Suara hujan mengalun seperti sebuah symphony indah yang tersusun rapih. Sejuknya suasana yang hujan ciptakan, membuat siapapun enggan berpaling dari rasa nyaman.
Alvaro Marcello Anindito, adalah nama sederhana yang orangtuaku berikan sebagai pembeda dari jenis manusia lainnya.
Rambut pirang, tubuh tinggi, kulit putih, wajah tampan adalah hal yang kaum hawa lihat dariku. Dan aku... membenci ketidaktulusan itu.
Berburu potret senyuman terukir diwajahku, adalah pekerjaan para paparazzi sekolah yang tidak minat dalam pelajaran.
Percayalah, aku hanyalah seorang laki-laki berumur 17 tahun biasa. Laki-laki yang tidak tertarik pada gemerlapnya dunia dan indahnya percintaan. Setidaknya belum,
Sampai aku menemukan seorang siswi dikelasku yang begitu menjaga jarak denganku.
Meskipun sesungguhnya seluruh siswi dikelas menjauhiku karena tidak suka dengan sikap dinginku, tapi hanya dia yang menjaga jarak dan bukannya menjauh. Ya setidaknya kenyataan itu bisa sedikit menghiburku.
Dia tidak sempurna seperti yang biasa seorang penulis novel ceritakan pada fiksi remaja, tapi dia memang populer di kalangan kaum adam sepertiku, karena sifatnya.
Dia memiliki mata yang indah, bulu matanya tidak terlalu panjang tapi cukup lentik. Kulitnya kuning langsat dan sedikit terlihat pucat, dia adalah gadis tertinggi di kelas kami.
Dia memiliki bibir yang indah, sedikit tebal di bagian bawah namun tidak lebar, sedangkan bibir bagian atasnya berbentuk seperti bagian lengkungan pada bentuk love. Bibirnya terlihat mungil dan sangat cocok untuknya.
Tapi yang membuatku kagum adalah, bagaimana bisa dia tampak cantik meskipun dengan hidung minimalis serta beberapa jerawat di pipi dan keningnya.
Kenapa aku bisa menjelaskan gadis itu secara detail? Itu semua karena gadis itu tengah duduk disampingku, dia tengah serius mengajariku tentang materi yang tidak aku mengerti.
"Jadi sekarang kamu udah ngerti Varo?"
Tutur kata gadis itu memang selembut itu, tak ada gue dan lo dalam kamusnya. Yang ada hanya saya atau aku dan kamu.
"Belum, bisa ulangi lagi?" Percayalah aku ini bukan nya orang yang bodoh. Ada gen perancis dalam darahku, tentu saja IQ yang kumiliki tidak sesederhana itu. Hanya saja, membuatnya berada disisiku sedikit lebih lama adalah kepuasan tersendiri bagiku.
Lagipula, sedari tadi aku memang tidak memperhatikan hal yang dia ajarkan. Suasana nyaman yang hujan bawa, membuatku terhanyut dalam pesona gadis di sebelahku ini.
Gadis itu mengembungkan pipinya sejenak lalu menghembuskan nafasnya, hal itu tentu saja terlihat imut dimataku.
"Bu guru!!" Gadis itu berteriak sembari melambaikan tangan nya pada guru yang tengah sibuk mencari nilai X di papan tulis putih itu.
"Ada apa Azza?"
Ya, akhirnya kalian mengetahui nama gadis yang kubicarakan sejak tadi. Biar kuperjelas, nama nya Azzalea Tiffany Anhakar. Teman-teman biasa memanggilnya Azza.
Azza tersenyum ke arah guru matematika itu "Begini bu, Varo ada yang kurang mengerti di bagian materi kemarin. Ibu bisa tolong ajarin dia?" Ucap Azza dengan nada lembutnya.
Ajaib memang, Azza selalu saja seperti itu setiap aku meminta dia mengulang penjelasan nya. Padahal, gadis lain selain siswi kelasku selalu berusaha mendekatiku dengan menghalalkan segala cara.
