Pagi itu memang berbeda dari pagi lainnya. Tangisan awan hitam dan kejutan petir mengisi pagiku. ‘’Ah...hujan! apakah ini pertanda aku akan diserbu oleh kejadian–kejadian yang buruk ? ’’, pikirku dalam hati. ‘’ Harun...Harun...bangun lah. Melamun pula lah kau ,’’ teriak salah satu temanku dengan logat bataknya yang masih kental. Tanpa kusadari kamar yang banyak tempat tidur bertingkatnya bak penjara itu sudah kosong dan sepi. Langsung kulangkahkan kakiku ke ruang makan dengan tergesa-gesa.
Sepeti biasanya, aku duduk di kursi bertuliskan ‘’ HARUN ‘’yang terletak di sudut ruangan itu. Kulihat di depanku terdapat suatu piring kaleng persergi panjang berisi tahu dan tempe. Bagi kami, ini adalah makanan termahal dan terenak yang pernah kami konsumsi. Biasanya nasi dan minyak serta sedikit taburan garam menjadi sarapan kami.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kami semua bersiap menuju ke sekolah. Menurut kami, merasakan rasanya bersekolah merupakan suatu mutiara yang sangat sulit ditemukan di sebuah samudera yang sangat luas. Setelah semua sudah berkumpul, kami berangkat dengan perasaan senang yang tak tertandingi. Seperti biasanya, sebelum kami berangkat ke sekolah kami berteriak di depan sebuah pamflet besar , ‘’ Selamat tinggal Panti Asuhan Cinta....kami sekolah dulu ya....’’. Tak lupa juga, sebelum berangkat ke sekolah , kami menyalam Pak Dodi. ‘’ Pak Dodi ....kami pergi dulu ya...,’’ teriak kami semua. ‘’ Hati-hati di jalan ya.....Kalau nyebrang jangan lupa lihat-lihat mobilnya. Oh iya, jangan nakal ya di sekolah,’’ nasehat Pak Dodi. ‘’ Iya,’’ jawab kami dengan nada yang tidak meyakinkan. Pak Dodi itu memang sudah seperti orangtua kami. Walaupun Pak Dodi single parent , kami dapat merasakan kehangatan seorang ayah dan ibu dalam dirinya.
Langkah demi langkah kaki kami gerakkan menuju sekolah dengan harapan hari akan lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok akan lebih baik dari hari ini. ‘’ Mimpi adalah kunci...untuk kita menaklukkan dunia... berlarilah...tanpa lelah sampai engkau...meraihnya....laskar pelangi..takkan terikat waktu..bebaskan mimpimu di angkasa...warnai bintang di jiwa..’’ Lagu itu memang selalu kami kumandangkan setiap kali kami menuju sekolah. Anehnya, hari ini lagu itu tak terselesaikan. Seketika badan kami diam membatu melihat jembatan yang rebah tepat di depan mata kami.
‘’Gimana nih ..itukan satu-satunya jalan kita ke sekolah..,’’ keluh Rudi
‘’ panik kali pun kau!’’ sahut Ucok
‘’ Aih...padahal gue dah semangat banget mau sekolah,’’ kata Rini
‘’ lo pada punya ide kagak?’’ tanya Rina
‘’ Siapa bilang cuman itu jalan kita. Yuk..ikut aku,’’ jawabku
Tiba-tiba terlintas satu ide di pikiranku. Memang sih agak ekstrim, tapi mau tidak mau kami harus pergi ke sekolah. Sebenarnya aku ragu...tapi... harus! Kuajak mereka menyebrangi sungai itu. Memang iya baju kami basah, tapi semua itu lenyap dalam kesenangan.
Kesempatan bersekolah tidak kami sia-siakan. Walaupun dengan ruangan kelas yang sudah hampir runtuh, warna dinding yang sudah mulai buram, cahaya lampu yang redup, kursi kayu yang hanya memiliki tiga kaki, meja yang sudah keropos karena menjadi santapan rayap, papan tulis hitam yang mungil, kapur yang sudah sangat kecil, lantai masih berupa tanah, dan atap yang masih berupa pelepah pisang, kami tetap mengikuti pelajaran dengan baik.
Lembar demi lembar buku tulis yang terbuat dari olahan kotak telur dan padi itu sudah mulai habis ditulis dengan pensil yang sudah makin memendek. Dengan kondisi kapur yang kritis, mereka akhiri pembelajaran dengan latihan yang diberikan oleh Bu Siska.
