Burung-burung berkicau, seolah tengah melantunkan sebuah lagu untuk membangunkan tidur lelapku. Tapi maaf kusampaikan pada kedua burung peliharaan papiku itu, kali ini usaha burung itu harus ku sia-siakan karena alarmku bangun lebih dulu.
Ku pakai jaket bomber berwarna army milikku, berniat menutupi seragam olahragaku. Setelah itu, kubiarkan diriku berkaca sejenak pada cermin yang memantulkan penampilanku yang begitu sempurna.
Berangkat sekolah lebih pagi adalah pilihanku pada hari selasa. Hari dimana ada pelajaran olahraga, yang gurunya selalu mencari gara-gara denganku.
Begitu sampai sekolah, pelajaran telah dimulai. Padahal masih 5 menit lagi sebelum bel sekolah berbunyi.
Semua siswa dan siswi kelasku telah berbaris di tengah lapangan, menyisakan aku yang masih berlari mencoba menggapai pintu kelas untuk sekedar melempar tas serta jaketku.
Percayalah, guru itu tidak menyukaiku.
"Alvaro Marcello Anindito!! kamu telat lagi? Cepat lari 10 kali keliling lapangan"
Sekarang apa kalian sudah percaya bahwa dia tidak menyukaiku?
Aku yang baru saja masuk ke dalam barisan langsung saja menanggapi guru itu
"Pak Hadi Ardyansah yang terhormat, apa bapak tidak tahu kalau jam masuk sekolah itu jam 07 lewat 15 menit, dan ini masih jam 07 lewat 10 menit, lalu apa saya masih dinyatakan terlambat?" Ucapku dengan ketegasan yang kumiliki. Wajah datar dengan tatapan tajam adalah andalanku dalam menggertak guru satu itu.
Guru itu mengalihkan pandangan nya, tak tahan untuk menatap mataku begitu lama. "Ck! Masih membicarakan soal kedisiplinan kepada saya. Apakah kamu merasa sudah cukup disiplin? Kamu sudah kelas tiga berarti sebentar lagi kamu lulus, tapi kamu malah mewarnai rambutmu. Berlagak sekali kamu!!"
Sudah cukupkan alasanku untuk mengatakan bahwa dia tak menyukaiku?.
"Pak Hadi...saya jelaskan sekali lagi, baik dari saya bayi, kelas satu, kelas dua bahkan sekarang kelas tiga SMK. Saya tidak pernah mewarnai rambut atau bahkan memakai soflent pada mata saya, ini murni keturunan dari mami saya. Jika anda tidak terima silahkan sampaikan keluhan anda pada kedua orangtua saya, mengapa mereka memproduksi saya dengan gen mami saya yang lebih dominan" Ucapku kesal, selalu saja permasalahan perbedaan yang dia bahas.
"Sudahlah! Lebih baik kamu jalani hukuman kamu". Titah guru itu, tak mau dibantah.
Dengan malas aku berlari keliling lapangan. Bukan karena aku takut pada guru itu, tapi karena gadisku tengah melihat kearahku. Aku tidak sebodoh itu yang menuruti keliling lapangan sebanyak sepuluh kali, bisa sakit kaki berhargaku kalau harus mengelilingi lapangan selebar itu.
Saat aku berhenti berlari, guru itu menghampiriku "Kenapa cuma 5 kali?" Tanya guru itu menatapku, seperti aku ini seorang tersangka Narapidana.
Aku menepis tangannya yang bertengger pada bahuku, ku tatap tajam guru itu "Salahkan saja pemilik sekolah yang membuat lapangan sekolah seluas itu"
Guru itu terdiam membisu, tidak bisa lagi menjawab ucapanku. Mungkin dia baru ingat bahwa Kakek ku adalah pemilik sekolah ini.
Aku berjalan tertatih karena lelah dan juga aku sempat terjatuh karena saat lari tadi aku kehilangan fokus setelah mendengar semua siswi yang berada di luar kelas berteriak histeris melihat tetesan keringat yang mengalir dikeningku.
Aku duduk di lapangan, ikut dalam barisan. Di kejauhan aku melihat Dika berbicara dengan gadisku, radarku memang begitu kuat sehingga dalam hitungan detik aku bisa mengetahui dimana gadisku berada.
Dika mengacungkan jempolnya kearahku yang membuatku mengernyit bingung, entah sinyal apa yang tengah Dika berikan padaku.
"Sini biar saya obatin" Ucap seorang gadis yang membuatku menoleh kearah sumber suara.
Waktu seakan berhenti, kutatap lama mata indah itu sebelum fokusku kembali lagi.
