Selamat membaca 😄
----------
Malam hari tampak sedikit ramai dengan para pekerja, baik kantoran maupun harian lepas. Lalu-lalang kendaraan umum yang menarik penumpang. Pasalnya, kendaraan umum sudah menjadi sarana transportasi yang mudah dijangkau. Tak sedikit juga dari mereka yang menggunakan sepeda atau jalan kaki.
Rin merupakan salah satu di antara mereka. Dia mengayuh sambil menikmati udara malam yang menenangkan. Telinganya dipasang headset untuk mendengarkan lagu yang sedang diputar.
Setelah membeli makan malam dan mencetak foto yang diambil tadi siang, Rin memilih pulang. Dia tidak ingin membuat ibunya khawatir dan menunggu lebih lama.
Tiga puluh menit menempuh perjalanan, Rin tiba di rumahnya yang kecil dan sederhana. Hanya terdapat ruang keluarga, satu kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Meskipun begitu, rumah ini menyimpan banyak kenangan. Apalagi kenangan bersama mendiang sang ayah.
Rin menggeleng-geleng dan menghapus air matanya. Dia berusaha tidak memikirkan hal itu. Rin sudah berjanji bahwa dia harus menjadi perempuan yang kuat dan membagiakan orang tuanya.
Pintu terbuka bersamaan dengan bunyi lonceng yang menggantung di atas pintu. Rin tidak menemukan ibunya. Biasanya, sang ibu duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
"Mungkin Okasan sudah tidur," gumam Rin yakin dan menepis perasaannya yang sedari tadi cemas.
Ketika ia membuka pintu kamar mandi, Rin dikejutkan dengan pemandangan tak terduga. Pemandangan yang membuat Rin bagai dicambuk sebanyak seratus kali.
"Okasan!" teriak Rin lalu meraih tubuh ibunya yang dingin dan muka yang sudah memucat. Rin berusaha membangunkan sang ibu. Namun, tak berhasil.
Tanpa pikir panjang, Rin menggendong ibunya dan berlari keluar rumah. Bermaksud meminta tolong kepada para tetangga.
Reaksi dari tetangga ternyata berbeda jauh dari pikiran Rin. Berbagai penolakan halus yang mereka lontarkan, seperti mengantuk, lelah dan sebagainya. Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain. Rin membawa ibunya ke rumah sakit sendirian.
Perempuan itu menggendong sang ibu di punggungnya. Dengan langkah tertatih, Rin berusaha sekuat tenaga. Dia tak memikirkan kondisi perutnya yang sedikit perih akibat belum makan malam.
"Tuhan, beri aku kekuatan untuk membawa Okasan ke rumah sakit. Selamatkan nyawanya. Aku tidak ingin kehilangannya," batin Rin dengan air mata yang keluar deras.
Tin!
Rin terlonjak kaget saat suara klakson mengarah padanya. Mobil siapakah itu? Apa dia akan menolong Rin? Semoga saja begitu.
Mobil itu berhenti dan sang pemiliknya keluar. Rin tersenyum tipis ketika melihat Ken yang turun dari mobil.
"Rin? Mengapa kau di sini? Apa yang terjadi pada ibumu?" tanya Ken beruntun. "Naiklah ke mobilku. Ibumu harus secepatnya mendapat pertolongan," tawar Ken lalu menuntun Rin ke dalam mobil Ken. Setelah semuanya siap, Ken melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Di pangkuan Rin, sang ibu masih memejamkan mata. Tidak henti-hentinya, Rin berdoa kepada tuhan agar ibunya bisa diselamatkan.
*****
Butuh waktu 15 menit untuk tiba di rumah sakit. Setelah mengurus administrasi, dokter dan beberapa suster langsung bertindak. Bau obat-obatan dan cairan kimia tercium kuat dari ruang tindakan.
"Kalian tunggu di luar. Biar kami dan dokter yang menangani," ucap salah satu suster berambut blonde ketika Rin memaksakan diri masuk ke dalam.
Akhirnya, mereka berdua duduk di kursi sebelah ruang tindakan. Ken bisa melihat ada rasa cemas dan khawatir di mata Rin. Sementara Rin masih berkutat dengan perasaannya dan tak menyadari bahwa Ken sedang memperhatikannya.
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Ken membuka pembicaraan.
"Aku tidak tahu. Ketika aku tiba di rumah, Okasan sudah seperti ini," jawab Rin terbata-bata.
Ken mengangguk-angguk sebagai respon. Sebenarnya, dia ingin memeluk Rin. Hanya saja, Ken tidak kuasa untuk melakukannya. Hubungan mereka tidak lebih dari teman biasa. Tidak ada di antara mereka yang saling bicara hingga sang dokter keluar dari ruangan.
"Bagaimana kondisi Okasan, Dok?" tanya Rin cepat dan lugas seperti wartawan.
