Aku tak tahu sejak kapan, tetapi percayalah. Detakan manis ini hadir karenamu.
__
Meski langit sudah hampir gelap, seulas senyum secerah mentari terukir di wajah Jian saat gadis itu akhirnya menginjakkan kaki di toko buku Planza. Setelah enam hari kerja yang melelahkan, akhirnya ia sempat mengunjungi tempat ini. Tak mau membuang waktu, dia langsung menuju rak novel. Mulai memilah sebelum malam semakin larut.
Gadis bermata sayu ini adalah penyuka novel percintaan. Cerita favoritnya yang memiliki akhir nelangsa. Menurut Jian, akhir kisah yang sedih itu akan lebih lama diingat dan berkesan, daripada cerita yang berakhir bahagia.
Berkutat selama tiga puluh menit, akhirnya Jian menenteng tiga buku menuju kasir. Sebenarnya, dia ingin membeli lima. Namun, mengingat jadwal mengajar di minggu depan yang lumayan padat, gadis itu takut tidak bisa fokus.
Melangkah ringan melewati rak-rak buku yang berjejer rapi, Jian menghentikan langkah di sebuah lorong. Melihat ke ujung lorong, dia lalu berdecak kesal. Mungkin, karena terlalu sibuk memilih buku, ia sampai tak mendengar suara rintik hujan. Jendela di sudut lurong sana basah terkena guyuran hujan.
“Kenapa hujan harus datang sekarang? Apa langit me-“
Sempat lanjut berjalan, dia kembali menghentikan langkah. Tak mampu menyelesaikan kalimat. Gadis itu termangu, menatapi punggung lebar di dekat rak sana. Bak ada tombol yang baru saja dinyalakan, sekujur tubuh Jian gemetar. Jantungnya meronta setelah sekian lama.
Laki-laki dengan kemeja putih khas pegawai kantoran yang sedang memandangi sebuah buku itu menoleh ke kanan, hingga Jian bisa melihat wajahnya dari samping. Dengan mata yang mulai menghangat, si gadis meyakinkan diri. Dia tidak salah lihat. Yang di sana itu memanglah Aksa.
Seketika waktu berhenti. Jian mendadak tak bisa mendengar apa pun kecuali detak jantungnya sendiri. Dengan napas terburu, gadis itu mulai mendekat. Menghapus tiap jarak di antara dia dan Aksa dengan perasaan membuncah.
Tangan Jian terulur, tak sabar menyentuh pundak Aksa. Namun, belum sempat ia melakukannya, si pria sudah berbalik. Mereka berpandangan, lalu mau apa lagi? Jian hanya inginkan ini dalam hidupnya. Melihat bayangannya sendiri di mata Aksa. Tak perlu yang lain, Aksa saja sudah lebih dari cukup.
Tak mau membuang waktu, Jian buang buku yang Aksa pegang. Bibirnya menipis saat mendapati dua alis si pria menyatu tanda tak suka.
“Eskpresi kesalmu masih saja lucu, Aksa,” ucap Jian sembari merapatkan telinga pada dada Aksa. Matanya memejam nyaman ketika berhasil menangkap ritme jantungnya Aksa. Detakan cepat dan terasa manis.
“Ini tempat umum. Kau mau ini kusebut sebagai pelecehan?”
Meski bukan sapaan hangat atau ungkapan rindu seperti yang Jian harapkan, suara merdu itu tetap saja bisa membuat gendnag telinganya bersorak girang. Sudah lama sekali.
Dengan berat hati, Jian menegakkan tubuh. Meski menatap Aksa dengan wajah datar, binary di matanya itu tak bisa ditutupi. Dia lebih senang bisa bertemu pria di depannya. “Kukira kau akan langsung mendorongku. Seperti biasanya.”
Aksa tidak menjawab. Laki-laki itu membungkuk demi bisa memungut buku yang dibuang Jian. Namun, belum sempat tangannya meraih buku tadi, punggungnya terasa sakit hingga dia harus memerdengarkan ringisan.
Jian puas saat wajah Aksa berubah merah. Laki-laki itu tak jadi memungut buku dan memegangi punggung yang dia pukul dengan ujung tiga buku di tangam. Gadis itu merasa pantas melakukan ini. Lima tahun tak bersua, dan raksi Aksa hanya seperti ini? Batu, sejak dulu hingga sekarang.
“Kau masih saja gila,” ketus Aksa sembari mengambil buku. Tak mengucapkan apa-apa lagi, dia melenggang pergi.
Aksa membayar bukunya, Jian mengantri di belakang pria itu. Si gadis meminta kasir bekerja lebih cepat saat Aksa sudah berdiri di luar toko. Tidak sampai tiga menit, gadis itu menyusul. Berdiri tepat di samping si lelaki.
“Kau naik apa ke sini?” tanya Jian lelah. Mengejar Aksa memang selalu melelahkan. Gadis itu menjungkitkan bibir saat tetesan hujan jatuh di anak tangga toko.
“Mobil,” jawab Aksa pelan. Laki-laki itu menunduk sembari memaki dalam hati. Bisa-bisanya hujan datang di saat sekarang. Bagaimana ia bisa kabur dari Jian? Dia mengira ini adlaah sebuah konspirasi.
