Bisa dekat dengan induk dari orang yang kita kagumi, adalah hal terluarbiasa yang terjadi pada seorang pecinta.
Hari ini aku berniat memberikan hadiahku untuk Azza. Aku berangkat sepagi mungkin, tak ingin satu orangpun menghancurkan mood baik ku. Meskipun itu seorang guru, tak akan kuijinkan!
"Tumben bro udah dikelas" Ucap Dika mengejutkanku. Aku sampai sekolah tepat pukul 6 pagi, dan Dika sudah duduk manis di bangku nya saat aku datang. Jadi, jam berapa dia sampai?
"Kok lo udah disini?" Tanyaku penasaran.
Dika terkekeh "Kan gue nganterin ibu gue jualan ke pasar, jadilah gue dateng sepagi ini. Udahlah, perlu banget gitu gue kasih alasan ke lo? Mending gue lanjut tidur".
Dika mengambil posisi bersiap untuk tidur dengan kedua lengan diatas meja yang ia jadikan bantalan.
Dika memang pribadi yang baik, dia jarang jajan. Katanya masakan ibunya jauh lebih baik, dan lagi uangnya bisa dia tabung untuk bayar study tour.
Aku memasang earphone di kedua telingaku, aku ingin mencari ketenangan dalam lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Boyce Avenue.
Kusandarkan punggungku pada kursi milikku. Kulipat tanganku bersidekap didepan dada, menikmati setiap alunan musik yang menyejukan hati.
Tidak ada pemandangan yang lebih menarik dibanding pintu kelasku, aku tengah menunggu bidadariku hadir dari pintu itu.
Aku menoleh kedepan sejenak, leherku cukup sakit menoleh ke arah pintu selama 15 menit.
"Assalamu'alaikum" Ucap seorang gadis, yang tidak lain adalah gadisku. Aku hafal betul dengan suara, juga deru nafasnya.
"Wa'alaikumsalam" Jawabku dingin, aku tak ingin terlihat bahwa aku sedang menantinya.
"Varo, ucapan ayah saya jangan dianggap serius yah. Kamu ngga harus anterin saya pulang kok" Ucap Azza yang tanpa kuduga datang menghampiriku.
Aku mengernyit bingung sekaligus kesal "Maksud lo apa? Lo risih gitu kalo gue dateng kerumah lo?" Sentakku yang membuat dia terkejut, lalu memundurkan langkahnya.
"Bu,,,bukan gitu Varo. Saya cuma takut kalau hal ini membebani kamu" Ucap Azza takut-takut.
"Udahlah, gue bukan cowok brengsek yang ngga menepati janji. Gue juga mau belajar agama kok" Ucapku masih dengan wajah kesal.
Percuma saja aku datang pagi untuk menjaga moodku, nyatanya gadisku lah yang menghancurkannya.
"Terserah kamu, yang pasti maksud saya bukan begitu" Ucap Azza yang kemudian kembali ketempat duduknya, memasang earphone lalu menonton drama korea kesayangan nya.
"Ih gue keren banget sumpah, berasa jadi suami yang lagi ngambek sama istri" Batinku yang membuatku tersenyum geli sendiri.
~
Pelajaran berjalan seperti biasanya. Tapi sedikit berbeda karena aku tidak meminta Azza mengajariku, aku masih dalam mode marah padanya. Aku ingin dibujuk olehnya, tapi sayangnya dia bukan tipe orang yang peka terhadap perasaan seseorang.
Bel pulang sekolah berbunyi, dengan cepat aku mengambil mobilku yang terparkir di parkiran depan sekolah. Aku melajukan mobilku dan berhenti didepan gerbang sekolah tepat di depan gadisku.
"Pulang" Ucapku ketus kepada Azza yang tadi sedang mengobrol dengan ketiga sahabatnya.
Semua siswa dan siswi yang tengah menunggu jemputan mereka memperhatikan kami, dengan santainya Azza masuk ke mobilku tanpa perlu aku paksa, mungkin dia telah mendapat hidayah dari ketiga sahabatnya.
