Dibawah rintikan hujan yang mengguyur kota Pati, Esa terlihat santai berjalan sementara teman-temannya berlari mencari tempat untuk berteduh. Esa adalah siswa SMA yang lebih banyak menhabiskan waktunya sendirian daripada bergaul dengan teman-temannya yang lain. Jika ada yang mendekatinya maka dia akan memperlihatkan kelakuan buruknya. Dia selalu berkata bahwa dia alergi jika disentuh seseorang, padahal alas an sebenarnya bukan seperti itu.
“Esa,…” seorang gadis menghentikan Esa dan menyerahkan buku pada Esa. “Apa?” tanya Esa dingin “Itu… bukumu. Apalagi coba?” gadis ini tidak kalah dinginnya. Dia heran mengapa setelah 1 tahun menjadi teman sekelas, Esa tetap dingin dan galak pada semua orang. “Owh…? Kenapa kamu bawa? Aku sengaja meninggalkannya dikelas. Dinda, kamu buang waktu aja“Esa menyaut bukunya kemudian lari dari hadapan Dinda.
“What? Ah, benar-benar anak yg issh… untung temenku” Dinda hanya bisa menggerutu karena perbuatan Esa. Lebih baik dia segera pulang daripada menggerutu dibawah derasnya hujan. Menggerutu sambil meminum teh hangat ditengah dinginnya hujan menjadi rencana selanjutnya Dinda. Mungkin dia bisa curhat pada ibunya juga, atau bergosip dengan temannya tentang kelakuan Esa yang selalu jadi bahan gunjingan mereka.
~~
Langit mulai cerah meski masih banyak air yang menggenang dijalanan. Dinda sudah duduk dibangkunya sambil membaca buku karena hari ini dia akan ulangan matematika. Saat itu Dinda sendirian namun tidak lagi sampai seseorang datang dan tersenyum sinis padanya. Dinda mengerutkan dahinya mendapat senyuman itu karena orang yang memberinya senyuman sinis itu adalah Esa.
“Kamu senyum sama aku Sa?”Tanya Dinda penasaran dan Esa mengangguk. “kenapa?”
“Lucu aja din. Semalam kamu tidak belajar dan malah membicarakan orang lain di grup. Lihat kan akibat kelakuan jelek kamu. Aku yakin kamu bakalan remidi” kata Esa
“What?” Dinda meneguk ludahnya dalam-dalam. “Esa, kamu juga… ikut grup WhatsApp ya? Hahaha… aku kan bercanda.” Dinda mengutuk dirinya sendiri yang lupa jika Esa pasti anggota grup WA kelasnya. Padahal semalam dia tidak belajar karena menggosipkan Esa tentang sikapnya yang kejam pada Dinda. Esa tidak ingin menanggapi lebih lanjut perkataan Dinda, dia lebih memilih mendengarkan musik dari earphonenya daripada mendengar alasan Dinda. Meskipun Esa marah dan kesal, jauh didalam lubuk hatinya dia memahami sikap Dinda.
Saat pembagian hasil ulangan, Dinda hanya bisa pasrah jika nilainya jelek nanti. Dia juga masih sungkan pada Esa. Sejahat-jahatnya Esa dia tahu ada sisi baik Esa yang belum terlihat atau dia sendiri tidak menyadarinya.
“Adinda khumairah, nilai kamu yang paling jelek. Kamu harus belajar dari Esa jika kesulitan matematika.Karena nilaimu yang sering paling jelek dan ini yang paling buruk, kamu belajar kelompok sama Esa. Nanti Esa akan saya beri absen sering tidaknya kamu belajar dari dia”kata guru matematika.
“What?” gumam Dinda, dia tidak berani protes karena menyadari jika dia tidak berbakat dalam matematika dan yang paling sempurna dalam matematika dikelasnya memang Esa. “ya pak” kata Dinda akhirnya, sekilas dia menengok pada Esa yang ternyata juga menatapnya dengan tatapan death glare andalannya. Dinda bergidik ngeri dan segera mengalihkan pandangannya, dia tidak siap jika Esa tiba-tiba jadi guru privatnya.