“Kenapa tidak pulang?” Jian menoleh pada Aksa. Wajahnya polos, seolah tak tahu alasan laki-laki itu tidak langsung pulang.
Pertanyaan tadi membuat Aksa mendongak dan langsung membalas tatapan Jian. Ia yakin, gadis itu sengaja bertanya. Masih saja menyebalkan seperti dulu.
Ditatap begitu oleh Aksa, Jian tertegun untuk sesaat. Meski sudah limat tahun berlalu. Meski selalu saja hatinya dilukai oleh penolakan Aksa. Perasaannya masih saja sama.
Setelah lama terdiam, Jian akhirnya sadar.
“Apa?” Jian bertanya dengan nada menantang setelah sekian lama terdiam. Menahan kesal, saat Aksa hanya diam dan menatap jalanan di depan.
Jian menggunakan kesempatan ini untuk memandangi wajah Aksa lagi. Rasanya ingin segar mengaku kalau ia sangat rindu. Namun, seperti yang sudah-sudah, laki-laki itu asti tidak akan percaya.
“Apa yang kau lakukan?” Sadar dirinya dipandangi, Aksa bertanya sembari menoleh.
“Menatapmu. Memang, aku boleh melakukan hal lain padamu?” Tentu saja Jian ingin melakukan hal ian. Memeluk Chanyeol, mungkin. Namun, ia yakin jika melakukan itu, si pria akan marah.
Aksa menautkan alis, berlakon seolah tidak suka ditatap Jian seperti sekarang. “Pulanglah,” katanya sembari menunduk dan mengusap tengkuk.
“Aksa,” panggil Jian. “Kali ini saja. Biarkan aku memelukmu satu kali saja.” Jian menyatukan tangan di depan dada. Berharap Aksa kasihan padanya. Siapa tahu, ini pertemuan mereka yang terakhir.
Aksa menyatukan alis lagi. “Kau ini memang aneh sejak lahir? Mana ada orang yang memohon dengan wajah angkuh begitu?”
Satu alis Jian meninggi. “Cepatlah. Ergan sebentar lagi akan datang.”
Mendengar nama Ergan disebut, Aksa tiba-tiba saja merasa kesal. Selalu seperti ini. Bukankah sejak dulu Jian bilang tak punya hubungan spesial dengan Ergan? Lantas kenapa mereka masih bersama sampai sekarang? Menjemput, itu artinya mereka masih sering bertemu, ‘kan?
Baru saja Aksa ingin bertanya sekalugus memastikan, sebuah mobil berhenti di depan toko buku itu. Seorang pria dengan payung keluar dan langsung melambai riang pada Jian. Tak pula, bibirnya melengkung indah. Namun, saat pria itu bertatapan dengan Aksa, senyuman tadi sirna.
“Apa dunia ini memang sekecil itu?” kata Ergan pada Jian sembari mnutup payungya. Ia langsung berdiri di antara dua orang itu. “Mau apa si tianng ini di sini? Bukannya dia sudah dideportasi ke bulan?!” tanyanya setengah berteriak.
“Bukankah harusnya kau yang ke sana? Bersama pada makhluk pendek bulan?” balas Aksa.
Ergan membalik tubuh, menghadap Aksa dengan dua tangan di pinggang. “Orang bodoh mana yang bilang di bulan ada makhluk pendek?” Dia mendongak. “Lagipula, bukan aku pendek! Tapi kau yang kelebihan makan bambu!”
Aksa menutup dua telinga. “Apa lima tahun ini kau tidak ikut kelas vokal? Suaramu saat teriak masih saja jelek.”
Amarah sudah di ubun-ubun, Ergan menginjak kaki Aksa. Ia pus saat laki-laki itu meringsi. “Aku juga bisa menginjak bagian lain dari tubuhmu,” katanya sembari menunjuk kepala Aksa.
Sedikit membungkuk, Aksa menjawab, “Kau lupa kakiku lebih panjang dari kakimu? Lima tahun berlalu, otakmu masih saja belum kau perbaiki.”
“Kau kira otakmu sudah bagus? Laki-laki batu! Kau hanya bisa menyakiti hati orang lain!” balas Ergan tak mau kalah.
Di belakang Ergan, Jian menggeleng takjub. Dua pria dewasa yang lama tak bertemu melepas rindu dengan cara begini. Konyol. Jika dibiarkan, seperti yang sudah-sudah. Aksa dan Ergan bisa adu mulut hingga agi. Jadi, gadis itu berinisiatiif menghentikan pertengkaran. Dia langsung mendorong dua pria itu hingga tersungkur di luar emperan toko. Pelan-pelan kutup karena hujan yang masih turun.
Aksa dan Ergan terdiam. Di bawah hujan, mereka menatap Jian tak percaya.
“Harusnya, ini pertemuan penuh tangis atau penuh tawa. Harusnya penuh adegan romantic, bukannya pertengakaran bocah kalian.” Jian membuka payung Ergan yang sempat ia rebut tadi. “Ayo pulang, Ergan.”
…