Langit di hari selasa ini sedang berkabung, bahkan cahaya matahari pun tak tampak dibuatnya. Butiran-butiran air menetes menyapa bumi, pemandangan itu dipercantik dengan sepasang muda-mudi yang berlari menerobos derasnya air hujan.
Aku pun ikut berlari. Bukan karena takut pak Hadi akan menghukumku ataupun takut seragam olahragaku terkena hujan, tapi karena aku takut gadisku terluka sebab terkena tetesan air hujan yang jatuh bertubi-tubi.
Ketika sampai di kelas, seperti biasa pak Hadi sudah memulai pelajaran nya. Untunglah pelajaran olahraga kali ini di laksanakan di dalam kelas.
"Assalamu'alaikum pak Hadi" Sapaku yang berjalan menghampiri guru olahraga itu.
Pak Hadi menoleh kearahku, dia mulai mengumpulkan seluruh nafasnya agar terpusat pada kerongkongan nya. Aku yakin dia tengah mengambil ancang-ancang bersiap untuk berteriak kepadaku "Alvaro Marcello Anindito!! Ka-"
"Saya telat lagi yah pak?" Aku menyela sembari menundukkan wajahku, berharap guru itu tidak melantunkan sumpah serapahnya.
Setelah leherku terasa pegal karena harus berpura-pura merasa menyesal, aku mendongak menatap pak Hadi dengan disertai senyuman manis.
"Bapak mau kasih saya hukuman apa pak?...saya akan melaksanakan nya dengan senang hati" Sambungku dengan begitu antusias, yang membuat pak Hadi kebingungan sendiri.
"Duduklah" Ucap pak Hadi.
Sekarang aku menjadi sangat yakin jika guru yang satu itu memang sungguh bermasalah denganku. Di saat aku mempersilahkannya menghukumku, dia malah berbaik hati menyuruhku untuk duduk. Dia memang selalu berusaha untuk tidak mengikuti keinginanku, padahal hari ini aku sednag bersemangat untuk menerima sebuah hukuman.
"Ngga bisa gitu dong pak! saya telat jadi saya harus dihukum" Protesku, masih dengan cengiran bodohku.
Memang ketika kita sedang jatuh cinta, dunia pun terbalik dibuatnya.
Pak Hadi berkacak pinggang, mungkin emosinya sudah memuncak karena menghadapiku "Kamu ini pengen banget saya hukum?"
"Saya ini udah menawarkan diri loh pak, yakin nih mau di sia-sia'in?" Ucapku sembari manaik turunkan alisku.
"Duduk!" Geram pak Hadi.
Aku pun melangkah dengan senang hati menuju ke tempat duduk ku sambil bernyanyi lagu Bazzi dengan judul Beautiful.
'Hei...beautiful, beautiful, beautiful, beautiful angel...
Love your imperfections, every angle...
Tomorrow comes and goes before you know...
So I just had to let you know'
Sebelum aku duduk di kursiku, kusempatkan menghampiri Azza sejenak, untuk mengisi protein cintaku.
"Maaf, kali ini aku sapanya pakai lagu barat dulu, nanti kapan-kapan aku nyanyiin lagu Korea kesukaan kamu deh". Bisikku tepat di telinga Azza, untung saja tidak ada yang memperhatikan kami, kecuali pak Hadi yang menatapku dengan tatapan keheranan.
"Kamu sebulan ini kemana saja Alvaro?"
Memang guru satu itu selalu saja ingin tahu tentangku, mungkinkah dia salah satu dari fansku?.
"Ecieee...bapak kepoin saya ternyata. tapi maaf nih pak, saya ngga bisa cerita karena ini masalah keluarga saya. Cewek saya aja ngga mau ikut campur" Ucapku yang sudah duduk di singgasanaku.
Aku melirik ke arah Azza yang telah memalingkan wajahnya, Bertingkah seolah sibuk berbicara dengan Aura.
"Kamu ini memang cocok jadi anak bully'an yah?" Ucap pak Hadi.