Azza menoleh ke kursi belakang. Dia melihat paper bag yang hendak kuberikan padanya tadi pagi, tapi tidak jadi karena dia merusak moodku.
"Itu apa...baby blue gitu?" Tunjuk Azza pada paper bag yang isinya lumayan terlihat.
"Hoodie nya kucing gue, kepo banget sih" Ucapku sekenanya, entah kenapa aku tidak bisa menahan kekesalanku terhadapnya.
Azza cemberut, dia kembali pada posisi duduknya. Sepertinya dia juga kesal padaku.
"Yaudah sih!" Ketusnya.
Eh, ternyata dia juga bisa marah...lucunyaaaa ulu uluh
Aku setengah mati menahan agar tidak tertawa ataupun tersenyum melihat pipi gadisku yang semakin terlihat chubby.
Setelah 15 menit perjalanan, kami sampai di rumah Azza. Tak ada percakapan selama perjalanan, baik aku maupun Azza sama-sama dalam mode marah saat itu.
Aku turun diikuti oleh Azza. seperti biasa, mama nya sudah menanti anak sulungnya pulang. Aku langsung bersalaman pada mama nya Azza yang ku panggil tante Kia.
"Halo tante Kia" Sapaku.
Tante Kia membukakan pagar, mempersilahkan kami berdua untuk masuk.
"kalau datang bertamu bilangnya Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh... Bukan halo" Ucap tante Kia dengan senyuman nya yang lembut. Jadi kangen mami.
"Laksanakan tante" Ucapku sembari memberi hormat pada camerku.
Aku duduk dimeja makan bersama Azza dan tante Kia, kami menunggu om Anhar atau ayahnya Azza pulang. Beliau pulang jam 5 sore, sedangkan sekolah kami selesai jam 4 sore. Tapi kami hanya perlu menunggu sekitar 25 menit setelah dipotong perjalanan pulang dan mengantri saat membeli makanan.
Untung saja tadi sebelum sampai rumah Azza, aku sempat membeli sup buah dan martabak keju dijalan. Tidak enak kan kalau numpang makan mulu dari kemarin.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh" Akhirnya ayah datang juga, ayahnya Azza maksudku. Tapi beliau memperbolehkanku memanggilnya ayah kok.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh" Jawab kami semua.
Azza serta tante Kia menghampiri om Anhar, mereka berdua mencium punggung tangan om Anhar.
Om Anhar melirik kearahku "Varo ngga salim sama ayah?"
Sekarang sudah official yah, aku panggil dia dengan sebutan ayah. Toh, beliau sendiri yang memberiku kode.
Dengan segera aku menghampiri ayah, aku mengikuti yang Azza dan tante Kia lakukan. Ayah mengusap kepalaku, memberiku rasa nyaman.
"Ini Varo yang bawa?" Tanya ayah padaku, yang kujawab dengan anggukkan kepala.
"Lain kali ngga perlu repot-repot yah, masakan mama jauh lebih enak daripada junk food kayak begini" Ucap ayah.
Aku tersenyum kikuk, itu kan makanan sehari-hariku. "Varo biasa makan-makanan kayak gini kok yah" Ucapku.
"Ngga boleh! kamu harus memakan makanan yang sehat. Junk food boleh saja, asal jangan keseringan"
Aku terharu karena perhatian ayah, aku jadi teringat pada papiku yang masih berada dalam perjalanan bisnis di London.
"Masalahnya Varo ngga bisa masak yah, dirumah kan cuma Varo sendiri. Bibi cuma bantu beres-beres doang, katanya bukan tugasnya untuk memasak" Ucap Varo apa adanya.
Ayah tersenyum, memberikan tatapan sendu padaku. Mungkin dia kasihan padaku. "Kalau begitu Varo makan disini aja, kalo ngga ajak Lea kerumah kamu. Dia bisa masak kok"
Alarm dalam tubuhku seolah berdering, dan mengatakan 'Lampu hijau nih!'
"Emang boleh, Yah?" Tanyaku memastikan dengan semangat 45.