“Cie Dinda….,”ejek teman sebangku Dinda,Elis. “Ssstt… jangan gitu Lis. Mana serem juga orangnya, kamu juga sengaja mancing aku kan semalem? Nggak ada yang bilang Esa juga masuk grup kita”kata Dinda. ”Seharusnya kamu kan sadar juga. Gimanapun juga Esa itu anggota kelas kita kan? Hehehe” Elis bukannya sengaja menjebak Dinda, namun teman-teman yang lain juga membiarkan Esa melihat postingan Dinda tanpa ada yang member penjelasan apapun.
Dinda masih berdiri didepan gerbang sekolah dan belum pulang. Dia masih ragu akan beranikah minta tolong pada Esa yang jelas-jelas telah dia ejek selama ini? Kali ini Dinda benar-benar harus menyesal telah bergosip. Jika dia tidak menemui Esa, nilai rapotnya yang menjadi taruhan tapi dia tidak yakin terhadap Esa. Kegilaan ini masih menyelimuti Dinda. Jantung Dinda berdebar ketika melihat Esa yang akan melewati gerbang.
“Esa!” panggil Dinda sambil mensejajarkan langkahna dengan Esa yang tidak mau berhenti. “Apa?” Tanya Esa to the point. Dinda meneguk ludahnya dalam-dalam mendengar nada bicara Esa yang dingin. “tadi pak Bowo udah bilang kalo aku harus belajar bareng kamu kan?” kata Dinda sok cool untuk menyembunyikan kegugupannya. “Jadi…” Esa berhenti berjalan kemudian menatap Dinda.
“Dari tadi kamu mondar-mandir didepan gerbang menungguku? Ah, lucu sekali. Seolah kita adalah teman baik”kata Esa. “kamu tahu aku nungguin kamu? Owh… terus kamu sengaja pulang telat karena mau ngerjain aku ya?” tebak Dinda dan dibalas dengan senyum miring dari Esa. “Tidak, aku takut dibegal kamu, jadi aku pulang telat! Aku kira kamu sudah pulang”jawab Esa sekedarnya. “What?” Dinda tak habis pikir pada perkataan Esa. Kenapa dia harus repot-repot membegal orang yang lebih menyeramkan dari ketua pembegalan se-Indonesia. Memang ketua pembegalan ada? Entahlah, intinya Esa adalah manusia yang paling menyeramkan untuk Dinda.
“Iisshh… kok kamu nyebelin banget ya?”umpat Dinda “memang, bahkan aku adalah iblis disekolah kita, si psikopat yang menyedihkan dan orang yang tidak tahu berterima kasih. Apalagi ya?” Esa sengaja mmengingatkan Dinda tentang perkataannya tadi malam tentang Esa. Dinda mengerucutkan bibirnya karena dia merasa bersalah pada Esa sekaligus kesal padanya. Esa tersenyum sinis sekilas kemudian meninggalkan Dinda, dia ahli dalam merusak mood seseorang.
~~~
Saat pelajaran sejarah berlangsung, Dinda masih saja berpikir bagaimana dia bisa mengatasi matematika tanpa bantuan masternya. Tapi dia malah terus menatap Esa tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Esa yang sadar sedang diperhatikan, balik menatap sinis Dinda. Dinda jadi gugup dan berpura menatap kearah lain. Dan tanpa dia sadar, pelajaran sejarah sudah berakhir padahal dia baru saja akan membuka bukunya.
“Wow, kok cepet banget ya Lis?” kata Dinda pada Elis. “Cepet? Din, aku hampir mati kebosanan tadi. Kamu jadi rajin ya sekarang?” tebak Elis dan Dinda hanya mengangguk sambil tersenyum kikuk. ‘Rajin apanya?’ batin Dinda sambil memasukkan bukunya ke tas.“Dinda!” suara itu membuat dinda tak berani langsung menatap orang yang memanggilnya. Perlahan, dia memutar lehernya 45 derajat melihat orang yg memanggilnya.
“Eh,,, Esa. Ya?”Tanya Dinda disertai senyum palsunya yang membuat Esa agak janggal. “Soal yang kemarin dibicarakan sama Pak Bowo, aku udah dapet absennya. Nanti kumpul dibalai desa”kata Esa to the point. “kumpul?” Dinda berusaha mencari makna yang terdengar janggal. “Ya. Kamu, Reza dan Cici. Jam 4, terserah kalian mau datang atau tidak, itu bukan urusanku.” Setelah selesai pada urusannya, Esa segera menyingkir dari hadapan Dinda.“Jadi yang les sama Esa enggak aku aja? Yes… ada temennya” Dinda senang dia tidak harus sendirian menghadapi Esa yang kaku. Setidaknya ada orang yang bernasib sama dengannya dikelasnya ini.
