalaskan. Namun disisi lain ada hal yang sampai detik ini belum bisa ia terima, “Ya Rabbi…. Ini semua terlalu cepat! Aku harus jawab apa?” rintihnya.
“Nak Azra, tidak perlu langsung dijawab sekarang, pertimbangkan baik-baik InsyaAllah Azmi siap menunggu jawaban dari Nak Azra. Iya kan Azmi?” tanya Pak Thamrin.
“Iya Pa, Azmi siap menunggu InsyaAllah,” jawabnya singkat.
“Om, Tante, Azmi. Jujur Azra sedikit kaget dengan lamaran ini, sebab Azra tidak menyangka akan datang lamaran secepat ini, dengan kondisi Azra baru saja menyelesaikan pendidikan Azra. Sebelumnya Azra mohon minta waktunya untuk mempertimbangkan semuanya. InsyaAllah dalam waktu 1 bulan Azra akan berikan jawabannya.” Jawab Azra sedikit gemetaran.
Disisi lain hatinya marah pada dirinya, “bodohnya dirimu Azra seharusnya kamu terima saja lamaran Azmi, kamu yakin dia akan menunggumu lagi? Waktu satu bulan bukanlah waktu yang singkat untuk menentukannya,” bisik suara hati Azra.
“Baiklah Azra, semoga jawabannya positif agar kita bisa jadi besan ya Pak Amron, hehe….” Canda Pak Thamrin.
“Aamiin…. Semoga apapun keputusan Azra adalah yang terbaik bagi mereka berdua dan bagi kita semuanya ya Pak.” Jawab Abi.
Kedua keluarga itu berbicara dan berbicang-bincang dimulai dari kisah kecilnya Azra dan Azmi, pekerjaan dan banyak hal yang mereka bicarakan, namun Azra masih dalam lamunannya, pikirannya masih bingung harus jawab apa nanti. “Satu bulan, apakah cukup bagiku untuk mempertimbangkan semuanya,” batin Azra.
Sementara Azmi sesekali melirik ke arah Azra “Ya Allah, apakah nantinya wanita di depanku ini akan menjadi pendamping hidupku. Jika iya, mudahkanlah, berikan kami jalan agar bisa bersatu dalam ikatan yang Engkau ridho-i. Aamiin,” batinnya.
***
MasyaAllah pengen deh jadi kayak Azra
Comment on chapter Ikhwan yang Bersuara Merdu