"Ya ngga lah! Kalian bukan muhrim, kamu juga cowok normal kan? Ayah ngga mau ambil resiko" Sentak ayah.
"Iya lah yah, masa Varo ngga normal sih" Ucapku sambil mendengus kesal.
"Yasudah, kamu makan disini saja kalau begitu. Untuk sarapan, biar nanti Azza membawa bekal untuk kamu" Ucap tante Kia.
"Makasih ayah dan tante Kia" ucapku bahagia.
Selesai makan kami membersihkan diri, lalu bersiap untuk sholat maghrib. Setelah itu aku diajak ke kamar ayah dan tante Kia, dia mengajarkan aku bacaan sholat beserta tata caranya. Kami sholat berjama'ah, untuk saat ini masih ayah yang menjadi imamnya karena bacaan sholatku masih belum benar.
"Yah, Varo pulang dulu yah" Pamitku setelah selesai sholat maghrib.
"Iya, lain kali pulang abis isya bisa?" Tanya ayah sembari mengantarku keluar rumahnya.
"Nginep juga bisa yah!" Ucapku dengan cengiran yang menunjukkan gigi putihku.
Ayah menatapku dengan tatapan tajam, seolah tengah memberiku peringatan "Halalin dulu anak ayah, baru kamu bisa nginep" Ucap ayah.
ini ayah sukanya kode-kode terus.
"Boleh, yah?"
Ayah terlonjak karena terkejut mendengar pertanyaanku.
"Belajar dulu yang bener, baru halalin anak ayah... Mau dikasih makan apa si Lea kalo nikah sama kamu"
Aku berfikir sejenak "Makan nasi lah yah, harta Varo lumayan banyak kok. Perusahaan papi ada di Perancis dan Amerika, belum lagi restaurant juga hotel punya mami yang tersebar di Perancis. Ngga akan habis deh dimakan tujuh turunan juga".
Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya, dia memandangku frustasi "Sekaya apapun keluarga kamu, tetep saja itu bukan hasil kerja keras kamu sendiri. Mau sampai kapan kamu ikut orangtua terus"
"Varo juga udah kerja kok yah, cuma fleksibel aja untuk waktunya...karena Varo main saham, lumayan sukses juga kok. Sebulan Varo dapet keuntungan 100 juta"
Ayah terkejut mendengar pernyataanku "Masyaallah, kamu uang segitu di sedekahkan ngga?"
Aku melirik sebentar kearah ayah yang menatapku menanti jawaban keluar dari mulutku. "Kadang, kalau ada pengemis yang kerumah Varo kasih aja yang ada dikantong Varo...entah itu ratusan ribu atau satu juta" Ucapku apa adanya.
"Gini yah Varo, seorang muslim itu wajib menyisihkan 2,5% penghasilannya untuk fakir miskin, anak yatim, seorang mualaf dan yang lainnya yang berhak menerima sedekah wajib it-".
"Jadi kalau 100 juta Varo harus mengeluarkan 2.5 juta rupiah" Sela ku dengan cepat.
Ayah menoleh kearahku "Cepet banget kamu berhitungnya"
"Iya dong! kan Varo mainnya saham. Jadi ngga boleh asal kalau hitung-hitungan" Sekali-kali membanggakan diri di depan camerku hehe.
"Terus selama ini kamu minta saya ajarin matematika dengan alasan ngga ngerti itu apa yah?" Kini bukan ayah lagi yang selalu terkejut, akulah yang terkejut saat ini.
"Maaf Za" Ucapku sembari tersenyum kikuk. Dengan secepat kilat aku berlari masuk ke dalam mobilku.
"Assalamu'alaikum ayah dan tante juga Azza. Varo pulang" Ucapku langsung menancap gas mobilku, aku sempat melihat raut wajah kesal dari gadisku.
Untuk judul tiap bab ini lebih tertata dan gue emang suka cara menulis lo yang semi baku, klo bisa di cerita baru lo tiap bab judul'y kayak gini aja
Comment on chapter First Atom ♡