"Kok lo bisa disini Za?" Tanyaku yang bingung karena tiba-tiba Azza berada dihadapanku dengan membawakan kotak P3K.
Dia tersenyum manis "kamu terlalu kesal sama pak Hadi sih, makanya kamu ngga sadar kalau kaki kamu luka".
Telingaku mendengar setiap ucapan bahkan deru nafas yang Azza keluarkan, tapi mataku mengikuti arah pandang matanya yang begitu fokus pada lututku.
Seketika mataku melebar, melihat darah segar mengalir dari lututku. Bahkan tanpa sadar tanganku menggenggam erat lengan Azza, jujur saja baru pertama kali itu aku melihat darah di depan mataku.
Aku cukup tertarik pada prinsip Terluka. 'Ketika kau tidak mengetahuinya maka tidak akan terasa, tapi ketika kau menyadarinya maka rasa sakit itu akan hadir dengan segera'.
"Maaf yah kalau sakit" Ucap Azza merasa bersalah. Tapi, dia masih saja mencoba membersihkan lukaku dengan cairan berwarna bening yang disebut alkohol.
Aku ingin tersenyum mencoba mengatakan jangan merasa bersalah. Namun apalah dayaku, wajahku terlalu kaku untuk melakukan semua formalitas itu. Rasa takut akan darah menjalar dalam tubuhku, aku hanya bisa menggenggam lengan Azza, berharap mendapat keamanan disana.
"Kamu takut darah?" Tanya Azza ragu-ragu, yang langsung kujawab dengan anggukan kepala secara perlahan.
Azza menatapku sebentar
"Kalau begitu lihat kearah lain aja, jangan lihat lukanya" Aku mengikuti saran yang keluar dari mulut Azza. Aku menatap matanya mencari kenyamanan, alhasil aku tenggelam pada mata indahnya yang membuat rasa sakit itu menghilang begitu saja.
"Udah selesai" Ucap Azza yang kini menatapku balik. Aku yakin jika lukaku sudah dibalut dengan plester dan kasa.
"Saya bilang lihat ke arah lain, bukan lihat kearah saya" Ucap Azza sembari mengalihkan pandangan nya, dia tersipu malu.
"Tapi lo ngga bilang kalo gue ngga boleh lihat wajah lo kan" Ucapku tanpa sadar. Memang terkadang mulutku tidak bisa di rem. Aku terlihat sedang menggodanya sekarang.
"Ugh...hancurlah image gue" gumamku sembari mengalihkan pandangan kearah selain wajah Azza.
Tanpa disangka Azza tiba-tiba meletakkan punggung tangannya pada keningku, yang membuatku melihat kearahnya.
"Astagfirullah, apa kamu demam karena luka ini? Muka kamu merah begitu" Tanya dia dengan khawatir.
"Astaga apa gue blushing saat ini? Oh tuhan itu sungguh memalukan!" Bantinku.
Aku mengambil tangan Azza yang masih berada di keningku, dia terkejut dengan perlakuanku.
Dengan segera aku lepaskan tangan Azza "Ah maaf, gue ngga papa kok. Ini alamiah, gue kan keturunan luar" Ucapku menyampaikan alibi yang memungkinkan.
"Oh gitu, yaudah saya balik lagi kebarisan yah" Ucap dia sebelum pergi kembali ke barisan nya.
***
Sepulang sekolah aku pergi ke Mall bersama partner sebangku ku. Aku membawanya karena membutuhkan pendapat dia untuk memilih hadiah ucapan terimakasih untuk Azza.
"Lo ngga salah nih?" Tanya Dika yang membuatku menoleh kearahnya. Sebenarnya sedikit tidak nyaman jika aku berjalan di Mall dengan seorang laki-laki, tentu saja bisa dipertanyakan jiwa kelaki-lakianku.
"Maksud lo?" Aku bergeser menjauh sedikit dari Dika. Tak enak juga ditatap oleh ratusan pasang mata.
"Harusnya yang lo kasih hadiah itu gue bukan Azza, kan gue yang bilang ke Azza supaya dia ngobatin lo"
Benar juga, setidaknya Dika punya andil yang cukup besar "Nanti gue traktir lo Sushi gimana?".
Dika menatapku tak percaya "Cewek mana tuh?"
"Uhuk!" Aku tersedak oleh saliva ku sendiri, mendengar ucapan Dika yang begitu ajaib.
"Sushi itu makanan khas jepang... Prasetyooo" jelasku secara singkat, setelah mengetahui kapasitas otak Dika.
Jika aku jelaskan lagi tentang salmon, bisa-bisa dia bertanya selingkuhan siapa si salmon itu.
