Sebelum ini, apakah dirinya pernah memperhatikan udara?
Jernih, keruh, stagnan, dingin, mengalir, dan media paling mudah untuk membunuh. Menurutnya, udara seperti aura Turk. Ia adalah bagian dari Turk, tapi dirinya tidak dapat bergabung dengan mereka. Mereka terlalu dingin, mengalir, dan membunuh tanpa ampun.
Apakah lelaki yang tertidur di sebelahnya juga termasuk dari bagian udara pembunuh itu? Lelaki berambut hitam dengan warna kulit putih yang tidur dengannya semalam? Mungkin, bisa dibilang lelaki inilah yang memperlakukannya lebih baik dibanding lelaki lain.
Ellie melihat pakaian lelaki yang berserakan, lalu mengambil tanda pengenal berbentuk logam persegi panjang. Dibukanya bagian penutup logam yang menyembunyikan nama lelaki ini. Jean Roxburgh.
“Apa yang kau lakukan?”
Suara tenor lelaki ini membuat Ellie tersentak. Tanda pengenal itu terjatuh, lalu dengan cepat perempuan itu memalingkan wajahnya. Ia merasa sisi tempat tidurnya bergerak, menarik selimut putih tebal yang menutupi tubuh mereka. Terdengar suara langkah lelaki itu menginjak karpet bulu, lalu memungut satu per satu pakaiannya. Ellie memalingkan wajah seiring lelaki itu mendekatinya, menghindari tubuh telanjang berotot lelaki itu.
“Aku tanya padamu, apa yang kau lakukan, hn?” Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Ellie, mencengkeram wajah perempuan itu agar menatapnya. Ellie menggeleng, berusaha melepaskan wajahnya. Lelaki itu mendengkus, lalu melepas Ellie, membuat perempuan itu mengalihkan pandangannya.
“Siapa namamu?”
Ellie terdiam. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh mungilnya yang telanjang. Tindakan Ellie membuat lelaki itu geram dan mendorongnya ke tempat tidur, lalu berbaring di sebelahnya, mengusap pinggiran wajah perempuan itu dengan lembut.
“Aku tanya, siapa namamu? Kau tahu? Aku paling benci diabaikan.”
“E-llie….”
“Nama belakangmu?”
“Zackween. Ellie Zackween.”
Aneh. Lelaki itu tersentak setelah mendengar namanya. Tangan besar dan kasar yang tadi mengusap wajah perempuan itu berhenti, lalu ia bangkit, memakai kembali pakaiannya. Tindakan yang membuat perempuan itu kebingungan. Kenapa lelaki itu kelihatan terkejut? Mungkinkah ….
“Maaf, apa Anda tahu Niel Zackween?”
Lagi-lagi, lelaki itu tersentak dan terlihat gelagapan. Terlihat sekali kalau lelaki ini mengenal nama itu. Mungkinkah kakaknya adalah salah satu anggota Turk saat ini? Jika kakaknya benar masih hidup, bisakah ia berharap bebas dari tempat ini dan kembali hidup normal?
Jika kakaknya masih hidup ….
Ellie berdiri dengan tubuh yang masih ditutupi selimut. “Maaf, apakah … Niel Zackween masih hidup?” tanyanya sekali lagi berharap lelaki ini berbaik hati memberitahunya. Namun, seperti biasa, ia diabaikan. Bahkan lelaki itu bertindak seolah tidak mendengarnya sedikit pun.
Bisakah ia berharap tentang adanya keajaiban yang akan membebaskannya dari neraka ini? Namun, bagaimana jika ternyata kakaknya bukanlah yang ia kenal dahulu? Seperti yang terjadi dengan orang tua mereka dulu. Mereka bukanlah orang yang sama, bukan lagi orang yang menyayanginya. Jika itu benar, apakah kakaknya juga berubah? Terlalu banyak pertanyaan yang tak dapat ia lontarkan, terlebih lelaki ini tidak mau menjawabnya.