"Untuk saat ini, saya belum bisa mendiagnosis lebih lanjut. Kita tunggu hasil tes laboratorium yang akan keluar esok hari. Pasien sudah bisa dijenguk sekarang," jelas sang dokter lalu meninggalkan mereka.
Segera, Rin menyerobot masuk ke dalam dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya pilu melihat sang ibu terbaring lemah dengan infus yang tertancap. Wajah keriputnya memang pucat. Namun, ketenangan hadir di dalamnya.
Ken merasa iba dengan apa yang dialami Rin dan ibunya. Seandainya dirinya ada di posisi Rin, Ken tidak tahu apakah bisa bertahan. Tanpa sadar, air matanya jatuh setetes. Ken langsung menghapusnya agar tidak ada yang melihat.
Pintu terbuka dan Rin menampilkan senyum kecil andalannya. Ken takjub dengan perubahan raut muka Rin yang berubah drastis.
"Arigatou gozaimasu, Ken. Kau memang laki-laki yang baik. Entah ini sudah keberapa kali kamu menolongku. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk membalasnya. Sekali lagi, arigatou gozaimasu.
Maaf, lebih baik kau pulang saja. Ini sudah malam dan orang tuamu pasti khawatir. Aku bisa sendiri menemani ibu. Jangan khawatir padaku."
Ken menatap Rin ragu. "Apa kau yakin?"
Rin mengangguk mantap sebagai jawabannya. Dia tidak ingin membuat repot orang lain. Sudah cukup sang ibu yang repot mengurus dirinya.
"Baiklah, aku pamit pulang. Jaga kesehatan dirimu, jangan sampai sakit. Ja mata ashita," pamit Ken lalu meninggalkan Rin dengan terpaksa. Meski, dia ingin menemani Rin.
Rin menatap kepergian Ken dengan tatapan sendu. Dalam hatinya, dia ingin Ken di sini dan menemaninya. Namun, Rin tidak boleh egois. Orang tua Ken pasti khawatir dengan anaknya yang tak kunjung pulang. Dengan langkah berat, Rin memilih pergi ke kantin untuk membeli makan malam.
*****
Sinar mentari memasuki jendela dan membuat Rin terbangun. Dia mengucek matanya sambil menghampiri ibunya. Dikecup kening ibunya dengan penuh kasih sayang.
"Okasan, cepat bangun. Rin kangen sama candaan Okasan. Melihat Okasan seperti ini membuatku kesepian."
Pintu terbuka menampilkan seorang suster bertubuh ramping dibalik baju putihnya. Tangannya membawa infus dan berbagai obat berbentuk botol kecil. Dia sempat tersenyum kecil.
"Ohayou gozaimasu, Shimai. Mau mengganti infus Okasan, ya?" sapa Rin sambil membungkuk sebentar.
"Ohayou gozaimasu. Iya, infusnya mau habis," balas si suster ber-name tag Aira. Tangannya bergerak mengganti infus dan menyuntikkan obat yang tidak diketahui namanya oleh Rin.
Setelah melakukan pekerjaannya, Aira pamit undur diri. Tak lama, dokter yang menangani sang ibu datang dan meminta Rin datang ke ruangannya.
"Bagaimana kondisi Okasan, Dok?" tanya Rin ketika dirinya sampai di sana dan dipersilakan duduk.
Sang dokter tak langsung menjawab. Beliau mengeluarkan amplop yang merupakan hasil tes lab lalu membukanya. Begitu mengetahui hasilnya, sang dokter manggut-manggut mengerti.
Perasaan Rin campur aduk tak karuan. Dia takut penyakit ibunya tergolong parah dan membutuhkan biaya yang besar untuk pengobatan. Apalagi dengan pekerjaan Rin sebagai pelayan. Penghasilan tak seberapa dan hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sekolah.
Sang dokter menatap Rin. "Apakah beliau sering mengeluhkan sakit pada pinggangnya?"
Rin tampak berpikir sejenak. "Saya tidak tahu. Selama ini, Ibu tidak pernah mengeluh apapun. Pagi hari, saya bersekolah dan sorenya bekerja. Akhir pekan, saya juga bekerja. Jadi, saya jarang di rumah dan kurang memantau kesehatannya. Memangnya kenapa, Dok?"
"Pasien menderita gagal ginjal," jawab sang dokter yang membuat Rin tertampar. Ternyata, ibunya sakit separah itu dan beribu sayang, Rin tidak mengetahui apapun.
Perempuan itu masih terdiam. Perasaan bersalah mulai menghampirinya. Dia merasa berdosa karena gagal merawat sang ibu. Air mata yang sempat tertahan, kini tak terbendung lagi.
"Gomen na, Okasan. Gomen," batin Rin berteriak keras.
~~~~~~~~~~
*Obasan : bibi
*Ja mata ashita : sampai bertemu besok
*Ohayou gozaimasu : selamat pagi (formal)
*Shimai : suster
Like juga yah "Popo Radio"
Comment on chapter PRAKATAhttps://tinlit.com/story_info/3023