‘’ Anak-anak, Ibu akan memberikan kalian latihan. Dikerjakan ya...’’
‘’ Iya Bu Siska,’’ teriak kami semua.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Kami masih mengerjakan latihan yang diberikan oleh Bu Siska . Walaupun sudah waktunya pulang, tapi kami mempunyai tekad untuk menyiapkan latihan ini sekarang juga. Tak terasa, detik berganti detik, detik menunggu menit pun tiba, menit terjatuh jam pun tiba untuk menolong. Ya, sudah satu jam kami mengerjakan latihan ini. Dan coba tebak, apakah kami sudah siap? Kalau sudah siap, apakah kami mendapatkan nilai yang sangat memuaskan? Ya, kami menyelesaikan tugas itu. Akhirnya target kami tercapai. Walaupun dengan nilai 50, kami tetap akan bekerja keras lagi. Bekerja keras adalah kunci kesuksesan seseorang. Kalimat itu akan menjadi pedoman hidup kami. Perlahan kaki ini keluar melalui pintu kelas. Tak lupa juga kami menyalam Bu Siska,’’ Terima kasih Bu Siska...kami pulang ya...’’.
‘’ Kita ke tempat biasa yok,’’ teriak Ucok
‘’Ayo...gue dah semangat banget nih,’’ seru Rina
‘’ Haha...iya, gue juga nih,’’ tawa Rini
‘’ Buruan .....,’’ kataku
‘’Aku gak ikut lah..nanti kalau ada apa-apa gimana? Mamaku nanti khawatir,’’ keluh Rudi
‘’Gak apa-apa kok...kita kan cuman mau bersantai aja..,’’ ucapku
‘’yaudah lah,’’ kata Rudi
Seperti biasanya, sepulang sekolah kami menuju surga tersembunyi di daerah Bogor ini. Angin yang menghembuskan napas dinginnya, pasir lembut nan halus yang lewat dari sela-sela jariku, air jernih yang menampakkan floran dan fauna indah didalamnya serta batu-batuan besar nan licin yang menjadi hiasan surga ini. Bagi kami, surga itu merupakan rumah kedua kami.
‘’ pulang yok, nanti Pak Dodi khawatir nih..,’’ ucap Ucok
‘’ Ayo...,’’ teriak kami semua
Langkah demi langkah kaki ini bergerak pulang ke Panti Asuhan. Mandi, berpakaian dan makan menjadi agenda kami berikutnya. ‘’Anak-anak...sudah waktunya makan. Makan yuk,’’ ajak Pak Dodi. ‘’ Iya Pak Dodi,’’ jawab kami.
Saat suapan pertama perlahan mendekati pagar mulutku, terdengar suara klakson mobil di depan teras. Dengan cepat Pak Dodi beranjak dari kursinya ke pintu depan. Kami semua mengintip dari balik pintu dapur.
‘’Assalamu’alaikum...,’’ kata seorang wanita berbaju ungu
‘’Wa’alaikumsalam...,’’jawab Pak Dodi
‘’Permisi Pak, kami mau...,’’ kata seorang pria dengan jas berwarna putih
Seketika sepasang suami istri itu melihat kami sebelum melanjutkan percakapannya. Tanpa berkata apapun lagi, kami semua memalingkan wajah.
‘’Kira-kira apa yang terjadi ya ?’’ tanya Rudi
‘’Gue harap gak ada masalah..,’’ kata Rina
‘’Gue juga Rina..,’’ jawab Rini
‘’Husshhh....ada yang datang tuh...diam!’’ suruhku
Datang seorang pria yang kurasa sudah tak asing kulihat. Rambutnya yang berombak, kulitnya yang sawo matang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tebal, dan tubuhnya yang tinggi. ‘’Harun....kesini nak,’’ ajak Pak Dodi. ‘’Ah..Pak Dodi..kupikir siapa...,’’ kataku dengan perasaan yang melegakan. Kuikuti Pak Dodi ke kantornya. Tampak seorang wanita berbaju ungu dan seorang pria dengan jas berwarna putih. Mereka tampak seperti sepasang suami istri.