Ellie melihat lelaki itu berjalan menuju pintu kamar, meninggalkannya dengan tanda tanya yang begitu besar dalam benak. Ia tidak bisa menahan lelaki itu untuk menjelaskan beberapa informasi singkat tentang Niel, juga tentang reaksi lelaki itu ketika mendengar namanya. Apakah karena nama Zackween? Karena nama itu mengingatkannya pada ilmuwan yang mati ketika biostigma terjadi?
“Niel Zackween ….” Suara lelaki itu terdengar sebelum jemarinya mencapai kenop pintu, menggantungkan kalimatnya sejenak. “Dia sudah meninggal.”
Kemudian, lelaki itu berjalan pergi meninggalkannya. Menghilang di balik pintu ruangan, lalu terdengar suara pintu dikunci.
Sejenak, Ellie berdiri, hampa udara, seakan dirinya baru saja dipukul dengan kuat. Seperti kepalanya dihantam atas harapan akan kebebasan yang baru saja menghampiri. Benar, sudah tidak ada harapan untuknya. Tidak akan pernah ada, bahkan jika dirinya berhasil pergi dari tempat ini.
Jadi, kakaknya sudah mati dan dirinya yang hidup. Namun, ia tetap tidak bisa merasa lega meski tahu tentang ini. Ia harus berterima kasih pada kakaknya. Dia mati, supaya dirinya bisa hidup selama ini. Demi kegilaan orang tua yang merelakan anak-anaknya untuk mati, untuk mendapat gelar pahlawan yang bahkan tidak didapatnya setelah mati. Mungkin, akan ada kesempatannya untuk berkabung suatu hari nanti.
Kecuali, jika lelaki ini berbohong. Bukankah tidak semua orang bisa dipercaya?
Ellie menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, menyalurkan seluruh kegundahan dalam tubuhnya. Apakah benar bahwa Tuhan itu tidak pernah ada? Jika ada, ia rela melakukan apa pun yang Dia mau untuk mendapat sebuah kebebasan. Ia rela menyucikan diri, mengosongkan diri demi bertemu lagi dengan keluarganya. Jika bisa, ia ingin memutar waktu dan membunuh para orang sinting yang menyebabkan semua ini terjadi. Ia akan berkorban untuk mendapatkan semua itu kembali.
Semua yang dirasakannya ketika kecil datang membanjiri benaknya. Ia tidak pernah menyukai rasa-rasa sakit seperti ini, seperti tubuhnya dicabik kawanan serigala dengan buas. Ia ingin tetap hidup, bebas, dan normal. Ia tidak mau membiarkan tubuhnya terus dijamah seperti manekin yang bodoh. Ataukah, kebebasan itu hanyalah kematian?
Apakah kematian adalah satu-satunya cara agar dirinya bisa mendapatkan kebebasan?
Tubuhnya merosot ke lantai. Dingin. Kulitnya bersentuhan dengan lantai dan selimut yang menutupinya terlepas. Ia ingin menangis, tapi untuk apa? Apa yang harusnya ia tangisi? Bahkan air mata pun sudah jijik terhadapnya. Bahkan udara-udara di ruangan ini telah muak.
Ia menginginkan semua kembali, seperti dulu. Namun, keinginan ini tidak ada gunanya lagi.
Niel Zackween sudah mati.
Lantas, kepada siapa lagi dirinya harus bersandar?
Bisakah ia berkabung walau satu menit saja?
Jawabannya, tidak ada dan tidak akan bisa.
***
Virgnia terlalu bising untuknya. Selama bertahun-tahun dirinya berdamai dengan ketenangan di sela-sela jeritan, permohonan ampun, dan deru mesin yang menyayat. Semua itu jauh lebih baik dibanding suara para perempuan di sekelilingnya yang memanggil masing-masing anak mereka.
Sebentar lagi pembersihan akan dimulai. Dirinya telah melihat berbagai macam wajah orang-orang asing yang terlihat menjijikkan terpampang di billboard jalan-jalan Virginia. Mereka yang mengucap janji manis untuk menarik perhatian masyarakat, bersikap seolah mereka adalah para pahlawan bergelar yang akan menyelamatkan Nilfheim dari biostigma dan Turk. Padahal, mereka hanyalah penjilat yang tak lelah menjilati tanah Nilfheim.
