“Mara! Kalau mau makan, lauknya di meja,” seru ibu Mar dari dapur.
“Ya, Bu.”
Malam yang dingin itu berhasil membuat setiap orang menekuk tubuhnya, seraya menarik selimut di atas kasur. Tidak bagi Mar, ia sama sekali tidak merasa kedinginan, ia hanya diam tersenyum, berbaring di atas kasur sambil memandangi tangan kirinya yang masih ada bercak darah dari kejadian sore tadi. Di kamar polosnya hanya ada poster harimau mengaum, menempel di pinggir gantungan seragamnya, dan sebuah laptop menyala di atas meja belajar, sedang memutar video dari sebuah channel Youtube.
“Ada banyak orang hilang secara misterius, puluhan … atau bahkan ratusan. Yang uniknya, mereka rata-rata adalah kriminal.”
“Apa Mara habis mukul orang lagi?” tanya ibunya yang berwajah sayu, dengan rambut pendek diikat ke belakang, berdiri di dekat pintu kamar dengan mengenakan daster biru sederhananya.
“Nggak kok!” Sontak ia menurunkan tangan. “Malam ini makan apa?” tanya Mar sambil menutup laptopnya.
“Hmm. Sayur jamur sama gorengan tempe.”
Segera ia pergi ke dapur, menghampiri meja makan, dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu, lalu melahap masakan ibunya tersayang.
Sambil membawakan segelas air bening untuk anaknya, ibu berkata, “Ibu tahu, setiap kali Mara mukul orang, pasti kamu mandangin tangan kirimu.”
Mar berhenti mengunyah dan menanggapi, “Mara rasa, si penindas udah waktunya dapat balasan. Mara gak tahan lihat mereka yang jelas-jelas nampilin ego sama kesombongan di depan Mara.”
“Bukan, bukan gitu caranya, Mar. Ayahmu nggak mau kekuatanmu dipakai untuk itu,” bantah ibu.
“Terus kenapa bukan Ayah langsung yang ngelarang? Ke mana dia, Bu?!? Kenapa Ayah hilang gitu aja tanpa jejak apa pun? Udah hampir 3 tahun Ayah hilang. Aku harap kalau muncul lagi ... hanya tinggal nama,” sentak Mar.
“Mara! Ibu juga tahu, bukan kamu aja yang ngerasa sedih. Ibu juga sedih atas hilangnya ayahmu,” balas ibu.
Setelah meneguk segelas air, Mar membawa sepedanya yang terparkir di depan pagar dan pergi entah ke mana. Mungkin ia tak tahan jika malam ini diisi dengan obrolan tentang kehilangan ayahnya. Ia kayuh sepedanya menyusuri jalan dengan hamparan sawah yang luas di sisi kanan-kirinya. Pandangan kian gelap, karena malam itu tidak disapa oleh rembulan dan tanpa sedikit pun penerangan dari lampu jalan, begitulah lingkungan tempat tinggalnya. Jarang sekali kendaraan melewati daerah ini, jika sudah lewat dari jam 9 malam, walau 4 km ke depan sudah bisa bertemu dengan jalan raya. Ia kayuh pedalnya perlahan sambil menikmati udara malam yang segar. Kesendirian, kegelapan, dan kesunyian malam tidak membuatnya takut sama sekali. Justru ia merasa lebih damai dengan suasana seperti ini.
Akan tetapi suasananya terganggu, ketika tiba-tiba ia mendengar, “Tolong! Tolong!” Suara teriakan perempuan di ujung jalan yang berjarak sekitar 100 meter di depannya. Sontak Mar mengayuh sepedanya lebih cepat menuju sumber suara.
Setibanya di sana, ia membanting sepedanya dan tanpa pikir panjang langsung melompat ke arah dua orang pria berpakaian gelap dan bermasker, sedang menarik paksa perempuan itu untuk naik ke sepeda motornya. Ia menarik dan menendang dengan cukup keras kedua pria tersebut, untuk memisahkan mereka jauh dari korban.
“Cepat bawa sepedaku dan pergi dari sini!” teriak Mar membelakangi perempuan yang berhasil ia selamatkan. Perempuan itu pun pergi.
Seperti biasa, Mar memukul mereka dengan tangan kiri hingga berkali-kali, bahkan ia tertawa dan terlihat menikmatinya. Namun Mar lengah, salah seorang dari mereka berhasil lepas dan menancapkan pisau di pundak Mar. Setelah menginjak pria A hingga tak bisa berkutik, perlahan ia menghampiri pria B yang menusuknya tadi, seraya mencabut sebilah pisau yang tertancap di pundaknya. Tubuh pria B seolah ditarik mundur, karena ketakutan melihat Mar perlahan mendekatinya dengan senyuman.
“Sakit itu bukan ditusuk oleh pisau kecil ini. Sakit itu, ketika ngelihat ekspresi ibumu yang sedih waktu melihat anaknya tumbuh besar menjadi penjah–” belum selesai Mar berucap. Tiba-tiba saja kepala dari pria B menggelinding dan menyentuh kaki Mar.