"Bukan pak, saya anak dari Anindito yang berasal dari Jawa dan Annie Marcello yang berasal dari Perancis pak. Maka nya nama saya Alvaro Marcello Anindito, kalau bully'an ngga kenal saya pak. Mungkin kalau bapak ada waktu boleh tuh kenalin ke saya." Sanggahku. Hari ini moodku sedang bagus, sehingga selera humorku se-receh itu.
Aku melirik lagi ke arah Azza yang menatapku dengan tatapan sulit di artikan.
"Apakah dia cemburu karena gue minta di kenalin sama Bully'an? Gue bingung, bully'an itu siapa sih! Sampai cewek gue cemburu begitu" Batinku.
"Eh tapi kalau dia itu cewek seumuran saya, ngga jadi deh pak. Mata saya udah buta ngga bisa lihat cewek lainnya, selain cewek saya" Ucapku yang membuat pak Hadi tambah geram.
"Kamu ini tidak ada rasa hormatnya pada saya yah, kamu mau kalau sampai teman-temanmu menganggap kamu buruk karena kamu melawan saya?"
Aku mengedarkan pandanganku ke setiap penjuru kelas, kulihat mereka semua menatapku. Namun, aku hanya tersenyum.
"Ck! Sudah saya duga kamu takut" Ucap pak Hadi sembari tersenyum miring.
"Ngga usah menduga-duga deh pak. Sekarang saya ngga perduli lagi apa pendapat orang tentang saya, karena sekarang saya udah cukup mikirin satu pendapat aja pak. Dan itu dari bidadari surga saya pak" Ucapku sembari melirik ke arah Azza yang kini sudah menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangan nya.
"Sombhong sekali kamu! seperti sudah tidak jomblo saja" Ucapnya merendahkanku lagi.
"Saya memang sudah tidak jomblo. bersyukurlah pak, karena saingan bapak jadi berkurang. Karena saya sudah terpaku pada satu orang cewek pak" ucapku dengan begitu bangga.
"Saya kok kurang percaya yah. Bagaimana ciri-cirinya?" Tanya dia penasaran.
"Bilang aja bapak kepo sama percintaan saya. Tapi berhubung saya lagi bahagia jadi boleh lah saya kasih tahu dikit...Dia itu cewek, punya sepasang kaki dan tangan, dia bernafas menggunakan paru-paru dan dia juga... " Ucapku menggantung, membuat semua orang yang terdapat dikelas gemas sendiri ingin tahu kelanjutannya.
"Berjalan menggunakan kedua kaki nya loh pak" Lanjutku yang membuat mereka membuang nafas nya. Apakah mereka menahan nafas selama aku menggantung perkataanku?.
"Minta diajar yah kamu! Lebih spesifik dong" Aku jadi bingung sendiri sebenarnya guru itu tingkat kemarahan dan penasarannya mana yang lebih tinggi sih?
"Azza pak" Semua terkejut menatapku, Azza juga menatapku mengisyaratkan 'Jangan'
"Contohnya pak" Sambungku yang membuat semua bernafas lega, entah mengapa mereka suka sekali menahan nafas.
Aku mendorong kursiku kebelakang, memberi ruang agar aku dapat berdiri dengan tegak.
"Pengumuman!! Karena gue baru jadian, kalian gue traktir nonton bioskop di The Greatest Mall pulang sekolah ini. Tapi film nya harus sesuai pilihan gue yah" Ucapku setelah berdiri tegak.
Pak Hadi berjalan menghampiriku dengan langkah gemulay ciri khasnya. "Bapak boleh ikut ngga?"
Aku menoleh kearahnya "Boleh pak, saya ngga akan jadi miskin juga cuma karena bapak ikut ke bioskop".
***
Sepulang sekolah kelasku berencana untuk melakukan konfoi menuju The Greatest Mall, agar kami dapat sampai kesana secara bersamaan. Dan sekalian memastikan bahwa semua siswa dan siswi mendapatkan tumpangan.
"Za yuk, kamu sama Aura naik mobil aku aja. Nurul sama Salma kan udah naik motor"
"Iya" Sesingkat itu jawaban Azza, bahkan dia tak menatapku sama sekali. Aku memang seharusnya tidak berharap lebih pada seorang Azzalea Tiffany Anhakar. Meskipun kemarin dia begitu ceria dan manja kepadaku, tapi menampilkan kmesraan didepan publik bukanlah sifatnya.