Dika bergidik ngeri "Dih ngga ah, perut gue lokal ngga cocok yang begituan mah"
"Terus maunya apa?" Tanyaku yang sudah berhenti di depan toko pakaian.
"Jajan di warung Bude Warsi aja" Ucapnya yang masih mengikutiku yang sedang melihat-lihat beberapa helai pakaian.
"Ada yang bisa saya bantu mas?" Tanya pelayan toko itu yang melihat kami dengan tatapan, aneh mungkin.
"Gue cari hoodie couple" Ucapku yang membuat pelayan toko itu membelalakan matanya.
"Niat jualan ngga sih mba?!" Sentakku karena pelayan itu masih diam ditempat.
"Ah iya. Mas bisa lihat ke sebelah kanan...mari saya antar" Ajak pelayan toko itu.
"Bagus yang mana yah?" Tanyaku pada Dika ketika ditunjukan beberapa pasang hoodie oleh pelayan wanita itu.
Dika memilih hoodie couple itu. Dia pilih yang berwarna biru muda dengan motif sederhana di depan nya. Menurut Dika, Azza sangat menyukai warna biru. Terlihat dari kotak bekal, tas, dan juga hiasan pada kerudungnya.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku putuskan untuk memilih hoodie itu. Untuk ukuran, aku meminta Dika mencobanya karena tinggi Azza sama seperti Dika. Aku tidak perduli dengan opini penjaga toko tersebut.
"Yang ini aja mba" Ucapku sembari meletakkan hoodie itu ke meja kasir, tak lupa kuberikan salah satu kartu atm milikku.
"Wih, anak holang kaya mah beda. Ngasih hadiah aja sampe yang mahal begitu, kalo gue sih paling bisanya kasih cilok nya bang omay" Ucap Dika sembari berusaha merangkul bahuku yang lebih tinggi darinya.
Aku mengabaikan ucapan Dika, kuambil paper bag berwana coklat tua berisi 2 hoodie itu.
Setelah mendapat yang kubutuhkan, aku kembali ke sekolah mengantarkan Dika yang motornya dia tinggalkan di parkiran sekolah.
Saat sampai disekolah aku melihat Azza yang masih berdiri di gerbang depan sekolah, aku turun dari mobil untuk menghampirinya. Aku bahkan membiarkan Dika yang masih di dalam mobil.
"Za, lo kenapa belum pulang?" Ucapku setelah berada di hadapannya.
"Lagi nunggu ojek, mama saya ngga bisa jemput. Ayah saya juga lagi kerja" Ucapnya sambil celingukan kesana kemari, mencari ojek mungkin.
Aku tersenyum, mungkin ini kesempatan untukku. "Gue anterin aja gimana? Lagian ini juga gerimis, bentar lagi hujan. Mending naik mobil gue".
Azza terlihat berfikir sejenak "tapi..."
"Ngga papa nanti gue yang jelasin ke orangtua lo" Ucapku meyakinkan, aku yakin dia takut jika berinteraksi dengan laki-laki didepan orangtuanya.
"Al gue duluan yah" Ucap Dika keluar dari mobilku.
"Yoi" Jawabku seadanya.
Aku mengalihkan fokusku pada Azza lagi "jadi gimana?"
"Yaudah, makasih yah. Maaf ngerepotin" Ucapnya takut-takut.
Aku tersenyum, untung tidak ada paparazzi disekitarku. kalau ada pasti wajah tersenyumku sudah dijadikan bahan pergibahan bagi mereka.
Aku berdehem menetralkan wajahku agar tetap datar dan terlihat cool. "Lo ngga ngerepotin, Kita searah kok".
"Apa sih yang ngga buat orang yang kita kagumi, jalan lawan arah pun bisa menjadi searah" Batinku yang membuat aku tersenyum geli sendiri
***
Setelah 15 menit perjalanan kami sampai disebuah perumahan sederhana. Azza turun dari mobilku, aku melihat mama nya sudah berdiri tegak di depan pagar rumah mereka. Aku gugup, tanpa sengaja aku menginjak gas mobilku. Aku melaju begitu saja tanpa berpamitan pada mama nya Azza, camerku.
Setelah melewati satu tikungan, aku berhenti. Kesadaranku baru saja kembali, aku menghantukkan kepalaku ke dashboard mobilku.
"Bodoh banget sih gue, kenapa kabur coba" Gerutu ku.
Setelah puas merutuki kebodohan diriku sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah Azza. Tanpa di duga Azza dan mamanya masih berdiri di depan pagar dengan payung yang mereka pegang masing-masing.
"Mereka menunggu gue? Awh jadi terharu" Batinku.
Aku turun dari mobilku, aku melewati rintik hujan yang membasahi seragamku. Melaju menghampiri gadisku dan ibunya yang menungguku kembali.