"Ok. kalau begitu Varo silahkan kembali ketempat duduk kamu. Kasihan si Aura harus duduk dekat Dika, kalau ketularan gelapnya kan bahaya" Ucap guru berkacamata silinder itu yang di sambut gelak tawa oleh seluruh penghuni kelas.
"Dan tentang materi yang kamu tidak paham, nanti ibu jelaskan di kantor". Sambung guru itu sembari menatapku dengan tatapan yang membuatku bergidik ngeri.
Sangat disayangkan, karena faktanya Aku dan Azza tidak duduk sebangku. Terkadang aku meminta Aura yang tidak lain adalah teman sebangku Azza untuk bertukar tempat duduk sementara, dengan alasan ingin meminta diajari oleh Azza.
Lucu memang, karena sebenarnya Aura lah peringkat pertama di kelas kami, sedangkan Azza adalah peringkat kedua. Tapi aku tidak perduli dengan itu semua, karena aku tidak menyukai kesempurnaan. Aku sudah cukup dengan kesederhanaan.
"Iya bu" Dengan malas aku berdiri dan kembali ke bangku asalku.
Laki-laki dingin berlidah tajam, presepsi para siswi SMK Phoenix seolah melekat dalam diriku. Aku membiarkan mereka melihatku seperti apa yang mereka fikirkan tentangku, tapi tidak didepan gadis yang ku kagumi.
Tring!!!
Alarm menyeramkan telah berbunyi, percayalah! ini adalah alarm pertanda datangnya makhluk ghaib.
"Hai kak! ini Cika buatin makan siang untuk kak Varo" Tuh kan! satu dedemit beserta pasukan nya sudah hadir.
Wajahku seketika berkamuflase, Kedataran wajah serta suaraku hadir begitu saja. Aku berdiri, lalu memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana, setelah itu aku pergi begitu saja meninggalkan adik kelas itu beserta kawanan nya.
Satu langkah lagi menuju pintu depan, aku baru ingat jika hari ini sedang hujan deras. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali duduk di tempat dudukku.
Aku menyukai hujan, tapi bukan berarti aku suka bermandi air hujan.
Adik kelas itu masih saja tidak menyerah, akhirnya aku mengambil kotak makan siang berwarna merah muda itu.
"Hari ini gue ambil, tapi bukan karena gue juga suka sama lo. Ini semua karena di luar hujan dan becek, jadi gue ngga bisa keluar buat jajan" Ucapku apa adanya.
Adik kelas itu akhirnya keluar kelas dengan histeris, membuatku bergidik ngeri. Sebahagia itu kah dia? padahal jelas aku hanya memanfaatkan nya.
Aku menoleh kesamping, gadisku tengah menyantap bekal makan siang nya. Terselip tawa dan senyuman manis saat dia sedang makan dengan ketiga sahabatnya.
Ekor matanya melirik kearahku yang sedari tadi menatapnya, dengan secepat kilat aku mengalihkan fokusku pada kotak bekal berwarna merah muda yang ada di tanganku. Aku membukanya, untunglah isinya dua buah sandwich.
Aku memutuskan untuk memakan roti isi itu, lumayan untuk sekedar menetralkan detak jantungku.
"Za tolong obatin dong, tadi kaki saya kena meja. Lecet dikit nih" Ucap seorang laki-laki yang diantar teman nya dengan tertatih-tatih menghampiri Azza.
"Iya sini" Ucap Azza, bukan karena mereka ada hubungan spesial. Tapi, karena Azza adalah anggota Palang Merah Remaja atau PMR. Setiap hari ada saja seorang laki-laki yang terluka.
Kuperhatikan setiap gerak gerik Azza, dia mengoleskan obat merah pada kaki laki-laki itu dengan telaten.
"Woy!! Diliatin aja" Aku terlonjak karena terkejut seseorang menepuk bahuku.
"Astaga! Lupa gue, si Dika masih di samping" Batinku.