Kami masuk ke dalam mobilku, memposisikan diri senyaman dan seaman mungkin.
Aku mengalihkan pandanganku dari Azza menuju Aura yang duduk di kursi belakang. "Ra, lo ngga masalahkan duduk dibelakang sama Dika?"
"Ngga. Udah biasa saya duduk sama Dika, cuma demi kemodusan kamu doang Al" ucap Aura dengan santainya, dia memang se-cuek itu.
"Nah, Fakta banget tuh" Ucap Dika yang baru saja masuk ke dalam mobil.
"Kita mah kan perkumpulan sahabat yang terbuang yah" Lanjut Dika, meminta persetujuan pada Aura.
"Bagus deh kalau sadar" Ucapku yang diakhiri dengan tawa sinis.
"Varooo" Azza memperingatiku dengan suara yang penuh penekanan beserta tatapan tajamnya.
"Maaf bebebnya Varo" Ucapku sembari tersenyum gemas. Sedangkan penumpang di belakangku sudah menahan muntahan mereka.
Setelah 30 menit perjalanan kami sampai ke tempat tujuan kami, para siswa dan siswi kelas kami sudah menanti didepan pintu masuk ke bioskop.
Ternyata para penikmat gratisan tahu diri juga
Aku masuk duluan dan menuju ke loket pembelian tiket, aku membeli 38 tiket film horror di satu studio yang sama. Untunglah jam tayangnya tidak membuat kami menunggu.
Kami memasuki studio 2. Baru memasukinya saja sudah terasa aura yang berbeda, aura mencekam yang kental akan suasana kemistisan.
Sesungguhnya aku adalah seorang penakut, tapi mau bagaimana lagi. Kata papiku film yang sangat menguntungkan di tonton saat sedang berkencan adalah film horror. Jadilah aku mengikuti saran dari sang ahli.
Setelah kami mendapat tempat duduk, lampu bioskop dimatikan. Dan film itu langsung diputar.
Aku sudah keringat dingin karena takut. Kulirik Azza yang dengan santainya menikmati film horror dengan hantu yang selalu cari perhatian. Muncul kok tiba-tiba.
"Za, aku mau pipis" ucapku memelas.
Azza menoleh kearahku keheranan. "kenapa bilang ke aku? Sana ke toilet, jangan ditahan nanti jadi penyakit"
"Yaudah yuk" ajakku lagi sembari menguncangkan lengannya yang tengah aku genggam.
"Jangan sama aku lah, ajak Dika aja" ucapnya tanpa menoleh kearahku.
"Kamu gitu banget, ternyata film lebih penting daripada aku" ucapku sembari melepaskan genggaman tanganku pada lengannya.
Azza akhirnya menatapku "Kamu paling pentung kok, tapi aku cewek Var... aku ngga bisa anterin kamu ke toilet cowok"
Otak ku tengah bekerja keras untuk mengartikan informasi yang baru saja aku dapatkan dari Azza. Bukannya aku bodoh, hanya saja aku sedang menahan sesuatu jadi konsentrasiku buyar.
"Eh iya yah" ucapku setelah sadar.
"Makanya dipikir dulu, jangan main baper aja" ucapnya yang kembali fokus pada hantu yang tengah meregangkan otot dan persendian nya.
Aku menoleh ke samping kiri ku. "Dika anter gue ke toilet yuk"
Dika tidak memperhatikanku, tapi telinganya masih berfungsi dengan baik "Lagi seru bray film nya"
"Ah elah, nanti gue beliin lagi deh tiket nya buat lo tonton ulang" Money is everything gengs.
Dika memukul kepalaku "Ngga gitu juga kali"
Dika kembali menatapku, untuk memeriksa wajahku "Yaudah yuk! kasihan...muka lo sampai mirip setan nya, pucet pasi. Kebelet yah lo" ucapnya sembari menarikku keluar dari kungkungan bangku yang berderet itu.
Kami keluar melalui pintu exit dan berlari menuju ke toilet secepat mungkin.
