[Chapter 4: Limited Player]
Operan silang oleh seorang pemain Excalibur yang tak sempat Andreka batalkan, diterima seorang pemain yang membuat penjagaan Ivan tidak cukup berarti, sehingga operan diagonal tersampaikan kepada seorang pemain yang dekat dengan jangkauan penjagaan Wasik.
"Koordinasi yang tajam dan riskan, tapi mereka lakukan dengan akurat," Trea terkesima.
"Buru-buru kali kau!" Wasik menutup hadapan seorang pemain yang akan melepas tembakan. Lompatannya menaikkan tangan kanan memotong jarak pandang si penembak terhadap target terbidik.
"Lambat!" ejek si penembak, mengetahui tangan kanan Wasik memotong rute pelambungan bola dengan percuma.
"Alter!" dari high-post terdekat Andreka menyeru. "Itu aley-oop!" memperhatikan Arno bereaksi —dengan percepatan lari— terhadap tembakan tiga poin.
Alter melayangkan diri, berhadapan dengan posisi yang Arno perhitungkan di udara, sementara rute tembakan bola mengarah ke bank —atau papan ring— memantul ke arah tangkapan Arno.
"Alter pakai tangan kiri buat block, posisinya tepat," Trea menilai. Semangat yang tampak pada raut wajahnya turun. "Seandainya Alter menggandakan tenaga tangan kirinya sepuluh kali lipat."
Arno mendarat dengan tegak dihadapan Alter yang tersungkur ke belakang di bawah rim.
"Ini lebih seru dari tahun lalu," kata Arno. "Kalian sedikit beruntung, kartu as Excalibur belum siap turun di pertandingan ini." Lalu ia berbalik mengambil posisi.
Alter melihat sebelah tangan berkulit cokelat terulur padanya, warna kulit yang membuat empat huruf permanen terlihat keren pada lengan yang terbuka. Alter menggapainya, menegakkan diri. "Siapa yang dia maksud kartu as Excalibur?"
"Mungkin yang dia maksud si Tangan Legend." Wasik memberi operan mati kepada Alter.
"Si Tangan Legend?"
"Ya. Jangan dibayangin tangannya kayak apa. Singkirin dari konsentrasimu," kata Wasik sambil mencari posisi.
"Alter bikin tempo awal serangan lambat? Erh, itu berarti mancing lawan buat segera memusatkan penjagaan ke dirinya, double-team, triple-team, atau yang lebih nekat," Trea merisau.
"Dia lagi mikir," Bactio menyanggah.
"Momentumnya saat ini enggak tepat didesain buat mikir banyak. Ini momentum ketika situasi enggak akan sesimpel yang dipikirkan."
Arah Alter melarikan drible ke zona memastikan dirinya menghadapi satu penjagaan yang menyongsong dari arah kanannya.
"Enggak akan kayak gini." Alter melakukan kesinambungan variasi gerakan menyerang.
"Haha, itu gampang aja. Penjagaannya kalah canggih," Bactio terhibur.
"Apa pemain yang baru masuk itu mau diganti sebentar lagi?" Trea khawatir. Penglihatannya tertuju pada seorang pemain yang bangkit menegakkan diri. "Oh, belum."
Jangkauan penglihatan Alter ke depan mendapati Arno menjadi objek fokus. "Susah dihindarin. Baiklah."
"Alter mau balas dendam?" kata Bactio melihat Alter dan Arno mulai saling beradu satu lawan satu.
Trea menggunakan kamera genggam, mengaktifkan mode merekam. "Ini tentang keluwesan daya akselerasi dan akurasi determinasi gerakan. Satu kali aja ada gerakan yang lemah determinasi mau pun sedetik keraguan, akan sangat besar dampaknya buat ketahanan dalam satu lawan satu."
Antusiasme penonton dengan decakan yang bersahutan, tertuju pada Alter dan Arno yang masih beradu.