‘’Apakah ini yang namanya Harun ?’’ tanya wanita itu
‘’Iya,’’ jawab Pak Dodi
‘’Nama saya adalah Bobi dan yang ada disamping saya adalah Siska. Kamu bisa manggil kami Ayah dan Ibu, karena....,’’ kata pria itu kepadaku
‘’Dodi...Bapak Bobi dan Ibu Siska ini sudah menjadi sepasang suami istri selama 5 tahun. Sampai sekarang, mereka juga belum dikaruniai seorang anak. Jadi, mereka ingin mengadopsi kamu,’’ kata Pak Dodi
Seketika badanku menjadi kaku. Aku tidak tahu wajah apa yang akan kupasang. Apakah sedih? Senang? Atau marah? Pertanyaan itu terus mengusik benakku. Kulihat kebelakang, tampak seluruh teman-temanku mematung dengan wajah yang sangat sedih. Apakah ini pertanda, aku akan meninggalkan Panti Asuhan ini? Apakah aku akan meninggalkan Rudi, orang yang selalu panik dan risau; Rina dan Rini, dua orang perempuan kembar identik yang masih kental logat Jakartanya; Ucok, orang yang masih kental logat bataknya. Mereka adalah teman terbaikku, walaupun masih banyak teman yang lain di Panti Asuhan ini.
Semua bajuku sudah dirapikan Pak Dodi.’’Selamat ya Harun.... sekarang kamu sudah punya orantua angkat,’’ ucap Pak Dodi. Selamat? Apakah itu pertanda baik? Berarti aku harus bahagia dong. Tetapi, kenapa teman-temanku sedih? Kulihat Bapak Bobi dan Ibu Siska sedah menungguku di depan pintu. Perlahan kaki yang lemas ini bergerak ke pintu.
Kulihat sebuah mobil merah berkilau tepat dihadapanku. ‘’ Wahh...mobilnya cantik kali. Apakah aku akan menaiki ini? Enaknya...berarti aku harus masang wajah senang dong,’’ ucapku dalam hati. Kupasang wajah senang dan ternyata tetap dibalas oleh wajah sedih teman-temanku. ‘’ Coba kupasang wajah sedih deh. Kan wajah senang dibalas wajah sedih, mungkin wajah sedih akan dibalas wajah senang. Coba dulu deh,’’ ucapku dalam hati. Kupasang wajah sedih dan ternyata dibalas oleh tangisan kuat teman-temanku.’’ Yah..mereka malah nangis...kalau gitu masang wajah apa ya?’’ tanyaku dalam hati. Tak sempat lagi kuubah wajahku, karena mobil merah ini sudah bergerak menjauhi Panti Asuhan. Berarti, wajah sedih lah yang kuhadiahkan saat perpisahan dengan teman-temanku.
Selama perjalanan, tidak ada hal yang terlalu serius dibicarakan. Apakah kamu sudah makan? Lauknya apa? Apakah kamu tidur nyenyak? Semua pertanyaan itu mengisi perjalanan kami. Perlahan mobil ini berhenti di depan sebuah rumah besar nan megah. keramik marmer yang beragam, kaca yang menjadi pusat perhatian, bagasi mobil yang tertata rapi serta taman hijau yang menjernihkan mata menjadi maskot rumah ini.
‘’Ayo..silahkan masuh Harun..,’’ ajak Pak Bobi
‘’Sekarang rumah ini sudah milik kamu juga..,’’ ucap Ibu Siska
‘’Iya...,’’jawabku dengan semangat
Perlahan kumasuki rumah itu, sofa yang tampak lembut, meja kaca yang bertabur emas, wallpaper putih yang mewah, dan bunga mawar merah yang mencolok menjadi pandangan pertama di rumah itu. Menjadi anak angkat seseorang yang kaya raya menjadi mimpi dari banyak anak yang tinggal di Panti Asuhan. Kurasa aku adalah anak yang sangat beruntung.
‘’ Harun!!’’ teriak Bu Siska dengan suara nyaringnya. ‘’Kenapa bu?’’ tanyaku. ‘’Kalau dah siap mengelilingi rumah ini, jangan lupa disapu dan dipel ya...bantuin Bibi Rita. Kalau dah siap nyapu dan ngepel, jangan lupa cuci piring dan masak ya...katanya masakan kamu enak ya..,’’ ucap Bu Siska. ‘’ Lho.. saya kan anak angkat Ibu bukan pembantu di rumah ini...,’’ keluhku. ‘’Itu kan tadi. Supaya memberikan kesan yang baik, kami kan memang harus bersikap baik dulu. Tapi kan tujuan utama kami bukan itu. Kami kekurangan tenaga kerja di rumah ini. Daripada bayar gaji seorang pembantu lebih baik kami mengambil orang seperti kamu di Panti Asuhan. Hemat uang, rumah bersih. Hahaha ...,’’ tawanya. Aku hanya dapat diam dan meratapi hidupku ini.