Setelah selesai dengan urusanku, kami kembali lagi ke pintu yang tadi kami gunakan saat keluar. Tapi sayang nya pintu itu tidak bisa dibuka, entah kami tidak memperhatikannya tadi atau memang pintu itu tak memiliki gagang pintu. padahal seingat kami saat pergi tadi masih ada gagang pintunya.
"Gimana Al?" Tanya Dika panik, dia memang baru kali itu pergi ke bioskop.
Aku mengacak rambutku frustasi. "Gue juga ngga tahu, bioskopnya beda sama yang di Perancis"
Dika bersandar pada pintu yang memang terlihat seperti bagian dari tembok itu. "Ini maling iseng banget sih, gagang pintu kok di colong" gumamnya frustasi.
Kami terduduk di depan pintu exit yang tidak bisa dibuka itu, sampai seorang petugas menghampiri kami.
"De, kalian kenapa disini?"
Kami berdiri, berusaha sejajar dengan petugas itu "Kita ngga bisa masuk pak, pintunya hilang" ucap Dika dengan seperangkat kepolosan nya.
"Pffft..itu bukan hilang dek. Tapi memang sengaja di desain seperti itu, supaya yang ngga punya tiket ngga bisa masuk dari pintu belakang. Kalian dari toilet yah?" Ucap petugas itu sembari berusaha keras untuk menahan senyuman nya.
Dika menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, aku yakin dia tengah merasa malu saat ini. Jangankan dia, bahkan aku yang temannya pun merasa malu. "Iya pak, terus apa ada jalan untuk masuk lagi pak?"
"Selalu ada jalan kok dek. Kalian seharusnya masuk lewat pintu depan studio dek"
"Oh i got it! You're so damn stupid bro...you fool me" ucapku yang berpura-pura menjadi bule pendatang baru yang tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Sungguh Varo tidak sanggup menahan kemaluan ini, ya Allah.
Setelah itu kami diantar petugas itu menuju pintu studio, dan ketika kami masuk...
"Varo kamu kok lama banget, filmnya seru loh" ucap Azza, yang berjalan keluar sembari menyampirkan jaket serta tasku pada lengannya.
Ternyata filmnya sudah habis gengs, dan itu semua karena pintu terkutuk yang tidak memiliki gagang itu. Akhirnya kekesalan melanda aku dan Dika sepanjang perjalanan menuju ke sekolah kami kembali.
Aku menurunkan Dika dan Aura di depan gerbang sekolah, setelah itu aku segera melaju ke rumah Azza untuk mengantar nya pulang.
"Udah ngga usah kesel kayak gitu, baperan banget jadi cowok"
Ucapan Azza sungguh membuat moodku semakin jungkir balik. Azza, kumohon mengertilah...
Setelah tidak mendapatkan respon dariku, tanpa di duga Azza mengelus lenganku yang tertutup jaket bomber army andalanku.
Aku menoleh ke arahnya sekilas, setelah itu aku mengembalikan fokusku pada jalanan di depanku. Jalanan jauh lebih aman untuk di lihat, daripada melihat wajah Azza yang tengah di selimuti sisi imutnya.
"Lain kali kita kan bisa nonton lagi"
Aku tersenyum tanpa menoleh kearahnya, pernyataan Azza cukup menenangkan rasa malu dan kesalku.
"Pffft...Tapi Alhamdulillah loh. Kamu kan jadi punya ilmu baru, tentang cara kembali setelah pergi ke toilet saat nonton bioskop" sambungnya yang disertai dengan kekehan.
Doeng!!
AZZALEA TIFFANY ANHAKAR memang tidak bisa diharapkan! Dan semua bencana Ini terjadi karena mulut lemesh Dika yang menceritakan semuanya kepada Aura dan Azza selama perjalanan pulang.
Adakah yang mengalami kejadian yang sama?
(Jangan lupa Like dan Comment yah, biar ceritanya lanjut ehe)
Untuk judul tiap bab ini lebih tertata dan gue emang suka cara menulis lo yang semi baku, klo bisa di cerita baru lo tiap bab judul'y kayak gini aja
Comment on chapter First Atom ♡