Aku mengambil tangan mamanya Azza bermaksud untuk bersalaman.
"Halo tante, saya Alvaro Marcello Anindito. Anak dari Anindito dan Annie Mercello, maaf udah buat kalian nunggu sampai kehujanan. Tadi Varo bermaksud untuk parkir"
Mama nya Azza menatapku dengan tatapan bingung. "Lea kamu bawa temen kamu masuk dulu sana, suruh dia bebersih dan kasih ganti pakaian punya ayah. Kasian udah basah kuyup, nanti sakit lagi... biar mama nunggu mamang bakso nya sendirian aja"
Zonk!! Sumpah ini adalah hal termemalukan yang terjadi dalam hidupku.Ternyata mereka tidak menungguku!
"Varo kamu ngapain balik lagi sih? Ujan-ujanan gitu lagi. Udah yuk masuk, kamu mau demam kayaknya. Muka kamu merah banget gitu" Ucap Azza sembari menarik tanganku masuk kedalam rumahnya.
"Gue blushing karena malu Za, bukan demam" Batinku. Memang susah berharap kepeka'an dari seorang anggota PMR, semua selalu dikaitkan dengan penyakit.
Azza memberiku handuk serta pakaian ayahnya, kemudian aku langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian.
"Varo udah selesai? Sini makan bakso dulu" Ucap Azza setelah melihatku keluar dari kamar mandi. Azza sudah duduk di meja makan dekat kamar mandi, bersama dengan mama dan...ayah nya.
"Eh, ngga usah Za. Gue balik duluan deh takut dicariin mami papi" Percayalah ini hanya alibi saja, aku belum berani berbicara dengan calon ayah mertuaku.
"Tegang banget, duduk sini dong di sebelah ayah" Ucap ayahnya Azza sembari menepuk bangku kosong di sebelahnya.
Mau tidak mau aku duduk di sebelah ayahnya Azza. Baru saja bokongku menyentuh lembutnya kursi itu, ayahnya Azza sudah menghadiahiku dengan tatapan menyelidik.
"Jadi kamu yang tadi mengantar Azza?" Tanya ayahnya Azza sembari mengelus bahuku, yang membuat tubuhku merinding seketika.
Aku tersenyum kaku "iya yah, eh om" Ralatku.
Ayahnya Azza menepuk bahuku "Panggil ayah juga ngga papa kok"
Azza melihat ke arah kami secara bergantian, dia meringis. Aku dan Azza duduk berhadapan, aku menatapnya berusaha meminta pertolongan.
"Ayah jangan takutin Varo dong, dia beneran temen Lea kok" Ucap Azza membuat ayahnya melepaskan tangannya dari bahuku.
"Terimakasih bidadari surgaku" Batinku.
Semua berjalan semestinya, ternyata kedua orangtua Azza tidak semenakutkan itu. Aku bahkan tanding PS bersama Ayahnya Azza sembari menunggu hujan berhenti.
Sekarang sudah maghrib, Ayahnya Azza menyuruhku sholat di rumah mereka. Kita semua bersiap untuk sholat, meskipun aku tidak mengetahui bacaan nya.
"Varo kamu yang jadi imam" Ucap ayahnya Azza mengejutkanku.
Deg!
"Gimana ini,,, pertama baca al-fatihah kan yah?" Batinku.
"Ehm...Yah maaf sebelumnya tapi Varo belum bisa, ngga ada yang mengajarkan Varo karena meskipun Varo beragama islam tapi Varo besar di Perancis. Papi juga jarang dirumah karena masalah bisnis" Ucapku apa adanya, aku tidak ingin memulai hubungan dengan suatu kebohongan.
"Astagfirullahaladzim" Ucap mereka bertiga. Hal itu tentu menjadi suatu hantaman besar pada hatiku, aku tertunduk malu.
"Ya sudah tidak apa-apa, setiap pulang sekolah kamu bisa ngga antarkan Lea pulang? Tapi kamu baru boleh kembali setelah selesai sholat maghrib?" Ucap ayah nya Azza.
"Bisa Yah" Ucapku dengan semangat 45.
"Eitsss...tapi jangan senang dulu! Ayah bilang begini supaya ayah bisa mengajarkan kamu cara sholat secara langsung, lumayan buat ladang ibadah. Kamu mau kan?"
Aku mengangguk menyanggupi, lumayanlah setidaknya aku bisa belajar menjadi imam yang baik untuk Azza.
Untuk judul tiap bab ini lebih tertata dan gue emang suka cara menulis lo yang semi baku, klo bisa di cerita baru lo tiap bab judul'y kayak gini aja
Comment on chapter First Atom ♡