"Lo kenapa ngga pake trik yang sama aja Al?" Ucap Dika sembari merangkul bahuku.
Memang semua orang memanggilku Al, hanya Azza yang memanggilku Varo. Guru tadi memanggilku Varo karena nama yang Azza ucapkan adalah Varo, padahal biasanya Bu Dera memanggilku Al.
Aku mengernyit bingung, kutatap dia yang juga menatapku. "Maksud lo gimana Dik?"
"Jangan panggil gue dik! berasa berondong gue" Ucap Dika tak terima.
"Oke, maksud lo gimana Ka?" Ucapku setelah membenahi panggilan untuk Dika.
"Dih...berasa tua gue, gue bukan kakak lo! Panggilan yang lain dah" Protesnya lagi.
Aku mendesah kesal
"ini orang maunya apa sih..." Batinku.
Aku berfikir sejenak "And gimana?"
Dika membelalakan matanya "Lo niat ngatain gue semut gitu?!"
Aku berfikir lagi, tidak ingin menanggapi pertanyaan absurd Dika. "Prasetyo gimana?"
"Itu nama bokap gue Iblis! inginku berkata kasar" Geram Dika.
"Terus lo maunya dipanggil apa? Ini itu selalu salah di mata lo. Harusnya salahin ortu lo lah yang kasih nama ambigu begitu, gue mau panggil aja repot banget" Ucapku kesal.
"Yee... jangan baper dong! panggil Dika aja ngga masalah kok" Ucapnya sembari mengelus bahuku.
"Tau ah! ngga mood gue" Ucapku memalingkan wajah kearah lainnya, malas berargumen dengan manusia sejenis dia.
"Yakin ngga mau deket sama si Doi? Gue kasih lo saran gartis nih" Tawaran Dika terdengar cukup menggiurkan di telingaku.
"Yaudah apaan?" Tanyaku dengan malas, tapi mau.
"Lo ikutin yang lain lah, pura-pura sakit biar di obatin sama si incess" Bisiknya tepat ditelingaku.
Aku berfikir sejenak, ide Andika Prasetyo cukup masuk akal memang.
"Terus gue harus terluka bagian mana nya?" Tanyaku, aku memang paling tertinggal jauh soal mendekati gadis, terlihat dari mantanku yang hampir mendekati nol. Hampir loh!
"Mau gue bantu penggal kepala lo?" Tawar Dika sembari menaik turunkan kedua alisnya.
"Iblis lo!! Mana bisa dia ngobatin luka separah itu" Protesku.
Dika tertawa terbahak-bahak membuat semua perhatian siswa dan siswi yang tersisa dikelasku tertuju pada kami, dengan terpaksa aku membungkam mulut lebar Dika. Aku juga menghadiahkan tatapan tajam padanya, yang membuat dia berhenti tertawa seketika.
"Lo bodoh apa gimana sih! Ganteng-ganteng kok bodohnya tak terkira. Kalo kepala lo dipenggal, jangankan Azza bahkan dokter pun ngga akan bisa nolong lo. Kepala udah putus dari badan nya,apalagi yang diharapin...yah tinggal dikubur lah" Ucap Dika dengan kekehan yang tersisa.
Aku menggeram kesal "Prasetyooooo!!".
Baru saja aku hendak memberi pelajaran pada Dika, tapi guru matematika itu datang kembali berniat melanjutkan materi yang tadi.
Akhirnya hari itu berjalan seperti biasa, tak ada kemajuan sama sekali terhadap hubunganku dengan Azza.
Aku memang disediakan fasilitas mobil untuk kendaraanku ke sekolah, tapi kursi penumpangku selalu saja kosong. Gadisku selalu dijemput orangtuanya, jelas sulit sekali untuk mengantar jemputnya. Padahal aku ingin sekali.
Untuk judul tiap bab ini lebih tertata dan gue emang suka cara menulis lo yang semi baku, klo bisa di cerita baru lo tiap bab judul'y kayak gini aja
Comment on chapter First Atom ♡