"Atmosfirnya bikin jantungku degdegan," Trea mengesan.
"Oh, ya? Kiraim atmosfir yang aku rasain dari kamu. Degdegan ini hampir bikin aku salah paham," akunya Bactio.
"Checkmate!" kata Alter di hadapan muka Arno, muka yang ia lihat sedang terbelalak sambil bergerak condong ke bawah searah postur tubuh yang jatuh, seraya paduan suara yang terdengar mengelilingi arena.
"Rekor sementara Alter memenangkan one on one dengan ankle break, sebelas detik," kata Trea.
"Ah, shit!" Alter menyadari dihadapkan tiga pilihan: melakukan tembakan dua poin dengan yakin dan segera, maju supaya lebih dekat dengan rim tapi perlu menghadapi dua penjagaan tersisa, atau mengoper secara diagonal ke kanan untuk memercayakan tiga poin dari tembakan Wasik sedang dalam penjagaan. Alter terkejut, bunyi peluit ia dengar.
"Referee time out! Extra time out enam puluh detik!"
"Extra time out?" gumam Andreka.
Alter membatalkan sikap menembak, berbalik badan. Ia lihat Arno menahan berat punggungnya dengan tangan kanan menyangga dasar court, sedangkan arah pandang kapten Excalibur itu tertuju pada sekitar pergelangan kaki kanan.
Alter menghampiri Arno yang merintih pelan. "Maaf. Kita sama-sama di luar kendali," sesalnya. Jawaban yang ia dapat dari Arno hanya tatapan mata yang menusuk.
"Alter!"
Merasa terpanggil, Alter menghadap seorang pria mengenakan kaos polo warna putih berlabel BSGE selain berkalung kartu identitas.
"Maaf, Alter. Dengan hormat dan menyesal, saya mewakili segenap EO, mulai saat ini, kami memasukkan kamu ke dalam daftar pemain terbatas."
Alter tercengang sebagaimana empat rekannya dalam arena.
"Peraturan khusus untuk kamu, selama kamu masih berkompetisi dalam event ini, kami memutuskan bahwa kamu hanya boleh bermain dalam satu quarter tanpa pengecualian."
Alter mendekat ke hadapan perangkat acara, menunjukkan keguncangannya. "Kenapa? Kenapa diadakan peraturan khusus buat saya dan mendadak?"
"Sudahkah kamu baca bab kewenangan pihak penyelenggara dalam kebijakan penyelenggaraan BSGE? Pengawas kompetisi berwenang membuat peraturan khusus terhadap pemain, tim dan setiap yang berkaitan dengan berlangsungnya acara ini."
Alter terdiam, keguncangannya belum habis.
"Kalau kami tidak membuat peraturan khusus buat kamu, alur kompetisi akan mudah ditebak. Di kompetisi kali ini, kamu bukan yang pertama dimasukkan dalam daftar pemain terbatas. Kami harap kemaklumannya, dan semoga kamu tidak terlalu kecewa." Lalu berbalik, melangkah keluar court dengan tidak peduli bagaimana pandangan Alter mengikuti punggungnya.
Ada tepukan pelan pada bahu kanan yang Alter rasakan.
"Jangan khawatir. Ini bukan masalah besar buat tim kita," kata Andreka yang mencontohkan tanda keberlapangan dada.
"Bisa kamu bantu jelasin? Aku masih gagal paham setengahnya."
"Dalam sejarah basketball, esensial mau pun fundamental, peraturan khusus akan berlaku pada setiap pemain yang dianggap terlalu dominan dalam pertandingan."
***
Di antara lima orang terhitung sedang berjalan menuju enterance yang terbuka di bawah ambang —tembok warna biru laut— berjudul "Water Park Batu Aji", Alter berjalan keluar sementara rambutnya yang kemerahan —dan sedikit terpapar sinar matahari— sedang terlihat basah. Beberapa blok air menempel pada sebagian kaos raglan dan celana panjang jogger yang ia kenakan, sedangkan jejak dari sepatu olahraganya tidak membekas dengan basah pada permukaan jalan. Ia melangkah sambil menempelkan gawai di telinga kanan.