Esa sudah datang dibalai desa sejak pukul setengah empat. Dia membaca sekilas materi yang akan dia ajarkan pada teman-temannya. Jujur dia merasa gugup jika harus menjadi guru privat teman-temannya. Tapi dia juga tidak mau mengecewakan gurunya. Namun fokusnya terhenti saat dia melihat Reza dan Dinda yang sudah datang. Esa lega setidaknya teman-temannya tidak sungguh menjauhinya atau membencinya.
“Esa, udah dari tadi ya?” Tanya Dinda dan dijawab anggukan dari Esa. “Mana Cici?” Tanya Esa selanjutnya namun tidak ada jawaban apapun. “Telat mungkin. Kenapa kamu ngajaknya ke balai desa sih? Ini bukan tempat belajar.” Protes Reza. “Memang kamu maunya kemana? Ke café? Café juga bukan tempat belajar.” Jawab Esa tidak kalah sewot. “tapikan bisa digunakan sebagai temapt belajar!” “Balai desa juga bisa digunakan sebagai tempat belajar!”
Setelah perdebatan kecil itu, Reza tidak berbicara lagi dan membuat suasana jadi sangat canggung. “Wah… kayanya Cici datang guys” kata Dinda mencoba membuat suasana menjadi cair. Cici datang tergopoh dengan keringat yang membanjiri bajunya. “Lari!”teriaknya. “Apa?” Tanya Dinda “Ada anjing yang ngejar aku, ayo lari” “Waaaaaaa..” dinda ikut panic dan lari mengitari balai desa. “Kalo kalian lari-larian seperti itu, yang awalnya tidak dikejar anjing akan ikut jadi target” kata Esa. Dia mendekat kegerbang dan melihat anjing yang dimaksud Cici, Esa mengusir anjing itu dengan melempar batang kayu sehingga anjing itu mengikutinya.
“Thanks ya, Sa” kata Cici dan tidak ada respon dari Esa. “ayo buka buku kalian. Kita mulai dari yang paling awal” kata Esa. “Tapikan Sa, aku capek banget habis dikejar anjing” protes Dinda disetujui Cici. “Yang dikejar anjing kan Cici, bukan kamu. Ok berhubung ini belum jam 4, kalian boleh istirahat sebelum jam 4” “tapi Cuma sebentar dong Sa. Satu menit lagi udah jam 4” “Kamu boleh pulang jika tidak suka” kali ini perkataan Esa sukses membuat Dinda kembali diam. Esa juga harus segera memberikan pelajaran pada mereka sebelum ada perdebatan yang lebih hebat lagi daripada ini.
3 bulan kemudian
Reza berdiri disamping tangga melihat beberapa kerumunan orang yang memenuhi madding sekolah untuk melihat nilai ulangan semester mereka. Dia seolah tidak peduli pada nilainya, entah mengapa dia sangat malas melihat hasil belajarnya 3 bulan terakhir ini. Kelakuan Reza yang janggal membuat Dinda dan Cici yang saat itu berada disana menjadi penasaran. Mereka kemudian mendekati Reza.
“Kenapa Za?”Tanya Dinda. “Gimana nilai kalian?” Tanya Reza. “lumayan. Apalagi matematikanya, naik drastis. Nilai kamu juga lumayan kok Za” kata Dinda dan direspon dengan senyuman dari Reza. Tapi siapapun pasti sadar jika senyum Reza hanyalah kepalsuan untuk menutupi kegundahan hatinya. “Iya, nilai kita naik karena kerja keras Esa yang nggak bisa kita ingkari. Tapi, sekarang… dia kemana ya?” Tanya Reza.
“kamu kan tetangganya, mana kita tahu?” Tanya Dinda balik. “Nggak. Aku dan Esa bukan sekedar tetangga tapi sahabat sejak kita masih sangat kecil. Tapi 2 tahun lalu, Esa tiba-tiba jauhin aku tanpa sebab sejak dia kecelakaan. Dan kalian tahukan beberapa hari ini dia nggak masuk sekolah karena…. Dia masuk rumah sakit” kata Reza lirih. “What?” “Apa?” Cici dan Dinda hampir bersamaan.