‘’Biarlah aku akan menjadi pembantu, minimal aku tidur di tempat tidur yang empuk serta bantal dan guling yang lembut,’’ kataku dalam hati. Semoga harapan terakhir ini akan terwujud. Perlahan kakiku mendekati kamar yang akan kutiduri. Kubuka pintu kayu itu dengan perlahan. Seketika badanku melemas dan kaki ini rasanya sudah tidak sanggup menopang badanku. Hadi sudah harapanku. Mungkin sudah takdirku tinggal di sebuah kamar kecil yang berisi barang-barang bekas. Mungkin bukan sebuah kamar tetapi lebih cocok dinamakan sebuah gudang. Kuakhiri perjalanan hidup hari ini dengan ditemani oleh laba-laba, tikus, cicak, kecoa, barang-barang bekas, serta debu-debu yang berterbangan.
Matahari memamerkan pesonanya, burung-burung juga memamerkan nyanyiannya dan aku hanya dapat memamerkan kisah hidup yang mengerikan ini. Menjadi seorang pembantu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tetapi dengan adanya bantuan dari Bibi Rita, pekerjaan ini tidak terasa sulit. Walaupun sudah tua, Bibi Rita masih dapat mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik.
‘’ Berapa umur Bibi ?’’ tanyaku
‘’ 67 tahun nak..,’’ jawab Bibi Rita
‘’Bibi sudah punya anak?’’ tanyaku
‘’ Sudah nak..,’’ jawabnya
‘’Kenapa Bibi tinggal disini? kan anak Bibi ada..,’’tanyaku
‘’Bibi tak sanggup membiayai hidupnya nak..,’’ jawabnya
‘’Jadi anaknya gimana?’’ tanyaku penasaran
‘’Udah kerja aja dulu.Nanti lagi ceritanya,’’ jawabnya dengan mata berkaca
Setelah beberapa hari aku bekerja di rumah ini, Bibi Rita selalu memandangi sebuah foto yang tampak sudah tua. Dan anehnya lagi, Bibi Rita selalu melihatnya ketika dia merasa sangat lelah. ‘’Bibi...itu foto siapa?’’ tanyaku penasaran. ‘’ Oh..ini foto anak Bibi,’’ jawabnya dengan senang. Kulihat foto anak Bibi Rita yang perlahan bergerak dari tangannya ke tanganku ini. Tetes demi tetes air mata membasahi pipiku. Perlahan bibirku bergerak terbata-bata mengucapkan,’’Iiii....Buuu...’’. Kukeluarkan sebuah foto dari kantong celanaku. ‘’Ini fotoku saat aku kecil. Foto ini diberikan oleh Pak Dodi,’’ kataku sambil menangis. ‘’ Anakku....maafkan Ibu nak...,’’ tangis Bibi Rita. Ternyata Bibi Rita adalah ibu kandungku.
Entah berapa kali matahari sudah bertukar posisi dengan bulan. Ibu kandungku dan juga aku sudah tidak bekerja di rumah Ibu Siska lagi. Dan yang lebih baiknya, sekarang kami sudah membuka warung kecil untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kami . Saat melahirkanku, Ibu kandungku dan Ayah kandungku mempunyai rumah yang tidak terlalu besar tetapi cukup untuk melindungi satu orang anak yaitu aku. Saat umurku genap 2 tahun, Ayahku meninggal dan Ibuku tidak mempunyai uang untuk membiayai hidupku. Karena tidak memiliki uang, aku dititipkan di Panti Asuhan Cinta. Sekarang kami hidup bahagia sambil disaksikan oleh matahari dan bulan yang tak pernah absen memantau perjakanan hidup kami. Mungkin ini sudah takdirku. Memiliki Ibu kandung yang tidak dapat membiayaiku sehingga aku dititipkan di Panti Asuhan Cinta. Aku diadopsi oleh sepasang suami istri yang kaya raya. Kukira aku anak angkat mereka, tetapi kenyataannya tidak. Mereka menjadikanku seorang pembantu. Ternyata, seorang pembantu yang juga bekerja sebagai pembantu di rumah itu adalah Ibu Kandungku, Bibi Rita. Itulah takdirku!
Nice!!