"Em, aku habis dari kolam renang. Enggak renang juga, sih. Nyemplung aja." Alter bergeming kanan, melayangkan pandang ke area banyak motor dan keranjang dorong berjajar di bawah naungan yang menyatu dengan tembok bangunan bertingkat tiga. "Parkiran udah ramai, kayaknya udah buka. Kenapa?" Menjeda. "Nitip Belanja?" Mengalihkan pandangan ke depan. Melihat sepasang orang keluar lewat pintu kaca bersama satu keranjang dorong berisi —sepertinya— dua kantong plastik besar yang diduduki sebuah boneka anak panda. "Okay. Donat selusin aja, ya? Jangan nambah-nambah belanjaan lain yang berat." Memisah gawai dari telinga, mengantongi ke saku celana.
Alter menyeberang. Sebelah kanannya melalui parkiran kendaraan. Sedangkn sebelah kirinya melalui court basket dengan warna dasar hijau yang terlihat masih baru, sama barunya dengan warna cokelat papan rim tunggal yang terpasang. Perhatian Alter kini tertuju pada seorang laki-laki yang mencoba beberapa gerakan bermain dalam court basket. Laki-laki yang menyadari dirinya sedang diperhatikan, tiba-tiba saja ....
"Fuque!" Tangan kiri Alter refleks bereaksi mengantarai bola terhadap wajahnya. "Ergh!" Ia mengerang. Jemari tangannya menekan permukaan bola, menghambat kecepatan deviasi putarannya. Alter mengertakkan gigi dengan erat. Besarnya gaya yang dihasilkan oleh kombinasi kecepatan lempar dan putaran, memberatkan siku Alter menggerakkan lengan untuk menolak bola supaya lepas dari telapak tangan.
"Eeergh!" Alter mengerang lebih kuat, juga terdengar lebih menyakitkan. Rotasi putaran bola melambat. Kemudian berhenti, jatuh dari cengkeraman.
Detak jantung Alter masih berpacu dengan cepat, napasnya terengah, menatap laki-laki itu dengan tanda tanya membesar dalam kepala. Dilihatnya laki-laki itu tersenyum. "Apa-apaan, lu bangsat?"
"Maaf, aku cuma memastikan," jawabnya semakin membuat Alter kesal.
Alter memandang tangan kirinya yang menadah. Bagian kulit telapak dan beberapa ruas jemari ia dapati terkoyak dan berdarah. Mungkin akan lebih mengerikan dalam anggapan perempuan. "Ini?" Ia tunjukkan pada laki-laki itu.
"Bukan. Aku cuma memastikan siapa yang Arno bilang dengan pemain terbatas dari Antologia, yang gugurin Excalibur di final grup."
Atler setengah tidak mengerti. Ia memikirkan pengakuan laki-laki itu lebih dalam. Wasik muncul dalam ingatan, dan apa yang pernah dikatakan pada dirinya.
Alter mengambil bola yang telah bernoda bercak merah pada sebagian permukaannya, ia bawa masuk ke dalam court. "Diperlukan lima belas meter per detik, untuk membuat kecepatan lempar dengan deviasi putaran tiga puluh radian per detik, dari tenaga sebesar tiga ratus newton menjadi sekuat peluru. Sedangkan tenaga potensial dari kekuatan dua tangan seorang laki-laki, paling besar hanya mencapai seratus tujuh puluh newton. Kekuatan tanganmu sulit dipercaya. Jadi kamu, si Tangan Legend?"
Baru 2 chapter, udah suka. Jadi nostalgi. Keren Dhio, lanjut dongsss.... ^^
Comment on chapter Chapter 3: Excalibur