“Aku juga baru tahu dari ibunya. Ternyata dia punya penyakit dimana setiap orang dilarang mendekatinya. Sikapnya selama ini justru melindungi kita, tapi kita… mengabaikannya. Aku berani cerita ini sama kalian karena aku yakin kalian juga saying sama Esa sejak kita sering bersama. Esa sakit…. AIDS”kata Reza lirih. Dinda dan Cici seolah akan kehilangan detak jantungnya saat mereka mendengar perkataan Reza.
Dirumah sakit, Esa hanya menonton tv berusaha menyingkirkan pikiran bahwa tubuhnya sedang sekarat. Namun kesendirian Esa terusik saat ibunya masuk dengan mata berbinar. “Sa, temen-temen kamu datang.” “Apa?” Esa seolah tidak percaya dan dia juga tidak menginginkan kehadiran teman-temannya. Tanpa menunggu perintah, 3 orang tidak diundang itu langsung masuk. “Esa….” Lirih Dinda. Esa menghembuskan napas kasar melihat air mata yang mengalir dari Dinda dan Cici.
“Bagaimana nilai kalian?” Tanya Esa. “Lumayan tapi nggak bagus. Soalnya guru privatnya payah” kata Reza.
“apaan sih kalian? Reza, kenapa kamu menangis didepan cewek?”Tanya Esa pada Reza yang berusaha menyeka air matanya. “Nggak tahu. Aku kesel banget sama kamu Sa. Kenapa nggak pernah cerita apapun sama aku” Reza berusaha mendekati Esa tapi Esa member peringatan untuk menyingkir darinya. “aku tahu kalian tahu apa yang terjadi padaku, karena itulah tolong jaga jarak. Dan Dinda, aku juga mau minta maaf!” kata Esa
“What? Aku yang harusnya minta maaf karena pernah gossip tentang kamu. Dan… kamu pasiennya kakakku yang dipenjara kan? Aku baru sadar jika E.S itu kamu Sa. Maafin kakak aku yang ceroboh ya” maksud perkataan Dinda karena perbuatan kakaknya, Esa mengidap AIDS.
“Memang awalnya aku tidak terima dan sangat membenci kakakmu lalu melampiaskannya kedirimu. Tapi kecelakaan 2 tahun lalu sungguh parah dan aku bisa mati saat itu juga. Saat itu golongan darah 0 sedang habis dan hanya ada satu orang yg bisa dimintai pertolongan. Tanpa melakukan tes dulu, kakakmu sembarangan mentransfer darah orang itu padaku. Dia menyelamatkan hidupku waktu itu, tapi terlalu gegabah. Sebenarnya aku juga bingung harus berterimakasih pada dokter Irawan karena menyelamatkan hidupku atau membencinya karena mal praktek. Tapi adiknya malah jadi teman sekelasku dan selalu bertingkah konyol, kamu sadar tidak Din? Setelah kejadian itu, cuma kamu yang bisa membuatku tertawa”
“kenapa kamu baik banget sih Sa?” dinda tidak bisa menahan airmatanya lagi, dia menutup wajahnya dengan tangan. “Dan Cici, kamu juga tidak kalah konyo saat kita pertama kali bertemu.” Kini Esa beralih pada Cici yang setia menatap lantai tanpa berani menatap Esa. “Dan kamu Reza, pasti kamu kesel karena aku tiba-tiba berubah” Esa berganti pada Reza.
“Sampai kapanpun aku bakal selalu kesel sama kamu. Temen sekelas tahu kamu sakit, mereka sebenernya care sama kamu tapi… “ “memang aku yang menolak perhatian mereka” Esa meneruskan kalimat Reza yang digantung. Esa tahu ini bukan akhirnya, tapi dia merasa kenangan ini adalah kenangan terbaiknya diwaktu sekaratnya. Hidupnya terlihat singkat, namun teman-temannya membuat sisa waktunya begitu menyenangkan. Jika kematian adalah jurang pemisah, maka memori indah adalah satu-satunya jalan melewati jurang itu.