Benar. Harus ada pembersihan agar mereka layak di tempat itu. Meskipun kelak orang-orang ini akan dibersihkan seiring perjalanan waktu mereka.
Ia memperhatikan para perempuan itu. Para istri bangsawan yang menjemput anak kebanggan Nilfheim—yang kelak akan mengisi kursi-kursi pemerintahan menggantikan ayah mereka. Mereka yang suka merendahkan penduduk kelas bawah, menindas dan tak jarang mereka saling membunuh satu sama lain.
Seorang anak kecil yang dilihatnya kemarin berlari keluar, memeluk sang ibu dengan raut wajah ceria sambil memegang selembar kertas yang digulung. Ia melepas pelukan, lalu menunjukkan kertas itu, sebuah nilai hasil gambarnya di sekolah. Pipi gembul anak itu terlihat menggemaskan, tapi tidak bagi Niel. Ia merasa anak itu berbahaya. Sama seperti orang tuanya. Melihat orang-orang ini bahagia tanpa tahu apa yang terjadi di belakang layar membuatnya geram. Mereka mengecap Turk adalah penjahat dan mereka juga yang telah membunuh orang tuanya.
Haruskah ia membunuh anak dan perempuan itu saat ini juga? Ah, ataukah, ia harus membawa mereka ke markas Turk untuk penyiksaan dan membuat James Bourne merasakan apa yang dirinya rasakan dulu?
Benar. Bisa saja ia melakukan itu semua. Namun, apa yang akan ia dapat setelah orang-orang itu mati?
Kepuasan.
Niel menggeleng lemah. Akan lebih puas jika mereka disiksa dalam satu ruangan bersama-sama dan dijadikan kelinci percobaan. Mereka harus tahu bagaimana rasanya jadi kelinci percobaan dengan zat-zat kimia aneh yang menghancurkan sel-sel mereka, bersatu dengan jaringan dan organ tubuh. Bahwa mereka bukanlah apa-apa. Mereka tidak berguna sama sekali, sampah masyarakat Nilfheim yang bergelar.
Orang-orang tolol yang selalu menganggap mereka berdiri di atas awan, menghujani penduduk kelas bawah dengan kotoran mereka.
Niel tersentak ketika seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh, mendapati James Bourne berdiri di belakangnya sambil menatap tajam.
“Apa yang kau lakukan di sini?” James Bourne membuka percakapan, berusaha menyudutkan Niel.
Niel mengangkat kedua bahunya. “Bukan hal yang berurusan denganmu.”
“Bagaimana aku bisa percaya pada ucapanmu itu?”
“Lalu, apa urusanmu denganku?” Niel balik bertanya sambil memamerkan senyum miring.
Terlihat sekali bahwa James Bourne kesal. Rahangnya yang berbulu itu mengeras dan matanya membulat. “Baiklah, kupikir aku harus bicara cepat denganmu.”
“Itu bagus. Apa yang mau kau bicarakan?”
James Bourne mengernyit. “Hoo, kau bisa membaca gerak bibirku semalam. Apa benar kau ada hubungannya dengan Profesor Zackween?”
Niel terbahak. “Menurutmu, aku akan menjawabnya? Dan kau pikir, siapa aku ini, hn?”
“Turk. Kau pasti bagian dari mereka.”
“Pintar.” Niel bertepuk tangan, lalu menepuk bahu James Bourne. “Berlakulah dengan baik jika tidak ingin mengisi koleksiku nanti.”
Kemudian, Niel berjalan melalui lelaki itu sambil tersenyum miring. Senyum yang begitu menyeramkan seperti hendak memakan orang hidup-hidup. Parasnya yang tampan seolah lenyap, bergabung dengan aura gelap yang menyelimutinya.
Niel Zackween memang sudah mati.